M E L A T I 08
(Tien Kumalasari)
Hujan tak lagi turun. Rintik gerimis kecil tak menghalangi langkah Melati untuk mengayuh sepedanya, menuju ke alamat yang tertulis di kartu penduduk yang ditemukannya.
Ia harus segera mengembalikan dompet itu, karena membayangkan betapa bingungnya si pemilik ketika menyadari dompetnya hilang. Dompet yang berisi uang, entah berapa jumlahnya, Melati tak menghitungnya. Yang penting dia tidak mengurangi sedikitpun isinya.
Memang alamat itu tidak terlalu jauh dari rumahnya, tapi rintik hujan yang masih saja turun, tetap saja membuat bajunya basah, walaupun tidak begitu kuyup.
Ia sudah menyusuri jalan yang dituju, tinggal mencari nomor yang diingatnya sejak sebelum berangkat tadi.
Lalu ia berdiri di sebuah rumah besar yang terang benderang.
Melati teringat akan rumah tuan Harjo yang besar. Diam-diam bulu kuduknya merinding. Pasti sebentar lagi akan terdengar anjing menyalak karena kedatangan orang asing di rumah yang dijaganya.
Tapi tidak ada. Ia sudah beberapa saat berdiri di depan gerbang, tak terdengar salak anjing. Ia juga tak melihat ada penjaga atau satpam di dekat gerbang itu.
Tapi ia tak melihat ada bel yang ada di sana. Ia tak bisa begitu saja masuk, karena gerbang itu terkunci dari dalam.
Melati menyandarkan sepedanya, lalu mendekat ke arah gerbang itu, meraba-raba, barangkali ada palang menutup pintu yang cukup ditarik untuk membukanya. Ia meraba gerendel yang terpaku di dalam, ia berusaha menariknya. Tapi suara denting-denting yang disebabkan oleh tangannya yang mengutak atik gerendel itu, membuat seseorang mendengarnya, lalu melangkah dengan cepat ke arah gerbang.
Seorang perempuan setengah tua mengamati Melati yang berdiri kebingungan.
“Mbak mau mencari siapa?” Melati agak merasa lega, karena perempuan itu bertanya dengan ramah, walaupun tidak segera membuka pintunya.
“Bu, apakah benar ini rumahnya bapak Samiaji?”
“Benar, Mbak ini siapa?”
“Saya ingin ketemu pak Samiaji.”
“Mbak ini siapa?”
“Nama saya Melati.”
“Keperluannya? Maaf, saya harus menanyakannya, agar tuan saya mengerti siapa dan untuk keperluan apa menemui Mbak.”
Melati mengerti. Keluarga kaya harus sangat berhati-hati, dan tidak membiarkan setiap orang yang tidak diketahui asal usulnya memasuki rumah.
“Saya menemukan sebuah dompet.”
“Oh, dompet?”
Perempuan itu segera membuka pintu dengan tergesa-gesa.
“Silakan masuk. Sejak sore tuan bingung tentang dompet itu. Mari saya antar ke dalam.”
“Bolehkah saya masukkan sepeda saya?” kata Melati yang menghawatirkan sepedanya, mengingat tidak ada penjaga di dekat gerbang, seperti yang ada dirumah tuan Harjo.
“Oh, Mbak membawa sepeda. Masukkan saja.”
Melati mengambil sepedanya, kemudian dituntunnya masuk ke halaman, kemudian menyandarkannya di sebuah pohon yang ada di halaman itu.
Perempuan yang agaknya pembantu di rumah itu menutupkan kembali gerbang, kemudian bergegas masuk ke dalam.
Melati mengikutinya dengan perasaan sedikit lega, karena bisa menemukan pemilik dompet itu. Ia berdiri di depan tangga karena ibu pembantu itu langsung masuk ke dalam rumah. Tapi tak lama kemudian muncullah seorang laki-laki setengah tua yang kemudian menatapnya penuh selidik.
“Kamu … mau menemui aku?”
“Ya, Tuan. Apakah Tuan adalah tuan Samiaji?”
“Itu aku. Eh, masuklah. Kata bibik, kamu menemukan sebuah dompet?”
