Friday, March 10, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 40

 

SETANGKAI BUNGAKU  40

(Tien Kumalasari)

 

“Apa? Kritis? Tadi … bukankah … lebih baik?”

“Harus ada tambahan darah,” kata Pratiwi cemas.

“Ada apa?” sela yu Kasnah.

Ratih segera menutup ponselnya . Roy menatapnya penuh pertanyaan.

“Masih butuh tambahan darah,” kata Ratih lirih.

“Aku akan pulang sebentar, menjemput ibuku, darah ibu sama,” kata Roy yang langsung membalikkan tubuhnya dan pergi.

“Ada apa? Siapa kritis?” tanya yu Kasnah lagi karena ia sedikit mendengar percakapan itu.

“Maaf ya Bu, Pratiwi belum bisa bicara dengan Ibu, karena_”

“Siapa yang kritis?” potong yu Kasnah.

“Mbak Susana Bu, tapi Ibu tidak usah khawatir. Sekarang lebih baik Ibu istirahat ya, ini sudah malam.”

“Bagaimana Pratiwi?”

“Mbak Tiwi tidak apa-apa. Dia hanya sangat perihatin karena sakitnya mbak Susana. Nanti kalau mbak Susana sudah sadar, mbak Tiwi pasti segera pulang.”

“Berarti lukanya parah.”

“Tapi sudah ditangani dokter. Ibu tidak usah khawatir. Nano, temani Ibu istirahat, ya. Dan kunci pintunya, aku akan menunggu mas Roy di depan."

“Baiklah. Ayo Bu, kita istirahat saja. Besok Nano juga harus masuk sekolah pagi-pagi.”

“Iya, sebaiknya kamu juga segera istirahat.”

Nano menuntun ibunya masuk ke dalam, sementara Ratih  menunggu Roy di teras depan.

“Jangan lupa kunci pintunya sekalian ya No,” pesan Ratih.

***

Roy datang tak lama kemudian, bersama kedua ibunya. Ratih yang sudah bersiap di depan, membuat Roy bisa segera tancap gas menuju rumah sakit.

“Darah ibu Sasmi dan darahku sama. Kalau kurang nanti aku siap mendonorkan,” kata Ratna.

“Terima kasih Bu,” jawab Roy.

“Ini yang namanya Ratih?” tanya Ratna lagi.

“Iya Bu, maaf, sampai belum memperkenalkan diri,” kata Ratih yang duduk di samping kemudi, lalu ia menoleh kebelakang dan mencium tangan Ratna dan Sasmi.

“Cantik,” kata Sasmi, membuat Ratih tersipu.

“Aku senang, anak-anak muda memiliki perhatian yang besar terhadap sesama,” kata Ratna.

“Iya Mbak, biarpun kita belum tahu dengan jelas atas kejadian itu, tapi Roy sudah menceritakannya sekilas. Semoga darah-darah kita bisa menyelamatkan nyawa Susana,” kata Sasmi.

“Ibu mengenal Susana?”

“Selama dua hari atau tiga hari ini, dia kan membantu Pratiwi berjualan. Ibu kebetulan belanja di situ dan mengenalnya.”

“Heran, dia pasti anak orang kaya, tapi begitu telaten membantu Pratiwi berjualan. Sama sekali tidak merasa jijik memegang sayur, ikan mentah, bumbu-bumbu, yang pasti baunya tidak enak,” sambung Ratna.

“Roy juga heran. Dia gadis baik yang tersesat,” gumam Roy.

“Semoga segera bisa menemukan jalan pulang,” kata Sasmi lagi.

Ratih tak berkomentar sedikitpun. Pembicaraan yang dia dengar di sepanjang jalan, menunjukkan bahwa banyak simpati ditunjukkan pada Susana. Rasa tidak sukanya pada Susana sudah mencair, sejak ia melihat berita di televisi, dan perjuangan yang ditunjukkannya sampai nyaris mengorbankan nyawa. Sekarang, ia mendengar ibu Roy memuji-muji ketulusan hati Susana yang tidak keberatan membantu Pratiwi, menambah rasa simpatinya bertambah tinggi. Itukah yang membuat kakaknya jatuh cinta? Pikir Ratih, yang sekarang tak ingin menentangnya.

“Kalau jodoh tak akan kemana,” gumamnya lirih.

