Monday, July 1, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 38

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  38

(Tien Kumalasari)

 

Murtono terpana. Rohana menuntut balasan dari uang bantuan yang dipergunakan untuk menyelamatkan usahanya? Dan itu dengan mengorbankan anak laki-laki satu-satunya? Padahal anak laki-laki itu juga anak kandungnya, bukan?

“Mas, kok diam? Aku serius. Satria ada di sini bukan?”

“Tidak ada.”

“Dia tidak ada di rumahnya, aku yakin dia datang kemari. Tolong bicara dengannya.”

“Apa kamu lupa bahwa Satria juga anak kandungmu?”

“Satria dan Tomy adalah anak kandungku.  Satria bukan berkorban untuk orang lain, tapi untuk adiknya. Apa itu salah?”

“Mengapa kamu memilih mengorbankan Satria dan tidak memaksa anakmu yang bernama Tomy itu untuk bertanggung jawab?”

“Ada banyak pertimbangan Mas, mengapa aku meminta Satria melakukannya.”

“Pertimbangan apa, karena kamu lebih menyayangi anak suami kamu yang lebih ganteng dari aku, dan lebih kaya dari aku?”

“Bukan begitu. Mas harus mengerti kalau hidupku ini bertopang pada dia. Tanpa dia, aku tidak punya apa-apa, termasuk tidak bisa menolong Mas dari keterpurukan juga. Ingat Mas, uang yang aku pinjamkan pada Mas adalah uang pemberian dari dia juga.”

“Lalu apa hubungannya dengan kelakuan anakmu yang tidak bisa bertanggung jawab itu? Mengapa anakku yang jadi korban?”

“Bukan korban Mas, apa salahnya sih menolong adik sendiri? Sedangkan aku yang sudah menjadi orang lain bagi Mas,  juga sanggup dan bersedia menolong Mas?”

"Ini jauh berbeda. Menolong dengan uang, berbeda dengan menolong dengan mengorbankan kehidupan seseorang.”

"Hubungannya adalah, kalau ayah Tomy kecewa dan menganggap aku tidak bisa mendidik Tomy, maka dia tidak akan mau lagi memberi nafkah padaku seperti yang sudah-sudah.”

“Jadi kamu mengorbankan Satria demi hidup bermewah-mewah?”

“Mas kok bicara begitu terus sih. Satria bukan berkorban, tapi menolong adiknya. Lagi pula Monik gadis yang cantik dan anak orang berada. Apa ruginya Satria memperistri dia? Daripada dia menikah dengan gadis miskin bernama Minar itu, bukankah lebih baik menikah dengan Monik, walaupun dia sudah hamil. Hamilnya juga bukan karena orang lain kok.”

“Tidak, aku tidak setuju.”

“Maksud Mas, Mas tidak mau membantu? Bukankah aku hanya minta pertolongan Mas karena aku juga pernah menolong. Ya kan?”

“Kamu tega mengorbankan anakku,” sengit Murtono.

“Satria juga anakku, apa Mas lupa?”

“Kalau begitu mengapa kamu tega mengorbankan dia?”

“Lagi-lagi bicara tentang korban. Satria hanya aku minta untuk menolong adiknya. Bukan dikorbankan. Kalau yang namanya korban itu kan kalau memberikan kesengsaraan, Sedangkan ini kan tidak?”

“Menikah dengan orang yang tidak disukai itu apa bukan sengsara namanya?”

“Susah ya, omong sama Mas? Apa Mas lebih suka kalau Satria menikahi gadis kampungan itu?”

“Rohana, entah bagaimana anggapan kamu, tapi aku tidak sanggup memaksa Satria. Kalau Satria menolak, aku juga tidak bisa memaksa, karena ini menyangkut kehidupannya.”

“Jadi Mas melupakan kebaikanku, dan benar-benar tidak mau membantu?”

“Rohana, ini masalah yang rumit. Segalanya tergantung Satria, nantinya.”

Murtono menutup ponselnya dengan perasaan kesal. Ia mencoba menelpon Satria, tapi tidak diangkat.

