KUPETIK SETANGKAI BINTANG 02
(Tien Kumalasari)
Birah terbelalak, menatap Murtono yang tersenyum-senyum penuh arti. Sebelah tangannya menggenggam dompet berisi dua juta pemberian bekas pacarnya itu. Perasaan ragu menghimpitnya.
“Kenapa kamu menatapku seperti itu?”
“Mas kan tahu kalau aku masih punya suami?”
“Bercerai itu tidak susah, kalau kamu mau. Aku akan membantu mengurusnya.”
“Tapi kita sudah sama-sama tua Mas. Apa aku masih sanggup melayani?”
Murtono tertawa. Tangannya meraih tangan Birah yang masih menggenggam dompet berisi uang.
“Birah, kamu cinta pertama aku. Walaupun aku menikah, itu bukan karena aku tidak lagi mencintai kamu, tapi kamu yang mendahului meninggalkan aku. Dan ketika bertemu kamu ini, aku tahu bahwa aku masih mencintai kamu.”
“Ini gila,” keluh Birah.
“Bukankah kamu ingin hidup berkecukupan? Tinggalkan saja suami miskin kamu itu. Kalau kamu terus menjadi istrinya, selamanya kamu akan miskin. Lihat, kamu belanja apa? Beras segitu? Di gudang yang aku miliki, ada ber ton-ton beras. Lalu kamu tetap akan melanjutkan hidup miskin kamu ini? Tadi kamu bilang ingin hidup berkecukupan, dan jalan itu ada. Apa lagi yang harus kamu pikirkan?”
“Aku tidak mengira ….”
“Tentang apa?”
“Kamu masih menginginkan aku.”
“Bukankah aku sudah bilang, kalau aku masih tetap mencintai kamu? Ayolah hidup bersamaku, tinggalkan rumah kumuh dan baju lusuh yang selalu kamu pakai. Apapun yang kamu inginkan pasti akan aku penuhi.”
“Tidak mudah bagiku melakukannya.”
“Pasti kamu benar-benar tidak lagi peduli pada hubungan kita dulu, dan bertekat akan terus mendampingi si miskin itu dan hidup sengsara bersamanya,” kesal Murtono.
“Ini memang berat. Tapi aku masih istrinya.”
“Susahkah bercerai dengannya?”
Birah terdiam beberapa saat. Tidak susah bercerai dengannya. Tapi sesungguhnya dia ingin mencari laki-laki kaya untuk anak gadisnya. Bagaimana mungkin kemudian malah dia yang akan dijadikan istri Murtono?
“Kamu tidak suka menikahi gadis muda?” tanyanya hati-hati.
“Apa maksudmu?”
“Misalnya anakku ….”
“Itu gila. Aku menikah dengan gadis belasan tahun? Tidak … tidak … aku tidak suka. Aku masih berpegang pada cinta masa laluku, yaitu kamu. Tapi kalau kamu mengatakan bahwa cinta di hatimu itu sudah hilang, maka aku akan melupakan kata-kataku tadi,” sungut Murtono sambil menghabiskan steaknya, lalu meneguk jus buah di depannya.
Birah memegang erat dompet kecilnya yang menggelembung karena penuh uang. Ada bimbang di hatinya. Kalau dia tidak mau, maka uang ini harus kembali kepada bekas kekasihnya itu? Ini bukan masalah rasa, tapi masalah harta. Dan harta itu bukankah bisa menerbitkan cinta? Mana mungkin Birah mau melepaskan uang yang dia pegang. Dipandanginya Murtono dengan wajah memelas.
“Apa jawabmu?” tanya Murtono lagi.
Birah tak segera menjawab.
“Belilah pakaian yang lebih pantas dengan uang itu. Belanjalah daging, ikan, dan apa saja yang nikmat untuk disantap. Nanti aku akan menambahinya lagi, kalau urusan perceraian sudah selesai. Oh ya, besok temui lagi aku di sini, aku akan menambah lagi uangnya. Pasti uang segitu masih kurang untuk beli pakaian bagus. Jangan hanya sepotong, tapi beberapa potong. Kalau perlu belikan juga anakmu.”
Birah masih belum meng ‘iya’ kan, tapi kemudian Murtono sudah memesan beberapa masakan, dan mengajaknya keluar dari rumah makan itu.