“Kamu bilang apa? Jodoh tak akan kemana, siapa yang kamu maksud?” tanya Roy.

“Mas Bondan, tampaknya suka sama mbak Susana.”

“Haa, benarkah? Kalau begitu mas Ardian tidak lagi punya saingan,” kata Roy tiba-tiba.

“Memangnya Ardian bersaing sama siapa? Dan bersaing dalam hal apa?” tanya Sasmi yang mendengar perbincangan kedua anak muda di depannya.

“Bersaing tentang cinta lah Bu, anak muda tuh, mau bersaing tentang apa, kalau bukan cinta."

“Bagus lah, kalau anak-anakku sudah punya cinta,” kata Ratna menimpali, tanpa tahu siapa yang sebenarya dicintai anak-anaknya.

Begitu mobil memasuki halaman, Roy segera minta pada Ratih agar mengantarkan kedua ibunya masuk ke dalam. Ia sudah mengabari Ardian tadi, bahwa ibunya siap menjadi donor.

Ratih segera turun, dan mengantarkan kedua ibu itu langsung ke dalam.

Ketika Pratiwi melihat dua orang wanita yang dikenalnya, dia segera menghambur mendekat.

“Terima kasih, Bu Ratna dan Bu Sasmi bersedia membantu. Ini akan menyelamatkan jiwa mbak Susana,” kata Ratih terbata-bata,

“Semoga semuanya baik-baik saja,” kata Sasmi sambil mengikuti langkah Pratiwi, yang mengantarkan mereka ke ruang perawat. Keduanya segera diperiksa.

Pratiwi duduk di kursi tunggu, di samping Ardian yang sedang berbincang dengan pak Juwono.

“Syukurlah, ada penolong yang lain. Ternyata darahku tak cukup,” gumam pak Juwono.

“Kami berterima kasih, Bapak sudah sangat membantu. Darah Bapak menyelamatkan Susana,” kata Ardian.

“Itu tadi ibu kamu?” tanya pak Juwono yang sudah diberi tahu tentang ibunya yang akan ikut mendonorkan darahnya,

“Ibu saya, dan ibu Roy.”

“Bukankah Roy dan kamu itu kakak beradik?”

Ardian tersenyum tersipu. Tidak banyak yang tahu, bahwa dia punya dua orang ibu, karena ayahnya memang punya dua orang istri yang cantik, dan baik hatinya.

“Ayah saya punya dua orang istri,” kata Ardian sambil tersenyum.

“Apa? Dan mereka bisa rukun, sehingga bersedia datang bersama-sama?”

“Kami bahkan hidup serumah.”

“Ya Tuhan … Ini langka.”

“Apa Bapak juga ingin?” tiba-tiba Ratih yang sudah duduk di samping ayahnya nyeletuk.

Pak Juwono tertawa.

“Tentu saja tidak. Istri satu saja kalau rewel sudah membuat bapakmu ini pusing.”

“Memangnya ibuku suka rewel?”

“Perempuan pasti suka rewel. Setiap kali punya keinginan, kalau tidak diberikan, pasti lah rewel.”

“Iih, Bapak bohong deh. Ibuku tidak pernah rewel, tahu.”

Pak Juwono kembali tertawa.

“Tentu saja kamu membela dia. Kan kamu anaknya? Ibumu kalau rewel tidak usah memberi tahu kamu. Jadi kamu tidak tahu,” kata pak Juwono bercanda.

Ratih menyandarkan kepalanya di pundak ayahnya.

“Kamu letih? Kembalilah ke kamar kakakmu. Dia pasti juga menunggu berita dari kamu. Oh ya, kamu tadi bilang mau beli makanan. Mana?”

“Yah, nggak sempat Pak, begitu ada berita mbak Susana belum melewati masa kritisnya, kami langsung panik.”

“Kalau begitu ambil makanan yang ada di ruang kakak kamu, bawa ke sini. Mereka pasti lapar.”

“Baiklah,” kata Ratih yang segera berlalu.

Begitu memasuki ruang rawat inap untuk Bondan, Ratih melihat Bondan masih terjaga, sementara ibunya tidur di sofa. Karena itu dia berjalan pelan, supaya tidak mengganggu ibunya.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Bondan pelan.

“Selain bapak, ibunya mas Roy dan mas Ardian datang untuk mendonorkan darahnya.”

“Banyak sekali butuh darahnya?”

