Wednesday, August 21, 2024

AKU BENCI AYAHKU 36

 AKU BENCI AYAHKU  36

(Tien Kumalasari)

 

Rohana merasa kesal. Ia bangkit dan turun dari tempat tidur, kemudian menuju ke pintu depan di mana gedoran-gedoran masih terdengar.

“Yaaa… yaa, aku sudah dengar!” teriak Rohana, berharap gedoran segera berhenti.

Rohana membuka pintu, lalu melihat Lisa dan beberapa polisi berdiri di depannya.

Rohana terkejut. Lisa … polisi … lalu ia teringat tentang perhiasan itu. Ketahuan? Gemetar kaki Rohana ketika menatap wajah-wajah sengit diantara mereka.

“Aad … aada apa ini?” katanya gugup.

“Ada apa … ada apa … kamu lupa ya pada kelakuan kamu? Kamu membayar hutang kamu dengan perhiasan palsu! Ya kan?”

“Kamu sendiri yang meminta … buk … bukan aku.”

“Dasar penipu pintar ngomong. Pak polisi, silakan ditangkap, sesuai dengan laporan saya,” kata Lisa kemudian kepada para polisi itu.

“Tidaaak, mengapa begini Lisa? Kita adalah teman, jangan lalu main polisi-polisian lah,” kata Rohana memelas.

Lisa terkekeh geli.

“Teman? Apa kalau teman lalu diijinkan tipu menipu?”

“Kita kan bisa bicara secara kekeluargaan Lis, jangan begini.”

“Ah, sudah … capek aku mendengar kamu bicara macam-macam.Cepat Pak, tangkap dia, sudah jelas dia menipu.”

Dua orang polisi maju dan menarik Rohana, membuat Rohana berteriak-teriak.

“Ya ampuun, jangan dong Pak, tolong. Saya akan menyelesaikannya nanti. Jangan begini. Kejam kamu Lisa. Kamu tega dengan teman sendiri. Tega kamu!! Kejam!! “

“Kamu akan dilepaskan kalau sudah membayar hutang kamu, tunai!”

Rohana menjerit-jerit, tapi polisi tetap membawanya.

***

Ayah Tomy sudah berada di kediaman anaknya. Tomy menemuinya dengan sangat hormat, seperti menerima kedatangan seorang tamu.

Pak Drajat mengamati rumah itu dan segala perabot yang ada. Sangat lengkap, bahkan televisi, dan ada kulkas di ruang makan, kamar tamu, ada kamar kosong juga, semuanya bersih dan rapi. Pak Drajat senang, tapi ia tak mengulaskan senyuman atas rasa senangnya. Ia kemudian duduk, setelah Tomy menghidangkan segelas coklat susu.

“Kamu diperlakukan istimewa oleh Ratman. Itu karena dia tahu bahwa kamu adalah anakku.”

“Tomy tidak mengerti bahwa pak Ratman mengenal Bapak.”

“Sekarang kamu mengerti, tapi jangan mimpi untuk mendapatkan yang lebih. Kamu bekerja sebagai sopir, jalani saja. Kamu harus belajar untuk bisa mengerti tentang hidup dan susahnya mencari selembar rupiah.”

“Ya, Tomy tahu,” jawab Tomy sambil menunduk patuh.

Pak Drajat menyembunyikan senyumnya, walau dia senang melihat Tomy bersikap.

Dulu, Tomy selalu membantah setiap kali ayahnya bicara yang tidak sesuai dengan hatinya. Tapi kali ini Tomy tidak melakukannya. Tomy sudah berubah. Tomy sekarang adalah Tomy yang dewasa, dan mulai mengerti tentang hidup.

Pak Drajat meneguk minuman yang dihidangkan anaknya.

“Apa hubungan kamu dengan Kartika?” rupanya pak Drajat sudah tahu nama anak pak Ratman yang tadi pergi makan bersama Tomy. Tentu saja karena pak Drajat tadi kecuali menanyakan alamat rumah tinggal Tomy juga menanyakan tentang anaknya.

Tomy tak perlu bertanya mengapa ayahnya tahu nama gadis itu, sementara tadi dia tak mengatakan namanya.

“Biasa saja.”

“Biasa bagaimana maksudmu? Kamu jangan cengar-cengir seenak kamu membawa anak orang. Kamu punya anak istri bukan?”