***

Satria sedang ada di toko bunga SEKAR. Ia memilih-milih bunga, yang entah akan dipergunakan untuk apa. Dari meja kasir, Minar menatapnya sambil tersenyum. Satria memilih segenggam bunga, dan meminta pegawai toko untuk membantu mengemasnya menjadi rangkaian bunga yang indah.

Satria menuju ke arah kasir.

“Bunga untuk siapa Mas?” tanya Minar sambil menerima uang pembayaran bunga yang sudah dibelinya.

“Untuk seseorang.”

“Pacar ya?”

“Lebih dari pacar. Dia akan aku jadikan calon istriku.”

“Oo,” kata Minar sambil memonyongkan bibirnya, sambil mengulurkan kembalian dari sisa uang yang sudah dibayarkan. Ada rasa nyeri ketika mendengarnya, walau hanya sedikit. Siapa ya gadis itu?

“Silakan duduk menunggu bunganya selesai dikemas,” kata Minar mempersilahan Satria untuk duduk di depannya.

“Terima kasih,” kata Satria yang terus menerus menatap Minar dengan tatapan yang membuat Minar berdebar.

“Kapan Mas datang?”

“Belum lama. Dari bandara aku langsung ke rumah Wini, sambil menunggu toko ini buka.”

“O, Mas sudah ketemu Wini?”

“Sudah. Sambil menunggu jam sembilan. Bukankah toko ini buka jam sembilan?”

“Iya, benar. Sudah beberapa hari juga aku tidak ketemu Wini. Kalau tidak salah dia sudah akan mengerjakan skripsi, atau mungkin malah sudah memulainya.”

“Iya. Tampaknya begitu. Apa kamu ingin kuliah?”

“Ingin sih, aku sudah tertinggal jauh. Tapi keadaan belum memungkinkan. Kalau bisa aku akan menabung dulu.”

Pegawai toko selesai mengemas bunganya, yang ditata dengan sangat apik.

“Ini Mas, apakah ada yang kurang berkenan?”

“Ini bagus, terima kasih banyak,” kata Satria sambil menerima bunganya, sedangkan karyawan toko segera berlalu.

“Indah sekali. Pasti pacar Mas akan senang.”

“Bukan pacar, kok dibilang pacar lagi sih?”

“Oh, iya, calon istri Mas akan senang.”

“Baiklah, akan aku lihat benarkah dia akan suka menerimanya.”

Lalu tiba-tiba Satria mengulurkan bunga itu ke hadapan Minar.

“Ini untuk kamu,” katanya dengan suara yang sangat menyentuh. Minar benar-benar gemetar. Ia tak langsung menerimanya.

“Bukankah Mas bilang bahwa bunga ini untuk calon istri?”

“Ya, tentu saja. Ini sudah aku lakukan,” kata Satria sambil tersenyum penuh arti.

“Mas … ini …”

“Apa kamu tidak mau menerimanya? Berarti dugaan kamu salah, calon istri aku tidak suka menerimanya.”

“Mas, jangan begini.”

“Terimalah bungaku, sebagai tanda cinta yang tulus untuk kamu.”

“Mas ….”

“Minar, terimalah,” kata Satria penuh harap. Sementara itu para karyawan toko menatap ulah kedua muda mudi itu, lalu tiba-tiba mereka bertepuk tangan serempak, membuat Minar terkejut. Karena bingung dan sungkan menjadi bahan tontonan, Minar menerimanya.

“Senyum dong, berarti nggak suka kalau nggak senyum?”

Minar melirik ke arah teman-temannya, yang masih bertepuk tangan sambil beteriak, menirukan ucapan Satria.

“Senyum …. senyum … senyum …”

Wajah Minar memerah. Bukankah ini adalah sebuah kebahagiaan? Seorang laki-laki ganteng menyatakan cintanya dengan seikat bunga.

Lalu tepuk tangan itu mereda, meninggalkan kasak kusuk mereka yang sangat mengagumi pasangan yang sedang berpandangan di sudut ruangan, di depan meja kasir.

“Nggak nyangka, mbak Minar sudah punya pacar.”

“Ganteng pula.”

“Tapi serasi lhoh. Mbak Minar kan juga cantik?”

Wajah Minar memerah. Ini adalah kebahagiaan semu. Bagaimana mungkin dia bisa menikah dengan seorang laki-laki yang kaya raya seperti Satria? Apalagi ibunya akan menikah dengan ayah Satria. Sungguh rumit.

