BERSAMA HUJAN 06
(Tien Kumalasari)
Gadis cantik berwajah Indo itu duduk didepan Andin, yang asyik mengingat-ingat, apakah pernah bertemu gadis ini.
“Hei, saya mau periksa,” kata gadis itu mengejutkannya.
“Oh, maaf. Sudah pernah periksa kemari sebelumnya?”
“Pernah … pernah, tapi sudah dua tahunan yang lalu.”
"Kartu pasien masih ada?”
“Mana aku ingat, sudah lama sekali.”
“Nama Anda?”
“Elisa. Elisa Wilton, ayah saya orang bule,” terangnya tanpa di tanya.
“Alamat?”
“Saya lama di luar negri. Belum dua minggu kembali kemari.”
“Maksud saya, alamat Anda saat berada di negeri ini.”
“Mm … Jl. Pakis nomor 50.”
“Akan saya cari kartu anda sebelumnya,” kata Andin sambil berdiri dan mencari nama Elisa di almari yang tak jauh dari tempatnya duduk.
Memang sudah lama, tapi akhirnya Andin menemukannya. Pasien lama. Dengan perasaan lega dia membawa kartu itu ke dalam ruang dokter, yang tampaknya pasien sebelumnya sudah bersiap untuk keluar.
“Masih ada pasien?”
“Masih ada satu dok, pasien lama,” katanya sambil menyerahkan kartu di depan sang dokter.
“Oh, ini gadis indo itu. Persilakan masuk.”
“Tapi tanpa dipanggil, Elisa sudah langsung memasuki ruangan. Andin membiarkannya karena memang tinggal dialah satu-satunya pasien yang tersisa.
“Hallo, dokter gantengku,” serunya riang.
Faris menghindar ketika Elisa berusaha memeluknya.
“Silahan duduk. Lama sekali tidak ketemu, sehat terus ya,” kata dokter Faris ramah.
“Aku di luar negri bersama papa. Baru dua mingguan kira-kira, aku pulang kemari. Dokter masih seperti dulu, ganteng dan menawan,” kata Elisa tanpa sungkan.
“Sakit apa?” tanya Faris langsung, untuk menghindari Elisa bicara yang tidak-tidak.
“Periksa saja. Aku sering pusing tanpa sebab. Barangkali aku makan tidak teratur.”
“Tidurlah di sini, aku akan mencoba memeriksanya.”
Elisa bangkit, lalu berusaha membuka baju atasnya sebelum berbaring, tapi dokter Faris menahannya.
“Tidak usah dilepas.”
“Tidak dibuka sama sekali?”
“Tidak, begitu cukup. Berbaringlah.”
Elisa tampak kecewa, ada keinginan untuk menggoda, tapi apa mau dikata. Dokternya tak mau buka-bukaan, pikirnya sambil tersenyum.
Faris memeriksa dengan stetoskopnya, dan Elisa menatapnya tanpa berkedip. Ia sungguh mengagumi dokter ganteng yang memeriksanya.
“Bisakah mendeteksi penyakit tanpa membuka pakaian?”
“Silakan kembali duduk.”
Elisa bangkit, dan kembali duduk di depan sang dokter. Elisa terus menatapnya dengan kagum.
“Kamu sudah menikah?” tanya dokter Faris tanpa menatap Elisa.
“Menikah? O, tidak. Aku tidak mau menikah muda. Tunangan aku masih kuliah,” katanya sambil tertawa kecil.
“Kamu baru bertunangan?”
“Hm mh.”
“Tapi tampaknya kamu hamil.”
“Haa, aku hamil?”
“Sudah dua bulan, kira-kira.”
“O, my God,” Elisa memegangi kepalanya.
“Aku bukan dokter kandungan, sebaiknya kamu periksa ke dokter kandungan untuk memeriksakan kondisi kandungan kamu.”
Elisa masih terpaku di tempat duduknya.
“Aku hanya menuliskan resep untuk mengurangi rasa pusing,” katanya sambil menyodorkan resep yang baru saja ditulisnya.
“Ya Tuhan … itu benar?”
“Dan maaf, kalau tidak ada keluhan lainnya, aku mau tutup.”
