Friday, September 6, 2024

AKU BENCI AYAHKU 50

 AKU BENCI AYAHKU  50

(Tien Kumalasari)

 

Mia marah karena tubuh kecilnya didorong  oleh sepasang tangan kecil pula. Ia kembali maju dan meraih tangan Boy.

“Mas Boy, temanmu itu nakal,” rengeknya.

Indi juga marah disebut nakal, apalagi gadis kecil di hadapannya mengatakan bahwa Boy adalah temannya.

“Mas Boy ini kakak aku.”

“Bukan, kamu bohong!”

Boy kebingungan, kedua gadis kecil itu memperebutkan dirinya. Ia sudah tahu, Indi adalah adiknya, karena sang kakek sudah mengatakannya. Tapi Mia adalah sahabatnya. Teman bermain ketika ia ditinggal bekerja oleh ibunya.

“Mia, jangan nakal,” bu Lany kemudian menarik tangan Mia. Tapi Mia menepiskan tangan ibunya.

“Bukankah itu mas Boy? Bukankah mas Boy teman Mia?”

“Mas Boy kakakku!” Indi kembali berteriak.

“Ada apa ini?” para orang tua keluar dari ruang tamu ketika mendengar Indi berteriak-teriak. Tapi ketika melihat bu Lany, Monik segera menyambutnya dengan sangat ramah.

“Ternyata ada bu Lany, dan juga Mia. Ayo masuklah,” katanya, sambil memperkenalkan bu Lany sebagai tetangganya yang dengan senang hati menerima Boy ketika dia sedang bekerja. Semua yang hadir menyalami bu Lany satu persatu.

“Ibu, aku mau main sama mas Boy, tapi anak itu sangat galak,” rengek Mia sambil menunjuk ke arah Indi yang selalu memegangi tangan kakaknya.

“Siapa yang galak? Memang ini kakak aku!” Indi berteriak lagi. Pak Drajat terkekeh lucu. Kemudian dia menggandeng tangan Mia, diajaknya mendekat ke arah Boy dan Indi yang masih berdiri di teras.

Melihat sang kakek mendekat sambil menggandeng tangan Mia, Indi semakin marah.

“Kakek, bukankah mas Boy itu kakak Indi?”

“Iya, kamu benar. Tapi mas Boy kamu ini juga punya seorang teman, atau sahabat, yang sangat baik. Sekarang kalian harus berkenalan. Ayo, mana tangan Indi, dan mana tangan … mm, namamu siapa?”

“Mia,” jawab Mia pelan.

“Nah, Indi … ayo kenalan dulu sama Mia.”

Mendengar perintah kakeknya, Indi tak berani menolak. Dengan mulut cemberut, dia mengulurkan tangannya yang disambut Mia dengan tak kalah cemberutnya.

“Sebutkan nama kalian dong.”

“Indi.”

“Mia”

Keduanya sudah melepaskan pegangan mereka. Indi juga sudah melepaskan pegangannya pada tangan Boy.

“Nah, kalian harus bisa berteman dengan baik. Dengar. Indi ini memang adiknya Boy, tapi Mia ini juga sahabatnya Boy. Kalau ibu Monik bekerja, mas Boy bermain sama Mia di rumahnya. Ya kan Mia?”

“Iya. Kami terkadang main boneka, terkadang main mobil-mobilan.”

“Aku punya banyak mobil baru,” kata Boy menimpali.

“Besok bawa mobilnya ke rumahku ya.”

“Iya. Nanti kita main sama-sama,” jawab Boy.

“Aku juga punya mainan banyak. Kakek selalu memberi aku boneka dan mainan bagus,” Indi tak mau kalah.

"Bagus sekali. Kalian punya mainan semuanya. Bagaimana kalau Boy mengambil mainannya, kemudian kalian main bertiga di sini?”

Tanpa di suruh dua kali, Boy segera berlari ke dalam kamarnya.

Pak Drajat ternyata pintar membujuk anak kecil agar tidak bertengkar.

“Kalian tidak boleh bermusuhan, karena Boy pasti sama-sama suka bermain bersama kalian,” kata pak Drajat lagi.