“Memang hanya berteman biasa. Tomy sering disuruh mengantarkan Kartika. Hubungan kami baik, karena dia juga gadis yang baik.”

“Kamu suka?”

“Tomy suka, karena dia baik, sedikit kocak.”

“Maksudmu suka itu apa?”

“Ya suka. Dia membuat Tomy terhibur, dan bisa tertawa kalau berdekatan dengannya.”

“Cinta?”

“Tidak. Kartika masih seperti anak-anak. Tomy hanya suka, tapi bukan cinta.”

“Bagaimana dengan Monik?”

Tomy terdiam. Sejak dulu dia tidak mencintai Monik. Mengapa ayahnya masih menanyakannya juga?

“Monik masih istrimu. Kamu lupa?”

Tomy hanya mengangguk. Tapi dia bingung harus berkata apa. Dia juga tidak tahu apa maksud sang ayah menanyakannya.

“Kalian masih bisa bersatu.”

“Kami tidak pernah saling mencintai.”

“Mengapa tidak? Ada Boy yang pintar dan menggemaskan. Itu darah dagingmu, bukan?”

“Boy benci sama Tomy.”

“Benci itu kan sama saja dengan penyakit. Penyakit itu bisa diobati.”

“Maksud Bapak, Boy bisa mengubah rasa bencinya kepada Tomy?”

“Tergantung bagaimana kamu melakukan pendekatan. Kan aku sudah bilang, sering-seringlah datang mengunjungi mereka. Bujuk Boy, tunjukkan bahwa kamu menyayangi ibunya, juga dirinya.”

Tomy menundukkan wajahnya.

“Apa kamu lebih memilih Desy? Desy tidak mau menjadi istrimu lagi. Dia minta cerai. Tapi itu lebih baik. Kamu tidak perlu susah menentukan pilihan, karena Monik memang istri kamu.”

Tomy hanya menundukkan kepalanya. Memang benar, dulu dia sangat membenci Monik, karena dianggapnya Monik itu gadis murahan, karena mau menyerahkan diri kepada laki-laki yang belum dikenalnya. Alasan bahwa dia mengira dirinya adalah Satria, sama sekali tidak masuk akal. Kamarnya tidak sangat gelap dan dia menatapnya juga. Tapi belakangan ini, setelah bertemu beberapa kali, merasakan bagaimana Monik mengacuhkannya, perasaannya sedikit berubah. Ia bukan benci, tapi ada rasa aneh yang tidak dimengertinya.

“Kenapa diam?”

“Tomy akan memikirkannya.”

Tiba-tiba ponsel Tomy berdering. Siapa menelpon? Tak ada nama kecuali deretan nomor. Ini juga sudah malam.

“Angkat saja, siapa tahu penting, kalau orang nggak jelas, langsung blokir.”

Tomy mengangkatnya. Ia terkejut mendengar suara ibunya menangis.

“Ibu, ada apa?”

“Tomy, tolonglah aku … tolong Tomy.”

“Ada apa? Tomy harus melakukan apa?”

“Aku ada di kantor polisi,” suara Rohana mulai terdengar menangis semakin keras.

“Di kantor polisi? Apa yang ibu lakukan?”

“Gara-gara aku punya hutang limabelas juta, temanku itu melaporkannya pada polisi.”

“Hutang lagi?”

“Tomy, jangan memarahi ibumu. Tolong ibu, carikan uang limabelas juta, agar ibu bisa keluar dari sini. Ibu tak kuat menanggung hidup di kamar tahanan.”

Tomy terpaku, tak bisa menjawab apapun, karena dia memang tidak bisa melakukan apapun. Melihat sikap Tomy, dan mendengar sekilas pembicaraan Tomy, pak Drajat langsung meraih ponsel Tomy dan mematikannya.

“Ibumu di kantor polisi?”

“Ya.”

“Perkara hutang lagi? Setelah seratus juta itu, masih ada lagi, berapa tadi?”

“Limabelas juta.”

“Aku lupa bertanya. Darimana ibumu bisa mengembalikan utangnya yang seratus juta?”

“Satria menjual mobilnya.”

“Apa? Satria menjual mobilnya demi membayar hutang Rohana?”

