M E L A T I 07
(Tien Kumalasari)
Melati sudah menduga, ibunya tak akan suka. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Apa yang bisa ibunya lakukan? Kalau Melati tidak mau, maka ia harus bekerja di rumah tuan Harjo. Apa benar tuan Harjo hanya akan mempekerjakannya untuk membantu di rumah itu, atau ada maksud lain? Melati tidak bodoh. Pandangan mata tuan Harjo yang aneh, serasa akan menelannya mentah-mentah. Itu bukan pandangan biasa, tapi penuh nafsu. Merinding Melati memikirkannya.
“Apakah kamu memilih yang bekerja di rumah lintah darat itu?” tanya ibunya dengan sedih.
“Tidak Bu, Melati tidak ingin. Biarpun hanya semalam, tapi bahaya bisa datang setiap saat. Tapi bagaimana kita bisa mengembalikan uangnya dalam waktu seminggu?”
Karti pun terdiam. Ia tak punya apapun untuk bisa dipergunakannya mencari uang. Lalu ia berpikir tentang sertifikat itu. Kemana larinya, dan kalau digadaikan, di mana Suyono menggadaikannya?
“Baiklah Bu, ayo Melati bantu menyelesaikan jahitannya, sambil kita pikirkan jalan keluar dari masalah ini.”
“Kamu istirahat saja Mel, ini sudah hampir selesai. Besok bu Samijan mau mengambilnya pagi-pagi. Katanya mau dibawa pulang kampung.”
“Itu masih ibu pegang, kurang apanya sih Bu?”
“Hanya memasang kancing. Tidak susah. Kamu istirahat saja, kan sudah bekerja seharian. Ini akan ibu selesaikan sekarang.”
“Kalau hanya memasang kancing saja Melati kan bisa. Ibu yang harus istirahat. Kita sama-sama bekerja, tapi Melati kan masih muda, jadi masih banyak sisa tenaga, apalagi kalau hanya untuk memasang kancing. Mana Bu,” kata Melati setengah memaksa. Lalu Karti menyerahkan baju itu kepadanya.
“Ya sudah, ibu mau memotong pesanan bu Lastri saja, kalau begitu.”
“Lho, ibu istirahat saja, mengerjakan jahitan bisa besok lagi kan?”
“Baiklah kalau begitu. Nanti kalau pasang kancingnya sudah selesai, tolong disetrika dulu, supaya rapi saat diserahkan."
“Baik, Bu.”
Tapi dalam beristirahat itu pikiran mereka tetap saja dipenuhi oleh hutang Suyono yang harus dibayar. Dua buah pilihan yang sulit. Yang satu memerlukan uang pengembalian utang, satunya lagi memerlukan pengorbanan yang barangkali tidak mudah dilakukan. Rasa gundah itu tetap terbawa dalam tidur dan jaga. Bukan hal mudah untuk melakukannya.
***
Pagi sebelum berangkat ke warung, Baskoro sudah menyiapkan minum hangat untuk Daniel, yang baru saja pulang dari dinas malam.
Ketika dinas malam, Daniel baru sampai di rumah sekitar jam tujuh atau kurang.
“Kok pak Baskoro belum berangkat?”
“Anak-anak sudah menyiapkan semuanya, saya berangkat sebentar lagi.”
“Sebenarnya tidak usah repot-repot menyediakan minuman untuk saya begini, Pak. Saya kan lebih muda, harusnya saya yang menyiapkan untuk Bapak.”
“Hanya menyiapkan minuman, mengapa harus menghitung tua atau muda? Kebetulan saya bangun pagi dan membuat minuman sendiri, jadi sekalian membuatkan nak Daniel juga. Pas jadi, pas nak Daniel pulang.”
“Terima kasih ya Pak.”
“Saya juga mau menyerahkan uang ini, kan biasanya nak Daniel yang menyimpannya di bank.”
“Wah, bagus sekali. Warung Bapak kelihatan semakin maju. Kalau tabungan ini cukup, kita akan mencari tempat yang lebih luas.”