“Mas, bukankah aku sudah pernah mengatakan bahwa kita seperti bumi dan langit? Aku hanyalah rumput kering di padang ilalang, sedangkan mas adalah bintang yang bersinar di langit terang,” kata Minar pelan, tak ingin teman-temannya mendengar ucapannya. Padahal mereka sudah menjauh, berkasak kusuk di kejauhan, agar tak mengganggu keduanya yang berbicara dengan berbisik-bisik.

“Minar, bukankah aku juga pernah mengatakan bahwa aku akan memetik bintang itu untukmu?”

“Tapi Mas …”

“Apakah kamu tidak mencintai aku?”

“Cinta harus bisa diletakkan di tempat yang semestinya. Aku meletakkannya di dasar lubuk hatiku, biarlah dia tersimpan di sana selamanya.”

“Minar, apapun yang terjadi, aku akan tetap mencintai kamu, dan menganggapmu sebagai calon istriku, seperti ucapanku, bahkan ketika baru satu dua kali bertemu.”

Pembicaraan mereka berhenti karena seorang pembeli akan membayar belanjaannya.

“Aku akan menjemput kamu saat kamu pulang nanti.”

“Mas tidak kembali hari ini?”

“Bukankah aku baru datang? Aku kembali besok sore,” kata Satria sambil berdiri kemudian meninggalkan Minar yang langsung menyibukkan diri dengan pelanggannya.

***

Satria pulang ke rumah ayahnya setelah menemui Minar. Dilihatnya sang ayah sedang duduk di ruang tengah dengan wajah murung.

“Kapan kamu datang?” sapa sang ayah begitu melihatnya.

“Sudah tadi pagi.”

“Kenapa tidak menemui bapak terlebih dulu, aku tidak tahu kamu ada di mana ketika ibumu menanyakannya."

“Menemui teman.”

“Atau gadis yang kata ibumu adalah calon istri kamu?”

Satria tersenyum, sambil duduk di depan sang ayah.

“Siapa sebenarnya gadis itu? Ibumu bilang, dia bukan pasangan yang pantas untuk kamu.”

“Dia hanya gadis yang terlahir dari keluarga sederhana. Aku tidak heran ibu tidak menyukainya. Bapak pernah melihatnya ketika di Jakarta, bukan?”

“Kamu mencintainya dengan sepenuh hati?”

“Satria tidak memiliki hati yang samar-samar. Jadi apa yang Satria ungkapkan adalah benar-benar keluar dari hati, sepenuhnya. Bapak sependapat dengan ibu? Satria harus memilih gadis yang sepadan? Yang kaya, yang memiliki derajat tinggi?”

“Bukan begitu menurut bapak.”

“Lalu …. O, tadi ibu mengatakan sesuatu?”

“Tentang Tomy.”

“Bukankah itu aneh? Tomy masih hidup, dia ada, dan dia yang melakukannya, mengapa harus Satria yang menanggung bebannya?”

“Benar. Tapi aku melihat ada sesuatu yang dipikirkan ibumu. Sejak awal ibumu ingin memisahkan kamu dan gadis itu, dengan menjodohkan kamu dengan Monik. Lalu Tomy merusaknya, tapi ibumu tetap ingin agar gadis itu tetap menjadi istrimu.”

“Karena Minarni?”

“Ya, nama gadis itu Minarni?”

“Dia istimewa untuk Satria. Entah mengapa, Satria jatuh cinta pada pandangan pertama. Apakah Bapak keberatan?”

“Ibumu minta tolong bapak, untuk  membujukmu agar_”

“Satria tidak mau,” tandas Satria.

Murtono menghela napas berat. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa, matanya menatap langit-langit ruangan. Ia teringat ketika Rohana meminjaminya uang, lalu ia meminta imbalan agar dirinya membujuk Satria supaya mau menuruti kemauan ibunya. Tapi bukankah Rohana sudah minta imbalan, yaitu ia harus membatalkan pernikahannya dengan Birah?

“Bapak juga menginginkan itu?”

“Tidak. Tentu saja tidak. Kamu adalah anakku.”

“Terima kasih, Bapak berpihak pada Satria.”

