Friday, March 22, 2024

M E L A T I 05

 M E L A T I    05

(Tien Kumalasari)

 

Karti tertegun mendengar ucapan anaknya. Lintah darat bernama Harjo itu kelihatan angker dan tatapannya seram seperti setan. Pembantu yang bernama Kabul itu memiliki wajah garang dan mata seperti iblis.

“Melati, kamu belum tahu, bagaimana orang yang bernama Harjo dan pembantunya. Kalau kamu mau datang, apa yang akan kamu katakan? Ucapan ibu sama sekali tidak didengarnya. Ibu dihardiknya sampai setengah pingsan.”

“Bagaimanapun caranya, orang seperti dia harus dihadapi dengan berani. Nanti dia bisa berbuat sewenang-wenang. Kalau memang bapak berhutang, kita akan membayarnya, tapi kan harus melihat keadaan kita seperti apa. Kalau ternyata kita tidak mampu, dia harus mengijinkan untuk mencicil.”

“Tapi Melati, kamu itu gadis yang lemah lembut, bagaimana orang-orang yang garang seperti mereka mau mendengarkan kata-kata kamu?”

“Orang bisa saja lemah, tapi jangan mau ditindas. Cacing saja, kalau diinjak pasti menggeliat.”

Melati berkata lembut, tapi terdengar sangat berani. Hal itu tidak membesarkan hati Karti. Dia justru khawatir.

“Mel, ibu sangat takut.”

“Kalau Ibu takut, maka Ibu harus memiliki uang sebanyak yang dia inginkan. Lagi pula apa dia menunjukkan bukti bahwa bapak berhutang pada dia? Adakah ditunjukkan bukti itu?

“Dia hanya bilang bahwa ayahmu punya hutang. Bukti apa, maksudmu surat?”

“Ya pasti lah Bu, orang berhutang pasti ada buktinya. Kalau hanya kata-kata, hal itu tidak bisa membuktikan apapun. Dia hanya berbohong, dan itu hanya untuk memeras kita.”

“Masa dia begitu tega memeras orang miskin seperti kita?”

“Kita ini bukan miskin Bu, kita hanya orang yang sederhana. Miskin harta, tapi janganlah miskin jiwa. Yang namanya Harjo itulah yang miskin. Miskin jiwa, miskin nurani. Dia seperti bukan manusia.”

Karti menatap anak gadisnya. Mata beningnya memancarkan kemarahan, seperti semburan api yang menyala-nyala. Walaupun memberinya semangat, tapi rasa takut itu tetap saja ada. Melati hanya belum tahu. Karena itulah Karti berusaha menghentikan maksud Melati untuk menemuinya.

“Mel, sudahlah, jangan lakukan itu. Mereka itu orang kejam. Kamu tak akan menang melawan mereka.”

“Bu, Ibu tak usah khawatir. Ini bukan sebuah pertarungan adu otot. Ini adalah sebuah pertarungan untuk mencari kebenaran.”

“Melati ….”

“Sekarang ayo kita makan Bu, kalau timlonya masih ada, Melati akan menggoreng telur saja. Bukankah kata ibu ada telur pemberian bu Samijan?”

Karti tampak enggan. Perasaan gundah membuat perutnya tak terasa lapar.

“Bu, ayolah. Ibu duduk di ruang makan dulu, Melati akan siapkan semuanya. Lagipula bukankah ibu harus minum obat pula?”

“Obat yang harus ibu minum sudah habis, siang tadi terakhir.”

“Apa besok perlu kontrol ke puskesmas lagi?”

“Ibu sudah tidak sakit. Tidak usah saja. Besok ibu sudah akan mulai menjahit lagi. Masih ada beberapa pesanan yang belum ibu selesaikan.”

“Baiklah Bu, asalkan ibu jangan terlalu capai.”

“Ibu ingatkan lagi, keinginan kamu untuk menemui tuan Harjo ….”

“Ayolah, Melati mau menggoreng telur dulu, ibu tunggu di meja makan ya.”

