Monday, October 28, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 40

 MASIH ADAKAH MAKNA  40

(Tien Kumalasari)

 

Laki-laki penyerobot uang Rohana itu menatap Rohana dengan pandangan meremehkan. Hanya seorang perempuan tua, lagipula di sekitar tempat itu kelihatan sepi. Ia melenggang seenaknya, sebelum kemudian berbelok ke arah jalan kecil kemudian bermaksud menghilang.

Tapi Rohana bukan wanita lemah. Kemarahannya memuncak, karena sisa uang untuk mengentaskan seorang miskin telah dirampas. Ia meraih pentungan yang ada di pos penjagaan itu dan mengejarnya dengan kekuatan yang tidak wajar, karena diiringi oleh rasa marah yang membakar seluruh aliran darahnya. Dua langkah lagi dia sudah sampai di belakang laki-laki itu dan mengayunkan pentungan ke arah kepalanya, tapi luput karena laki-laki itu lebih tinggi. Hanya mengenai pundaknya, tapi cukup membuat laki-laki itu tersungkur.

Rohana berteriak sekeras-kerasnya.

“Maliiiiiiiing …. maliiiing …. “

Uang yang tadinya berada dalam dekapan laki-laki jahat itu berhamburan di tanah, dan laki-laki itu belum mampu bangkit karena sebelah bahunya terasa sakit. Jeritan Rohana membuat beberapa orang keluar.

Rohana terus berteriak dengan masih memegangi pentungan. Ia ingin mengayunkan pentungan itu lagi, tapi maling keparat itu sudah mampu bangkit. Ia menarik pentungan Rohana dan bermaksud membalasnya dengan ganas. Ia berhasil, lalu memukul lengan kiri Rohana dengan pentungan yang sudah dipegangnya, lalu ingin memukul kepalanya juga. Tapi dari belakang beberapa orang sudah mendekat dan memukuli tubuhnya dengan bertubi-tubi. Si maling kembali jatuh, tapi kemudian bangkit dengan ketakutan. Ia memilih mengambil langkah seribu sebelum tubuhnya remuk dihajar masa.

Rohana berjongkok memunguti uangnya, dan memasukkannya ke dalam tas kembali. Lengan kirinya terasa nyeri, tapi tidak dirasakannya.

Beberapa orang berusaha mengejar si penjahat, beberapa lagi mendekati Rohana.

“Nenek tidak apa-apa?”

Rohana bangkit dan tersenyum.

“Tidak, untunglah kalian datang. Kalau tidak, barangkali ia berhasil meremukkan tulang tuaku ini. Terima kasih banyak.”

“Lain kali Nenek harus berhati-hati. Orang jahat berkeliaran di mana-mana.”

“Iya, baiklah,” kata Rohana kemudian berlalu sambil memegangi lengan sebelah kirinya yang terasa sangat nyeri, karena terkena pentungan dari penjahat itu.

***

Rohana sudah sampai di rumah sakit kembali. Ia puas bisa mendapatkan tempat sederhana yang cukup nyaman untuk Kartinah dan anaknya. Ia juga membeli alas tidur dan beberapa perlengkapan untuk kebutuhan sehari-hari, yang ia tahu bagaimana cara memesannya. Kartinah akan bisa memasak dan menyimpan barang-barangnya di almari plastik yang disiapkan semuanya oleh Rohana. Ketika ia menemui Kartinah di ruang rawat Bejo, dilihatnya Kartinah tampak termenung sambil memegangi lembaran kertas yang diberikan perawat, sebagai tagihan atas beaya selama empat hari Bejo dirawat, dan obat-obat yang diberikan oleh rumah sakit.

Bejo duduk di tepi ranjang, sambil memegangi sepotong roti, sisa kemarin sore, di mana Rohana membelikannya.

“Bejo sudah sehat?” tanya Rohana.

“Hari ini boleh pulang. Tapi ….”

“Tapi apa, uangnya kurang?”

Kartinah tak menjawab. Rohana mengambil kertas yang dipegang Kartinah, dan bergegas pergi ke ruang administrasi.

“Nenek Rohana,” panggil Kartinah.

“Tunggu di situ, aku segera kembali,” kata Rohana yang kemudian menghilang di balik korden pembatas pasien yang ada di ruangan itu.

Kartinah memeluk anaknya dengan linangan air mata.

“Bejo, kamu hidup karena nenek yang baik hati itu. Kata nenek, ini karunia Allah. Kita harus berterima kasih kepadaNya. Mulai sekarang kita tidak boleh melupakanNya. Dan kamu harus belajar menjadi anak soleh, yang mengerti tentang kasih sayangNya. Ya?”

Bejo menatap ibunya sambil menggigit sisa rotinya, tapi si kecil itu seperti mengerti perkataan yang didengarnya. Ia mengangguk, dan sang ibu memeluknya.

