Friday, August 23, 2024

AKU BENCI AYAHKU 38

 AKU BENCI AYAHKU 38

(Tien Kumalasari)

 

Tomy terpekur di ruang tamu. Suara bening nyaring itu menusuk telinganya. Juga hatinya. Tomy mengatur pernapasannya yang terasa sesak. Bukankah baru awal. Setidaknya ini kali pertama bagi Tomy untuk berniat benar-benar mendekati anaknya, yang tampak sangat membencinya. Harus sabar, harus sabaaaar. Demikian kata hatinya.

Ketika Monik keluar sambil membawa segelas kopi, Tomy menatapnya sambil tersenyum. Senyum yang dipaksakannya sementara hatinya terasa perih. Monik menundukkan muka melihat senyum itu. Senyum yang terasa asing karena belum pernah selama bertahun-tahun  didapatkannya.

“Tidak mudah menundukkan Boy,” kata Monik sambil duduk di depan suaminya.

“Aku mengerti. Aku yang salah. Dulu tidak pernah dekat dengannya.”

Monik mengangguk, karena memang itulah kenyataannya. Boy senang ketika sang ibu mengajaknya pergi dari rumahnya, karena ia tak akan lagi melihat ibunya ditindas, atau diperlakukan dengan kasar. Sekarang, ketika berkali-kali bertemu, ia belum bisa menghilangkan rasa kesal, bahkan amarah  masih ada di dalam hatinya.

“Bagaimana dengan anak Desy?”

“Aku tidak dekat dengan anak-anakku. Apa Desy cerita banyak tentang aku? Sekarang dia juga membenci aku.”

“Tidak banyak. Tapi dia sudah dekat dengan anaknya, dan diakui sebagai wanita pintar oleh bapak. Itu bagus.”

“Aku ini laki-laki yang buruk. Walaupun masih sedarah, tapi berbeda dengan Satria. Dia laki-laki sempurna. Dia baik sejak masih muda. Dia pintar, dia penuh kasih sayang, aku tidak heran kalau Boy menyukainya,” kata Tomy, sendu.

“Bahkan kamu juga,” lanjutnya sambil terus menatap Monik.

Monik tak membantah. Ia memang selalu menyukai Satria. Tapi Satria mencintai istrinya. Sangat. Minar wanita baik yang sederhana, tapi menawan. Sekarang Monik mengerti. Ia suka bagaimana Minar menyukai Boy. Bahkan Minar meminta agar Boy memanggilnya ibu. Itu mengharukannya, membuatnya melepaskan perasaan dengki dan kebencian yang semula tertanam di hatinya. Tapi apakah dia juga bisa melepaskan perasaan suka kepada Satria? Entahlah. Sekarang suaminya ada didepannya. Menawarkan kedamaian walau tidak terucap dari mulutnya. Baiklah. Sebuah senyuman sudah cukup mengatakan bahwa Tomy sudah berubah.

“Minumlah.”

Tanpa mengomentari kata-kata Tomy, Monik mengalihkannya dengan menawarkan minuman.

Tomy meraih gelasnya, mencecap manisnya kopi buatan Monik. Baru sekali ini Tomy menikmatinya, sementara sebelum ini dia selalu mengacuhkan pelayanan sang istri.

Tomy mengakui, dia memang buruk.

“Apa kurang manis?” tanya Monik.

Dulu, Tomy selalu mencela apapun yang dihidangkan istrinya. Untuk segelas kopi, dia selalu bilang kurang manis. Ketika ditambahkan gulanya, dia bilang terlalu manis. Pokoknya tak ada yang benar apapun yang dilakukannya.

Itu sebabnya dia menanyakannya. Tapi jawabannya sungguh diluar dugaan.

“Ini pas, aku suka.”

Haaa, ini luar biasa bukan? Atau memang selalu begitu ya, terhadap orang yang tidak disukai, apapun tak ada bagus-bagusnya. Semuanya buruk. Sekarang dia mengatakan pas, dan suka. Apa artinya kebencian itu sudah tak ada?

