Saturday, May 18, 2024

KUPETIK SETANGKAI BINTANG 01

 KUPETIK SETANGKAI BINTANG  01.

(Tien Kumalasari)

 

Minar melanjutkan memetik sayur di kebun. Hari ini panen kacang panjang, sangat menyenangkan. Ada sebakul yang didapatnya. Senyumnya merekah ketika dia masuk ke dalam rumah, mendapatkan ayahnya sedang minum secangkir kopi pahit, sedangkan ibunya berkutat di dapur untuk merebus singkong. Wajahnya masam, selalu mengeluh capek.

“Bu, saya baru memetik kacang panjang, nih lumayan banyak. Ibu pakai buat sayur saja?” kata Minar sambil meletakkan bakul berisi kacang panjang.

“Kacang sebegitu banyak, untuk sayur? Memangnya yang makan berapa orang?”

“Tapi ini kan nggak didapat dari beli di warung Bu, hanya dipetik di kebun.”

“Bisa saja kamu ngomong. Kalau memang kamu merasa sayang ada barang begitu banyak, bawa saja ke pasar.  Malah dapat uang, terus bisa buat beli beras,” sungut sang ibu.

“Dijual ke pasar?”

“Iya, memangnya kenapa? Kamu sadar dong Min, kamu itu anak orang tak punya. Bapakmu sudah tidak bekerja, gantian kamu yang cari uang. Jualan sayur di pasar, memangnya aneh?”

“Iya Bu, memang tidak aneh. Saya bawa ke pasar saja sekarang, biar nggak kesiangan.”

“Ya sudah, sana. Atau kamu cari pekerjaan kan bisa? Bapakmu hanya bekas satpam di sebuah perusahaan kecil, menyekolahkan kamu sampai SMA itu sudah luar biasa. Kalau nggak bisa cari pekerjaan, ya cari suami saja. Cari yang kaya, supaya bisa membantu kehidupan orang tua kamu.”

Minar yang sudah melangkah keluar sambil menjinjing bakul, menoleh ketika mendengar perkataan ibunya yang terakhir. Mencari suami? Yang kaya? Mana pantas perempuan mencari suami. Yang pantas adalah laki-laki mencari istri.

Bu Birah, sang ibu, tak peduli pada sikap Minar. Ia melanjutkan mengukus singkong  untuk makan pagi.

Ketika ia menyajikan singkong yang sudah matang di hadapan suaminya, sang suami menegurnya.

“Ada apa tadi, pagi-pagi sudah rame?”

“Itu, Minar memetik kacang panjang sebakul penuh. Aku disuruhnya memasak. Apa waras, dia itu? Masak kacang sebakul, hanya untuk bertiga?”

“Lalu dibawa ke mana tadi tuh?”

“Saya suruh jual ke pasar. Bukankah dulu saya juga sering melakukannya? Kalau sayuran di kebun banyak, pasti saya bawa ke pasar untuk tambah-tambah belanja. Habisnya, uang dari Bapak kan nggak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Jadi kenapa sekarang Minar yang nggak punya pekerjaan itu hanya berdiam diri saja di rumah? Menjual sayur kan nggak apa-apa?”

“Memang benar.”

“Menurut aku, sebaiknya Minar dikawinkan saja Pak, setuju nggak?”

“Minar masih sangat muda.”

“Sudah lulus SMA kok muda? Gadis-gadis seusia dibawahnya itu sudah banyak yang punya anak satu atau dua.”

“Lha kalau belum ada yang mau, mau dinikahkan sama siapa?”

“Nanti aku akan coba mencarikan. Minar itu sebenarnya cantik. Cuma karena dia tidak suka berdandan saja, maka kelihatan lusuh dan kecantikannya tidak kelihatan. Mulai nanti akan aku suruh dia berdandan, biar menarik”

“Kamu seperti mau menjual anak kamu saja, Bu,” kata pak Sutar, ayah Minar, kesal.

 “Bukan begitu. Memang kalau punya anak perempuan itu kan ibaratnya punya dagangan? Mana bisa diberikan kepada sembarang pembeli. Harus diberikan kepada penawar yang cocok dong, yang kaya, yang bisa merubah kehidupan kita yang sekarang ini.”

“Dagangan?” mata Sutar terbelalak mulutnya berteriak.

“Ibaratnya. Hanya ibaratnya. Kok Bapak berteriak sih?”

“Itu ungkapan yang merendahkan. Masa anak dijadikan dagangan.”