“Ya, Tuan,” kata Melati sambil masuk ke teras, di mana Samiaji sudah duduk terlebih dulu.
“Tuan ….”
“Panggil saya pak Samiaji, bukan tuan.”
“Baiklah, Pak. Nama saya Melati. Sore tadi saya menemukan sebuah dompet besar,” kata Melati sambil mengambil dompet itu dari dalam tasnya.
“Ya Tuhan, ini dompetku, sudah sejak tadi aku mencarinya.”
“Silakan Bapak lihat isinya, karena saya tidak menghitung dan melihat isinya, kecuali mengambil kartu penduduk untuk mencari alamat pemilik dompet ini.”
“Saya harus berterima kasih sama kamu. Dompet ini kecuali uang, juga ada beberapa catatan penting.”
“Silakan Bapak melihat dulu, setelah itu saya akan segera mohon diri.”
“Sebentar.”
Samiaji tampak membuka dompet itu, dan menghitung isinya, lalu mengangguk-angguk.”
“Aku baru mau memasukkannya di bank, tadi karena terpancang waktu, ada keperluan sampai sore, pastinya bank sudah tutup. Dan karena tergesa-gesa saat berjalan, aku langsung bergegas masuk ke dalam mobil, dan tidak merasa bahwa dompet ini terjatuh.”
Samiaji seperti sudah selesai menghitung uangnya, dan mengangguk-angguk.
“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Isinya sudah sesuai. Kamu anak baik dan jujur. Jarang ada yang seperti kamu.”
“Kalau begitu saya pamit, keburu hujan lagi,” kata Melati sambil berdiri.
“Tunggu dulu, aku harus memberikan sesuatu, sebagai tanda terima kasih atas kebaikan dan kejujuran kamu.”
“Tidak usah Pak, sudah seharusnya saya melakukannya. Permisi,” Melati melangkah ke arah luar, tapi lagi-lagi Samiaji menahannya.
“Sebentar, tunggu dulu.”
Melati sudah sampai di tangga teras dan bermaksud turun, lalu berhenti karena Samiaji memintanya menunggu.
“Apa ada yang berkurang?” tanya Melati berdebar. Jangan-jangan dia menghilangkan salah satu dokumen atau selembar dua lembar uangnya.
“Tidak. Ini untuk kamu,” kata Samiaji sambil menggenggamkan uang ke telapak tangan Melati.
“Aap .. pa ini?”
“Jangan menolak, tidak seberapa, hanya untuk tanda terima kasih saja.”
“Tapi .. saya tidak mengharapkan imbalan. Saya hanya_”
“Jangan menolak rejeki. Kamu tahu? Uang di dompet saya itu berisi uang yang kalau di rupiahkan, ada sekitar seratus lima puluh juta.”
Melati terbelalak.
“Jadi aku mohon, jangan menolak. Segera masukkan ke dalam tas kamu itu, karena kalau hujan benar-benar turun, uang itu akan basah.”
“Tap … pii … “
“Terima saja, barangkali bisa untuk kamu jajan atau membeli sesuatu.”
Gemetar Melati ketika memasukkan uang itu ke dalam tasnya. Entah berapa isinya, Melati tak menghitungnya.
“Terima kasih, Pak. Sebenarnya saya sama sekali tidak mengharapkan ini.”
“Kamu memang anak baik. Oh ya, kamu masih sekolah?”
“Saya bekerja di sebuah perusahaan katering.”
“Di mana rumah kamu?”
“Dagan, tidak begitu jauh.”
“Wah, itu lumayan jauh, apalagi kamu hanya bersepeda. Kalau butuh sesuatu, datanglah kemari. Aku hidup hanya bersama pembantu, anak cucu ada di luar negri semuanya. “
“Oh. Baiklah, terima kasih, saya permisi.”
“Tunggu,” tiba-tiba Samiaji bergegas ke dalam, lalu keluar lagi dengan membawa sebuah kartu.
“Ini kartu namaku. Kalau kamu butuh pekerjaan yang lebih baik, datanglah kemari atau hubungi aku.”