“Iya Pak, Tomy kan tidak bisa apa-apa, karena memang tidak punya apa-apa. Tapi pada suatu hari nanti, ketika Tomy punya uang, Tomy akan mengembalikan uang Satria. Biarpun tidak semuanya, Tomy harus membayarnya, karena Satria mengatakan bahwa itu uang kami berdua.”

“Ibumu itu keterlaluan. Tapi sudahlah, aku tak ingin membicarakannya. Sekarang bapak mau kembali ke hotel, karena besok bapak harus pulang.”

“Pak.”

Pak Drajat yang sudah berdiri, urung melangkahkan kakinya.

“Maukah Bapak menolong ibu?”

“Apa? Menolong ibumu? Tidak. Biarlah dia merasakan akibat dari perbuatannya, jangan memikirkannya lagi.”

Pak Drajat benar-benar melangkah pergi, menghampiri mobilnya dan berlalu. Hatinya yang sekeras baja, tak mudah dibujuk. Jangankan kepada Rohana yang hanya bekas istri. Kepada anak kandungnyapun, pak Drajat tega melakukan hal yang membuat anaknya sakit, dan hidup menderita.

Tomy duduk di sofa dengan perasaan tak menentu. Bagaimanapun Rohana adalah ibunya, sakit dan susahnya, tetap saja Tomy ikut merasakannya.

Ia meraih ponselnya. Ia harus menelpon Satria. Tapi ini sudah lewat tengah malam. Tomy urung memutar nomornya.

“Besok pagi saja,” desisnya kemudian pergi ke kamarnya.

***

Pagi hari itu Minar sedang melayani suaminya sarapan. Rasa ngidam yang membuatnya sedikit rewel sudah banyak berkurang. Ia sudah bisa masak, dan melayani sang suami seperti biasa. Walau Satria melarangnya, kalau siang Minar belanja di tukang sayur yang lewat, lalu memasak untuk suami tercinta.

“Kamu ini bandel ya, dilarang banyak melakukan pekerjaan rumah, tapi nekat saja.”

“Aku sudah tidak apa-apa. Masa harus tiduran terus. Capek dong. Pokoknya Mas jangan khawatir, aku bisa menjaga diriku dan juga anak kita ini.”

Satria mengelus perut sang istri yang sudah mulai membuncit.

“Baiklah, tapi ingat ya, kalau merasa lelah, jangan dipaksakan untuk melakukan apa-apa. Kita hanya berdua, soal makan bisa dibeli di luar.”

“Iya … iya, aku tahu.”

Tiba-tiba ponsel Satria berdering.

“Tomy? Iya, nanti aku nyamperin kamu dulu.”

“Bukan itu, aku hanya ingin memberi tahu, ibu ada di kantor polisi.”

“Apa? Ibu di kantor polisi?”

“Perkara hutang piutang. Ibu berhutang pada temannya, limabelas juta. Entah bagaimana caranya, kemudian temannya itu melaporkannya kepada polisi. Aku belum menjenguknya sejak semalam.”

“Ya Tuhan ….”

“Aku tidak punya uang sebanyak itu Mas. Apa kita akan membiarkan ibu ditahan polisi?”

“Nanti, aku selesaikan dulu sarapan, setelah itu nyamperin kamu. Nanti kita bicara lagi,” Satria menutup pembicaraan itu, lalu termenung, sementara dipiringnya masih tersisa nasi yang belum sempat dihabiskannya.

“Mas, ibu di kantor polisi?” tanya Minar yang mendengar sekilas pembicaraan itu.

“Iya. Ceritanya belum jelas, tapi kata Tomy, gara-gara ibu punya hutang lagi sebanyak limabelas juta.”

“Ya Tuhan, untuk apa sebenarnya uang sebanyak itu? Sampai berhutang di mana-mana,” kata Minar prihatin.

“Padahal uangku sudah menipis.”

“Ya sudah, mas habiskan sarapan Mas dulu, jangan sampai berita buruk membuat selera makan Mas hilang.”

Membiarkan suaminya melanjutkan makan, kemudian Minar beranjak ke kamar. Ketika keluar, ia membawa segepok uang, yang diletakkannya di samping sang suami.

“Ini … apa?”

“Ini uang limabelas juta, bayarkan kepada orang yang menghutangkan uangnya pada ibu.”