“Baju Bejo … baru ya Bu?”

“Iya. Kamu punya beberapa baju baru. Kamu ganteng dan tidak kotor seperti dulu.”

Kartinah mengemasi barang-barangnya.

“Kita  akan jalan-jalan lagi?” tanya si kecil.

“Nenek Rohana melarang kita menjadi peminta-minta. Ibu akan berjualan. Entahlah, apa nanti yang bisa ibu lakukan,” kata Kartinah seakan mengira bahwa sang anak mengerti apa yang dikatakannya. Entahlah, Rohana juga belum mengatakan apa-apa tentang keinginannya itu.

Ketika Rohana kembali, ia menyerahkan berkas dari rumah sakit yang sudah bertanda lunas. Kartinah ingin menjatuhkan tubuhnya di hadapan Rohana, tapi Rohana mengangkatnya.

“Apa yang akan kamu lakukan?”

“Apa yang harus saya lakukan untuk membalas kebaikan Nenek? Saya bersedia menjadi pelayan Nenek dan melayani semua kebutuhan Nenek.”

“Apa? Aku tidak butuh pelayan. Kamu pikir aku seorang nyonya besar? Ayo kita pulang, aku tunjukkan tempat tinggal yang nyaman untuk kalian, dan tempat yang bagus untuk kamu berjualan.”

Rohana membantu Kartinah membawa tas berisi barang-barangnya, lalu menariknya keluar. Kartinah menggandeng tangan Bejo yang sudah bisa berjalan dengan lincah.

***

Kartinah kembali menangis haru sambil memeluk Rohana, ketika mereka sudah sampai di tempat yang disewa Rohana.

"Hentikan tangismu. Lihat, anakmu berbaring nyaman di tempat tidur itu. Ia pasti heran melihat ibunya selalu menangis."

“Ini rumah Nenek?” tanya Bejo sambil tiduran.

“Ini rumah Bejo,” jawab Rohana.

“Rumah Bejo?”

“Ya, sekarang kamu tidur di sini, makan di sini, dan mandi setiap pagi dan sore, supaya wangi.”

Bejo menatap ibunya, tak percaya, matanya berbinar ketika melihat sang ibu mengangguk.

“Kamar ini sudah aku bayar selama setengah tahun. Ini uang untuk kamu. Pakailah untuk berdagang, apa saja. Jangan sampai kamu dan anakmu tidak makan lalu kembali menjadi peminta-minta,” kata Rohana sambil memberikan sejumlah uang.

“Nenek Rohana, Nenek telah membuat kami menjadi orang yang sebenar-benarnya orang. Semuanya karunia bagi saya dan Bejo. Saya pasti akan menjalankan amanah yang Nenek berikan."

“Ingat. Setelah setengah tahun kamu harus bisa melanjutkan pembayaran sewa kamar ini. Kamu tahu caranya bukan? Uang harus diputar. Bagaimana pula caranya? Jadikan sebagai modal usaha. Tidak seberapa, kecil-kecilan saja, kalau kamu tekun pasti akan menjadi besar. Pada suatu hari nanti, ketika aku melihat kalian lagi, aku berharap kamu sudah bisa berdiri tegak, dan satu lagi, jangan sampai anakmu tidak sekolah.”

Kartinah yang tak lagi bisa menjawabnya karena haru yang menyesak, hanya mengangguk-angguk, lalu memeluk Rohana erat.

“Aku kan sudah bilang, jangan menangis,” kata Rohana yang kemudian berlalu dengan air mata yang tak urung juga membasahi pelupuknya. Dalam hati dia bersyukur, bisa melakukan hal yang dianggapnya sangat luar biasa. Hal yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, berbuat sesuatu untuk kehidupan seseorang.

“Ya Allah, terima kasih,” bisiknya sambil menunggu angkot untuk membawanya pulang.

Ketika itu ponselnya berdering, dengan kesal Rohana mengangkatnya.

“Bukankah aku sudah bilang kalau ponsel ini hanya mengganggu?” omelnya, tapi ia tetap mengangkatnya. Dari Monik.

“Ibu ada di mana? Ramai sekali, di jalan ya?”

“Kamu bertanya tapi sudah menjawabnya sendiri,” kesal Rohana.

“Ibu, apakah ibu sudah mau pulang?”

“Ini mau pulang. Apa kamu memasak urap daun kenikir dan layur goreng seperti pesananku?”

“Iya bu, ini sudah selesai. Apa di dekat ibu ada warung yang menjual gado-gado?”

“Gado-gado? Tidak ada. Apa kamu ngidam?”

Monik terkekeh.

“Ya enggak lah Bu, hanya ingin saja. Sekarang ibu cepat pulang ya, Monik sendirian nih.”