“Huh, susah ngomong sama Bapak. Aku itu kan cuma ingin agar kehidupan kita lebih baik. Bapak yang bekas satpam itu sekarang kan tidak lagi punya penghasilan. Mana satpam di perusahaan kecil. Hanya pesangon yang tidak seberapa, terus … sekarang sudah habis, lalu kalau kita tidak berusaha, mau makan apa?”

“Besok aku mau cari pekerjaan. Jangan kamu suruh anakmu menjual sayuran. Biar aku yang bekerja.”

“Mengapa Bapak lupa, kalau aku juga suka menjual sayur hasil kebun yang bisa aku pergunakan untuk mengurangi beban biaya hidup? Anak di sayang-sayang, istri dibiarkan,” katanya sambil melangkah pergi.

Sutar menghela napas sedih. Sesungguhnya dia juga sudah mencari pekerjaan. Tapi usianya yang menjelang tua tidak membuatnya mudah mendapatkannya.

***

Siang itu Minar pulang dengan membawa uang yang kemudian diserahkan kepada ibunya.

“Nah, jadi uang kan? Berapa ini?”

“Hanya laku dua puluh lima ribu, itupun karena kacangnya masih segar.”

“Terlalu murah, sementara kalau beli harganya mahal.”

“Menjual dengan membeli kan berbeda Bu,” jawab Minar dengan wajah kesal.

“Kamu kalau bicara sama ibumu jangan sambil cemberut begitu. Bisa kualat, tahu!”

“Tidak Bu, Minar hanya lelah.”

“Manja! Hanya kepasar dan duduk diam saja mengeluh lelah. Tapi ya sudah, lumayan, bisa beli beras sekilo dan lauk. Besok coba cari lagi di kebun, apa yang bisa dijual.”

“Sudah habis kacangnya Bu. Sudah Minar ambil semua.”

“Selain kacang kan ada, di dekat parit ada banyak sayur kangkung.”

“Besok saya cari lagi Bu,” kata Minar yang kemudian langsung meninggalkan ibunya untuk mencuci kaki dan tangannya. Ia belum makan sejak pagi, dan melirik singkong di piring yang masih tersisa. Ia juga tak melihat ayahnya di rumah.

Begitu ia meletakkan pantatnya di kursi makan, ibunya mendekat dan duduk di depannya. Minar meraih sepotong singkong yang sudah tak lagi hangat.

“Bapak ke mana?”

“Nggak tahu, keluar tadi, nggak bilang mau pergi ke mana.”

“Minar, kamu tahu, kamu itu sudah dewasa,” lanjut Bu Birah.

Minar mengangkat kepalanya, sambil mengunyah singkongnya pelan.

“Kamu bisa nggak sih, dandan sedikit, gitu. Pakai bedak kek, lipstik walaupun tipis.”

Minar heran mendengar perkataan ibunya. Mengapa tiba-tiba menyuruhnya berdandan? Lipstikan pula? Mana ada lipstik di rumah itu.

“Besok ibu sisihkan sedikit uang untuk membeli bedak dan lipstik, yang murah saja kan tidak apa-apa, yang penting wajah kamu kelihatan segar.”

Minar masih menatap ibunya dengan tatapan tak mengerti.

“Memangnya Minar mau ke mana, harus memakai bedak dan lipstik?”

“Tidak ke mana-mana juga apa salahnya berdandan sedikit. Lihat, wajahmu selalu kelihatan kucel, kumuh.”

“Tidak apa-apa Bu, kan hanya di rumah saja. Aneh kalau harus berdandan.”

“Kamu itu kalau dikasih tahu selalu saja membantah. Dengar, sekarang akan ibu jelaskan. Ibu akan mencarikan kamu seorang suami.”

Minar terkejut. Ia ingat ucapan ibunya sebelum berangkat ke pasar tadi. Jadi benar-benar dia akan dicarikan suami?

Merinding Minar mendengarnya. Belum pernah dia membayangkan bisa berdekatan dengan seorang laki-laki, lalu tiba-tiba akan dicarikan suami? Tangannya urung meraih sepotong lagi singkong di piring.

“Kamu itu sudah dewasa. Perempuan seumur kamu di sini sudah pada menggendong anak. Bahkan ada yang sudah punya  dua. Kamu masih merasa jadi kanak-kanak? “

“Bukan begitu, Bu. Minar belum ingin punya suami. Biar begini saja dulu.”

“Enak saja kamu, mau terus-terusan menjadi beban orang tua. Sekarang ini saatnya kamu terbebani kebutuhan orang tua. Kalau kamu belum punya pekerjaan, lebih baik menikah saja.”

