Saturday, March 23, 2024

M E L A T I 06

 M E L A T I    06

(Tien Kumalasari)

 

Kabul berdiri, mendekat ke arah laki-laki yang kepalanya berdarah itu. Lalu satpam kembali ke posnya.

“Ampun tuan Harjo, saya akan membayarnya. Tapi uang saya tiba-tiba hilang dicopet orang. Saya sampai berantem dan berdarah-darah, tapi dia berhasil melarikan diri,” katanya sambil berlutut.

“Kamu kira aku ini bodoh apa? Bagaimana seorang pencopet tahu bahwa kamu yang pakaian saja kusut dan lusuh, tapi membawa uang sebanyak sepuluh juta?”

“Barangkali juga tidak mengira kalau uang saya sebanyak itu.”

“Pencopet itu pasti memilih-milih, masa orang dengan panampilan miskin seperti kamu kemudian diincar seorang pencopet? Jangan membuat lelucon kamu, Dul!”

“Sungguh tuan Harjo.”

“Aku bukan tuan Harjo, buka matamu.”

Laki-laki itu menengadah, dan melihat orang di depannya, yang ternyata memang bukan tuan Harjo, tapi Kabul, kaki tangannya.

“Oh, maaf, pak Kabul.”

“Aku tidak mau tahu. Yang jelas hutang kamu sebanyak sepuluh juta harus dibayar. Janjimu pagi ini bukan?”

“Tapi saya terkena halangan, Pak. Pencopet itu ….”

“Diam! Jangan bicara tentang pencopet yang hanya akal-akalan kamu. Aku beri kamu waktu tiga hari.”

“Mohon beri waktu satu bulan, Pak. Saya yakin saya akan menang, dan bisa mengembalikan uang tuan Harjo.”

“Itu uang kekalahan kamu yang harus kamu bayar. Kamu goblog jarang sekali menang, yang ada hanyalah banyak hutang. Mana mungkin tuan Harjo mau memberi kamu waktu satu bulan lagi? Janji kamu hari ini, bukankah merupakan janji kamu sebulan yang lalu?”

“Tapi saya sudah menyiapkan, lihatlah kepala saya sampai berdarah-darah karena_”

“Diam!! Aku tidak percaya omong kosong itu. Pergi dan kembali membawa uangnya tiga hari lagi. Kalau tidak, kamu tahu sendiri akibatnya.”

“Saya mohon,” laki-laki yang dipanggil si Dul itu memohon-mohon.

“Pergi!! Atau aku hajar kamu sekarang?”

Si Dul berdiri, lalu meninggalkan Kabul dengan langkah lunglai.

Melati tiba-tiba merasa miris. Ternyata dia sedang berhadapan dengan orang yang tak memiliki peri kemanusiaan. Dari pembicaraan itu Melati bisa mengupas terjadinya hutang piutang itu. Seseorang kalah main, tak punya uang, hutang, kalah lagi, hutang, dan tuan Harjo menyediakan uang itu untuk kemudian menagihnya berikut bunga yang mencekik leher. Apakah itu juga yang terjadi pada ayahnya? Ia diam terpaku ketika Kabul kembali duduk di hadapannya.

“Baiklah, sampai di mana kita tadi? Oh ya, kamu mau melaporkan kepada yang berwajib, dengan tuduhan pak Harjo menghutangkan kepada ayah kamu dengan cara licik. Hutang fiktif yang tidak kelihatan buktinya, begitu?”

Melati diam membeku. Tampaknya yang namanya Harjo adalah orang yang kebal hukum. Dia sangat ditakuti karena memiliki harta yang berlimpah.

“Kamu tahu, tuan Harjo sangat berbaik hati menyediakan uangnya untuk penjudi yang kalah. Tapi tentu saja itu tidak cuma-cuma. Ada bunga yang harus dibayar. Itulah juga yang terjadi pada ayah kamu. Mengapa tuan Harjo baru menagihnya sekarang? Karena dia sangat baik hati. Ayahmu sudah meninggal, dan waktu setahun cukup untuk menunggu. Uang itu digunakan untuk ‘menolong’ orang lain yang membutuhkan. Jadi sampai kapanpun akan tetap ditagih.”