Elisa berhenti menatap dokternya, dan melupakan rasa kagumnya. Ia berdiri dengan lemas, lalu melangkah keluar.
Andin yang menunggu di depan mejanya, mengeluarkan sehelai kwitansi, kemudian Elisa membayarnya, dan pergi begitu saja.
Andin menatap punggungnya. Pertanyaan tentang siapa gadis itu belum terjawab. Lalu Andin berpikir, barangkali pernah bertemu di jalan, di pasar atau di toko, entahlah, ia tak ingin memikirkannya.
“Sudah habis, Andin?”
Tiba-tiba dokter Faris sudah berdiri di depan pintu.
“Iya dok, sudah habis. Itu tadi pasien terakhir. Cepat sekali periksanya.”
“Dia itu pasien lama, sudah dua tahun atau barangkali lebih, dia sering ke mari. Waktu itu dia baru lulus SMA.”
“Dia cantik sekali.”
“Benar. Tapi pergaulan di luar negri membuatnya kurang bisa menjaga sikapnya.”
“Dia seperti tidak sedang sakit.”
“Dia hanya hamil, aku suruh ke dokter kandungan.”
“Hamil?”
“Tampaknya kehamilan yang dibawanya dari luar negri.”
“Masa?”
Dokter Faris tertawa.
“Saatnya berkemas, Andin. Nanti kamu kemalaman.”
Andin berkemas dan tak ingin memikirkan pasien terakhir yang kata dokternya sedang hamil. Perutnya tidak atau belum tampak membesar.
***
Saat sampai di rumah, Andin melakukan hal rutin yang biasa dilakukan sepulang kerja, melayani ayahnya setelah membersihkan diri, lalu ngobrol sebentar untuk menunggu kantuk datang, barulah beranjak ke kamarnya untuk tidur.
Andin berusaha belajar, tapi kantuk lebih dulu menyerangnya.
Besok adalah hari Sabtu, berarti dia bisa libur bekerja. Lebih baik belajar besok saja, barangkali lebih bisa berkonsentrasi, daripada dipaksa belajar dalam kondisi mata mengantuk.
Tapi entah dari mana datangnya, tiba-tiba dia mengingat sesuatu. Gadis itu, bukankah yang datang ke kampus dan mengaku sebagai tunangan Romi?
“Iya, benar dia. Tapi dia hamil? Apakah mereka sudah menikah?” gumamnya.
Sudah punya tunangan cantik, kelakuannya sungguh tak bermoral. Tapi gadis itu bilang bahwa dia tinggal di luar negri, dan baru dua mingguan kembali kemari? Apakah dia hamil ketika berada di luar negri?
“Ya ampun, mengapa aku harus memikirkannya? Aduh, gara-gara teringat dia, kantukku jadi hilang,” gumamnya kesal.
Andin meraih bantalnya untuk menutupi wajahnya, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Andin segera tahu, siapa lagi yang suka menelpon malam-malam kalau tidak Aisah.
“Andin, sudah tidur kamu?”
“Ya ampun, hampir aku tidur, ada apa sih, malam-malam menelpon?”
“Nggak apa-apa. Kangen saja.”
“Iya juga sih, semingguan kamu tidak mengganggu aku malam-malam.”
“Maaf Ndin, aku lagi ujian nih.”
“Kalau begitu kenapa menelpon malam-malam? Belajar sana.”
“Sudah capek Ndin, mau tidur nih. Oh ya, sebenarnya aku mau cerita.”
“Cerita apa?”
"Beberapa hari yang lalu, eh agak lama sih, saat kamu baru sehari bekerja di mas Faris, ada gadis yang mencari Romi di kampus."
“Gadis indo, matanya kebiruan?”
“Iya, kamu ketemu juga?”
“Ketemu, tapi aku nggak begitu perhatian. Ogah aja ditanya tentang laki-laki brengsek itu.”
“Dia mencari Romi dan mengaku tunangannya.”
“Tadi tuh dia periksa ke dokter Faris.”
“Dia? Periksa? Sakit apa?”
“Nggak tahu keluhannya apa, tapi dokter Faris bilang, dia hamil.”
“Waouu, baru datang sudah hamil?”
“Kata dokter Faris, kehamilan yang dibawa dari luar negri.”