Tak lama kemudian Boy keluar, dan mereka bermain dengan akur, tak peduli pada pembicaraan orang-orang tua di dalam sana.

Ketika pak Drajat pergi mengurusi bisnisnya, Indi ditinggalkan di rumah Monik. Monik senang karena dia mengenal ibu Indi yang dulu pernah sama-sama bekerja di salon kecantikan.

Selama itu pula Tomy yang masih diberikan cuti oleh pak Drajat, selalu berada di antara mereka. Kalau Indi bisa selalu dekat dengan ayahnya, tidak begitu dengan Boy. Ia masih segan terlalu dekat dengan ayahnya, walaupun dia tak pernah melihat sang ayah bersikap kasar kepada ibunya. Hanya saja Boy sudah mau diajak bicara, atau bahkan mengajak bicara, biarpun hanya sepotong-sepotong, dan hanya kalau perlu.

“Bapak tidak pernah pulang,” kata Indi sambil bermain robot milik Boy yang dibelikan sang kakek.

“Apakah bapak itu galak?”

“Tidak. Kakek yang suka galak,” jawab Indi seenaknya.

“Kakek tidak galak kok,” kata Boy yang memang tidak pernah melihat kakeknya marah.

“Terkadang juga galak. Ibuku sudah pernah dimarahi kakek.”

“Masa?”

“Tapi marahnya hanya sebentar.”

“Bapak suka marah pada ibumu?”

“Tidak, bapak jarang pulang. Sekarang malah nggak pernah pulang,” kata Indi.

“ Aku sudah kenal ibu Desy. Kami pernah bertemu dan makan es krim bersama.”

“Benarkah? Ibuku cantik kan?”

“Ibuku juga cantik,” kata Boy tak kalah sombong.

“Ibu kita cantik-cantik kan?”

“Iya benar.”

Mereka asyik bermain, dan berbincang semau mereka. Tak ada yang bertanya mengapa mereka punya satu ayah tapi punya ibu berbeda.

Untuk Boy, barangkali karena dia juga merasa punya ibu berbeda lagi, yaitu ibu Minar, entahlah. Pemikiran anak-anak pastinya berbeda dengan apa yang dipikirkan orang tua. Yang penting hatinya senang bisa puas bermain, dan bagi Boy lagi, ia cukup senang karena sang ayah tidak mengajaknya pulang.

***

Tomy yang sudah kembali ke rumah yang disediakan pak Ratman untuknya, terkejut ketika sebelum pulang, sang ayah mampir, dan mengatakan bahwa rumah ibunya sudah dijual. Terlebih ketika tahu bahwa yang membeli rumah itu adalah ayahnya.

“Apakah Bapak bertemu ibu dan mengatakan hal itu?”

“Tidak, aku tidak bertemu ibumu sama sekali. Dan dia juga tidak tahu bahwa rumah itu aku yang membelinya.”

“Bapak tahu dari mana bahwa yang mau dijual waktu itu adalah rumah ibu?”

“Baca di iklan. Waktu itu bapak tidak sengaja membuka ponsel dan melihat iklan itu.”

“Oh, dari situ? Ibu menyuruh Tomy memasang iklan di mana-mana.”

“Kamu yang memasang iklannya?”

“Ibu yang menyuruh.”

“Baiklah, tapi apa kamu tahu di mana sekarang ibumu tinggal?”

“Tidak. Ibu bahkan tidak mengabari kalau rumahnya sudah terjual.”

“Ia membeli rumah kecil, tapi lumayan bagus. Aku sudah melihatnya, ada anak buahku yang mengatakannya. Tapi aku hanya lewat saja.”

“Bapak tidak menemui ibu?”

“Tidak. Ibumu sudah mengecewakan aku, dan itu bertubi-tubi. Aku tidak akan memikirkan dia lagi. Terserah dia mau melakukan apa.”

“Di mana ibu tinggal”

“Nanti aku beri kamu alamatnya. Tapi untuk apa kamu menanyakannya? Untuk minta bagian dari penjualan rumah itu?”