Kabul berkata pelan, tapi nada suaranya terdengar sangat menekan. Tak akan ada ampun atau belas kasihan.

“Bisakah saya bertemu tuan Harjo?”

“Kamu mau bertemu untuk apa? Aku ada di sini untuk mewakili tuan Harjo. Semua tanggung jawab ada ditanganku. Jadi apa yang ingin kamu katakan? Waktumu tinggal lima hari lagi.”

“Tolonglah, kami hanya hidup berdua, ibu dan anak, yang memiliki penghasilan pas-pasan untuk menyambung hidup. Baiklah, kalau memang ayah saya berhutang, saya akan membayarnya, tapi tidak sekarang, atau lima hari lagi,” akhirnya Melati mengalah tentang hutang itu. Ia tak ingin sang ayah di sana terbebani dosa hutang yang tak bisa ditanggungnya. Ia bersedia membayarnya.

“Enak saja. Sudah setahun kami membiarkannya,” kali ini suara Kabul terdengar meninggi. Ia memang tak punya hati.

“Saya mohon.”

“Bul, ada apa?”

Tiba-tiba seseorang muncul. Dengan pakaian rapi membungkus tubuhnya yang tambun, ia berdiri di tengah pintu, menatap Melati tak berkedip.

“Ini, Tuan. Namanya Melati.”

“Mau apa dia?”

“Dia anaknya Suyono.”

“O, anaknya Suyono? Cantik bener,” kata tuan Harjo sambil menjilat bibirnya.

"Membayar hutang ayahnya, memerlukan datang sendiri, bukan main. Aku suka … aku suka … “ katanya kemudian duduk di depan Melati, sedangkan Kabul kemudian berdiri, dan tetap berdiri agak menjauh dari tuannya.

Melati menenangkan hatinya.

“Tuan, saya kemari bukan untuk membayar hutang almarhum ayah saya.”

“Lhoh, mau apa? Mau melamar jadi pembantu di rumah ini?” kata Harjo sambil terkekeh.

“Maksud saya, bukan membayarnya sekarang. Saya minta waktu.”

“O, begitu? Bukankah sudah setahun aku memberinya waktu?”

“Tapi ibu saya baru tahu kemarin. Ini terlalu mendadak. Kami bukan orang berkecukupan. Ibu saya hanya penjahit, saya bekerja di sebuah perusahaan katering. Mana bisa tiba-tiba membayar sekian puluh juta?”

Melati bicara dengan lemah lembut, dan itu membuat tuan Harjo yang memang menyukai perempuan cantik kemudian berpikiran lain. Bibir Melati yang bergerak-gerak, tak luput dari pandangan tuan Harjo yang menatapnya penuh pesona.

“Baiklah, sekarang katakan, sampai kapan kamu akan bisa membayarnya?”

“Saya akan mencicilnya sampai lunas. Saya berjanji.”

Tuan Harjo terkekeh.

“Berapa pengasilan kamu setiap bulan?”

“Tidak banyak, Tuan. Hanya cukup untuk makan.”

“Kalau penghasilan kamu hanya cukup untuk makan, bagaimana kamu bisa menyisihkan uang untuk mencicilnya?”

Kabul menatap tuannya dengan heran. Kemana wajah bengis yang selalu ditampakkannya setiap kali menghadapi para penghutang. Bagaimana mungkin dia bersikap begitu manis pada gadis itu?

“Saya akan berhemat.”

“Berapa kira-kira kamu bisa mencicilnya setiap bulan?”

Melati tampak berpikir Ia menghitung-hitung penghasilannya, dan kalau berhemat, dia bisa mencicilnya sebulan sekitar dua juta. Itupun soal makan dia bergantung pada ibunya. Entahlah untuk kebutuhan lainnya.

"Dua juta, Tuan. Setiap bulan."

“Dua juta ya. Tahukah kamu kalau kamu mencicil hutang ayahmu dengan dua juta setiap bulan, kamu baru akan bisa menyelesaikannya sekitar tiga tahun.”

“Mengapa tiga tahun, Tuan?”

“Kamu tidak menghitung bunganya?”

Melati mengeluh dalam hati. Tapi kalau hal itu disetujui oleh tuan Harjo, maka ia akan merasa sedikit lega.

“Iya kan? Begini. Melihat keadaan kamu, dan mengingat bahwa kalian baru mengetahui kalau ayahmu punya hutang, maka aku beri kamu kelonggaran.”

Wajah Melati berseri.

“Tapi … selama itu kamu harus berada di rumah ini.”

Melati terpana. Berada di rumah ini, maksudnya apa?

“Ka … kalau saya di rumah ini, ba gaimana saya bisa bekerja? Bagaimana bisa membayar atau mencicil hutang itu?”

“Jangan bodoh. Aku akan memberi kamu penghasilan, lebih dari yang kamu dapat dari perusahaan katering itu.”

“Lal … lalu … saya di sini melakukan apa?”

Tuan Harjo menyeringai, menampakkan gigi tengahnya yang bolong. Entah mengapa dia tidak memasang gigi palsu pada giginya yang tanggal.

“Banyak yang bisa kamu lakukan. Bersih-bersih kamarku, melayani aku makan dan minum, tidak berat kok. Bagaimana.”

Tiba-tiba Melati merasa takut. Banyak hal bisa terjadi kalau dia benar-benar bersedia memenuhi permintaan tuan Harjo.

“Bagaimana? Kamu boleh pulang saat pagi, karena kalau pagi aku harus bepergian. Jadi kamu datang sore, bekerja malam dan pulang pagi.”

“Apa? Bekerja malam dan pulang pagi?” mata Melati terbelalak.

“Apa kamu tidak mengerti? Aku berangkat pagi dan pulang malam. Kalau kamu harus melayani aku, pastinya ya saat aku di rumah. Masa tidak mengerti juga. Aku akan memberikan kamar yang bagus untuk kamu, supaya kamu bisa beristirahat dengan nyaman.”

“Tu … tuan, bagaimana kalau saya tetap bekerja di katering saja, saya tidak akan ingkar, saya akan mencicilnya. Kalau ada rejeki lebih, saya akan mencicilnya lebih banyak.”

“Mengapa kamu begitu bodoh? Di sini kamu merasa lebih ringan. Kalau pekerjaan kamu memuaskan, aku bisa memberi kortingan. Maksudku, mengurangi jumlah hutang ayahmu itu. Dan kamu bisa punya uang lebih banyak. Karena aku sangat royal kepada perempuan yang bisa menyenangkan aku.”

“Mak … maksud tuan … menyenangkan itu apa?” Melati memberanikan diri untuk bertanya. Seandainya itu satu-satunya jalan yang lebih ringan, ia akan menjalaninya, tapi ia harus tahu kejelasan dari pekerjaan itu.

“Mengapa kamu begitu bodoh? Menyenangkan adalah pekerjaan kamu memuaskan. Bukankah kamu aku pekerjakan di sini?”

Melati tak segera menjawab.

“Baiklah, aku akan segera pergi, karena ada urusan. Kamu pulanglah dan pikirkan tawaranku tadi. Tapi kalau kamu tidak bersedia menjalaninya, aku tetap menuntut kamu bisa mengembalikan selama seminggu lagi,” kata tuan Harjo tandas.

“Waktunya tinggal lima hari, Tuan,” Kabul menyela.

“Tidak, aku beri waktu longgar dua hari, jadi pikirkanlah. Waktumu seminggu,” kata tuan Harjo sambil berdiri, dan memberi isyarat dengan tangannya, agar Melati segera pergi.

***

Karti menunggu dengan gelisah di depan rumah, sambil memegangi selembar kain yang akan dijahitnya. Ia sangat takut Melati kenapa-kenapa, mengingat sikap dua orang yang mendatangi rumahnya kelihatan sangat kejam. Ia juga tak yakin apa yang dikatakan Melati akan di dengar oleh mereka.

Karti merasa lega ketika Melati datang dengan sepedanya.

“Bagaimana? Apa kata mereka?”

“Nanti saja Melati cerita ya Bu, sekarang Melati harus kerja dulu, ini sudah terlambat, padahal hari ini banyak pesanan,” kata Melati yang masuk ke dalam untuk mengganti seragam katering, kemudian keluar lagi dan mencium tangan ibunya untuk berpamitan.

“Bu, tadi saya beli sayur dan lauk di jalan, saya letakkan di meja makan. Ibu belum makan, kan?”