Minar tidak menjawab, ia menghentikan kegiatan sarapannya, lalu pergi ke belakang untuk mengambil sapu. Saatnya bersih-bersih rumah. Tapi perkataan ibunya terus menerus terngiang di telinganya. Menikah … menikah … menikah … merinding bulu kuduk Minar, seperti melihat ulat bulu  berderet di depannya.

***

Pagi itu Birah pergi ke pasar sendirian. Ia tak suka kalau Minar yang belanja, karena kalau beli sesuatu tidak pernah menawar, langsung dibayar begitu saja. Itu dianggapnya terlalu boros. Membeli sesuatu harus ditawar. Kalau tidak, ia akan menganggapnya mahal.

Dengan uang yang tak seberapa, dan uang penjualan kacang panjang kemarin pagi, Birah ingin berbelanja ke pasar. Memang sih, paling hanya beli sekilo beras, dan sayur yang akan dibuat sayur bening, lalu beberapa potong tahu.

Ketika dia sedang melenggang pulang, tiba-tiba seseorang menghalangi langkahnya.

“Kamu ... Birah ya? Subirah kan?”

Birah terkejut. Dipandanginya laki-laki di depannya tanpa berkedip. Merasa ingat.. tapi lupa siapa. Wajah itu seperti tidak asing. Laki-laki yang tidak lagi muda, tapI kelihatan gagah. Penampilannya seperti orang kaya. Ia memakai cincin emas tebal dengan permata yang sebesar biji kelereng. Memakai kaos seperti penampilan anak muda. Tapi ia tak bisa menyembunyikan ketuaannya. Keriput di bawah mata menunjukkan bahwa umurnya sudah diatas limapuluh tahun atau enam puluhan.

“Birah, kamu masih cantik. Tapi baju kamu kelihatan lusuh. Dulu kamu meninggalkan aku, karena aku hanya anak petani dan belum bekerja. Kamu memilih seorang satpam yang lebih gagah. Tapi tampaknya sekarang kamu miskin. Lihat pakaian kamu.”

Birah terkejut. Ia segera teringat siapa laki-laki itu. Murtono. Laki-laki yang ditinggalkannya demi mengejar Sutar yang lebih gagah. Sekarang Murtono sudah menjadi laki-laki kaya? Ia melihat tadi dia keluar dari toko emas besar yang kemudian bergegas menghampirinya.

“Kamu, mas Murtono?”

Murtono tertawa. Ada dua gigi emas berbaris di gigi depannya. Itu sebabnya Birah lupa. Ia menatap Birah yang mengamatinya dengan heran.

“Kamu akhirnya ingat. Dasar pelupa.”

“Soalnya kamu sangat berbeda. Jauh berbeda.”

“Tentu saja, dulu aku laki-laki miskin yang kamu tolak. Sekarang aku menjadi pengusaha beras, yang hidup berkecukupan. Tapi aku sudah menduda. Istriku meninggalkan aku setelah melahirkan anak pertamaku. Bagaimana dengan kamu? Melihat penampilan kamu, sepertinya hidupmu tidak baik-baik saja. Ke mana suamimu? Aku yakin seumuran dia tak bakalan bisa bekerja lagi menjadi satpam. Apa dia masih hidup?”

Birah menatap sendu. Tanpa sungkan Murtono menariknya, masuk ke dalam sebuah restoran. Birah menatap kesekeliling ruangan di restoran itu. Udara sejuk karena ber AC, dan perabotnya ditata sangat menarik.

“Kamu mau mengajak aku makan?”

“Tentu saja. Masuk ke restoran tidak untuk makan, lalu apa?” katanya sambil melambaikan tangan ke arah pelayan. Pelayan yang mendekat, menatapnya heran. Laki-laki kaya itu apakah mengajak makan pembantunya?

“Kamu mau pesan apa?” tanya Murtono kepada Birah, sambil menyodorkan buku menu ke arahnya.

“Aku bingung mau makan apa, namanya aneh-aneh.”

Murtono tertawa.

“Ini bukan aneh. Kamu hanya belum pernah merasakannya. “

“Terserah kamu saja.”

“Baiklah, pesen steak ya.”

Murtono meminta agar pelayan menuliskan pesanannya. Sang pelayan yang walaupun terheran-heran, tapi nyatanya tuan kaya itu bersikap akrab, dan si wanita pun tak merasa sungkan berbicara dengannya. Kemudian pelayan itu berlalu setelah menuliskan pesanan mereka.

“Suami kamu masih ada?” Murtono melanjutkan pembicaraan itu.

“Masih ada. Aku menyesal dulu menolak kamu. Suamiku sudah tidak bekerja. Melamar ke mana-mana juga belum ada yang mau menerima.”

“Mana ada perusahaan menerima karyawan tua. Anak kamu berapa?”