“Mampus.”
“Heiii, ngomongnya kasar amat.”
“Aku kalau sama dia nggak perlu ngomong yang halus-halus. Tuh, dia menemukan karmanya. Tunangannya hamil dan bukan dari benihnya? Rasain.”
“Sudah … sudah, nggak suka aku ngomong tentang dia, lebih baik tidur saja.”
Andin menutup pembicaraan karena tak suka mendengar cerita yang ada hubungannya dengan Romi.
Ia berusaha melupakan semuanya, lalu tidur. Besok dia harus ke kampus pagi-pagi, dan sebelumnya ingin memasak untuk ayahnya sebelum pergi.
“Keburu nggak ya? Tadi sih sudah belanja, kalau besok bangun kesiangan, walau bahannya sudah ada, tetap saja aku tak bisa memasak."
Andin memejamkan matanya, dan tak lama kemudian diapun terlelap.
***
Pak Harsono sudah bersiap berangkat, ketika Andin sibuk menata sarapan di ruang makan.
“Andin, katanya kamu kuliah pagi, kok pakai masak segala?”
“Lagi pengin masak Pak, cuma oseng kacang sama bandeng presto goreng. Ini pak, sudah siap, Bapak sarapan dulu.”
“Waah, begini ya enaknya punya anak perempuan. Kalau ada waktu, juga sempat memasak buat bapaknya,” kata pak Harsono sambil duduk di depan meja. Hidungnya mengendus endus harum masakan anak gadisnya.
“Silakan Pak, biar Andin ambilkan nasinya.”
“Baunya enak, pasti rasanya juga nikmat.”
“Rasain dulu, baru komentar,” kata Andin sambil tersenyum.
“Bapak yakin, pasti enak. Hmmm, benar kan,” kata sang ayah yang sudah menyendok makanannya.
“Benarkah?” kata Andin senang.
“Almarhumah ibumu itu, kalau masak selalu enak. Jadi tidak aneh kalau kamu juga bisa masak enak.”
“Semoga Bapak selalu senang masakan Andin. Mulai sekarang, setiap hari Andin akan memasak buat Bapak.”
“Kamu itu tugas kamu bertambah, kok masih ditambah masak pula?”
“Andin sudah mencoba, dan itu tidak sulit. Habis kuliah, Andin mampir belanja sayur, lalu disimpan di kulkas. Pagi sebelum berangkat masih sempat masak kok.”
“Tapi harus menjaga kesehatan kamu juga, kalau lagi capek, jangan dipaksakan.”
“Iya, Andin mengerti.”
“Kamu mau berangkat jam berapa? Nanti kesiangan.”
“Tidak, setelah sarapan Andin baru mau berangkat.”
“Tidak terlambat?"
”Tidak Pak, Bapak jangan khawatir. Kalau dulu, kalau berangkatnya tidak bareng Bapak, Andin kan harus naik angkot, menunggu dulu kapan lewatnya angkot, jadi harus buru-buru. Sekarang Andin naik sepeda motor, jadi sudah bisa menghitung, jam berapa nanti bisanya sampai di kampus.”
“Iya, bapak tahu. Bersyukur sekali kamu mendapat pinjaman dari majikan kamu. Tampaknya dia baik. Apakah dia sudah setua banpak?”
“Tidak Pak, dia masih muda. Dia kan kakak misannya Aisah.”
“Kakak misan kan bukan saudara kandung. Kalau saudara kandung, bisa saja terpaut beberapa tahun, kalau kakak misan, bisa saja jauh lebih tua.”
“Tidak Pak, masih muda, dan belum menikah.”
“Oh ya?”
“Iya Pak.” tiba-tiba saja Andin teringat ucapan Aisah yang berharap dirinya bisa berjodoh dengan dokter Faris. Mimpi kah Aisah? Apa dia lupa bahwa dirinya bukan lagi gadis suci yang pantas mendampingi seseorang. Apalagi yang sebaik dokter Faris. Diam-diam Andin menghela napas sedih.
“Mengapa tiba-tiba wajahmu muram?”