“Sekarang pulanglah, dan bicarakan perceraian itu dengan suami kamu,” kata Murtono tandas. Ia tahu Birah segan mengembalikan uang yang sudah dia berikan. Jadi jawabnya adalah bahwa Birah setuju bercerai dengan suaminya, lalu menikah dengan dirinya.
***
Birah melangkah ke arah rumah dengan wajah bingung. Sebelah tangannya menggenggam dompet yang penuh berisi uang, sebelahnya lagi memegang beberapa bungkus masakan yang selamanya belum pernah dimakan oleh keluarganya selama hidup.
Birah memasuki rumah dengan bawaan yang kemudian diletakkannya di atas meja. Suaminya tak kelihatan, tapi Minar terlihat sedang duduk sambil menjahit pakaiannya yang robek di sambungan ketiak.
Birah bahkan lupa membawa beras dan sebungkus tahu serta sayuran yang tadi dibeli di pasar. Entah di mana barang itu tertinggal.
Melihat ibunya datang dengan banyak bawaan, Minar berdiri menghampiri.
“Ibu belanja apa saja ini?”
“Sudah, jangan banyak bertanya. Ambil beberapa piring, pindahkan ini semua ke piring-piring.”
Minar membalikkan tubuhnya, dan kembali dengan membawa piring-piring kosong.
“Ini apa bu? Dari mana ibu mendapatkan semua ini? Ini semua masakan enak. Ada daging, ada ikan yang dimasak kuning, ada udang goreng yang … hmm.. baunya menggugah selera. Ini pasti mahal. Ibu dapat uang dari mana?”
“Dari seorang teman yang ketemu di pasar.”
“Pantesan ibu pergi lama sekali.”
“Bapakmu mana?”
“Bapak keluar tak lama setelah ibu pergi. Katanya ada mandor bangunan yang mau menerima bapak bekerja di sana.”
“O, begitu? Jadi dia mulai bekerja hari ini juga?”
“Entahlah, katanya pak mandor ingin mengajaknya bicara. TIdak lama lagi pasti bapak pulang.”
“Ya sudah, ayo kita makan dulu saja, aku lapar.”
“Tapi Minar belum menanak nasi, bukankah ibu pergi untuk beli beras? Mana berasnya?”
Birah menepuk dahinya keras. Ia baru ingat, berasnya entah tertinggal di mana.
“Iya, aku lupa. Ya sudah, kamu beli beras di warung saja, nggak apa-apa agak lama sedikit. Oh, jangan beli beras dulu, sudah lapar nih. Beli nasi saja. Ini uangnya,” kata Birah sambil mengambil dompetnya dan mengambil selembar uang ratusan dari sana.
Minar terbelalak melihat uang itu. Ratusan ribu? Ia jarang sekali melihatnya.
“Ini … uang Ibu?”
“Ya iyalah, uang ibu.”
“Dari … mana … Ibu … mendapatkan uang banyak?”
“Itu cuma selembar, ibu punya berlembar-lembar. Sudah, berangkat sana, beli nasi saja sepuluh ribu, beli berasnya nanti saja.”
Minar berdiri, tapi masih menatap ibunya dengan penuh tanda tanya.
“Ada teman ibu, yang sekarang kaya raya. Ibu di ajak makan, diberi uang, disuruh beli baju-baju bagus. Dia kasihan melihat penampilan ibu.”
“Oo ….” hanya itu yang diucapkan Minar, kemudian bergegas keluar.
Sebenarnya Birah belum lapar benar setelah tadi menghabiskan sepinggan steak yang membuat lidahnya menari-nari. Tapi makanan yang dibawa membuatnya ingin makan lagi.
Sambil menunggu kedatangan Minar, Birah menyimpan dompetnya ke dalam almari di kamar.
Ketika ia kembali untuk duduk, dilihatnya Sutar memasuki rumah. Ketika melewati ruang makan, ia melihat sajian yang membuat matanya melotot.
“Ini apa?”
“Ini makanan. Cuci tangan kaki dulu, lalu makanlah. Ini rejeki kita.”
“Mana Minar?”
“Sedang keluar membeli nasi. Lupa belum menanak nasi tadi.”
“Tapi dari mana kamu mendapat makanan sebanyak ini dan seenak ini?”
“Di pasar, ketemu teman lama yang sekarang kaya raya. Aku diberinya makanan ini, dan uang.”
“Siapa?”
“Bapak nggak akan tahu. Itu teman masa kecil aku.”