“Apa maksudmu Minar? Mengapa kamu memberikan uang kamu?”

“Mas, kan aku sudah bilang bahwa ketika kita menikah, ibu Kirani memberi aku sejumlah uang. Sebagian aku berikan ini, untuk membayar hutang ibu.”

Satria memeluk istrinya dengan terharu. Ibunya bersikap buruk dan selalu merendahkan Minar, tapi Minar dengan suka rela berusaha menolong ibu mertuanya itu.

“Minar, apa hatimu terbuat dari mutiara?”

Minar tertawa.

“Masa sih Mas, ada orang yang hatinya terbuat dari mutiara? Pasti mudah dong, kalau kebetulan tidak punya uang, bisa  menjual hatinya, sebutir demi sebutir.”

“Jangan bercanda. Kamu sungguh mulia. Ibuku selalu merendahkan kamu, padahal kamu begitu tinggi, mulia, luhur.”

“Stop, selesaikan sarapannya, lalu aku panggilkan taksi, kemudian Mas selesaikan hutang ibu.”

“Minar …”

Satria masih terus memeluk istrinya erat, dengan berurai air mata.

“Nanti mas terlambat lhoh,” Minar melepaskan pelukan suaminya dengan lembut, lalu mengusap air mata yang membasah di pipinya. 

***

Tomy pun terharu ketika bertemu Satria yang telah membawa uang pembayar hutang ibunya, dan uang itu adalah pemberian Minar, kakak iparnya.

Keduanya pergi ke kantor polisi, dan menanyakan tentang sang ibu. Satria dan Tomy sangat terkejut, mendengar ibunya melakukan pembayaran hutang dengan perhiasan yang ternyata imitasi.

Lisa segera datang ketika polisi memanggilnya, karena ada anak Rohana yang akan membayar hutangnya.

“Yang mana anak Rohana?”

“Mereka ini, Bu.” kata petugas,

Satria dan Tomy berdiri, menyalami Lisa dengan hormat.

“Hm, Rohana punya anak-anak yang begini gagah dan tampan, tapi kelakuannya sangat tidak terpuji.”

“Saya minta maaf untuk ibu saya, Bu.”

“Sebenarnya saya sudah sabar menunggu dan menunggu, karena dia selalu mundur dari janji yang sudah kami sepakati. Tapi ketika saya mengusulkan agar dia membayar pakai perhiasan yang dia miliki, karena saya lihat dia itu kalau keluar selalu gebyar-gebyar dengan perhiasan yang dia pakai, ee, dia membayarnya dengan gelang dan kalung imitasi. Siapa yang tidak kesal, coba,” kata Lisa berapi-api.

Satria dan Tomy hanya menunduk malu.

“Sekali lagi saya minta maaf. Dan sekarang ini, saya sudah membawa uang sebanyak limabelas juta, untuk membayar hutang ibu saya kepada Ibu,” kata Satria sambil memberikan sebungkus uang, dihadapan polisi yang dari tadi menyaksikan pertemuan mereka.

“Baiklah, saya hitung ya,” kata Lisa sambil tersenyum lega. Kemarahannya sirna ketika uangnya telah kembali.

Lisa menghitung uangnya, lalu menyimpannya lagi ke dalam tasnya.

Urusan di kantor polisi sudah selesai, Tomy dan Satria segera mohon diri, karena harus segera kembali ke kantor. Mereka menolak ketika Lisa memintanya menunggu ibunya keluar.

“Maaf Bu. Saya sudah merasa lega karena urusannya sudah selesai. Kami sudah terlambat masuk kerja. Sekali lagi maaf.”

***

Sore hari itu setelah selesai bekerja, Satria sedang menunggu taksi yang dipanggilnya. Tiba-tiba Minar menelponnya.

“Mas, apakah Mas membeli mobil?”

“Mobil apa?”

***

Besok lagi ya.