“Cuma satu, perempuan. Anakku cantik lho, aku akan mencarikannya suami yang kaya. Supaya hidupku lebih baik.”

Murtono tertawa.

“Anakmu umur berapa?”

“Baru lulus SMA. Itupun aku sudah bersyukur, bisa menyekolahkannya sampai SMA.”

“Masih sangat muda. Suruh dia bekerja saja.”

“Anakku itu susah sekali disuruh berdandan. Sekilas tampak seperti gadis biasa, tapi sebenarnya dia cantik.”

“Kamu juga begitu, sedikit saja bersolek, kamu pasti juga kelihatan cantik.”

Birah tertawa masam. Ia merasa Murtono masih menyukainya. Aneh, bukankah sudah sama-sama tua?

“Bahkan untuk membeli bedak saja aku tidak bisa. Aku sedang berpikir untuk mendandani anakku, agar ada yang mau mengambilnya sebagai istri. Tapi baru menyisihkan uang untuk membeli bedak. Aku sih tidak penting.”

Pelayan menyajikan makanan yang dipesan Murtono.

“Makan dan minumlah dulu.”

Birah menatap makanan yang disajikan. Sungguh dia belum pernah makan makanan seperti itu. Sejak suaminya masih bekerja pun dia belum pernah merasakannya.

“Makanlah. Atau minumlah dulu.”

Birah menghirup jus  alpukat yang disajikan. Matanya merem melek ketika kesegaran menyusuri kerongkongannya.

“Enak sekali.”

“Makanlah, kalau perlu pesan untuk dibawa pulang.”

“Tidak. Aku harus bilang apa kalau suami aku bertanya tentang makanan yang aku bawa?”

“Katakan saja ketemu teman lama dan memberi kamu makanan.”

“Ya sudah, nanti gampang.”

Birah menatap Murtono yang mengiris daging di pinggannya, lalu mencocol daging itu dengan garpu yang tersedia, barulah dia ikut melakukannya, walau dengan sikap kaku.

“Enak?”

Birah tak sanggup menjawab karena mulutnya penuh daging. Terlalu besar ia  mengirisnya tadi. Jadi dia hanya mengangguk.

“Kamu tahu? Aku ingin melihat kamu berdandan. Aku yakin kamu masih cantik.”

Birah tersenyum tipis. Hal yang tak mungkin bisa dilakukannya bukan?

Tiba-tiba Murtono mengeluarkan setumpuk uang di meja.

“Ini untuk kamu. Beli apa yang kamu suka.”

“Ini … apa?”

“Itu uang, kamu kira apa? Ini untuk kamu.”

Gemetar tangan Birah ketika menyentuh uang itu.

“Aku tidak membawa uang banyak. Itu hanya dua juta.”

“Dd..dua juta?”

“Hmhm, dua juta, segera simpan, nggak enak dilihat orang.”

Birah memasukkan uangnya ke dalam dompetnya yang kecil. Ia harus menekannya agar uang itu cukup masuk ke dalamnya.

“Tapi ada syaratnya.”

Birah menatapnya heran.

“Jadilah istriku.”

“Apa? Aku kan masih punya suami?!”

***

Besok lagi ya.

54 comments:

  1. Alhamdulillah..
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  2. Kejora Pagi
    Sabtu : 18 Mei 2024.

    🌟🪴🌟🪴🔥💫🔥🪴🌟🪴🌟

    *KUPETIK SETANGKAI BINTANG*

    #Episode_01#
    by: Tien Kumalasari.
    editor: Kakek Habi.

    🌟🪴🌟🪴🔥💫🔥🪴🌟🪴🌟

    𝔸𝕝𝕙𝕒𝕞𝕕𝕦𝕝𝕚𝕝𝕝𝕒𝕙 𝕖𝕡𝕚𝕤𝕠𝕕𝕖 𝕡𝕖𝕣𝕕𝕒𝕟𝕒 𝕂𝕌ℙ𝔼𝕋𝕀𝕂 𝕊𝔼𝕋𝔸ℕ𝔾𝕂𝔸𝕀 𝔹𝕀ℕ𝕋𝔸ℕ𝔾, 𝕤𝕦𝕕𝕒𝕙 𝕥𝕒𝕪𝕒𝕟𝕘 𝕥𝕖𝕡𝕒𝕥 𝕨𝕒𝕜𝕥𝕦.