Sutar melangkah ke belakang, untuk mencuci kaki dan tangannya, kemudian dia kembali ke ruang makan, di mana dia melihat Birah mencuil-cuil daging beefsteak dengan sebuah garpu.
“Begini enaknya jadi orang kaya. Bisa makan enak, bisa berpakaian bagus. Sedangkan kita? Bisa makan enak hanya karena belas kasihan orang.”
“Jangan mengeluh terus, aku sudah mendapat pekerjaan.”
“Mm … ya, tadi Minar sudah memberi tahu aku. Jadi tukang batu kan?”
“Ya, yang memberi aku pekerjaan memang mandor bangunan. Jadi tidak apa-apalah, menjadi tukang batu.”
“Berapa gaji tukang batu?” tanya Birah sambil mencibir. Iming-iming harta melimpah dari Murtono membuatnya menampilkan cibiran itu.
“Berapapun kan harus kita syukuri Bu. Yang penting bisa makan cukup. Aku akan mulai besok pagi. Jam delapan sudah harus mulai bekerja. Agak jauh sih, tapi tidak apa-apa. Aku bisa berangkat pagi-pagi dan berjalan kaki ke sana,” katanya panjang lebar, berharap sang istri senang mendengarnya. Tapi Sutar tak melihat ada binar kegembiraan di wajah istrinya.
Ketika itu Minar datang sambil membawa tiga bungkus nasi, diletakkan di atas meja. Birah membagi ketiga bungkus itu untuk dirinya, suaminya, dan Minar.
“Ayo makanlah. Nanti aku ingin bicara sama Bapak,” kata Birah.
Ketiganya makan dengan nikmat. Hal itu membuat Birah semakin ingin segera menikmati kehidupan orang berada secepatnya. Pemberitahuan suaminya tentang pekerjaan yang sudah didapatnya, sama sekali tidak membuatnya tertarik.
***
“Minar, nanti sore ikut ibu ya,” kata Birah setelah Minar selesai membersihkan meja sehabis makan.
“Ikut ke mana?”
“Beli beras.”
“Kalau cuma beli beras, biar Minar saja.”
“Tidak hanya beras, aku ingin berjalan-jalan dan membeli sesuatu.”
“Membeli apa sih Bu?”
“Sudah, jangan banyak bertanya, pokoknya ikut saja.”
Minar hanya mengangguk. Di meja makan masih banyak lauk yang tersisa. Ia senang karena nanti malam masih bisa makan dengan lauk yang enak-enak. Dalam hati ia memuji kebaikan teman ibunya itu, dan berterima kasih sudah memberi kesenangan untuk keluarganya.
Ketika sedang beristirahat di kamarnya, Birah kembali mendekati.
“Aku ingin membelikan kamu alat berhias, dan baju yang pantas.”
Minar terkejut. Ia ingat perkataan ibunya kemarin pagi, tentang akan mencarikannya seorang suami. Apa masalah berhias dan baju pantas itu ada hubungannya dengan keinginan sang ibu?
“Tidak usah Bu, biarlah Minar begini saja, tidak usah membelikan yang macam-macam. Apalagi alat untuk berhias itu apa?”
“Jangan bodoh. Kamu itu bedak saja tidak punya, dan ibumu ingin membuat kamu tampil lebih cantik.”
“Untuk apa sih Bu?”
“Dasar gadis lugu. Bodoh pula. Ya sudah, kamu tidak usah ikut, ibu akan pergi saja sendiri. Nanti di sana kamu malah kebanyakan ngomong, batal belanja karena aku kesal,” kata sang ibu sambil berlalu.
Minar mengangkat bahunya. Sebenarnya berapa banyak uang yang kata ibunya diberikan temannya itu? Mengapa harus dibelikan baju dan alat berhias pula, dan tidak dibelikan beras dan kebutuhan sehari-hari saja? Ia ingin menanyakannya, tapi takut ibunya bertambah marah. Akhirnya Minar memejamkan matanya, agar bisa terlelap.
Ketika keluar dari kamar Minar, Birah berpapasan dengan Sutar.
“Ada apa lagi, kenapa sih, kamu itu sama anak sendiri kok selalu saja ribut?”