“Jangan tergesa-gesa Nak, kan baru setahun. Nanti kalau benar-benar warungnya sudah tidak muat, baru kita pikirkan mencari tempat yang lebih luas.”
“Baiklah, tapi kalau pak Baskoro membutuhkan sesuatu, silakan mengambil saja. Bukankah kartunya yang membawa Bapak?”
“Iya sih, tapi saya jarang mengambilnya. Untuk kebutuhan rumah, saya langsung ambil dari warung. Tidak mengambil dari bank. Semua catatannya ada di sini,” katanya sambil menyodorkan setumpuk uang dan sebuah buku catatan.
Baskoro sudah pernah bekerja kantoran, dan mengerti banyak tentang pembukuan, jadi dia mencatat semua pemasukan dan pengeluaran dengan sangat rapi dan teliti. Baskoro maklum, karena yang punya modal adalah Daniel, sedangkan dia hanya menjalankannya. Yang penting baginya adalah bisa memiliki tempat bernaung, dan bisa makan minum dengan cukup.
Daniel menarik buku catatan dan dibacanya sekilas. Ia sudah mempercayakan semuanya kepada Baskoro.
“Pak Baskoro jangan mengira bahwa ini semua adalah milik saya. Ini justru milik pak Bas, karena semua yang menjalankannya adalah pak Bas.”
“Tidak Nak, yang punya modal kan Nak Daniel. Jadi tetap saya harus mempertanggung jawabkan semuanya dengan baik.”
“Bapak jangan begitu. Punya uang saja tidak cukup dan tidak akan bisa berkembang kalau tidak dijalankan. Jadi jangan mengira saya akan menguasai semuanya karena merasa punya modal. Pak Baskoro berhak mempergunakan uang ini. Barangkali untuk beli kebutuhan sendiri, termasuk baju dan lain-lain.”
“Bukankah nak Daniel selalu memberi baju-baju ganti untuk saya? Ini sudah cukup, yang penting bersih dan rapi.”
“Baiklah, kalau begitu nanti saya yang akan beli untuk Bapak,” kata Daniel sambil menyerahkan kembali buku catatan itu, dan menyimpan uangnya untuk nanti dimasukkan ke bank sebagai tabungan mereka.
***
Hari itu di rumah Marjono sedang ada tamu. Tidak banyak, hanya beberapa kerabat Jatmiko dan teman dan salah satunya adalah yang dituakan, agar bisa membicarakan tentang lamaran Jatmiko untuk Anjani.
Agar terpaut setahun dari Nilam, karena Jatmiko ingin menunggu Marjono benar-benar sehat dan bisa beraktifitas secara normal. Tidak perlu bantuan dan bisa melakukan semuanya sendiri. Bahkan untuk membeli sesuatu yang memerlukan pergi dari rumah, Marjono tidak merasa kesulitan.
Hari bahagia yang dinantikannya sudah tiba. Anjani dilamar. Hal yang sudah lama dirindukannya. Punya menantu, dan punya cucu.
Pernikahan mereka akan dilakukan pada empat bulan yang akan datang, sambil mempersiapkan semuanya.
“Anjani, akhirnya semua mimpi akan menjadi nyata,” kata Jatmiko.
“Aku sudah lama memimpikannya, dan aku pernah hampir merasa kehilangan kamu.”
“Maksudnya?”
“Ketika aku meragukan bahwa kamu benar-benar mencintai aku, dan mengira mencintai mbak Nilam yang lebih segalanya dari aku.”
Jatmiko tertawa.
“Sebuah rasa bisa saja tersesat. Ketika itu aku hanya merasa bahwa Nilam sangat menarik. Apalagi untuk pertama kalinya ketika itu, aku menganggap dia adalah kamu. Hal lucu yang mengesankan,” kata Jatmiko sambil tertawa.
“Berarti kamu tak akan bisa melupakan pertemuan pertama kamu itu, dong.”
“Tidak bisa melupakan, tapi hanya aku anggap sesuatu yang lucu saja. Apa kamu cemburu? Kamu tidak usah khawatir, karena pada akhirnya aku menyadari bahwa yang aku cintai adalah kamu.”