“Tidak. Tomy tidak pernah memikirkan uang dari ibu.”

“Tapi kamu tidak boleh mengatakan bahwa aku yang membeli rumah itu.”

“Untuk apa Bapak membeli rumah itu?”

”Sayang karena dijual murah. Kecuali itu aku akan memberikan rumah itu untuk kamu, tapi ada syaratnya.”

“Apa syaratnya?”

“Pertama, kamu harus melanjutkan kuliah, tapi tetap bekerja pada Ratman.”

Tomy mengangguk. Memang dia tak berharap banyak untuk bisa mewarisi perusahaan ayahnya, walaupun sang ayah punya cabang di-mana-mana.

“Kedua, kalau kamu sudah bisa menjadi suami dan ayah yang baik, bagi Monik dan bagi Boy.”

“Tomy sudah melakukan apa yang Bapak pesankan. Mulai bulan ini, gaji Tomy akan masuk ke rekening Monik.”

“Bagus sekali.”

“Entah Tomy mau makan apa,” kata Tomy lirih.

Pak Drajat tertawa terbahak.

“Kamu laki-laki. Masa tak bisa mencari uang dari arah lain kecuali gaji bulanan kamu?”

“Uang dari arah lain?”

“Ya, asalkan dengan cara yang bersih. Jangan menipu, jangan mencuri, jangan melakukan hal yang menyimpang dari kebaikan.”

Tomy diam. Rupanya sang ayah belum benar-benar memaafkannya, lalu memberikan kehidupan yang lebih layak.

“Jadi tukang parkir, misalnya?”

“Itu bagus. Apa salahnya. Bahkan jadi tukang sampah sekalipun, itu pekerjaan halal. Jangan menyepelekannya.”

Tomy tersenyum masam. Sangat masam. Tapi ia tahu, ayahnya tidak akan melepaskannya begitu saja, walau rela jika ia menjadi tukang sampah atau tukang parkir sekalipun.

“Baiklah.”

***

Pendekatan demi pendekatan selalu dilakukan Tomy. Bukan hanya mendekati Monik tapi yang terpenting adalah Boy. Karena kalau Boy masih belum mau menerimanya, maka Monik pun tidak akan bisa menerima dirinya seutuhnya.

Tapi hal baik yang membuatnya terharu adalah, Setiap sore Monik selalu mengiriminya makanan, dan cemilan. Hanya sore, untuk makan malam, karena Tomy pernah mengatakan bahwa setiap pagi dan siang, pak Ratman selalu mengajaknya makan bersama.

Kalau ia tidak mengirimnya makan malam, dengan apa Tomy membeli makanan, sementara semua uang gajinya diserahkan kepada dirinya.

Hal yang sepele itu membuat Tomy merasa sangat bahagia. Diperhatikan istri, adalah sesuatu sekali. Istri yang pernah disia-siakan pula. Rasanya Tomy ingin menebusnya, bahkan dengan nyawanya. Rasanya tak sabar, kapan ia bisa bersatu kembali dengan anak istrinya.

***

Sesampai di rumah, Indi bercerita kepada ibunya tentang pertemuannya dengan Boy, yang kata kakeknya, adalah kakaknya.

“Kata mas Boy, dia pernah bertemu ibu. Benarkah?”

“Benar Nak. Dia anak yang pintar. Wajahnya sangat mirip dengan ayahmu.”

“Dia juga sangat baik pada Indi. Tapi Indi tidak suka dengan teman mas Boy. Namanya Mia.”

“Mia itu kan anak tetangganya ibu Monik, yang setiap hari main dengan Boy.”

“Kok ibu tahu?”

“Ibu Monik pernah mengatakannya, ketika itu.”

“Tapi Indi tidak suka Mia.”

“Memangnya kenapa? Dia nakal sama Indi?”

“Tidak. Dia suka dekat-dekat dengan mas Boy. Padahal mas Boy kan kakak Indi?”

“Memangnya kenapa kalau dekat-dekat? Kalian bisa bermain bersama kan?”

“Tapi Indi tidak suka.”

“Tidak boleh begitu. Sesama teman harus saling mengasihi.”

Indi cemberut. Desy mencubit bibirnya yang mengerucut.

“Indi jangan galak-galak, tahu. Kalau Indi galak, nanti nggak punya teman lhoh.”

“Aku tidak suka Mia dekat-dekat dengan mas Boy.”

“Tidak boleh begitu, kalian boleh saling berdekatan, tapi tidak boleh ada yang iri hati.”

“Siapa yang iri?”

“Kalau MIa dekat dengan mas Boy, kamu marah. Itu namanya iri hati. Lain kali tidak boleh ya?”

“Ibu, mengapa bapak tidak ada di sini, tapi juga tidak ada di rumah mas Boy?”

Desy terdiam. Dia tidak tahu, bagaimana menjawabnya.

Ketika itu sebuah mobil berhenti di halaman.

“Bukan kakek,” kata Indi yang kembali duduk sambil memangku bonekanya.

Desy keluar. Seorang laki-laki turun dari mobil. Indi menatapnya. Ia tampak bicara dengan ibunya, lalu sang ibu menunjuk-nunjuk ke arahnya.

Indi terus menatapnya, ketika keduanya masuk dan duduk di teras.

“Indiii.,” terdengar sang ibu memanggil.

Dengan ragu Indi berdiri dan mendekati ibunya.

“Indi, ayo salim dulu dengan om Raka,” kata Desy.

Indi mengulurkan tangannya, dan Raka menangkapnya dengan kedua tangan, kemudian mendahului menciumnya, sebelum Indi melakukannya.

“Cantik, nama kamu Indira, bukan?”

Indi mengangguk, lalu kembali mendekati ibunya.

“Maukah Indi ikut jalan-jalan bersama ibu juga?” ajak laki-laki yang namanya Raka.

Indi menatap ibunya. Rupanya Indi senang diajak jalan-jalan, tapi ia harus bertanya dulu, benarkah mereka akan pergi bersama-sama.

“Apa Indi suka?”

“Bersama ibu?”

“Kalau Indi suka, kita akan jalan bersama. Kalau tidak, kita duduk-duduk saja di rumah.”

“Baiklah, Indi mau.”

“Anak pintar, ayo bersiaplah.”

Desy berdiri sambil menggandeng Indi ke dalam, untuk bersiap-siap. Masih terasa berat bagi Desy untuk mengatakan, bahwa Raka telah melamarnya untuk menjadi ayah sambungnya. Barangkali memerlukan kakek Indi yang bisa lebih bijak dalam membujuknya. Bukankah pak Drajat sudah memberikan lampu hijau untuk hubungannya dengan Raka?

***

Sore hari itu Tomy mengajak Satria dan istrinya untuk mengunjungi ibu mereka di rumahnya yang baru. Sedianya Satria tidak akan mengajak Minar serta, mengingat sikap ibunya yang selalu kasar terhadap Minar. Tapi Minar memaksanya.

“Tidak apa-apa. Aku ingin memberikan kesan pada ibu bahwa aku juga menyayangi ibu seperti kalian, walaupun ibu tidak menyukai aku,” kata Minar yang perutnya sudah membesar. Maklumlah, usia kandungannya sudah menginjak delapan bulan.

Karena itulah mereka berangkat bertiga, sebagai bakti seorang anak yang mengetahui bahwa sang ibu telah tinggal di tempat lain. Pak Drajat yang telah memberikan alamat rumah baru ibunya.

Ketika mobil Satria memasuki halaman kecil itu, dilihatnya sang ibu sedang bersiap untuk pergi. Dandanannya begitu menyolok. Dihalaman ada sebuah mobil baru.

Begitu melihat kedatangan mereka. Rohana bukannya senang tapi justru menatap mereka dengan sinis.

“Dari mana kalian tahu bahwa rumahku ada di sini? Lalu untuk apa kalian datang? Dengar ya, penjualan rumah itu sudah aku belikan rumah ini, dan mobil untuk keperluan aku kalau ingin belanja dan sebagainya. Sisanya untuk persediaan makan dan kebutuhan lainnya.”

“Ibu, kedatangan kami kemari ini_”

“Jangan berharap ibu akan memberikan sepeserpun uang atas penjualan rumah itu. Ini bukan rumah warisan.”

Mereka yang mendengarnya tertegun dan juga merasa tersinggung.

***

Besok lagi ya.

63 comments:


  1. Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~50 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah

    ABeAy episode 50...sudah tayang
    Matur nuwun Mbak Tien
    Salam sehat
    Salam ADUHAI..dari Bandung

    🙏🥰🤗🩷🌹🌸

    ReplyDelete
  4. ☘️🌻🌷🌹🍅🌹🌷🌻☘️

    Alhamdulillah AaBeAy_50 sudah hadir......
    Terima kasih Bu Tien.

    Hallo Boy apa kabar, kecil sdh jadi rebutan dua cewek centil.....
    Hahahahaha

    Salam SEROJA & TETAP ADUHAI

    ☘️🌻🌷🌹🍅🌹🌷🌻☘️

    ReplyDelete
  5. 🍓🍒🍓🍒🍓🍒🍓🍒
    Alhamdulillah 🙏🦋
    AaBeAy_50 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai😍🤩
    🍓🍒🍓🍒🍓🍒🍓🍒

    ReplyDelete
  6. Dasar Rohana...pikirannya negatif terus.😰 Biar makin panjang deh ceritanya, lama bertobatnya sih...😅

    Terima kasih, ibu Tien...sehat selalu.🙏😘😘

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah. .... Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selaly.

    ReplyDelete
  8. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih ibu Salamah

      Delete
  9. Alhamdulillah *Aku Benci Ayahku*

    episode 50 tayang

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
    Salam hangat dari Jogja
    Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih jeng In
      ADUHAI 3X

      Delete

  10. Alhamdullilah
    Cerbung *Aku Benci Ayahku 50* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih pak Wedeye

      Delete
  11. Alhamdulillah 👍🌷
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah.
    Akhirnya jg
    Syukron nggih Mbak Tien , salam sehat selalu buat kita semua Aamiin🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih juga jeng Susi

      Delete
  13. Salam sehat selalu mbak Tien, matur suwun injjih

    ReplyDelete
  14. Matur nuwun jeng Tien
    Kalo capek gak usah dipaksa loo, tadi katanya habis rapat.
    Semoga selalu sehat,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin.
      Hooh mbak. Tapi aku seneng tulisanku dibaca

      Delete
  15. Matur nuwun Bu Tien, semoga tetap sehat dan selamat beristirahat..

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah "Aku Benci Ayahku-50 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien 🙏🏼🙏🏼🙏🏼
    Semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga 🤲🏽🌹❤️

    ReplyDelete
  18. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Terima kasih ibu Sri
    Aduhai2 deh

    ReplyDelete
  19. Ayo bu Rohana...kasih aja warisan rumahnya untuk anak2nya...

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya
    Semoga membawa kebahagiaan buat kita semua.
    Khusus bu tien semoga sehat² n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT

    ReplyDelete
  21. .Hamdallah...cerbung Aku Benci Ayahku part 50 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin

    Kata Kakek nya Boy, Tomy hrs kuliah dulu, nnt akan jadi pewaris tahta kerajaan bisnis nya ..itu yang jadi agenda pa Drajat.

    Rohana msh senang hura hura setelah terima uang banyak. Nnt sebentar juga habis, dan pasti akan merengek rengek kpd anak2 nya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Terima kasih pak .Munthoni

      Delete
  22. Rohana akan sadar setelah miskin...Terimakasih bunda Tien

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Salam hangat, semoga sehat dan bahagia selalu bersama keluarga 🤲

    ReplyDelete
  24. Luar biasa....
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  25. Makasih mba Tien.
    Salam bahagia luaarrr biasa

    ReplyDelete
  26. Terimakasih mba Tien.
    Di tunggu kelanjutannya

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 09

  MASIH ADAKAH MAKNA  09 (Tien Kumalasari)   Binari melotot dengan kaki gemetar. Di depannya, sang ayah memegang kotak yang telah kosong, de...