Monik tak banyak bicara, tak tahu apa yang harus dibicarakannya, tapi ada yang mengaduk-aduk hatinya, entah itu perasaan apa.

“Ibuuuuu,” tiba-tiba terdengar Boy berteriak.

“Boy, sini nak,” jawab Monik.

“Nggak mau,” keras suara itu ketika diucapkan, seperti menghentak dada Tomy ketika mendengarnya.

Tomy menghela napas. Sabaaar, bukankah ini baru awal?

“Aku membawa mobil Satria, karena sebenarnya ingin mengajak Boy jalan-jalan, atau membeli mainan.”

“Susah melunakkan hati Boy. Ia keras seperti kakeknya,” kata Monik.

“Rupanya aku memang harus bersabar. Tapi aku akan terus berusaha. Bapak Tomy bisa menjadi sebaik bapak Satria,” kata Tomy pelan, seperti kepada dirinya sendiri.

“Ibuuuu, siniii!” Boy berteriak lagi.

“Bolehkah aku masuk dan menghampirinya?” kata Tomy.

“Masuklah.”

Tomy beranjak masuk, menemukan Boy sedang berpegangan korden pintu, dan memutar-mutarnya.

“Boy.”

Boy terkejut melihat Tomy mendekatinya.

“Pergiiii!!”

“Boy, bapak kangen sama Boy,” kata Tomy sambil berjongkok di depan Boy.

“Bohong! Bapak jahat. Pergiiii!”

Padahal ketika ada kakeknya, sang kakek berhasil membujuk Boy agar mau menyalami ayahnya, sehingga Tomy bisa memeluknya.

“Boy, maukah jalan-jalan membeli mainan?”

“Pergiiii.”

Rupanya seringnya berjumpa sang ayah, membuat Boy berpikir kalau ayahnya benar-benar akan membawanya pulang, dengan berkali-kali mendekati dan membujuknya.

“Ayuk, jalan-jalan. Bersama ibu juga.”

“Pergiii !”

“Mas, jangan dipaksa dulu, tidak bisa sekaligus melunakkan hatinya,” kata Monik.

Tomy mengangguk, kemudian berdiri. Ketika melangkah ke depan, tanpa sadar tangannya merangkul pundak Monik. Boy menatapnya heran.

***

Malam itu Boy ngambeg. Ia tak mau bicara dengan ibunya. Dari yang biasanya minta didongengkan sebelum tidur, sampai kemudian kantuk sudah menyerangnya, ia tak mengatakan apa-apa. Monik mengelus kepalanya.

“Mengapa Boy diam? Sudah mengantuk ya?”

Boy mengibaskan tangan ibunya.

“Boy marah pada ibu? Mengapa? Ibu sedih dong kalau Boy marah. Nanti ibu nangis lhoh. Boy nggak kasihan kalau ibu sampai menangis?” kata Monik dengan suara yang dibuat-buat. Lalu membuat Boy menoleh ke arah ibunya.

“Mengapa bapak kemari lagi?”

“Kan tadi ibu sudah bilang, bapak kangen sama Boy.”

“Boy nggak kangen. Boy nggak suka bapak.”

“Mengapa?”

“Bapak jahat. Jangan boleh kemari lagi.”

“Bapak sekarang sudah baik. Nggak jahat lagi kok. Boy lihat kan? Tadi bapak baik kan?”

“Apa bapak sayang sama ibu?”

“Bapak sayang sama Boy.”

”Bohong.”

“Tadi kan sebenarnya bapak mau ngajakin Boy jalan-jalan, beli mainan.”

“Nggak mau. Mainan Boy sudah banyak. Bukankah sudah dibelikan kakek?”

“Kan bisa beli yang lain, yang Boy belum punya.”

Boy terdiam. Tapi rupanya kantuk mulai menyerangnya. Ia menguap, lalu merangkul ibunya dan memejamkan mata.