Anjani tersenyum. Adakah kebahagiaan lain yang bisa dirasakan ketika dicintai oleh orang yang selalu diimpikannya?
“Oh ya, besok ada acara tujuh bulanan di rumah pak Wijan, kamu bisa datang kan?”
“Bisa, mas Wijan sudah mengundang aku. Tidak masalah, bukankah acaranya itu hari Sabtu? Aku libur, dong.”
“Syukurlah kalau begitu. Ikut senang mbak Nilam sudah mengandung, dan tampak sekali mereka sangat bahagia.”
“Nanti kamu juga akan mendapatkannya, Anjani, tunggu saja. Kita akan ngebut supaya kamu segera hamil,” kata Jatmiko yang membuat Anjani tersenyum malu.
“Menikah saja belum, bicara tentang hamil.”
“Pada akhirnya kan juga akan begitu? Aku sudah cukup tua, dan ingin segera memiliki keluarga. Kamu kan tahu, aku tidak punya siapa-siapa?”
Anjani menatap calon suaminya dengan rasa prihatin. Memang sejak masih kecil, Jatmiko tidak punya siapa-siapa. Dia teman masa kecilnya yang baik dan saling memperhatikan. Lalu ada rasa cinta yang tumbuh tanpa mereka sadari, sehingga dipertemukan kembali saat sudah sama-sama dewasa.
Kalau jodoh tak akan ke mana, dan itu sudah terbuktikan.
***
Tiga hari berlalu dan seminggu dari waktu yang diberikan tuan Harjo sudah semakin dekat. Melati belum menemukan jalan keluarnya.
Sore hari itu Melati sedang membeli benang pesanan ibunya. Ia hanya berjalan kaki, karena tokonya tidak terlalu jauh.
Barang yang dibutuhkan sudah berhasil di dapat, lalu Melati bermaksud membeli lauk untuk makan malam.
Hari sudah sore ketika itu, tapi Melati tidak perlu tergesa-gesa.
Tiba-tiba Melati melihat sesuatu tergeletak dipinggir jalan. Melati mendekat dan memungutnya. Jalanan agak sepi, dan udara sedikit mendung.
“Dompet?”
Melati menoleh ke sana kemari, tak ada orang yang sepertinya sedang mencari sesuatu yang hilang. Dompet itu agak besar, seperti sebuah tas kecil, tapi tebal. Melati membukanya, ada tumpukan uang, dan itu adalah dolar.
Melati berjalan minggir, lalu duduk di sebuah warung untuk membeli lauk. Sementara menunggu, Melati membuka lagi dompet itu. Uang itu kebanyakan dolar, hanya sedikit yang berupa rupiah. Melati tak akan menghitungnya. Khawatir pemilik warung akan curiga.
Tapi ada kartu tanda penduduk di dompet itu, Melati mengambilnya.
“Ini pemilik dompet itu,” katanya dalam hati.
“Samiaji, alamatnya jelas.
Tiba-tiba terbersit sebuah pikiran di benak Melati.
“Apakah Tuhan memberi aku pertolongan melalui uang yang aku temukan ini? Kalau dihitung hitung pasti jumlahnya sangat banyak. Apakah ada kira-kira enam puluh juta ya?”
Dengan demikian dia dan ibunya akan terbebas dari jeratan lintah darat itu. Melati berdebar seakan sudah mendapatkan pertolongan tak terduga. Ia mengelus dompet tebal itu dengan wajah berseri.
Ketika tukang warung memberikan pesanannya, Melati segera membayarnya, lalu memasukkan dompet yang ditemukannya ke dalam keresek makanan yang memang agak besar, karena dia sendiri tidak membawa tas, hanya sebuah dompet kecil yang hanya berisi uang tak seberapa, yang kemudian dimasukkannya sekalian ke dalam keresek itu.
Ketika kakinya melangkah pulang, terdengar azan magrip menggema di jalanan.
“Aduh, waktunya shalat,” gumamnya pelan.
Melati bergegas melangkah, tapi tiba-tiba gerimis menetes, dan hujan semakin deras. Melati berlari ketepi, dan melihat mushala di situ. Ia masuk, untuk berteduh, sekaligus menunaikan shalat.