Melati beranjak ke belakang, Karti melangkah ke ruang makan dengan lunglai. Tampaknya ia tak akan berhasil mencegah keinginan Melati untuk menemui tuan Harjo. Mulutnya membisikkan doa, semoga Allah melindunginya, dan tercapai apa yang menjadi keinginannya.

***

Setelah menelpon kantor untuk mengatakan bahwa dia akan datang terlambat, Melati mengayuh sepedanya ke rumah tuan Harjo. Tak susah mencari rumah megah milik tuan Harjo, karena tuan Harjo adalah orang kaya yang sangat terkenal di kota itu. Melati sendiri tak pernah membayangkan akan menginjakkan kakinya di pelataran rumah itu, karena tak pernah berurusan dengan keluarga sekaya tuan Harjo. Kalau ayahnya mengenalnya, barangkali karena urusan perjudian atau entahlah. Yang jelas Melati sekarang harus menemuinya, dan menegurnya agar tidak melakukan hal yang semena-mena.

Melati sudah sampai di rumah megah itu. Dibalik gerbang, ada penjaga yang berjaga siang malam secara bergantian.

Begitu Melati menyandarkan sepedanya di tembok sebelah gerbang, Melati dikejutkan suara anjing yang menyalak dengan suara garang.

Untunglah anjing itu ada di dalam sebuah kerangkeng besi, tak jauh dari rumah kecil tempat satpam itu berjaga.

Melati berdiri di depan gerbang besi, lalu satpam penjaga itu mendekat, serta menegurnya dengan suara kasar.

“Hei, mau apa kamu?”

Rupanya keluarga tuan Harjo, dari anjing sampai satpam memang dilatih untuk bersikap garang. Melati menata batinnya untuk bersabar. Ia sedang beranjak ke dalam dunia lain, yang bukan dunia orang kebanyakan.

“Saya mau bertemu tuan Harjo. Ijinkan saya masuk,” suara Melati yang lembutpun tidak bisa merendahkan sedikit saja suara garang si satpam.

“Memangnya kamu itu siapa, mau menemui tuan Harjo?” kata satpam itu sambil menatap Melati dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tatapan merendahkan.

Suara sang satpam bersahutan dengan salak anjing yang tak hendak berhenti.

“Nama saya Melati. Saya ingin bicara dengan tuan Harjo.”

“Dasar bodoh. Tuan Harjo itu seorang petinggi di perusahaan. Dia tidak bisa bertemu dengan orang sembarangan.”

“Saya ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting.”

“Apa maksudmu sangat penting? Apa kamu ingin menjajakan wajah kamu yang cantik itu di hadapan tuan Harjo? Dengar, tuan Harjo memiliki selera tinggi terhadap perempuan. Bukan hanya wajah cantik, tapi juga penampilan yang menawan, seksi. Sedangkan kamu itu apa? Kalau kamu mau, sama aku saja. Aku juga punya sedikit uang yang_”

“Berhentilah menghina saya,” Melati memotong perkataan satpam yang dianggapnya sangat menjijikkan.

Satpam itu tertawa terbahak-bahak. Melati memang sangat cantik, tapi pakaian sederhana yang dikenakannya, tak cukup membuat lelaki seperti satpam itu berselera, apalagi nanti kalau tuan Harjo melihatnya.

“Pak, tolong buka pintunya, saya ingin bicara tentang hal yang sangat penting, bukan tentang menjual diri. Saya bukan wanita seperti itu,” kata Melati yang masih berusaha bersabar.

“Tidak bisa, kecuali kalau kamu sudah ada janji dengan pak Harjo.”

Melati hampir putus asa, tampaknya satpam itu bersikeras tak mau membukakan pintu untuknya. Mata Melati berkaca-kaca, bukan karena takut, tapi karena harapan yang diinginkannya seperti tak akan berhasil karena ulah satpam itu.

Melati hampir membalikkan tubuhnya, ketika dari jauh seseorang berteriak.

“Siapa itu?”

“Ini Pak, gadis yang bersikeras ingin menemui tuan Harjo, mana saya berani membukakan pintunya,” jawab satpam itu.