“Jengkel aku sama Minar. Aku ingin membelikan dia alat untuk berhias. Bedak, dan lain-lainnya, juga baju yang lebih pantas, tapi dia menolak. Siapa yang tidak kesal? Dimana-mana, gadis itu pasti ingin kelihatan cantik menarik, wajahnya jelek sekalipun, berusaha berdandan agar kelihatan cantik. Tapi anakmu itu Pak, sama sekali tidak tertarik.”
“Nanti dulu Bu, kok kamu mau membelikan ini dan itu untuk anak kamu, memangnya kamu punya uang?”
“Tadi aku kan sudah bilang, ketemu teman lama yang kasihan sama aku, lalu aku dibelikannya makanan yang tadi kita makan bersama. Kecuali itu dia juga memberi aku uang, katanya supaya aku bisa membeli pakaian bagus. Malu aku Pak, pasti tadi kelihatan lusuh dengan pakaian kumuh, sehingga dia memberi aku uang untuk membeli baju segala.”
”Memangnya ibu diberi uang berapa?”
“Banyak Pak, untuk beli baju dan makan beberapa hari masih cukup,” kata Birah yang tidak mau berterus terang tentang itu.
“Lalu kamu tadi mengatakan kalau mau ngomong sama aku itu ngomong apa?”
“Nanti saja Pak, sepulang aku belanja sore ini. Nggak enak ngomong di saat aku sedang merasa lelah.”
Sutar menatap punggung istrinya yang dengan acuh melangkah memasuki rumah. Dalam hati ia bertanya, siapa gerangan teman sang istri sehingga memberinya banyak uang selain makanan enak.
Sutar menghela napas. Ia ke belakang untuk mengambil wudhu karena mendengar azan dari masjid di dekat rumah.
***
Hari sudah malam ketika Sutar sedang duduk sendirian di teras rumah, lalu tiba-tiba Minar mendekat dan menyandarkan kepalanya di pundak sang ayah.
“Ada apa?”
“Pak, aku nggak suka keinginan ibu.”
“Keinginan apa?”
“Ibu ingin mencarikan suami untuk Minar. Minar belum ingin punya suami.”
“Ya sudah, tidak usah dipikirkan, nanti kalau dia memaksa juga, bapak yang akan bicara. Ibumu selalu bingung tak punya uang, sehingga pikirannya kacau, anak sendiri mau diperdagangkan.”
“Diperdagangkan?”
“Kalau dia menyuruh kamu berdandan, berpakaian bagus, itu kan maksudnya supaya kamu cepat laku. Ibaratnya kamu itu dagangan.”
“Ibu sepertinya memaksa, Minar tidak mau,” rengek Minar.
“Ada apa? Sedang ngomongin aku ya?”
Tiba-tiba Birah sudah naik ke teras, dengan membawa bungkusan besar.
“Beli apa saja itu?”
“Baju-baju bagus, beras dan makanan. Aku ingin merasakan hidup berkecukupan, seperti ini. Bisa belanja sesukanya, bisa makan sekenyang-kenyangnya,” katanya sambil berlalu masuk ke dalam.
“Minar! Sini kamu!” teriak Birah dari dalam. Minar segera berdiri, lalu beranjak ke dalam, Sutar mengikutinya.
***
Besok lagi ya.
Kejora pagi
ReplyDeleteSenin, 20 Mei 2024
ððŠīððŠīðĨðŦðĨðŠīððŠīð
ðžðĄðððĒððŠðĄððĄðĄðð.......
*ððððððð ððððžððððžð ð―ððððžðð*
*#ððĨððĻðĪðð ð ð 02*
ððŠððð ðĐððŪððĢð ðĐððĨððĐ ðŽðð ðĐðŠ. ððĨ°
ðððĐðŠð§ ðĻððĒððð ðĢðŠðŽðŠðĢ ðĒð―ðð ððððĢ, ðĻððĄððĒ ðĻððððĐ ð§ðĪðððĢð & ðððĻðĒððĢð ðĻðð§ðĐð ðĐððĐððĨ ðžðŋðððžð ❤️ð·ðđ
ððŠīððŠīðĨðŦðĨðŠīððŠīð
Matur nuwun mas Kakek
DeleteSuwun
ReplyDeleteSami2 pak Wirosableng
DeleteYess
ReplyDeleteYess juga jeng In
Delete⭐ðŦ⭐ðŦ⭐ðŦ⭐ðŦ
ReplyDeleteAlhamdulillah, cerbung
KaeSBe_02 sdh hadir.ðð
Matur nuwun Bu Tien
yang baik hati.