Monik mengelus kepalanya lembut. Ia heran pada dirinya. Mengapa tiba-tiba dia ikutan membujuk Boy agar mau menerima kasih sayang ayahnya?

***

Malam itu Tomy masih nongkrong di rumah Satria. Mereka berbincang tentang banyak hal, sementara Minar disuruhnya tidur terlebih dulu. Satria tahu bahwa Tomy tak berhasil membujuk Boy, sehingga sejak kedatangannya, wajahnya tampak murung.

“Kamu harus sabar Tom. Menyembuhkan luka itu tidak bisa sekaligus sembuh. Ada waktu yang diperlukan untuk pulih.”

“Ya, aku tahu.”

“Sikap Monik bagaimana?”

“Biasa saja. Tapi tidak ada penolakan ketika aku datang. Dia menyuguhi aku kopi, dan berbincang sebentar.”

Tapi Tomy tidak mengatakan bahwa Monik tidak menolak ketika dirangkul pundaknya. Rupanya Tomy malu mengakuinya.

“Kamu utarakan niat kamu untuk bersatu kembali?”

“Tidak. Susah ngomongnya.”

Satria tertawa.

“Ngomong saja susah. Apa perlu aku ajarin?”

“Setelah dia pergi itu, kami kan tidak pernah komunikasi. Aku juga bersikap buruk waktu itu, jadi ya … gimana ya … mungkin karena merasa bersalah.”

“Bagaimanapun itu adalah hal terbaik untuk kalian. Apa kamu tidak ingin memiliki sebuah keluarga yang utuh? Kamu pernah memiliki keluarga, tapi kamu tidak menikmatinya seperti orang berkeluarga.”

“Karena waktu itu aku bukan manusia baik. Apakah itu cinta, apakah itu keluarga, aku tidak bisa menikmatinya. Itu sebabnya sekarang ini, setiap langkahku selalu dipenuhi rasa ragu-ragu. Rasa takut tidak bisa diterima. Sedangkan Boy saja tadi mengatakan aku bohong."

“Kamu harus terus belajar, dan bersabar. Menjalani hidup itu tidak mudah,” lanjut Satria yang dengan sabar terus memberi semangat kepada saudaranya.

***

Bu Ratman dan pak Ratman sudah duduk di ruang makan, siap menikmati sarapan pagi yang dibuat bibik. Ada gudeg sambel goreng dan telur pindang, kesukaan Kartika. Tapi Kartika sendiri belum tampak keluar.Sebentar lagi Tomy akan menjemput. Bibik selalu menyiapkan tempat untuk Tomy di depan pak Ratman. Bu Ratman bangkit dan menuju ke kamar Kartika, tapi dilihatnya Kartika masih meringkuk di kamar tidur.

“Kartika, ini sudah siang. Kenapa belum bangun?”

Kartika menggeliat.

“Tadi Kartika sudah bangun, sebelum subuh. Tapi tidur lagi.”

“Dasar kamu itu. Nggak boleh, subuhan lalu tidur lagi.”

“Kartika agak pusing Bu.”

“Kalau begitu bangun dulu, sarapan lalu minum obat. Lihat tuh, bibik masak gudeg sambal goreng sama telur pindang.”

“Mau, tapi kepalaku berat.”

“Ayolah. Sebelum minum obat kan harus makan dulu. Biar diambilkan bibik, lalu makan di kamar?”

“Malas.”

“Jangan bandel. Kalau sakit itu ya harus minum obat, lalu istirahat. Kenapa sih, beberapa hari ini kamu kelihatan lesu.”

“Lagi nggak suka makan.”

“Itu kan kesukaan kamu, makanlah walau hanya sedikit. Diambilkan bibik ya, atau ibu yang ambilkan?”

Dari luar, terdengar bibik mempersilakan Tomy masuk. Sudah biasa, setiap Tomy menjemput pak Ratman, bibik selalu dimintanya agar langsung membawa ke ruang makan. Pak Ratman yang memintanya.