Harapan di hati Melati tumbuh ketika seorang laki-laki bertubuh gempal berwajah menyeramkan melangkah mendekat. Mungkinkah dia yang bernama Kabul? Pikir Melati.

Laki-laki itu sudah berdiri di depan gerbang. Menatap Melati tak berkedip. Ada kilatan aneh di matanya.

“Kamu mau apa?” tanyanya sambil menatap Melati tak berkedip.

“Saya ingin bertemu tuan Harjo.”

Laki-laki itu menyeringai. Apakah tuan Harjo memesan perempuan kampungan ini untuk bersenang-senang dengannya?

“Kamu dipesan oleh tuan Harjo?”

Melati menatap bingung. Apa maksudnya dipesan? Tiba-tiba bulu kuduknya meremang. Ia merasa laki-laki didepannya sedang menatapnya penuh nafsu.

“Aap ..pa maksudnya? Saya ingin bicara dengan tuan Harjo, itu saja. Apakah bapak ini pak Kabul?”

Laki-laki yang memang Kabul itu terbahak. Senang sekali mendengar Melati mengerti siapa dirinya.

“Rupanya aku ini sudah sangat terkenal sehingga kamu mengenalku, cantik.”

Melati memalingkan wajahnya. Risih melihat cara memandang Kabul yang dirasa sangat menjijikkan.

“Saya Melati, ingin membicarakan hutang ayah saya kepada tuan Harjo,” katanya tanpa menatap lelaki dihadapannya.

"Oh, kamu sebenarnya siapa??”

Sekarang Kabul menatapnya penuh selidik.

“Saya anaknya pak Suyono.”

“Haa, anaknya Suyono?”

Kabul menoleh kepada satpam, memerintahkan agar satpam membuka gerbang.

Melati merasa lega.

Kabul membawanya masuk menuju rumah besar yang jaraknya dari gerbang lumayan jauh karena halaman rumah itu memang sangat luas.

 Agak berdebar Melati ketika Kabul mempersilakannya duduk di teras yang berada di tengah taman dengan tumbuhan pohon-pohon perdu yang ditata rapi.

“Tunggu sebentar,” perintah Kabul dengan nada seorang pembesar. Melati hanya mengangguk. Bagaimanapun dia adalah tamu. Ia duduk sendirian, menebarkan pandangan mata ke sekitar halaman luas itu dengan kagum. Beginilah orang kaya. Rumah bagus, halaman rumah menyejukkan dan sedap dipandang mata. Ada bunga-bunga anggrek yang berbunga indah di sepanjang pagar, dengan warna yang berwarna-warni. Dulu Melati pernah diberi temannya, sebuah pohon anggrek, tapi mati karena tidak bisa merawatnya. Mungkin juga si pohon tidak kerasan karena halaman rumahnya yang sempit dan pengap. Apalagi waktu itu adalah musim kemarau, Melati tak sempat merawat bunga seperti mestinya. Kecuali itu kesibukannya bekerja juga menyita banyak waktunya di luar rumah. Ibunya sendiri juga sibuk menjahit demi mencukupi kebutuhan hidupnya.

“Kamu anak Suyono?”

Tiba-tiba terdengar suara Kabul. Kok bertanya lagi sih, kan tadi sudah diberi tahu?

Melati hanya mengangguk. Matanya mencari-cari mana yang bernama tuan Harjo.

“Tuan Harjo baru bangun tidur. Bicara saja sama aku. Apakah kamu membawa uang yang akan dipergunakan untuk membayar hutang ayahmu?” Kabul menatap tajam, membuat Melati sekarang sedikit merasa takut. Dia hanya ingin bicara tentang hutang ayahnya, yang mungkin bisa dicicil, tapi orang kaya itu mengira dia akan membayar hutangnya.

“Bagaimana?”

Melati tersentak.

“Pak, kedatangan saya ini … bukan untuk membayar hutang,” katanya pelan.

“Apa maksudmu? Tuan Harjo mengharapkan uangnya segera dikembalikan, ternyata kamu datang tidak ingin membayar hutang?”