Tapi ucapan gado-gado yang didengarnya, membuat Rohana mendapat ide yang dianggapnya lumayan. Tak ada yang jual gado-gado di sekitar tempat itu. Ia bergegas kembali ke tempat di mana Kartinah berada, lalu menawarkan usulan untuk berjualan gado-gado.

***

Rohana pulang dengan wajah berseri-seri. Tiba-tiba dia juga ingin gado-gado. Tapi bagaimana membuat gado-gado? Selama hidup Rohana tidak suka memasak, jadi sudah pasti tidak bisa. Diangkatnya ponselnya untuk menelpon Minar. Bukankah menantunya yang satu itu juga pintar memasak? Akhirnya Rohana mengerti, ternyata ponsel yang sering  membuatnya mengomel ada juga gunanya.

Ketika ia harus naik ke dalam angkot, tiba-tiba ia merasa kedua lengannya nyeri, apalagi yang sebelah kiri.  Tapi kemudian ia mengacuhkannya.

***

Ketika Rohana sampai di rumah Tomy, ia melihat ada beberapa orang sedang ada di paviliun. Mereka mengukur dan keluar masuk sambil mencatat entah apa yang dicatatnya. Monik ada di teras, Rohana menghampirinya.

”Siapa mereka? Apa paviliun itu mau disewakan?” tanya Rohana.

“Tidak Bu, bapak menyuruh membenahi paviliun itu agar lebih baik.”

“Untuk apa? Maksudmu nanti kalau Boy sudah menikah, kamu akan menyuruhnya tinggal di situ?”

“Tidak. Boy sudah punya rumah sendiri. Paviliun itu untuk ibu.”

Rohana tercengang,

“Apa maksudmu?”

“Kata bapak, Ibu lebih baik tinggal di paviliun itu, supaya ibu merasa lebih nyaman, sehingga bisa melakukan apa saja yang ibu sukai. Nanti Monik yang akan melayani semua kebutuhan Ibu.”

“Tidak, jangan lanjutkan. Aku tidak mau diperlakukan lebih. Aku akan tidur di kamar mana saja, jangan membuat aku sungkan dan merasa merepotkan.”

“Mengapa Ibu merasa sungkan? Ini juga rumah Ibu, bukan?”

“Tapi jangan perlakukan aku seperti itu. Aku bukan orang yang harus dilayani khusus, aku lebih suka yang sederhana, jangan berlebihan,” katanya sambil melangkah masuk. Monik mengikutinya.

“Bu, bapak yang meminta itu, kami tak bisa menolaknya.”

“Bilang pada ayah mertuamu itu, aku tidak mau.”

Rohana masuk ke dalam kamar, membersihkan diri dan menggantikan pakaian rumah.

“Besok bapak sudah mau pulang. Nanti Ibu bilang sendiri saja pada Bapak,” kata Monik ketika mereka sudah duduk berdua di ruang makan.

"Besok aku mau ke rumah Satria.”

“Ibu marah?”

“Tidak, aku sudah  pesan gado-gado pada Minar, besok dia akan membuatnya.”

“Haaa, gado-gado itu kan yang pengin Monik? Ibu pesan sama Minar?”

“Iya.”

“Kalau begitu besok Monik antar Ibu ke rumah Minar, Monik juga mau gado-gadonya. Benar, Minar pasti bisa, Monik akan belajar dari dia.”

“Mertua kamu mau pulang, masa kamu malah pergi?”

“Tidak apa-apa, kita perginya pagi. Bapak pulang siang, agak sore, menunggu dijemput mas Tomy."

***

Minar senang sekali ketika ibu mertuanya datang. Ia sudah belanja masakan pesanannya sejak sang ibu menelponnya kemarin. Ia hanya membeli sambal pecel tinggal membumbuinya, dan beli sayuran untuk gado-gado Solo.

“Ibu kan mau tinggal di sini? Kamar sudah Minar siapkan, seperti kamar ibu yang dulu. Ini barang-barang Ibu?” kata Minar sambil membawa tas Rohana yang berisi pakaian, dibawanya masuk.

“Minar, apa kamu sudah selesai masak gado-gadonya? Biar aku bantu kamu memasaknya. Sambil belajar nih,” kata Monik ketika mereka sudah duduk bersama.

“Aku buat gado-gadonya sederhana saja kok.”

“Bukankah harus menumbuk kacang, segala macam?”

“Tidak usah. Aku buat yang sederhana saja kok.”

“Sederhana bagaimana? Nggak pakai kacang, gitu?”

“Eeeh, bukan. Ya pakai. Tapi aku beli sambal pecel yang sudah jadi.”

“Namanya sayur pecel dong, bukan gado-gado.”

“Ya bukan. Sambal pecel itu dilumatkan, dan masih dibumbui juga. Tambahkan bawang putih, sama santan, dan garam juga. Tambahin lagi daun jeruk purut, biar sedap. Lalu icipin, mana yang kurang. Sudah jadi gado-gadonya.”