“Mungkin karena terlalu banyak darah yang tumpah,” kata Ratih sambil memasukkan segala macam roti dan makanan, dalam wadah plastik yang sudah disiapkan.

“Hei, buat apa itu?”

“Mereka belum pada makan. Bapak menyuruh aku mengambil makanan yang ada di sini.”

“Oh, baiklah, bawa saja semua, aku tidak lapar.”

“Aku tinggalkan dua bungkus roti untuk Mas. Aku juga membawa beberapa botol minuman untuk mereka.”

“Rasanya aku ingin segera melihat dia,” keluh Bondan.

“Lebih baik, Mas tidur, supaya besok terasa lebih segar. Siapa tahu besok Mas sudah boleh bangun dan bisa melihat keadaan mbak Susana.”

“Parahkah lukanya?”

“Kita doakan yang terbaik. Sudah ya, Mas tidur dulu, aku akan membawakan makanan dan minuman ini untuk mereka,” kata Ratih sambil berlalu.

Bondan menghela napas lega, melihat Ratih tidak lagi tampak seperti membenci Susana.

“Susana gadis yang baik. Lepas dari masa lalunya yang kelam. Mengapa aku dilarang bersimpati padanya? Mungkin ini bukan sekedar simpati. Mungkin ada pendekatan yang lebih erat, dan mungkin perasaanku ini akan bersambut. Tapi bagaimana kalau Susana menolaknya?” gumam Bondan sambil berusaha memejamkan matanya.

***

 Menjelang pagi, Ratna dan Sasmi pulang, bersama Pratiwi, karena mereka menghawatirkan yu Kasnah pula. Saat itu dokter mengatakan bahwa Susana telah melewati masa kriitis. Kalau keadaan stabil, maka besok sudah boleh dipindahkan ke ruang rawat.

Walau agak berat meninggalkan Susana yang belum bisa ditemuinya, tapi Pratiwi tetap pulang mengingat ibunya yang sejak kemarin sore menghawatirkannya.

Ardian dan Roy juga pulang karena besok harus ke kantor. Tapi mereka lega karena Ratih bersedia sesekali menengoknya. Yang penting menjelang pagi itu, semua butuh beristirahat walau hanya sebentar.

Yu Kasnah terbangun, ketika mendengar Pratiwi pulang. Pratiwi merangkulnya dan meminta maaf, karena telah membuat ibunya kebingungan.

“Maaf ya Bu, keadaan begitu memaksa. Tiwi tidak tega meninggalkan mbak Susana dalam keadaan masih gawat,” kata Pratiwi.

“Sebenarnya apa yang terjadi?”

“Mbak Susan jatuh, karena dilukai penjahat,” kata Pratiwi yang tak ingin mengatakan hal yang sesungguhnya kepada ibunya. Setidaknya untuk saat ini. Pratiwi berjanji, kalau Susana sudah kembali sehat, ia akan menceritakan semuanya kepada ibunya.

“Orang itu pencopet?”

“Mungkin mau mencopet, entahlah. Yang jelas mbak Susan kemudian luka parah.”

“Ternyata begitu keadaannya. Ibu kira hanya sekedar jatuh biasa. Lha semalam ibu mendengar kata-kata kritis juga, ketika nak Ratih menelpon kamu.”

“Iya Bu, kekurangan darah. Tapi bu Sasmi dan bu Ratna membantu mendonorkan darahnya. Sebelum itu juga bapaknya Ratih sudah lebih dulu berdonor.”

“Ya Tuhan, ternyata parah sekali. Kalian selalu menutup-nutupi apapun pada ibumu ini. Mentang-mentang ibumu tidak bisa melihat,” gerutu yu Kasnah.

“Bukan begitu Bu, kami hanya tidak ingin membuat Ibu khawatir, jadi cerita yang ringan-ringan saja. Maaf ya Bu.”

“Sekarang kamu baru pulang. Tampaknya hampir pagi, karena ibu sudah mendengar kokok ayam tetangga.”

“Benar Bu, hampir pagi.”

“Kamu pasti lelah, semalaman tidak beristirahat.”

“Tidak begitu lelah Bu, kalah oleh rasa khawatir melihat keadaan mbak Susan.”

“Apa sekarang keadaannya sudah baik?”

“Masa kritis sudah lewat. Kami semua meninggalkannya menjelang pagi ini, untuk beristirahat sebentar.”