Andin terkejut mendengar pertanyaan ayahnya. Mana ayahnya mengerti apa yang dipikirkannya? Apa yang terjadi pada dirinya akan tetap menjadi rahasia hidupnya. Hanya Aisah yang mengetahuinya selain dirinya.
“Ini Pak, sambalnya kepedasan,” kata Andin sekenanya.
“Bapak merasakannya, tidak tuh, cukupan. Bagaimana kamu bisa kepedasan?”
“Andin mengunyah cabe utuh rupanya, kurang halus mengulegnya.”
Pak Harsono tertawa. Andin merasa lega, ayahnya tak mempersoalkan wajahnya yang tiba-tiba muram. Padahal orang lagi kepedasan dan orang sedang tertekan kan beda. Syukurlah, barangkali karena sang ayah sedang terburu-buru harus segera berangkat kerja, terbukti ia sudah mengakhiri makan paginya tak lama kemudian.
“Bapak langsung berangkat ya, ini akhir minggu, banyak urusan,” katanya sambil minum segelas air dan berdiri.
“Bapak pelan-pelan saja naik motornya, tidak usah ngebut,” pesan Andin sambil menumpuk piring-piring kotor, kemudian mengantarkan sang ayah sampai ke halaman. Ia baru kembali masuk ke rumah setelah tak lagi melihat bayangan sepeda motor yang dikendarai ayahnya.
***
Begitu memasuki halaman kampus, dilihatnya Aisah sudah memarkir kendaraannya di parkiran.
“Ada kelas pagi?”
“Iya. Kamu juga?”
“Iya. Tapi kenapa semalam kamu buru-buru menutup telpon aku?”
“Yah, kan itu sudah malam, aku sudah sangat ngantuk, tahu.”
“Ya sudah, sebetulnya masih ingin ngerumpi tentang indo cantik itu.”
“Kurang kerjaan ya kamu?” kesal Andin yang segera melangkah ke ruangannya.
“Maaf, aku tahu kamu tidak suka membicarakan hal-hal yang ada hubungannya dengan laki-laki brengsek itu. Tapi aku heran tentang gadis itu.”
“Sudah, itu bukan urusan kita kan?”
Mereka berpisah ketika harus memasuki ruangan masing-masing, yang berbeda tempatnya.
***
Hari itu Romi tidak ke kampus, karena pagi-pagi sekali Elisa sudah nyamperin ke rumah. Keduanya langsung pergi, dan berhenti di sebuah rumah makan untuk sarapan.
“Semalam kamu pergi ke mana? Aku cari di rumah kamu tidak ada.”
“Semalam? Kamu ke rumah aku?”
“Kata pembantu kamu, kamu pergi ke dokter.”
“Oh, iya. Aku ke dokter.”
“Kamu sakit?”
“Hanya sedikit pusing, tidak masalah, sudah diberi obat.”
“Sejak beberapa hari yang lalu kamu terus mengeluh pusing.”
“Iya, itu sebabnya aku ke dokter.”
“Kamu batuk? Pilek? Sakit perut?”
“Tidak, hanya pusing. Jangan mengkhawatirkan aku, nikmati saja sarapannya,” kata Elisa yang tentu saja ingin menyembunyikan kata dokter Faris bahwa dirinya hamil. Mana mungkin Elisa berani mengatakannya, ia hamil karena siapa, ia tak menyadarinya.
“Aku bergaul dengan beberapa laki-laki, entah siapa ayah dari bayi yang aku kandung ini. Satu-satunya jalan aku harus memaksa Romi supaya harus segera menikahi aku.”
“Kok kamu nggak makan?” tanya Romi.
“Iya, sebentar, masih panas sotonya,” kata Elisa karena dia memang memesan nasi soto ayam.
“Enakan dimakan panas-panas,” gumam Romi sambil menyuap makanannya.
“Rom, kita kan sudah berhubungan lebih dari hanya seperti sepasang kekasih,” kata Elisa, hati-hati.
“Memangnya kenapa? Kamu yang mau kan?”
“Bukan masalah siapa yang mau.”
“Lalu …”
“Bagaimana kalau kita segera menikah?”
Romi meletakkan sendoknya, menatap Elisa tajam.
“Apa maksudmu? Menikah? Tidak. Aku kan belum selesai kuliah!”
***
Besok lagi ya.