“Kartika, bagaimana? Diambilkan makannya ke kamar ya?”

“Nggak Bu, biar Kartika keluar. Ibu duluan sana, Kartika mau mencuci muka dulu.”

Bu Ratman kembali ke ruang makan, dilihatnya Tomy sudah duduk di kursi makan, berbincang sekilas, lalu berhenti ketika melihat bu Ratman datang.

“Mana Kartika?” tanya pak Ratman.

“Baru ke kamar mandi. Katanya kepalanya pusing.”

“Apa mau ke dokter? Biar Tomy mengantarkannya setelah mengantar aku ke kantor.”

“Nggak tahu nanti. Beberapa hari ini kelihatan agak lesu.”

“Kecapekan membuat skripsi. Tidur sampai malam terus.”

“Iya sih. Tadi sudah ibu suruh istirahat setelah minum obat.”

“Jangan dikasih obat sembarang. Suruh makan vitamin, atau buah-buah segar yang sehat. Kecapekan itu bukan penyakit.”

“Hanya obat pusing, daripada mengeluh terus.”

“Ayo kita mulai sarapan, Tom. Nanti terlambat sampai di kantor,” ajak pak Ratman.

“Iya, silakan duluan. Kartika akan menyusul.” sambung bu Ratman.

“Tom, kata ayahmu, kamu harus melanjutkan kuliah.”

Tomy mengangkat wajahnya.

“Urus lagi saja, lanjutkan kuliahmu. Coba hari ini atau besok pagi.”

“Saya ngumpulin uang dulu, jangan merepotkan Bapak.”

“Siapa yang repot. Kalau kamu mau, banyak yang mendukung kok.”

“Iya, nanti saya pikirkan lagi.”

Sementara itu Kartika sudah keluar. Wajahnya pucat dan tampak lesu.

“Nah, sini makan dulu. Wajahmu pucat seperti itu. Ini bukan sekedar capek pak. Sakit beneran dia.”

“Hanya pusing.”

“Nanti ke rumah sakit saja, biar Tomy yang mengantar.”

“Tapi hari ini ibu tidak bisa mengantar. Sudah janji mau membantu bu Risna yang akan selamatan atas kelahiran bayinya.”

“Tidak apa-apa. Hanya pusing saja.”

“Tapi wajahmu kelihatan pucat. Kamu harus ke dokter, biar ditangani dengan baik, tidak asal minum obat saja.”

“Kamu ke dokter sendiri diantar nak Tomy bisa?” tanya bu Ratman.

“Nggak apa-apa. Sendiri juga bisa kok.”

“Jangan sendiri. Tomy, nanti tolong antar Kartika ke rumah sakit ya, antar sampai ke ruang dokternya, dan tungguin sampai selesai diperiksa,” katanya kemudian kepada Tomy.

“Ya Pak, setelah mengantar Bapak, saya akan mengantarkan mbak Kartika.”

“Bagus. Ayo sekarang makan yang banyak. Orang sakit itu harus makan banyak, supaya badannya kuat,” kata pak Ratman.

Kartika hanya tersenyum tipis. Ia makan seperti ogah-ogahan. Sang ibu terus meminta agar Kartika menghabiskan nasi di piringnya.

***

Monik sedang bersiap untuk berangkat bekerja. Tadi dia tidak memandikan Boy karena bangun kesiangan, jadi dia menyuruh Boy mandi sendiri. Ketika sarapan, dilihatnya Boy makan dengan ogah-ogahan.

“Boy, makan yang banyak,”

“Sudah kenyang."

“Tumben. Nggak enak lauknya? Maaf, ibu hanya sempat menggoreng telur.”

 “Nggak apa-apa,” katanya sambil bangkit dari kursinya.

Monik masuk kekamar. Ia belum berganti pakaian kerja. Setelah siap lalu ia mencari Boy.

Tapi tak dilihatnya Boy menunggu di depan seperti biasanya.