“Bagaimana hasilnya, kamu ketemu yang namanya tuan Harjo itu?”

“Iya, sedang dalam pertimbangan. Nanti kita bicara lagi ya Bu, sekarang Melati harus berangkat bekerja dulu,” kata Melati sambil tersenyum, kemudian menghampiri sepedanya yang masih tersandar di pohon depan rumah.

Karti menatapnya, sampai bayangan Melati tak tampak lagi. Tapi ada rasa lega, melihat Melati pulang tak kurang suatu apa.”

***

 Kesibukan di tempat kerja membuat Melati sedikit melupakan pembicaraannya dengan tuan Harjo, yang semula amat membuatnya resah.

Tapi ketika saat istirahat tiba, ingatan itu kembali melintas. Ada dua pilihan yang sama berat, dan harus dipilihnya salah satu. Membayar limapuluh juta plus bunga dengan waktu tujuh hari yang diberikan, atau bekerja di rumah tuan Harjo sampai hutangnya lunas.

Bekerja di rumah tuan Harjo? Orang yang kasar, tapi matanya tampak mengerikan ketika menatapnya. Ia merasa sepertinya tuan Harjo akan menelannya bulat-bulat waktu itu. Apakah yang terjadi nanti hanya ia cukup bekerja, melayani makan minum, lalu pulang, atau jangan-jangan ….

Melati bukan anak kecil, apapun bisa saja terjadi.  Apalagi dia bekerja malam. Apakah dia bisa menolak seandainya mata buas tuan Harjo mengharapkan sesuatu yang lebih?

Lalu kalau itu tidak dilakukannya, maka ia harus menyediakan uang sedikitnya enam puluh juta sebagai pembayar hutangnya? Kemana ia harus mencari uang sebanyak itu. Tabungannya ada, hanya sekitar dua atau tiga juta. Kemana ia harus mendapatkan puluhan juta lainnya?

Ia memijit-mijit keningnya yang terasa pusing. Ketika teman-temannya makan, ia hanya duduk melamun di meja kerjanya.

“Mbak Melati, ini aku ambilkan makan untukmu. Kelihatannya lagi capek ya? Beberapa hari ini seperti sedang banyak pikiran?” tanya Ana sahabatnya.

Melati menatap kardus makanan yang disiapkan di depannya.

“Makan dulu, masih ada yang harus kita kerjakan setelah ini,” kata Ana sambil membuka kardus makanan itu, dan menyodorkannya ke depan Melati.

“Terima kasih, Ana.”

Dengan enggan Melati mengambil sendok, dan menyuapnya perlahan.

“Mbak, makan yang banyak, biar aku temani di sini,” kata Ana yang kemudian mengambil kursi dan duduk di depan Melati. Ia berharap, dengan adanya dia makan, Melati mau makan dengan lahap. Dan itu benar, sedikit demi sedikit akhirnya Melati menghabiskan jatah makannya.

Pesanan memang agak banyak hari itu, sehingga Melati pulang agak sore. Ketika ia datang, ibunya sedang menjahit baju.

“Ibu tidak istirahat?” sapa Melati ketika melintas didekat ibunya.

“Tadi sudah. Ini pesanan bu Samijan, dia minta agar bisa selesai dalam dua hari, karena mau ke kampung, saudaranya ada yang menikah.”

“Oh, nanti setelah ganti baju, Melati akan membantu.”

“Ini hampir selesai, kamu tidak usah khawatir. Ibu juga sudah membuatkan minum untuk kamu.”

“Ah, mengapa ibu sangat repot?”

Melati menuju ke ruang tengah, di mana ibunya sudah menunggu. Melati tahu, pasti ibunya ingin agar dia segera menceritakan pertemuannya dengan tuan Harjo.

Melati menghirup teh hangatnya.

“Katakan hasil pertemuan kamu dengan tuan Harjo.”

Melati menghela napas, ia harus mengatakan semuanya, karena ia tak ingin ibunya terus menerus penasaran.

Karti sangat terkejut mendengar Melati mengatakan hasil pembicaraannya itu.

“Apa? Tidak … mana mungkin kamu bekerja di sana? Malam hari pula?” Karti berteriak.

***

Besok lagi ya.