“Bapak ingin bertemu gadis itu.”

“Gadis yang mana?”

“Yang bernama Minarni itu.”

“Benarkah? Nanti akan Satria ajak dia datang kemari untuk ketemu Bapak, agar Bapak yakin bahwa Satria tidak salah pilih.

***

Sore hari itu Satria menjemput Minar. Satria meminjam mobil ayahnya, dengan janji akan mengajak Minar menemuinya. Tapi lebih dulu dia mengantar Minar pulang, untuk meminta ijin kepada ayah Minar.

Sementara Minar mandi, Sutar yang sudah lebih dulu pulang ke rumah, menemui Satria di teras.

“Saya minta maaf, dan mohon ijin untuk mengajak Minar jalan-jalan,” kata Satria sebelum Sutar menanyakannya.

“Tidak apa-apa. Saya hanya mengingatkan, bahwa sebuah hubungan pertemanan harus ada batasan-batasan yang tidak boleh dilompati. Apa nak Satria mengerti?”

“Saya sangat mengerti. Saya akan menjaga Minar, seperti saya menjaga permata yang sangat berharga. Karena saya mencintainya.”

Sutar tertegun mendengar apa yang dikatakan Satria yang begitu berterus terang mengutarakan isi hatinya. Sedangkan Satria sendiri terkejut ketika ucapan itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

“Nak Satria mencintai Minar?”

“Saya sangat mencintainya.”

“Maaf Nak, bukannya saya menolak atau menerima. Semua yang kita lakukan harus kita lakukan dengan pertimbangan. Pastinya nak Satria sudah tahu siapa Minar dan bagaimana keluarganya. Jangan terburu-buru mengatakan sesuatu yang belum tentu nanti bisa ditepati.”

“Saya sudah memikirkannya. Saya tidak peduli bagaimana keadaan Minar dan keluarganya.”

“Saya mohon nak Satria memikirkan lagi. Agar tidak ada sesal di kemudian hari. Karena saya tidak ingin anak saya dipermainkan.”

Ketika itu Minar sudah keluar dan berpakaian rapi.

“Pak, saya akan pergi dengan mas Satria,” kata Minar.

“Baiklah. Nak Satria, lain kali kita bicara lagi.”

“Baik, Pak.”

Ketika keduanya berlalu, Sutar termenung sendirian. Bukankah Birah berhubungan dengan ayah Satria, bahkan keduanya akan menikah? Minar pernah mengatakan itu, bahwa Birah sendiri yang datang ke rumah. Walaupun Satria menerima Minar dengan segala kekurangannya, tapi Sutar ingin menghalanginya.

***

Minar terkejut ketika Satria berhenti di halaman rumah Satria. Tadi dia tidak mengatakannya. Karenanya Minar ragu, ketika Satria memintanya turun.

“Mengapa kemari Mas?”

“Ayahku ingin bertemu kamu,” kata Satria yang kemudian membantu Minar turun dari mobil.

“Mas, mengapa kemari?”

“Bapak ingin bertemu kamu, ayolah. Ayahku baik, tidak akan melukai kamu.”

Tak berdaya Minar mengikutinya masuk ke rumah. Ia melihat laki-laki setengah tua itu duduk di ruang tengah, lalu mengulaskan senyuman ramah ketika dia mengikuti Satria masuk.

“Ini yang namanya Minarni?”

Minar mengangguk pelan.

“Silakan duduk, mengapa kamu kelihatan takut-takut? Kamu kan sudah tahu, aku ini Murtono, ayah Satria. Satria sudah mengatakan hubungannya dengan kamu.”

Satria mengajaknya duduk.

“Kami hanya bersahabat,” kata Minar pelan, membuat Satria menatapnya sambil tersenyum.

“Minar masih ragu-ragu menerima cinta Satria, Pak," sela Satria.

Murtono tertawa pelan.

“Mengapa ragu-ragu? Apakah anakku kurang tampan?”

“Maaf, apakah Bapak tahu bahwa saya adalah anaknya ibu Birah?”

Murtono membelalakkan matanya.

***

Besok lagi ya.