Melati bersujud dengan penuh perasaan. Selalu disetiap doanya, dia memohon agar dimudahkan segala urusan, dan diterangkannya hatinya dari segala kegelapan. Ia bahkan menitikkan air mata di setiap jerit yang dikumandangkan dalam setiap doanya.
Melati mengembalikan rukuh yang dipinjamnya dari mushala itu, lalu duduk di tangga mushala, sambil menunggu hujan agak reda. Bungkusan benang dijadikan satu dengan lauk yang tadi dibelinya, agar mudah membawanya. Tiba-tiba dia sadar, ada dompet yang ditemukannya, dan penuh berisi uang. Sebuah kilatan melintas, membuatnya terpana.
“Itu bukan milikmu … itu bukan milikmu … itu bukan milikmu ….”
Sebuah bisikan bertalu memukul-mukul telinganya.
“Benar, barang ini bukan milikku, dan aku ingin menguasainya serta menganggap ini adalah sebuah pertolongan? Tidak, aku harus mengembalikannya.”
Melati ingat ada kartu penduduk di dalam situ. Ia mengambilnya, dan membacanya, dan mengingat-ingat alamatnya.
Tapi ia harus pulang dulu, karena sang ibu pasti cemas menunggu.
Hujan masih rintik, tapi Melati nekat keluar dari mushala itu. Entah mengapa, langkahnya menjadi sangat ringan, karena ia akan mengemban sebuah kebaikan yang harus dijalankannya.
***
“Ibu, ayo makan dulu, Melati sudah menyiapkannya di meja makan,” kata Melati yang sudah mengganti baju basahnya dengan baju yang bersih dan kering.
Karti menuju meja makan, di mana Melati sudah menata nasi dan lauknya. Tapi ia menatap heran, karena Melati sepertinya akan bepergian lagi.
“Kamu kok tidak pakai baju rumahan? Mau pergi ke mana, hujan-hujan begini?”
“Tidak hujan kok Bu, sedah reda. Melati mau mengembalikan dompet ini kepada yang punya,” kata Melati yang tadi sudah menceritakan kepada ibunya tentang dompet yang ditemukannya.
“Apa tidak bisa besok pagi sih Mel? Malam-malam begini?”
“Alamatnya tidak jauh dari sini kok Bu, lagian kasihan kalau dia kelamaan bingung mencari dompetnya. Biar dia segera lega, kalau dompetnya sudah kembali.”
“Ya sudah, terserah kamu saja. Tapi hati-hati, dan jangan lupa bawa jas hujan, kalau nanti hujan lagi, bagaimana.”
“Iya Bu. Ayo kita makan dulu.”
Melati membeli oseng soun dan lauk tahu tempe bacem, yang dimakannya dengan lahap.
“Beli di mana kamu tadi?”
“Di dekat toko benang yang tadi Melati beli, sebelum itu Melati menemukan dompetnya.”
“Kok ya tidak ada orang yang menemukannya, dan kebetulan kamu yang melihatnya.”
“Jalanan agak sepi, dan sepertinya belum lama dompet itu terjatuh. Warnanya hitam, jadi tidak terlihat dengan jelas. Ibu tahu tidak, tadi Melati sempat ingin mengambil uang itu untuk mengembalikan uang tuan Harjo. Tapi kemudian Melati sadar, bahwa itu bukan milik Melati, jadi Melati harus mengembalikannya.”
“Bagus. Ibu senang kamu memiliki pemikiran yang bersih. Kita tidak boleh menguasai sesuatu yang bukan menjadi hak kita. Kalau selesai makan, segeralah berangkat, tapi hati-hati di jalan ya.
***
Besok lagi ya.
🪴🌼🪴🌼🌹🦋🌹🪴🌼🪴🌼
ReplyDeleteAlhamdulillah Melati_07 sdh tayang gasik.
Terima kasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat. Aamiin.......
Sungguh mulia hatimu Melati, tidak ingin memiliki uang temuan, walaupun sebenarnya kamu sangat membutuhkan. Semoga Tuhan memudahkan segala urusanmu. Aamiin....