Sehat2 selalu yaa Bu.
Salam Seroja...ðđðĶ
⭐ðŦ⭐ðŦ⭐ðŦ⭐ðŦ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Sari
Yes
ReplyDeleteYess juga ibu Susi
Delete⭐ððð⭐
ReplyDeleteAlhamdulillah..Cerbung Kupetik Setangkai Bintang epsd 2 sudah hadir .
Matur sembah nuwun
Semoga Mbak Tien selalu diparingi kesehatan yg prima
Salam SeRoJa
Salam ADUHAI
⭐ððð⭐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Djoko
Aduhai deh
Matur nuwun mbak Tien-ku KSB telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillaah, mtrnwn mbak
ReplyDeleteSami2 jeng dokter
DeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ðđðđðđðđðđ
Telat
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah KUPETIK SETANGKAI BINTANG~02 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..ðĪē.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 pak Djodhi
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien ð
Sami2 Indrastuti
Delete1. Kakek
ReplyDelete2. Wirasableng
3. Iin M
4. Sari Usman
5. Susi Herawati
6. Nuning
7. Latief
8. Mimiet
Semua jam komennya sana 19:02 WIB
Hehee.. kompak brarti
DeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin
DeleteSami2 ibu Anik
Suwun mb Tien, smg sht sllð
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 Yangtie
Maturnuwun bu Tien KSB 02 sampun tayang... alhamdulilah...smg bu Tien selalu sehat dan bahagia... salam hangat dan aduhai bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Sri
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteSepertinya Birah tergiur harta yang melimpah. Kasihan Sutar yang setia banting tulang mengais rezeki.
ReplyDeleteBagaimana ni Minar, kalau tidak kerja ya tidak bisa makan, dicarikan suami ya tidak mau.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI,, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 pak Latief
Alhamdulilah.tetap sehat ya Bunda.Terimakasih KSB nya
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 pak Herry
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Kupetik Setangkai Bintang 02* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 pak Wedeye
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Salamah
Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat dari Bantul
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteSalam sehat juga
Alhamdullilah bunda..terima kasih..salam sehat selalu DRI Sukabumi..ððððđðđ
ReplyDeleteSami2 ibu Farida, lama nggak komen? Apa kabar?
DeleteAlhamdulillah sdh tayang tepat waktu utk episode ke 2.. matursuwun bunda cantik Tien ,sehat selalu niih
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu YYulia
Alhamdulillah KSB sdh tayang
ReplyDeleteTernyata Murtono msh cinta aja sama Birah, bagaimana kelanjutannya...
Yuk kita simak sama"
Matur nuwun bu Tien hiburannya
Salam sehat sll.
Sami2 ibu Wiwik
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun bunda Tien...ðð
ReplyDeleteSehat selalu kagem bunda...
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun Padma Sari
Alhamdulillah,semoga Bunda Tien selalu sehat.
ReplyDeleteBirah mata duwitan.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Isti
Oalah dasar mata duwitan si birah itu, sdh lupa siapa dia,
ReplyDeletetdk punya iman kamu birah
Mks bun kupetik setangkai bintang episode 2 nya.....selamat mlm bun ....smg sehat" selalu
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Alhamdulillah KSB 2 sdh tyng.
ReplyDeleteMtr nwn Bu Tien. Sehat sll.
Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aamiin
ReplyDeleteSami2 ibu Endah
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillaah,, pak Sutar dah dpt pekerjaan,, tinggal Minar yg sdg kesal Krn akan dijodohkan,, Birah yg bingung antara cerai n bertahan, .. aduhai
ReplyDeleteCerita nya masih panjang.............,ðĪĐ
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya, ðĪðĨ°ðŋ❤️
Terimakasih bunda Tien, salam sehat dan aduhai selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah... Matursuwun mbakyu... Sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sahat bahagia dari Yk...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteWaah...syukurlah kalau Murtono bukan penggemar 'daun muda' ya...tapi nampaknya kisah Estiana dan keluarga Anjani terulang lagi nih...ð
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...dari awal sudah terasa 'greget' ceritanya. Salam sehat.ð
Terimakasih bunda Tien sehat jasmani rohani ekonomi bahagia bersama amancu
ReplyDeleteCeritanya bikin perasaan gimana gitu yaa.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam hangat selalu aduhai
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT
Aamiin yaa rabbal'alamiin
Masih hangat
ReplyDelete