“Saya … ingin menanyakan tentang hutang ayah saya. Maksud saya, apakah ada perjanjian hutang diantara ayah saya dan tuan Harjo? Mm.. apakah ada surat hutang itu?”

Mata Kabul menyala dengan garang, seperti mata serigala yang ingin memangsanya. Barangkali begitulah sikap yang harus ditunjukkannya, ketika sedang menagih hutang, atau memaksa seseorang.

“Jadi kamu tidak mempercayai tuan Harjo? Kekayaan tuan Harjo yang berlimpah ruah, membuat tak seorangpun meragukan kebenaran kata-katanya. Dan kamu meminta surat bukti hutang itu?”

“Maaf, menurut saya, hutang sedemikian banyak harus ada surat yang menyatakannya bukan? Saya tidak percaya tuan Harjo memberikan uangnya begitu saja kepada seseorang tanpa surat perjanjian hutang. Kalau orang yang berhutang itu ingkar, tuan Harjo tak bisa berbuat apapun. Buktinya tidak ada, ya kan?”

Kabul tertawa terbahak-bahak. Melati memang bukan gadis yang bodoh. Tapi ia sangat lugu. Ia tidak tahu bahwa tuan Harjo bisa melakukan apapun yang dia inginkan. Seseorang ingkar akan janjinya kepada tuan Harjo? Pada suatu hari orang itu ditemukan tewas mengapung di sungai.

Dan ada lagi, tiba-tiba orang yang menipu tuan Harjo, ditemukan gantung diri di rumahnya.

Melati mengerutkan keningnya. Ia heran karena kata-katanya dianggap sebuah lelucon oleh orang yang ada di depannya.

“Tuan Harjo tidak memiliki surat hutang itu. Ia memberikan uangnya tidak sekaligus, tapi bertahap. Hari ini hutang lima juta … beberapa hari kemudian tujuh juta, lalu sepuluh juta .. lama-lama menjadi lima puluh juta. Kamu tidak tahu kalau ayahmu adalah seorang penjudi dan peminum?”

Melati menundukkan kepalanya. Kelakuan ayahnya yang buruk sudah sejak lama didengarnya. Tapi dia sama sekali tidak menduga bahwa ayahnya yang sudah meninggal masih juga meninggalkan noda dan kesengsaraan bagi anak istrinya.

“Apa yang akan kamu katakan? Apa kamu masih tidak mau mempercayai tuan Harjo? Uangnya sudah sangat banyak, tidak sudi dia menipu uang yang hanya limapuluh juta.”

“Karena tidak ada surat hutang yang membuktikannya, kalau saya melaporkan tuan Harjo kepada yang berwajib, maka tidak ada yang akan memaksa saya untuk membayar hutangnya,” Melati merasa apa yang dikatakannya adalah benar. Mana buktinya kalau ayahnya punya hutang?

Tapi Kabul kembali tertawa sangat keras. Lebih keras dari yang pertama, membuat bulu kuduk Melati merinding.

“Terserah kamu mau bilang apa. Yang jelas hutang Suyono adalah tetap akan menjadi hutang, dan akan ditagih sesuai apa yang dikatakannya ketika bertemu dengan ibumu. Seminggu lagi, kurang dua hari, kalian harus membayarnya,” katanya tandas, kali ini tidak disertai tawa.

Melati sangat kesal. Ia sama sekali tidak takut, karena merasa benar. Ia tidak tahu siapa Harjo dan siapa Kabul, anak buahnya.

Tiba-tiba terdengar langkah mendekat. Satpam yang berjaga diluar menyeret seorang lelaki yang tubuhnya berdarah-darah. Melati menutup wajahnya karena ngeri.

***

Besok lagi ya.