    𝙏𝙚𝙧𝙞𝙢𝙖 𝙠𝙖𝙨𝙞𝙝 𝙢𝘽𝙖𝙠 𝙏𝙞𝙚𝙣, 𝙨𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙎𝙀𝙍𝙊𝙅𝘼 𝙙𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙩𝙖𝙥 𝘼𝘿𝙐𝙃𝘼𝙄

    𝙨𝙚𝙢𝙤𝙜𝙖 𝘽𝙞𝙧𝙖𝙝 𝙗𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙥𝙚𝙧𝙚𝙢𝙥𝙪𝙖𝙣 𝙢𝙖𝙩𝙧𝙚𝙠, 𝘾𝙇𝘽𝙆 𝙙𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙞𝙣𝙜𝙜𝙖𝙡 𝙠𝙖𝙣 𝙎𝙐𝙏𝘼𝙍, 𝙨𝙪𝙖𝙢𝙞𝙣𝙮𝙖.

    ReplyDelete
  3. ⭐💐🌟💐⭐


    Alhamdulillah..Cerbung baru sudah hadir .
    Luar biasa Mbak Tien produktif sekali

    Matur sembah nuwun
    Semoga Mbak Tien selalu diparingi kesehatan yg prima

    Salam SeRoJa

    Salam ADUHAI

    ⭐💐🌟💐⭐

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Ning

      Delete
  4. Alhamdulillaah mtrnwn sdh tayang cerbung baru

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun cerbung enggal Mugi tansah sehat nggih jeng Tien

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun mbak Yaniiiikk

      Delete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang perdana.

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah..episode perdana telah hadir..
    Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
    Sehat selalu kagem bunda Tien...🤲🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun Ibu Padmasari

      Delete
  9. Alhamdulillah.... cerbung baru.... terimakasih Bunda

    ReplyDelete
  10. Maturnuwun bu Tien... salam sehat selalu

    ReplyDelete
  11. Alhamdulilah.Maturnuwun K S B tayang perdana.tetap sehat nggih Bunda .nuwun

    ReplyDelete
  12. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun pak Herry

    ReplyDelete
  13. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun ibu Isti

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah sdh tayang Cerbung baru Kupetik Setangkai Bintang
    Matur nuwun bu Tien
    Salam Aduhai ah...

    ReplyDelete
  15. Maturnuwun bu Tien Kupetik Setangkai Bintang sdh tayang perdana... smg bu Tien sll sehat dan bahagia..salam hangat dan aduhai bun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Salamsrhat aduhai deh

      Delete
  16. Murtono wong gendeng. CLBK yang keterlaluan. Mungkin akan dibelokkan dengan Minar, mestinya mau, mau... mau banget. Tapi Minar yang tidak mau tentunya.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  17. Mks bun kupetik setangkai bintang nya

    ReplyDelete
  18. Yessss,
    Cerita baru.... 👍
    Terimakasih Ibu Tien..... 🙏

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~01 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲.

    ReplyDelete
  20. Matur nuwun, bu Tien. Cerita baru di malming

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun bu Tien seri enggal

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillaah, kupetik Setangkai Bintang , untuk ku simpan di dalam hati telah hadir, in syaa Allaah membawa ketenangan.

    Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰🌿❤️🌿🌟🌿🌟

    ReplyDelete
  23. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun ibu Salamah

    ReplyDelete
  24. Novel baru Kupetik Setangkai Bintang. Murtono dan Birah bertemu KBK menimbulkan CLBK kah? Birah msh setiakah dg suaminya? Terimakasih bunda Tien... Sehat selalu

    ReplyDelete
  25. Waah...baru episode awal sudah seru nih, nampaknya akan banyak konflik juga seperti kisah2 sebelumnya. Bu Tien memang piawai mengolah ide2 menarik di sekitar kita menjadi cerita.

    Terima kasih, ibu Tien...sehat2 selalu ya...🙏🙏🙏😘😘😀

    ReplyDelete
  26. Alhamdulilah.... Telat dikit, sehat selalu mbakyu...

    ReplyDelete
  27. Makasih mba Tien.
    Rupanya saya ketinggalan nih.
    Semoga sehat selalu dan tetap semangat.

    ReplyDelete
  28. Babak baru.. Intimidasi ortu (ibu) ke anak langsung di mulai.... Lanjuuut..!!!
    Pasti seru ini....
    Salam sehat dan tetap semangat.. dari Rewwin... 🌿

    ReplyDelete
  29. Salam Seroja..
    Alhamdulillah bunda cantik... terus mengikuti cerbung yg selalu dinanti
    Mendoakan utk bunda smoga selalu diparingi sehat dan sehat

    ReplyDelete

KUCARI MEGA BIRU

KUCARI MEGA BIRU (Tien Kumalasari) Mengurai mimpi Menunggu datang mu pagi Kusibakkan awan kelabu Kucari mega biru Haiii ... Selamat malaaam ...