57 comments:

  1. Alhamdulillah tayang *MELATI* ke enam
    Moga bunda Tien sehat selalu doaku
    Aamiin yaa Rabbal'alamiin

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang

    ReplyDelete
  3. Teriima kasih, bu Tien cantiiik...

    ReplyDelete
  4. Hamdallah...cerbung Melati 06 telah tayang.

    Terima kasih Bunda Tien

    Sugeng Ambal Warsa ing dina Jumat penuh Berkah...wingi.. kagem Bunda Tien Kumalasari

    Barakallah Fii Umrik

    Salam Ramadhan penuh Berkah nggeh Bunda...Salam berakhir pekan

    🤲🏼🎂🍪🍦🍰🧁🍭🍬🥧🍡🍩🍢🌹🌹🌹👏👏👏

    ReplyDelete

  5. Alhamdullilah
    Cerbung *MELATI 06* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...
    .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Terimakasih pak Wedeye

      Delete
  6. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat _kian seru ikuti alur cerita Melati 👍 Maturnuwun 🌹🌹🌹🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Terimakasih pak Herry

      Delete
  8. Alhamdulillah
    Melati dah tayang
    Maturnuwun bu Tien
    Salam aduhai hai hai hai

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah... sugeng brbuka puasa bunda Tien, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  10. 💐🍓💐🍓💐🍓💐🍓
    Alhamdulillah 🙏🦋
    MELATI 06 sdh tayang.
    Matur nuwun Bu Tien
    yang baik hati.
    Semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat & bahagia.
    Salam aduhai...😍🤩
    💐🍓💐🍓💐🍓💐🍓

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah .... Trimakasih bu Tien .... semoga sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Terimakasih ibu Endang

      Delete
  12. Alhamdulillaah, Matur nuwun Bu Tien 🤗🥰
    Begitulah hidup ketika seorang ayah penjudi , keluarga nya sangat menderita,, jd sabaar ya Melati,, sy pun in syaa Allaah akan sabar mbaca sampai kamu bahagia akhirnya , 🤩🤩

    Salam sehat wal'afiat semua Bu Tien
    Tetap aduhaiii 👍👍👍😍

    ReplyDelete
  13. Kerja dirumah lintah darat, tampaknya ringan dan menyenangkan. Apalagi orangnya mata keranjang, hi hi hi... mengerikan.
    Menunggu Melati bertemu Dewa Penolong, mungkin orang yang pernah menabraknya dulu.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Terimakasih pak Latif

      Delete
  14. Suwun bu Tien. Selalu bikin penasaran cerita bu Tien. Dan sll menunggu. Salam sehat dan semangat

    ReplyDelete
  15. Happy milad mbak Tien 22.03.24 ... Smg diparingi kesehatan yg prima, selalu happy bersama keluarga dan aduhai selalu karya2nya menghibur jami para pctk dmnpun berada. Kok ikut deg2an...kira2 Danielkah dewa penyelamat Melati? Wah hrs nunggu Senin ini jwbnnya...sabar menunggu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Terimakasih ibu Sapti

      Delete
  16. Alhamdulillah MELATI~06 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat semangat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Terimakasih pak Djodhi

      Delete
  17. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
      Terimakasih ibu Salamah

      Delete
  18. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
    Terimakasih pak Munthoni

    ReplyDelete
  19. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat dr Yk...

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, MELATI 06 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  21. Terima kasih Mbu Tien... akn mnjadi part² yg mnegangkn kedepannya...
    Seht sllu bersama keluarga trcnta

    ReplyDelete
  22. Terimakasih.. Bunda Tien salam sehat jasmani rohani ekonomi

    ReplyDelete
  23. Sami2 ibu Nanik.
    Btw ibu Nanik dari Wonogiri kah?

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah Melati 06 sdh hadir, matursuwun Bu Tien. Salam sehat dan bahagia selalu bersama amancu💖

    ReplyDelete
  25. Aamiin Yaa Robbal Alamiin
    Terimakasih pak Arif

    ReplyDelete

ADA MAKNA 42

  ADA MAKNA  42 (Tien Kumalasari)   Wahyu saling pandang dengan sang istri. Tia mengambil seikat mawar itu lalu membawanya ke kamar penganti...