58 comments:

  1. Alhamlillah...matur suwun ibu, mugi tansah pinaring sehat. Doaku dr Magelang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
      Terima kasih ibu Butut
      Apa kabar

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Melati tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam Aduhai hai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
      Terima kasih ibu Endah

      Delete
  5. Alhamdulillah
    Matur sembah mbak Tien..sehat selalu

    ReplyDelete

  6. Alhamdullilah
    Cerbung *MELATI 05* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...
    .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
      Terima kasih pak Wedeye

      Delete
  7. Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
    2. Jeng Nanik Baturetno, ada yang mau kontak jeng Nanik lho, ybs sama-sama orang Baturetno Wonogiri.
      Maukah jeng Nanik kirim nomor kontak ke HP ybs?
      Nomornya 081213850036.
      Mau ya??
      Matur nuwun.
      Ybs mau ngobrol sesama priyantun Baturetno Wonogiri.
      Ditunggu nggih.

      Delete
  8. Alhamdulillah matur nuwun bunda Tien, salam.sehat2 sllu

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah matur nuwun bunda Tien, sehat2 selalu njih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
      Terima kasih ibu Wiwik

      Delete
  10. Alhamdulillah.... terimakasih Bunda.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah MELATI~05 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
      Terima kasih pak Djodhi

      Delete
  12. Trimakasih .... Alhamdulillah Melati 5 sdh tayang .... semoga bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
      Terima kasih ibu Endang

      Delete
  13. 🎂🌹🎂🌹🎂🌹🎂🌹
    Alhamdulillah 🙏🦋
    MELATI 05 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu Tien
    yang baik hati.
    Selamat ultah ya Bu,
    sehat selalu, pjg usia,
    banyak berkah & bahagia
    dunia akherat. Aamiin 🎁🎉
    Salam aduhai 😘😍
    🎂🌹🎂🌹🎂🌹🎂🌹

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
      Terima kasih ibu Sari

      Delete
  14. Alhamdulillah.semoga di Hari Ulang Tahun yg Indah ini Bunda selalu sehat wal afiat.sejahtera serta Bahagia bersama leluarga.Aamiin 🤲🤲🤲 Maturnuwun 🌹🌹🌹🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
      Terima kasih pak Herry

      Delete
  15. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien ..tetep sehat dan selalu dalam Berkah dan Ridho Alloh Subhanahu Wa Ta'ala Aamiin.🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
      Terima kasih ibu Susi

      Delete
  16. Alhamdulillah... ngaturaken sugeng tg.warsa buTien, mugi pinaringan sehat lahir lan batos... berkah sisa usia, aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
      Terima kasih ibu Ratna

      Delete
  17. Alhamdulillah, MELATI 05 telah tayang, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
      Terima kasih ibu Uchu

      Delete
  18. Alhamdulilah Melati 05 sdh tayang... selamat ulang tahun bunda Tien Kumalasari, Semoga panjang umur, selalu sehat, dimurahkan rizki, dilimpahi rahmat barokah dan hidayah dari Allah SWT salam hangat dan aduhai bun...🩷🩷🌹🌹

    Melati harus kuat ya... jangan putus asa. Semoga ada yg memberi bantuan hukum pada melati

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
      Terima kasih ibu Salamah

      Delete
  20. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
    Terima kasih pak Arif

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun Bu Tien, sehat selalu njih...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin.
      Terima kasih ibu Reni

      Delete
  22. Melatih nekat masuk kandang singa, semoga Melati baik-baik saja. Terimakasih bunda Tien salam sehat selalu dan aduhai selalu...

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah melatii 05 sdh tayang, matursuwun Bu Tien. Smg Bu Tien sehat selalu bersama keluarga. Aamiin 🤲

    ReplyDelete
  24. Terimakasih.. Bunda Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  25. Terima kasih, ibu Tien...di hari ultah yg sibuk pun tetap setia berkarya...mendoakan semoga ibu diberi panjang umur yg barokah, sehat selalu dan bahagia bersama keluarga tercinta. Amin.🙏🙏🙏🌹🎉🎉🎉

    ReplyDelete
  26. Matur nuwun, Mbak Tien
    Salam sehat selalu, nggih....

    ReplyDelete
  27. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu, aduhai

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 13

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  13 (Tien Kumalasari)   “Kamu tidak menjawab pertanyaanku, Tangkil? Apa yang kamu lakukan di sini?” Tangkil...