🪴🌼🪴🌼🌹🦋🌹🪴🌼🪴🌼
Sami2 mas Kakek
DeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Noor
Delete🍒🍑🍒🍑🍒🍑🍒🍑
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
MELATI 07 sdh hadir.
Akhirnya Jatmiko & Anjani
segera menikah, dan
Nilam sebentar lg punya
momongan.
Ikut senang deh 👍😍
Melati anak baik, semoga
mendpt jln utk membayar
hutang2 ayahnya ke tuan Harjo.
Matur nuwun Bu Tienkuuh
syantiiik...Doaku semoga
selalu sehat & bahagia
bersama kelg tercinta.
Salam aduhai...💓
🍒🍑🍒🍑🍒🍑🍒🍑
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Hamdallah...cerbung Melati 07 telah tayang.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Melati oh Melati, kamu jangan mau jadi Pekerja di rumah Lintah Darat ya..Warning lho..he..he..
Sehat selalu ugi Ramadhan penuh Berkah nggeh Bunda.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien 🙏
Sami2 ibu Indrastuti
DeleteAlhamdulillah tayang *MELATI* ke tujuh
ReplyDeleteMoga bunda Tien sehat selalu doaku
Aamiin yaa Rabbal'alamiin
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMatur nuwun, mbak Tien.....🥰🥰🥰
Sami2, bu Djoko
DeleteSehat .. sehat .. sehat..
Alhamdulillah , Terima kasih bunda
ReplyDeleteSemoga sehat walafiat
Salam Aduhai hai hai
Matur nuwun salam sehat
ReplyDeleteMbak Yaniiiiik
DeleteSami2
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai deh
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *MELATI 07* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulilah Melati 07 sdh tayang... terima kasih bunda Tien Kumalasari, Semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat, bahagia dan dilancarkan semua urusannya salam hangat dan aduhai bun...
ReplyDeleteSemoga melati dan ibunya mendapat pertolongan dan bisa keluar dari masalah dg rentenir kejam itu
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulllah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Atiek
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletenaturnuwun bunda
salam sehat selalu
Sami2 ibu Nanik
DeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien 🤗🥰
ReplyDeleteMasya Allaah, begitu mulianya Bu Tien Krn sy dpt pembelajaran yg harus dipetik dr cerita - cerita yg disuguhkan , mantab n aduhaiii 👍👍👍
Salam sehat wal'afiat selalu 😍
Sami2 ibu Ika
DeleteSalam sehat juga
Ada satu nasihat disini, jangan menginginkan yang bukan miliknya. Pasti nanti ada berkah tersendiri yang lebih baik.
ReplyDeleteJatmiko -Anjani semoga lancar" saja. Pak Baskoro semoga makin maju usahanya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Semoga pemilik dompet dapat menjadi penolong Melati yg sesungguhnya, bukan lintah darat seperti pak Harjo...duh, saya kok ga rela namanya mirip dengan bapaknya Wijan yg baik hati ya?😅
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...semoga sehat selalu.🙏
Alhamdulillah, MELATI 07 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
DeleteUR.T411653L
Sami2 ibu Uchu
DeleteSalam sehat kembali
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat _kian seru ikuti alur cerita Melati 👍 Maturnuwun 🌹🌹🌹🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terima kasih Bunda, maaf lama tidak.sempat komen di group , salam.sehat Bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Mundjiati
DeleteTidak apa2 kok. Yang penting tidak lupa sama saya
Alhamdulillah MELATI~07 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Arif
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia dati Yk....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat juga
Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu dan aduhai selalu.
ReplyDeleteSami2 ibu Komariah
DeleteAduhai deh
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 Mas MIRa
DeleteSemoga ada pertolongan buat Melati.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu. Aduhai
Sami2 ibu Sul
DeleteSalam sehat aduhai deh
Terimakasih bunda Tien semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nanik
Alhamdulillah sdh baca Melati 07, matursuwun, semoga Bu Tien sehat selalu bersama klg.
ReplyDeleteSelamat santap saur krn ada keberkahan dalam saur
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Umi