“Boy!”

Monik berteriak memanggil, tapi tak ada jawaban.

“Boy!” Monik memanggil lebih keras. Lalu ia menjenguk ke kamarnya. Betapa terkejutnya ketika melihat Boy tergeletak di atas pembaringan, matanya terpejam.

“Boy!!”

Monik menggoyang-goyangkan tubuhnya, lalu ia merasa bahwa tubuhnya sangat panas.

“Boy kenapa? Tadi pagi baik-baik saja. Kok tiba-tiba panas? Boy!”

Boy membuka matanya. Monik memegang kepalanya.

“Kamu kenapa?”

“Pusing.”

“Ibu akan membawa kamu ke rumah sakit.”

Monik mengangkat tubuh Boy, didudukkannya di atas kursi di teras. Lalu dia memanggil taksi. 

Karena tadi tidak memandikan Boy, jadi dia tidak tahu kalau badan Boy panas.

Begitu taksi datang, Monik segera memerintahkan driver taksi agar membawanya ke rumah sakit terdekat.

Boy terus bersandar di pundaknya, Monik memijit-mijit kepalanya.

“Apanya yang sakit?”

“Perut Boy sakit.”

“Ya sudah, nanti sampai di rumah sakit diobati, lalu sembuh.”

Tapi begitu turun dari taksi, sambil memapah Boy, ia bergegas masuk ke tempat pendaftaran pasien. Tapi tiba-tiba  Monik melihat Tomy sedang merangkul pundak seorang gadis. 

"Itu kan gadis yang waktu malam ada di rumah makan bersama mas Tomy?" kata batin Monik.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

45 comments:

  1. 🌹🌼🌹🌼🌹🌼🌹🌼
    Alhamdulillah 🙏🦋
    AaBeAy_38 sdh hadir.
    Manusang nggih, doaku
    semoga Bu Tien &
    kelg slalu sehat & bahagia
    lahir bathin. Aamiin.
    Salam seroja...😍🤩
    🌹🌼🌹🌼🌹🌼🌹🌼

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah.....
    AaBeAy Episode 38 sdh tayang.....
    Matur nuwun

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Akhirnya ...
    Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah 👍🌷
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Terimakasih bu tien

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah *Aku Benci Ayahku*

    episode 38 tayang

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
    Salam hangat dari Jogja
    Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~38 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete

  10. Alhamdullilah
    Cerbung *Aku Benci Ayahku 38* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Matur nuwun ABA
    Semoga bunda selalu sehat,doaku

    ReplyDelete
  12. Alhamdulilah, ak be ay 38 sdh tayang ... terima kasih bu Tien ..semoga bu Tien sll sehat ...salam hormat dan aduhai aduhai bun ❤️❤️ 🌹🌹

    ReplyDelete
  13. Hati Monik baru akan mau menerima Tomy kembali, ternyata melihat pemandangan yang menyakitkan. Mudah mudahan ada penjelasan yang masuk akal.
    Sulit menundukkan hati Boy. Memang Tomy harus ekstra sabar.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien "AQ BEN AY" sdh tayang
    Semoga bu tien selalu sehat² n senantiasa dlm lindungan Allah SWT

    ReplyDelete
  15. Matur nwn bu Tien, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  16. Nah monik cemburu deh,.........
    Mks bun ABA 38 nya......selamat malam

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, matursuwun BuTien 😙

    ReplyDelete
  18. Waah...Boy sakitnya kompak dengan Kartika, ketemu di RS dong...wkwk...😀

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏

    ReplyDelete
  19. Untuk bersatu itu tidak mudah. Selalu saja ada halangan...
    Terima kasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  20. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun pak Munthoni

    ReplyDelete
  21. Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu aduhai

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 09

  MASIH ADAKAH MAKNA  09 (Tien Kumalasari)   Binari melotot dengan kaki gemetar. Di depannya, sang ayah memegang kotak yang telah kosong, de...