60 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang

    ReplyDelete
  2. Matur sembah nuwun..mbak Tien
    Sehat selalu

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu.🙏

    ReplyDelete
  4. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah..
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  6. Nuwun bu Tien..Semoga sehat selalu..aamiin

    ReplyDelete
  7. Horreeee pak Latief Sragentina number one
    Jeng Nuning nomor loro.....

    🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫

    Matur nuwun bu Tien, KaeSBe episode_38 sudah tayang.
    Salam sehat dan tetap ADUHAI...
    👍👍🌹

    Satria telah menyatakan cintanya pada Minar dengan setangkai bunga
    🌺🌻🌹🌷🌺🌻
    🌹🌷🌺🌻🌹🌷

    🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫🌟💫

    ReplyDelete
    Replies
    1. 𝙈𝙚𝙟𝙖 𝙠𝙖𝙨𝙞𝙧 𝙎𝙀𝙆𝘼𝙍 𝙙𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙜𝙚𝙣𝙖𝙥 𝙠𝙖𝙧𝙮𝙖𝙬𝙖𝙩𝙞 𝙩𝙤𝙠𝙤 𝙗𝙪𝙣𝙜𝙖 𝙎𝙀𝙆𝘼𝙍, 𝙢𝙚𝙣𝙟𝙖𝙙𝙞 𝙨𝙖𝙠𝙨𝙞𝙣𝙮𝙖 🥰🥰🥰

      Delete
  8. Alhamdulillah .... trimakasih bu Tien

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah *KaeSBe*
    episode 38 tayang

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
    Salam hangat dari Jogja
    Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Sami2 jeng In
      ADUHAI 3X

      Delete
  10. Haahhh... Minar langsung bicara tentang ibunya.. makin rumit bunda... Tapi bunda punya cerita ... Di tunggu aja kelanjutannya. Salam sehat

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~38 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲..

    ReplyDelete
  12. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai

    ReplyDelete
  13. Satria dapat melucu juga, beli bunga ditempat Minar lalu diberikan kepada Minar. Cuma berubah sifatnya menjadi bunga Tanda Cinta.
    Menolong dengan pamrih,, itulah Rohana. Sebaiknya kalau sudah ada uang segera saja uang dikembalikan.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  14. Hamdallah...cerbung Ku Petik Setangkai Bintang 38 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Keluarga di Sala. Aamiin

    Murtono pernah bilang mencintai Birah, krn Birah adalah cinta pertama nya, tapi juga sangat menyayangi Satria, krn dia adalah anak kandung nya sendiri. Apa ya reaksi Murtono, setelah tahu bahwa Minar adalah putri nya Birah..kelihatannya..rumit ya..cerita nya ..eh tapi enggak ah..kagak rumit..asalkan Murtono mau berkurban demi kebahagiaan anak nya...😁😁

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah " Kupetik Setangkai Bintang - 38 " sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  16. Waduh,hati Murtono jungkir balik dong atas keterus terangan Minar,....ya ampun Minar_Minar jujur bgt si kamu, tpi bener kok biar gak bertele tele

    Mks bun KSB38, semakin rumit nih kaya benang kusut, yaaah tunggu saja besok bgmn bunda Tien melepaskan benang itu....selamat mlm bun



    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah. Semoga Bu Tien tetep sehat dan semangat bersama suamancu 🌷💖

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun Bu Tien, ceritanya semakin rumit dan menarik. Tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat selalu 🤗🥰🌿💖

    Gelegar...,⚡bagai petir disiang bolong
    Kira2 diterima apa ditolak ya....
    Saya maunya diterima , Krn alasan buat Murtono tdk menikah dg Birah😀🤭 aduhaiii

    ReplyDelete
  20. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Sami2 ibu Ika

    ReplyDelete
  21. Minar itu luar biasa...
    Tapi Mbak Tien lebih luar biasa lagi...

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun Bu Tien, sehat2 selalu ya Bu 🙏🌹❤

    ReplyDelete
  23. Terimakasih Bunda Tien , ditunggu episode
    berikutnya

    ReplyDelete
  24. Terima ksih bundaqu..slm sehat sll 🙏🥰🌹

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 08

  MASIH ADAKAH MAKNA  08 (Tien Kumalasari)   Tegar heran melihat Boy mendahului masuk. Setelah mengunci mobil ia bergegas mengikuti. Tomy ya...