“Oo, gitu ya? Besok mau nyobain deh.”

“Sekarang saja dicobain rasanya. Ayo Bu, kita makan gado-gado,” ajak Minar sambil menggandeng sang ibu mertua.

Tapi Rohana tampak meringis kesakitan. Lengan kirinya terasa sakit sekali.

“Kenapa Bu?”

“Lenganku sakit sekali. Kemarin tidak apa-apa, atau tidak begitu terasa, tapi sekarang rasanya sangat nyeri.”

“Memangnya ibu kenapa? Habis jatuh?” tanya Monik yang kemudian menyingsingkan lengan baju ibunya.

“Biru begini?”

“Aduuh, mengapa kamu memijitnya keras?”

“Ini kenapa Bu? Sampai matang biru begini?”

“Dipukul orang. Kemarin belum terasa sih.”

“Dipukul orang?” pekik Minar dan Monik hampir bersama-sama. Mereka khawatir karena wajah sang ibu mertua juga kelihatan pucat. Rohana juga merasa sangat kesakitan di lengan kanannya, karena terlalu kuat mengayunkan pentungan kepada penjahat itu.

“Minar, kita bawa ibu sekarang ke rumah sakit.”

“Jangan, aku tidak mau.”

“Jangan bandel ya Bu, nanti Ibu akan mendapat obat, sehingga tidak merasakan sakit lagi.”

 

***

Besok lagi ya.

54 comments:

  1. 🦋🥀🦋🥀🦋🥀🦋🥀
    Alhamdulillah 🙏🤩
    eMAaeM_40 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai😍🌹
    🦋🥀🦋🥀🦋🥀🦋🥀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari
      Salam aduhai juga

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulilah "Masih Adakah Makna 40" sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🙏🌷🌷🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai aduhai deh

      Delete

  4. Alhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~40 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  5. Slmt mlm bunda..terima kaih MAM nya..slm sht sll unk bunda sekeluarga 🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah cerbung MAM baik👍🩵semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  8. Hehe...kok pas ceritanya, hari ini saya makan gado-gado...bumbunya memang mirip sambel pecel, tapi lebih halus dan tidak pakai daun jeruk purut, beda rasanya...menurut saya lebih tawar, apalagi karena ada pelengkap kentang dan telur rebusnya.😀 Semoga dagangan gado-gado bu Kartinah nantinya laris manis seperti nasi liwet pak Trimo ya...🙏🏻

    Terima kasih, ibu Tien yang juga jago memasak. Semoga sehat selalu.🙏🏻🙏🏻🙏🏻

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 ibu Nana.
      Aamiin atas doanya.
      Bagi dong gado2nya

      Delete
  9. Matur nuwun jeng Tien salam sehat penuh semangat , selamat berkarya.

    ReplyDelete
  10. Mks bun MAM 40 nya, smg kartinah bener" memperbaiki kehidupannya dg berjualan gado" smg laris manis, agar bisa membuat rohana puas dg pengorbanan nya, dan ketulusan menolong nya tdk sia"

    Selamat malam bun smg selalu sehat, tetap semangat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Supriyati

      Delete

  11. Alhamdullilah
    Cerbung *masih adakah makna 3 m40* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah..
    Matur nuwun bunda Tien..🙏🙏
    Sehat selalu kagem bunda njih..🤲🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Padma Sari

      Delete
  14. Terima kasih Bunda Tien Kumalasari, salam sehat penuh semangat Bunda

    ReplyDelete
  15. Rohana sudah berubah baik 180° .... Apa sudah mendekati tamat kah.?
    Mungkin cerita pak Drajat, pak Trimo akan dilanjutkan.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  16. 🌹☘️🌹☘️🌹☘️🌹☘️🌹☘️

    Alhamdulillah, syukron Bu Tien, episode 40 Masih Adakah Makna? Senin malam sudah tayang.....

    Semoga sisa hidup Rohana bermakna.

    🌹☘️🌹☘️🌹☘️🌹☘️🌹☘️

    ReplyDelete
  17. Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 40 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin

    Mantab perjalanan hidup Rohana, dari tokoh jahat, skrng jadi tokoh baik. Rohana menjadi nenek yang hidup nya penuh makna.

    Gado gado nya mas, dari Jakarta ya mas, sangat enak sekali...he...he...ngelantur nih Inyonge..😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  18. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillaah, senang nya Rohana punya mantu yg baik n perhatian,

    Matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua, 🤗🥰

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah..terimakasih bunda Tien, selamat beristirahat.. cerbung asyiik nya besok lagi ya bun ...

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
  22. Makasih mba Tien.
    Senang, Rohana sdh lebih baik.
    Salam hangat selalu

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...