“Kamu tidak usah berjualan saja, lebih baik tidur barang sebentar.”

“Baiklah. Sekarang Tiwi buatkan minuman hangat dulu untuk Ibu ya, juga sarapan. Setelah itu Tiwi mau tidur sebentar.”

“Lauk yang semalam kan masih, tidak usah masak apapun. Nasi juga masih ada kan?”

“Ada Bu, tapi harus dihangatkan semua. Pokoknya sebelum Tiwi istirahat, Ibu dan Nano harus sarapan dulu.”

“Baiklah, terserah kamu saja,” kata yu Kasnah terharu, karena dalam keadaan lelah, Tiwi masih memikirkan ibu dan adiknya.

***

Bu Juwono sudah bangun sejak tadi, dan sudah mandi. Ia melihat Ratih tertidur pulas, tampak lelah, dan sang suami siap pulang karena harus pergi ke kantor.

“Ratih tampak lelah,” kata pak Juwono.

“Jam berapa kalian kembali ke kamar ini, aku sudah tidur, capek menunggu.”

“Ratih hampir pagi baru kemari, aku masih berjaga di sana. Kasihan tidak ada yang menunggu sama sekali.”

“Apa dia tidak punya keluarga?”

“Tampaknya tidak. Menurut Pratiwi, ayah ibunya sudah tidak ada, jadi dia hidup sendiri.”

“Pantesan, tidak ada yang mengingatkan ketika dia bergaul dengan laki-laki bejad seperti Sony.”

“Ya sudah, itu adalah jalan hidupnya.”

“Bapak tampak bersimpati sama dia.”

“Dia pantas dikasihani. Menurut cerita teman-temannya, dia gadis yang baik. Dia hanya tersesat. Semoga dia bisa kembali meniti jalan yang baik dan bersih.”

“Bapak mau pulang sekarang? Ibu mau ikut, tapi Ratih masih tidur, ibu tak sampai hati membangunkan dia.”

“Aku pulang sendiri saja. Nanti ke kantor sebentar saja. Kalau urusan beres, aku juga mau segera pulang, istirahat. Semalaman tidak tidur.”

“Ya sudah, kalau begitu. Aku menunggu kalau Ratih bangun saja. Bondan juga belum bangun.”

“Biarkan saja, ini masih pagi. Kalau Ibu tidak keberatan, coba tengok gadis itu. Saat ini tidak ada yang menunggui.”

“Baiklah, aku mau ke sana untuk melihat keadaannya.”

***

Tapi begitu bu Juwono dan sang suami sudah tidak ada di ruangan itu, Bondan terbangun. Seorang suster mendekat, untuk memeriksa tensi dan lain-lainnya.

“Suster, setelah ini, ijinkan saya pergi melihat korban kejahatan yang sedang dirawat di ruang ICU,” pinta Bondan.

“Tapi nanti, dokter belum mengijinkan Bapak berjalan.”

“Saya minta kursi roda, dan tolong ijinkan. Dia sahabat terbaik saya,” kata Bondan memelas.

Tampaknya sang perawat melaporkan kondisi Bondan, dan mengatakan permintaan Bondan. Bondan merasa lega, ketika perawat  datang membawakan kursi roda.

Bondan pergi menemui Susana, dengan diantar oleh perawat yang memegangi botol infusnya.

Bagai di sayat hati Bondan, melihat Susana terbaring lemah, dan memejamkan mata. Ia mendekat, dan menyentuh tangannya lembut.

Bondan merasa lega, ketika melihat Susana membuka matanya.

Bibir tipisnya terbuka, dan menyebut nama Bondan dengan lembut.

“Mas Bondan.”

“Bagaimana keadaanmu?”

“Baik. Kamu masih sakit, kenapa kemari?”

“Aku prihatin melihat keadaanmu. Aku takut kehilangan kamu,” bisiknya lembut, ditelinga Susana.

Tapi tanpa diduga, Susana menggelengkan kepalanya.

“Jangan, aku sudah tak lagi punya cinta,” bisiknya lemah.

***

Besok lagi ya.