“Terima kasih, Pak. Sekarang saya permisi,” kata Melati sambil memasukkan kartunya ke dalam tas, kemudian berlalu menuju ke arah sepedanya.
Dari teras, Melati mendengar Samiaji berteriak.
“Bibik, buka gerbangnya.”
***
Melati mengayuh sepedanya dengan perasaan ringan. Sebuah beban terlepaskan. Beban menemukan barang orang lain, yang sekarang telah kembali kepada pemiliknya. Tapi ada perasaan tak enak ketika pemilik dompet itu memberikannya imbalan berupa uang. Tadi sudah ditolaknya, tapi pak Samiaji yang matanya teduh kebapakan itu memaksanya. Ketika sekilas Melati melirik, uang tadi bukan uang rupiah. Melati berdebar. Ada beberapa lembar, dan itu berarti banyak.
Begitu ia memasuki halaman, di teras, sang ibu sudah menunggu.
“Bajumu basah Mel, apa di sana hujan deras?”
“Tidak Bu, gerimis, tapi ya agak basah juga baju Melati.”
“Ketemu pemilik dompet itu?”
“Ketemu, nanti saja ceritanya ya Bu, Melati ganti baju dulu.”
“Cepatlah ganti bajumu, nanti masuk angin. Ibu buatkan teh hangat ya,” kata Karti yang tanpa menunggu persetujuan Melati, langsung pergi ke dapur.
Ketika selesai berganti pakaian, Melati mendekati ibunya di ruang tengah, yang tampaknya sudah menunggu.
“Minumlah, mumpung masih hangat.”
“Terima kasih, Bu. Untuk Ibu sendiri mana?”
“Ibu sudah minum dari tadi. Kamu itu, yang dari hujan-hujanan, harus minum yang hangat, biar tubuhmu juga akan terasa hangat. Atau perlu ibu gosokin dengan minyak gosok?”
“Tidak Bu, lagian tadi sebenarnya nggak hujan. Hanya gerimis.”
“Tapi membuat baju kamu basah kan?”
“Iya sih,” tak urung Melati menghabiskan secangkir teh hangat buatan ibunya.
“Bagaimana tadi. Ketemu orangnya ya?”
“Iya Bu, orangnya baik sekali. Oh ya, sebentar Melati lihat,” Melati baru ingat tadi Samiaji memberi uang yang tidak dihitungnya. Ia berlari mengambil tasnya, lalu membukanya di depan ibunya.
“Ini Bu, saya diberi uang. Ya ampuun,” Melati terbelalak. Ia tidak mengira, yang diberikannya adalah uang dolar Amerika, yang jumlahnya adalah ….
“Satu … dua … tiga … empat ………. haaa … sepuluh lembar?” pekik Melati.
“Itu uang apa?”
“Ini uang dolar Bu, satu lembar ini kalau diuangkan dalam rupiah, nilainya sekitar satu juta atau lebih, … jadi ….”
“Satu lembar satu juta rupiah?”
“Entah persisnya Bu, Melati tidak tahu, tapi kalau satu juta sepertinya lebih. Padahal ini jumlahnya ada sepuluh.”
“Berarti sepuluhan juta, dong, Mel.”
“Ya Allah, mengapa pak Samiaji begitu royal? Jangan-jangan keliru. Sebentar, Melati diberi kartu nama, pasti ada nomor kontaknya. Harus Melati tanyakan uang ini. Kalau dia keliru, kita jadi nggak enak. Jangan-jangan dia mengira ratusan ribu. Total jadi satu juta, agak masuk akal. Tapi kan seratus ribu itu warnanya merah?”
“Tapi kamu benar Mel, ada baiknya kamu tanyakan saja, jangan-jangan dia keliru.”
Melati mengambil kartu yang diletakkan begitu saja ke dalam tasnya, tadi. Kemudian dia menghubungi nomor yang tertera.
Agak lama, tapi akhirnya tersambung.
“Hallo, ini siapa ya?”
“Pak Samiaji, ini saya, Melati.”