 

76 comments:

  1. Replies
    1. Lhoh......kok kancrit maneh?
      Sepatu rodanya ketinggalan ya Yangtie???

      Delete
    2. Maaf pak kakek, memang sinyal ga ada alias lemot mot mot..... hehehe

      Delete
  2. 🌸💞🌸💞🌸💞🌸💞
    Alhamdulillah 🙏🦋
    AaBeAy_36 sdh hadir.
    Manusang nggih, doaku
    semoga Bu Tien &
    kelg slalu sehat & bahagia
    lahir bathin. Aamiin.
    Salam seroja...😍🤩
    🌸💞🌸💞🌸💞🌸💞

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya sampai blm mengucapkan terimakasih.....
      Matur nuwun Bu Tien, AaBeAy_36 sdh hadir di HP masing2 pembaca.
      Salam sehat Dhe, tetap ADUHAI fan menghibur kami semua, penyemangat Bunda 🥰🥰👍

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari

      Delete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Ya Alloh ..tetep kalah balap dg Kakek Habi ...☺️
    Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  5. Horreeee
    Yangtie kancrit lagi.....
    Gak mau nelpon aku sih ..
    Utawa japri ke 0851 0177 6038....

    ReplyDelete
  6. Terima kasoh bunda Tien semoga sehat walafiat
    Salam aduhai haihai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah
      Aduhai hai hai

      Delete
  7. .Hamdallah...cerbung Aku Benci Ayahku part 36 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin.

    Rohana kena batu nya di laporkan Polisi oleh Lisa, krn utang ngemplang.😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  8. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  9. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~36 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  11. Alhamdulillah *Aku Benci Ayahku*

    episode 36 tayang

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
    Salam hangat dari Jogja
    Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng In
      ADUHAI 3X

      Delete
  12. Alhamdulillah 👍🌷
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  13. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  14. Terimakasih bunda bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  15. Ayo Tomy. Mosok cepet men insyaf.
    Sekali2 dong minum2. Kelingan dek jaman semana. Rohana gak usah insyaf dulu...

    ReplyDelete

  16. Alhamdullilah
    Cerbung *Aku Benci Ayahku 36* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  17. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien "AQ BENCI AYAHKU" sdh tayang dgn lancar
    Semoga bu tien sehat² selalu

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia selalu dari Yogya....

    ReplyDelete
  19. Matursuwun mbk Tien, sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Kirana

      Delete
  20. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
    Selalu sehat dan bahagia bersama keluarga. Aamiin.

    ReplyDelete
  21. Bahkan Minar ikut mengentaskan Rohana dari kubangan lumpur hutang. Masihkah Rohana akan merendahkan Minar lagi...
    Wah... tampaknya Satria akan mendapat balasan atas kebaikannya. Tapi apa benar dugaanku.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  22. Waduh minar -minar, hati kamu ko mulia bgt si, sdh dicaci maki, sdh dijorogin sampai beberapa hari di RS masih saja peduli sama rohana yg berhati iblis, smg selalu bahagia ya minar
    Mks bun ...selamat malam, selalu sehat n bahagia yaaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sipriyati

      Delete
  23. Alhamdulillah, mtr nwn bu Tien, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  24. Pak Drajat membelikan Satria mobil baru...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Ternyata Bu Lisa menagih hutang
    Betapa mulianya Minar, langsung dibayar cash hutang ibu mertua nya yg selalu menghina org miskin, tp lebih berbudi pekerti luhur

    Oh pak Drajat membelikan mobil u Satria, luar biasa, Bu Tien 🤗🥰
    Makin aduhaiii,

    ReplyDelete
  26. Mantab....Satria dapat hadiah Mobil baru, mobil lama nya di lego, skrng dapat kiriman mobil baru. Darimana kah mobil baru tsb, bisa jadi dari pa Drajat, krn pa Drajat dapat info dari Tomy perihal utang Rohana sebesar 100 juta tsb Satria lah yng ngeberesin utang nya. Dasar rejeki anak Sholeh ya Sat...😁😁

    ReplyDelete
  27. Terima kasih bu Tien ... ABEA 36 sudah tayang ... Minar dan Satria mendapat balasan atas kebaikan mereka ...
    Semoga bu Tien & kelrg sll happy n sehat wal'afiat ... Salam Aduhai .

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien. Salam hangat...sem9gasehat selalu. Aamiin💖

    ReplyDelete
  29. Mobil dari pak Drajat ya?
    Makasih mba Tien

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 09

  MASIH ADAKAH MAKNA  09 (Tien Kumalasari)   Binari melotot dengan kaki gemetar. Di depannya, sang ayah memegang kotak yang telah kosong, de...