37 comments:

  1. Juara 1 mb Iin



    Mtnuwun mbk Tien
    Mgi2 tansah pinaringan sehat,Aamiin

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih bunda SB nya sdh tayang..slmt mlm dan slmt istrahat..salam seroja dan tetap Aduhaai dri skbmi🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete

  4. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~40 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ... trimakasih bu Tien.....sehat selalu

    ReplyDelete
  6. 🌻🌿🌻🌿🦋🌿🌻🌿🌻
    Alhamdulillah SB 40 telah
    tayang.Matur nuwun Bu Tien.
    Moga tetap sehat & smangat.
    Salam Aduhai
    🌻🌿🌻🌿🦋🌿🌻🌿🌻

    ReplyDelete
  7. Berat nih Bondan, Susana sudah tidak ada cinta. Tapi seiring berjalannya waktu mungkin akan berubah.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Skrg Ardian ga ada saingan lg utk mendekati Pratiwi.. yaa pak..

      Delete
  8. Pas nginceng kok pas tayang mbak
    Lgsg mojok deh penisirin bingitz jew

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah..tambah seruuu cerbungnya
    Tks bunda Tien..
    Semoga bunda sehat" selalu..
    Salam Aduhaaiii...

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah terima kasih bu Tien...
    Ayo Bondan rayu Susana yakinkan, apalagi ibu bapaknya sudah berubah....
    Salam sehat selalu bu Tien

    ReplyDelete
  11. Ya iyalah no 1..... Pesaingnya isih durung medun saja ngisya, di mesjid.... Mulih kok mesjid wis tayang. Tujune naskah sdh saya kirim ke jeng Nani, jadi langsung posting di WAG PCTK

    ReplyDelete
  12. 🥬🌹🥬🌹🥬🌹🥬🌹

    Alhamdulillah eSBeKa_40 sdh tayang, juara 1 jeng Iin Jogja.

    Terima kasih bu Tien, salam hormat, tetap sehat dan produktif.
    Tetap ADUHAI......

    🥦🌷🥦🌷🥦🌷🥦🌷

    ReplyDelete
  13. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete
  14. Terimakasih bunda Tien salam sehat selalu dan aduhai

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah buat nangis..terima kasih bu Tien

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah SB-40 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  18. Mbak Tien memang luar biasa...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  19. Adem
    Bondan sudah memohon mohon agar boleh meniliki Susan, kudunya itu ngungak, menjenguk, Susan yang baik, paling tidak punya rasa, ada sesu watu yang mengganjal, gimana tå watu ya buat ngganjel itu jangan terlalu kecil gitu, gampang lumat, besaran dikit napa, kan mustinya sudah siap crane buat ngangkat, kan bilang mawar yang nyemplung lumpur.
    Sudah nggak punya cinta.. wauw..apa iya..
    Waduh jalan panjang nich.
    Huh.. ati judheg sirah mumet muka bengep.
    Serem ya nilai yang dibuat, baru tahu kan kalau orang lain justru beda menilai dari apa yang dikerjakan, terlihat jelas memperlakukan pekerjaan secara serius dan cekatan dengan ikhlas itu pandangan ibu ibu di warungnya you Kasnah, operator nya keren; spg nya cantik cantik keren kan.
    Mana ada pasar krempyeng kaya gitu bisa tampil beda.
    Tapi Susan kan tahu diri siapa dirinya, nggak punya keluarga jadi melihat keluarga Pratiwi membuat semangat hidupnya ada, sadar dan cepat menyesuaikan, dia butuh teman dan keluarga, ada yang bisa diajak bicara.
    Pertimbangan kelegaan Yuwono, lihat Bondan serius perhatian nya pada Susan dan penilaian orang orang disekitar Susan jadi luruh ada sesuatu, mengharap ibunya Ratih menjenguk sekali kali pada Susan, rupanya dia salah menilai, dia tidak punya saudara; siapa tahu kalau sudah terkunci menilai orang buruk, malah se hari hari harus menghadapi kan runyem, bisa sutrees
    gitu donk
    ADUHAI
    Nggak kaya kamu nang; mung udu crigiz ngecipris nganti ndower.

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke empat puluh sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah SB-40 sdh hadir
    Matursuwun Bu Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah ,matur nuwun bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.🤗🥰
    Sabar ya Bondan kita tunggu ,,,🤭

    ReplyDelete
  22. Kasihaaann..
    Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu aduhai.

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien
    Semoga bu tien sehat2 selalu

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 43

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  43 (Tien Kumalasari)   Arum terdiam. Ia tidak lupa pada waktu yang dijanjikan Listyo, tapi sungguh dia bel...