“Melati yang tadi ya? Ada apa Nak?” Melati tersenyum mendengar panggilan ‘nak’ dari Samiaji. Tampak sangat familiar, seperti sudah kenal lama.
“Bapak, tadi Bapak memberi saya uang kan?”
“Iya, kurang ya? Kalau kurang_”
“Tidak … tidak … “ Melati segera memotongnya.
“Bapak apa tidak merasa bahwa telah memberikan uang yang terlalu banyak?”
“Itu seratusan dolar, jumlahnya sepuluh?”
“Iya Pak, kalau terlalu banyak akan saya kembalikan.”
Dari seberang, Samiaji tertawa terbahak-bahak.
“Kamu terlalu sederhana, terlalu naif. Memang aku memberikan sebanyak itu, memangnya kenapa?”
“Banyak sekali,” Melati berkata lirih dengan suara bergetar.
“Ratusan juta saya tidak jadi hilang, apalah artinya sepuluh lembar sebagai rasa terima kasih saya?”
“Ta … tapi ….”
“Sudah, tukarkan dulu uang kamu dengan rupiah, lalu buat untuk beli apa saja yang kamu mau. Kalau kurang, bilang sama saya.”
Melati ingin bicara lagi, tapi Samiaji sudah menutup ponselnya.
“Bagaimana?” tanya Karti.
“Tidak keliru. Memang sebanyak itu yang diberikannya,” kata Melati masih dengan suara bergetar.
“Ya Allah, terima kasih,” Karti pun ikut terharu mendengarnya.
“Kita bisa mencicil hutang kita pada tuan Harjo,” kata Melati yang kemudian bercerita mengenai pertemuannya dengan Samiaji.
***
Acara tujuh bulanan itu dihadiri oleh tamu undangan yang sebagian besar adalah wanita. Acara adat Jawa itu dilakukan dengan penuh hikmat. Nilam tersenyum bahagia, ketika tujuh orang wanita bergantian menyiramkan air kembang dari ujung kepala sampai keujung kakinya, diakhiri oleh Wijan sebagai suaminya, dan Raharjo, dan tentu saja Suri, ibu angkatnya.
Tangis haru menetes sejak upacara mandi itu, dari sepasang mata Nilam, sampai upacara-upacara berikutnya yang berlangsung. Bahagia menyeruak ketika acara Wijan membelah salah satu cengkir gading itu, dan air kelapa muncrat begitu jauh. Hadirin berteriak, laki-lakiiii….!
Konon, kalau air kelapa itu muncrat, anak yang lahir adalah laki-laki, tapi kalau hanya merembes, anaknya perempuan. Percaya atau tidak, itu adalah ‘USG’ jaman kuna, dan kenyataannya, menurut pemeriksaan, anak yang dikandung Nilam memang adalah laki-laki. Wallahualam. Bagaimanapun sebuah adat adalah adat, yang diikuti oleh setiap daerah yang pastinya berbeda.
Nilam sudah selesai didandanin, setelah berganti pakaian sampai tujuh kali. Ramai sekali ibu-ibu berteriak tentang sudah atau belum pantasnya Nilam mengenakan pakaian demi pakaian yang disiapkannya, dan baru berhenti ketika mereka berteriak ‘pantaaas’.
Nilam tampil dengan dandanan yang anggun, yang walaupun perutnya membuncit tapi tidak sedikitpun mengurangi kecantikannya.
Wijan menepuk lengan Jatmiko dengan hangat.
“Nggak pengin?”
Jatmiko tertawa.
“Jelas lah aku pengin. Tunggu saja, sebentar lagi menyusul kok.”
“Syukurlah. Senang mendengarnya.”
“Selamat ya,” tiba-tiba Daniel mendekat sambil menyalami Wijan, lalu duduk di sampingnya.
“Terima kasih Mas,” jawab Wijan.
“Ini juga sudah kelamaan jadi duda keren, kapan menyusul nih?”
“Doakan saja. Habis belum ketemu yang cocok.”
Tapi di sebelah sana, ada petugas katering yang sedang menata hidangan di sebuah meja besar. Mata Daniel terbelalak, karena mengenal salah satu diantaranya.
***
Besok lagi ya.
Trmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
Delete🪴🌼🪴🌼🌹🦋🌹🪴🌼🪴🌼
ReplyDeleteAlhamdulillah Melati_08 sdh tayang gasik.
Terima kasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat.
Salam ADUHAI. Aamiin.......
Alhamdilillah Melati dapat "hadiah" dari pak Samiaji, atas kejujurannya dan pak Samiaji juga menawarkan pekerjaan yang lebih baik......
🪴🌼🪴🌼🌹🦋🌹🪴🌼🪴🌼
Sami2 mas Kakek
DeleteAduhai deh
Alhamdulillah tayang *MELATI* ke delapan
ReplyDeleteMoga bunda Tien sehat selalu doaku
Aamiin yaa Rabbal'alamiin
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
Aduhai deh
Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteHamdallah...cerbung Melati 08 telah tayang.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Melati, ujian datang kpd mu. Kuatkan iman mu, kembalikan dompet tsb, kpd empunya. Semoga kamu akan mendapatkan rejeki yang tdk di sangka datang nya
Sehat selalu ugi Ramadhan penuh Berkah nggeh Bunda.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun mbak Tien
Sami2 bu Djoko 😍
DeleteMatur nuwun
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiiik
DeleteAlhamdulilah Melati 08 sdh tayang... 👍👍 terima kasih bunda Tien Kumalasari, Semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat, bahagia dan dalam lindungan Allah SWT, salam hangat dan aduhai bun...🩷🩷🌹🌹
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai deh
Yang ditunggu telah terbit. Matur nuwun ...
ReplyDeleteSami2 pak Trie Tjahyo
DeleteAlhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat _Melati oh Melati👍 Maturnuwun 🌹🌹🌹🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah melati dah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *MELATI 08* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Wiwik
DeleteHooreee.... Daniel naksir tukang katering. Ayo cepat saja, dah kelamaan jadi duren.
ReplyDeleteBagaimana Melati, ingin ganti pekerjaan yang lebih baik? Mungkin pak Samiaji dapat menolong.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah, MELATI 08 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Matur nuwun Bu Tien, sehat selalu njih Bu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Ayo Melati...cepat pergi ke 'money changer', supaya segera dapat uang rupiah, mumpung kurs hari ini tinggi (15.796), berarti 15 juta lebih tuh...😅
ReplyDeleteTerima kasih ibu Tien untuk ide kerennya, memberi pengalaman baru bagi tokoh Melati...👍👍😀
Sami2 ibu Nana
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
Deletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteBoleh minta nomor kontaknya bu? Ada yang pengin kenal nih, sama2 Baturetno soalnya
Terima kasih bu Tien ... Melati 08 sdh tayang dan sdh dibaca ... tambah seru ceritanya , jangan sampai Melati terjebak Harjo si lintah darat yg jahat ... HBD bu Tien syg ... maaf terlambat ngucapinnya ... Semoga panj umur yg barokah ... bu Tien & kelrg sll bahagia dan sehat Wal''afiat ... Salam Aduhai .
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Enny
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillaah, Daniel kamu liat saja ada Melati,,, besok disamperin ya ..🤩
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua 🤗🥰
Mantab & Aduhaiii 😍
Sami2 ibu Ika
DeleteAduhai deh
Alhamdulillah MELATI~08 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Arif
🌹🌼🌹🌼🌹🌼🌹🌼
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
MELATI 08 sdh tayang.
Baru sempat buka blog
nih, abis ada acr, sebelum
bobo disempatkan baca dl.
Matur nuwun Bu Tien
yang baik hati.
Semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Salam aduhai...😍🤩
🌹🌼🌹🌼🌹🌼🌹🌼
Danil ketemu Melati ni sepertinya.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam hangat selalu aduhai
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sari, pasti acara bukber. Hahahhh.. sok tahu.
Alhamdulillah, smg Bu Tien sehat selalu. Aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah.. cerbung Melati 08 sdh tersakiti, mksh bunda Tien. Salam sehat selalu dan aduhai selalu.
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDelete