SETANGKAI BUNGAKU
40
(Tien Kumalasari)
“Apa? Kritis? Tadi … bukankah … lebih baik?”
“Harus ada tambahan darah,” kata Pratiwi cemas.
“Ada apa?” sela yu Kasnah.
Ratih segera menutup ponselnya . Roy menatapnya penuh
pertanyaan.
“Masih butuh tambahan darah,” kata Ratih lirih.
“Aku akan pulang sebentar, menjemput ibuku, darah ibu
sama,” kata Roy yang langsung membalikkan tubuhnya dan pergi.
“Ada apa? Siapa kritis?” tanya yu Kasnah lagi karena
ia sedikit mendengar percakapan itu.
“Maaf ya Bu, Pratiwi belum bisa bicara dengan Ibu,
karena_”
“Siapa yang kritis?” potong yu Kasnah.
“Mbak Susana Bu, tapi Ibu tidak usah khawatir. Sekarang
lebih baik Ibu istirahat ya, ini sudah malam.”
“Bagaimana Pratiwi?”
“Mbak Tiwi tidak apa-apa. Dia hanya sangat perihatin
karena sakitnya mbak Susana. Nanti kalau mbak Susana sudah sadar, mbak Tiwi
pasti segera pulang.”
“Berarti lukanya parah.”
“Tapi sudah ditangani dokter. Ibu tidak usah khawatir.
Nano, temani Ibu istirahat, ya. Dan kunci pintunya, aku akan menunggu mas Roy
di depan."
“Baiklah. Ayo Bu, kita istirahat saja. Besok Nano juga
harus masuk sekolah pagi-pagi.”
“Iya, sebaiknya kamu juga segera istirahat.”
Nano menuntun ibunya masuk ke dalam, sementara
Ratih menunggu Roy di teras depan.
“Jangan lupa kunci pintunya sekalian ya No,” pesan
Ratih.
***
Roy datang tak lama kemudian, bersama kedua ibunya.
Ratih yang sudah bersiap di depan, membuat Roy bisa segera tancap gas menuju
rumah sakit.
“Darah ibu Sasmi dan darahku sama. Kalau kurang nanti
aku siap mendonorkan,” kata Ratna.
“Terima kasih Bu,” jawab Roy.
“Ini yang namanya Ratih?” tanya Ratna lagi.
“Iya Bu, maaf, sampai belum memperkenalkan diri,” kata
Ratih yang duduk di samping kemudi, lalu ia menoleh kebelakang dan mencium
tangan Ratna dan Sasmi.
“Cantik,” kata Sasmi, membuat Ratih tersipu.
“Aku senang, anak-anak muda memiliki perhatian yang
besar terhadap sesama,” kata Ratna.
“Iya Mbak, biarpun kita belum tahu dengan jelas atas
kejadian itu, tapi Roy sudah menceritakannya sekilas. Semoga darah-darah kita
bisa menyelamatkan nyawa Susana,” kata Sasmi.
“Ibu mengenal Susana?”
“Selama dua hari atau tiga hari ini, dia kan membantu
Pratiwi berjualan. Ibu kebetulan belanja di situ dan mengenalnya.”
“Heran, dia pasti anak orang kaya, tapi begitu telaten
membantu Pratiwi berjualan. Sama sekali tidak merasa jijik memegang sayur, ikan
mentah, bumbu-bumbu, yang pasti baunya tidak enak,” sambung Ratna.
“Roy juga heran. Dia gadis baik yang tersesat,” gumam
Roy.
“Semoga segera bisa menemukan jalan pulang,” kata
Sasmi lagi.
Ratih tak berkomentar sedikitpun. Pembicaraan yang dia
dengar di sepanjang jalan, menunjukkan bahwa banyak simpati ditunjukkan pada
Susana. Rasa tidak sukanya pada Susana sudah mencair, sejak ia melihat berita
di televisi, dan perjuangan yang ditunjukkannya sampai nyaris mengorbankan
nyawa. Sekarang, ia mendengar ibu Roy memuji-muji ketulusan hati Susana yang
tidak keberatan membantu Pratiwi, menambah rasa simpatinya bertambah tinggi.
Itukah yang membuat kakaknya jatuh cinta? Pikir Ratih, yang sekarang tak ingin
menentangnya.
“Kalau jodoh tak akan kemana,” gumamnya lirih.
“Kamu bilang apa? Jodoh tak akan kemana, siapa yang
kamu maksud?” tanya Roy.
“Mas Bondan, tampaknya suka sama mbak Susana.”
“Haa, benarkah? Kalau begitu mas Ardian tidak lagi
punya saingan,” kata Roy tiba-tiba.
“Memangnya Ardian bersaing sama siapa? Dan bersaing
dalam hal apa?” tanya Sasmi yang mendengar perbincangan kedua anak muda di
depannya.
“Bersaing tentang cinta lah Bu, anak muda tuh, mau
bersaing tentang apa, kalau bukan cinta."
“Bagus lah, kalau anak-anakku sudah punya cinta,” kata
Ratna menimpali, tanpa tahu siapa yang sebenarya dicintai anak-anaknya.
Begitu mobil memasuki halaman, Roy segera minta pada
Ratih agar mengantarkan kedua ibunya masuk ke dalam. Ia sudah mengabari Ardian tadi, bahwa ibunya siap menjadi donor.
Ratih segera turun, dan mengantarkan kedua ibu itu
langsung ke dalam.
Ketika Pratiwi melihat dua orang wanita yang
dikenalnya, dia segera menghambur mendekat.
“Terima kasih, Bu Ratna dan Bu Sasmi bersedia
membantu. Ini akan menyelamatkan jiwa mbak Susana,” kata Ratih terbata-bata,
“Semoga semuanya baik-baik saja,” kata Sasmi sambil
mengikuti langkah Pratiwi, yang mengantarkan mereka ke ruang perawat. Keduanya
segera diperiksa.
Pratiwi duduk di kursi tunggu, di samping Ardian yang
sedang berbincang dengan pak Juwono.
“Syukurlah, ada penolong yang lain. Ternyata darahku
tak cukup,” gumam pak Juwono.
“Kami berterima kasih, Bapak sudah sangat membantu.
Darah Bapak menyelamatkan Susana,” kata Ardian.
“Itu tadi ibu kamu?” tanya pak Juwono yang sudah
diberi tahu tentang ibunya yang akan ikut mendonorkan darahnya,
“Ibu saya, dan ibu Roy.”
“Bukankah Roy dan kamu itu kakak beradik?”
Ardian tersenyum tersipu. Tidak banyak yang tahu,
bahwa dia punya dua orang ibu, karena ayahnya memang punya dua orang istri yang
cantik, dan baik hatinya.
“Ayah saya punya dua orang istri,” kata Ardian sambil
tersenyum.
“Apa? Dan mereka bisa rukun, sehingga bersedia datang
bersama-sama?”
“Kami bahkan hidup serumah.”
“Ya Tuhan … Ini langka.”
“Apa Bapak juga ingin?” tiba-tiba Ratih yang sudah
duduk di samping ayahnya nyeletuk.
Pak Juwono tertawa.
“Tentu saja tidak. Istri satu saja kalau rewel sudah
membuat bapakmu ini pusing.”
“Memangnya ibuku suka rewel?”
“Perempuan pasti suka rewel. Setiap kali punya
keinginan, kalau tidak diberikan, pasti lah rewel.”
“Iih, Bapak bohong deh. Ibuku tidak pernah rewel,
tahu.”
Pak Juwono kembali tertawa.
“Tentu saja kamu membela dia. Kan kamu anaknya? Ibumu
kalau rewel tidak usah memberi tahu kamu. Jadi kamu tidak tahu,” kata pak
Juwono bercanda.
Ratih menyandarkan kepalanya di pundak ayahnya.
“Kamu letih? Kembalilah ke kamar kakakmu. Dia pasti
juga menunggu berita dari kamu. Oh ya, kamu tadi bilang mau beli makanan. Mana?”
“Yah, nggak sempat Pak, begitu ada berita mbak Susana
belum melewati masa kritisnya, kami langsung panik.”
“Kalau begitu ambil makanan yang ada di ruang kakak
kamu, bawa ke sini. Mereka pasti lapar.”
“Baiklah,” kata Ratih yang segera berlalu.
Begitu memasuki ruang rawat inap untuk Bondan, Ratih
melihat Bondan masih terjaga, sementara ibunya tidur di sofa. Karena itu dia
berjalan pelan, supaya tidak mengganggu ibunya.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Bondan pelan.
“Selain bapak, ibunya mas Roy dan mas Ardian datang
untuk mendonorkan darahnya.”
“Banyak sekali butuh darahnya?”
“Mungkin karena terlalu banyak darah yang tumpah,”
kata Ratih sambil memasukkan segala macam roti dan makanan, dalam wadah plastik
yang sudah disiapkan.
“Hei, buat apa itu?”
“Mereka belum pada makan. Bapak menyuruh aku mengambil
makanan yang ada di sini.”
“Oh, baiklah, bawa saja semua, aku tidak lapar.”
“Aku tinggalkan dua bungkus roti untuk Mas. Aku juga
membawa beberapa botol minuman untuk mereka.”
“Rasanya aku ingin segera melihat dia,” keluh Bondan.
“Lebih baik, Mas tidur, supaya besok terasa lebih segar.
Siapa tahu besok Mas sudah boleh bangun dan bisa melihat keadaan mbak Susana.”
“Parahkah lukanya?”
“Kita doakan yang terbaik. Sudah ya, Mas tidur dulu,
aku akan membawakan makanan dan minuman ini untuk mereka,” kata Ratih sambil
berlalu.
Bondan menghela napas lega, melihat Ratih tidak lagi
tampak seperti membenci Susana.
“Susana gadis yang baik. Lepas dari masa lalunya yang
kelam. Mengapa aku dilarang bersimpati padanya? Mungkin ini bukan sekedar
simpati. Mungkin ada pendekatan yang lebih erat, dan mungkin perasaanku ini
akan bersambut. Tapi bagaimana kalau Susana menolaknya?” gumam Bondan sambil berusaha
memejamkan matanya.
***
Walau agak berat meninggalkan Susana yang belum bisa
ditemuinya, tapi Pratiwi tetap pulang mengingat ibunya yang sejak kemarin sore
menghawatirkannya.
Ardian dan Roy juga pulang karena besok harus ke
kantor. Tapi mereka lega karena Ratih bersedia sesekali menengoknya. Yang
penting menjelang pagi itu, semua butuh beristirahat walau hanya sebentar.
Yu Kasnah terbangun, ketika mendengar Pratiwi pulang.
Pratiwi merangkulnya dan meminta maaf, karena telah membuat ibunya kebingungan.
“Maaf ya Bu, keadaan begitu memaksa. Tiwi tidak tega
meninggalkan mbak Susana dalam keadaan masih gawat,” kata Pratiwi.
“Sebenarnya apa yang terjadi?”
“Mbak Susan jatuh, karena dilukai penjahat,” kata
Pratiwi yang tak ingin mengatakan hal yang sesungguhnya kepada ibunya.
Setidaknya untuk saat ini. Pratiwi berjanji, kalau Susana sudah kembali sehat,
ia akan menceritakan semuanya kepada ibunya.
“Orang itu pencopet?”
“Mungkin mau mencopet, entahlah. Yang jelas mbak Susan
kemudian luka parah.”
“Ternyata begitu keadaannya. Ibu kira hanya sekedar
jatuh biasa. Lha semalam ibu mendengar kata-kata kritis juga, ketika nak Ratih
menelpon kamu.”
“Iya Bu, kekurangan darah. Tapi bu Sasmi dan bu Ratna
membantu mendonorkan darahnya. Sebelum itu juga bapaknya Ratih sudah lebih dulu
berdonor.”
“Ya Tuhan, ternyata parah sekali. Kalian selalu
menutup-nutupi apapun pada ibumu ini. Mentang-mentang ibumu tidak bisa melihat,”
gerutu yu Kasnah.
“Bukan begitu Bu, kami hanya tidak ingin membuat Ibu
khawatir, jadi cerita yang ringan-ringan saja. Maaf ya Bu.”
“Sekarang kamu baru pulang. Tampaknya hampir pagi,
karena ibu sudah mendengar kokok ayam tetangga.”
“Benar Bu, hampir pagi.”
“Kamu pasti lelah, semalaman tidak beristirahat.”
“Tidak begitu lelah Bu, kalah oleh rasa khawatir
melihat keadaan mbak Susan.”
“Apa sekarang keadaannya sudah baik?”
“Masa kritis sudah lewat. Kami semua meninggalkannya
menjelang pagi ini, untuk beristirahat sebentar.”
“Kamu tidak usah berjualan saja, lebih baik tidur
barang sebentar.”
“Baiklah. Sekarang Tiwi buatkan minuman hangat dulu
untuk Ibu ya, juga sarapan. Setelah itu Tiwi mau tidur sebentar.”
“Lauk yang semalam kan masih, tidak usah masak apapun.
Nasi juga masih ada kan?”
“Ada Bu, tapi harus dihangatkan semua. Pokoknya
sebelum Tiwi istirahat, Ibu dan Nano harus sarapan dulu.”
“Baiklah, terserah kamu saja,” kata yu Kasnah terharu,
karena dalam keadaan lelah, Tiwi masih memikirkan ibu dan adiknya.
***
Bu Juwono sudah bangun sejak tadi, dan sudah mandi. Ia
melihat Ratih tertidur pulas, tampak lelah, dan sang suami siap pulang karena
harus pergi ke kantor.
“Ratih tampak lelah,” kata pak Juwono.
“Jam berapa kalian kembali ke kamar ini, aku sudah
tidur, capek menunggu.”
“Ratih hampir pagi baru kemari, aku masih berjaga di
sana. Kasihan tidak ada yang menunggu sama sekali.”
“Apa dia tidak punya keluarga?”
“Tampaknya tidak. Menurut Pratiwi, ayah ibunya sudah
tidak ada, jadi dia hidup sendiri.”
“Pantesan, tidak ada yang mengingatkan ketika dia
bergaul dengan laki-laki bejad seperti Sony.”
“Ya sudah, itu adalah jalan hidupnya.”
“Bapak tampak bersimpati sama dia.”
“Dia pantas dikasihani. Menurut cerita teman-temannya,
dia gadis yang baik. Dia hanya tersesat. Semoga dia bisa kembali meniti jalan
yang baik dan bersih.”
“Bapak mau pulang sekarang? Ibu mau ikut, tapi Ratih
masih tidur, ibu tak sampai hati membangunkan dia.”
“Aku pulang sendiri saja. Nanti ke kantor sebentar
saja. Kalau urusan beres, aku juga mau segera pulang, istirahat. Semalaman
tidak tidur.”
“Ya sudah, kalau begitu. Aku menunggu kalau Ratih
bangun saja. Bondan juga belum bangun.”
“Biarkan saja, ini masih pagi. Kalau Ibu tidak
keberatan, coba tengok gadis itu. Saat ini tidak ada yang menunggui.”
“Baiklah, aku mau ke sana untuk melihat keadaannya.”
***
Tapi begitu bu Juwono dan sang suami sudah tidak ada
di ruangan itu, Bondan terbangun. Seorang suster mendekat, untuk memeriksa
tensi dan lain-lainnya.
“Suster, setelah ini, ijinkan saya pergi melihat
korban kejahatan yang sedang dirawat di ruang ICU,” pinta Bondan.
“Tapi nanti, dokter belum mengijinkan Bapak berjalan.”
“Saya minta kursi roda, dan tolong ijinkan. Dia
sahabat terbaik saya,” kata Bondan memelas.
Tampaknya sang perawat melaporkan kondisi Bondan, dan
mengatakan permintaan Bondan. Bondan merasa lega, ketika perawat datang membawakan kursi roda.
Bondan pergi menemui Susana, dengan diantar oleh
perawat yang memegangi botol infusnya.
Bagai di sayat hati Bondan, melihat Susana terbaring
lemah, dan memejamkan mata. Ia mendekat, dan menyentuh tangannya lembut.
Bondan merasa lega, ketika melihat Susana membuka
matanya.
Bibir tipisnya terbuka, dan menyebut nama Bondan
dengan lembut.
“Mas Bondan.”
“Bagaimana keadaanmu?”
“Baik. Kamu masih sakit, kenapa kemari?”
“Aku prihatin melihat keadaanmu. Aku takut kehilangan
kamu,” bisiknya lembut, ditelinga Susana.
Tapi tanpa diduga, Susana menggelengkan kepalanya.
“Jangan, aku sudah tak lagi punya cinta,” bisiknya
lemah.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulilah... maturnuwun bu tien
ReplyDeleteJuara 1 mb Iin
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
Mgi2 tansah pinaringan sehat,Aamiin
Mtrnwn
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir.
ReplyDeleteHtr nhn
ReplyDeleteTerima kasih bunda SB nya sdh tayang..slmt mlm dan slmt istrahat..salam seroja dan tetap Aduhaai dri skbmi🙏🥰🌹❤️
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~40 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Maturnuwun Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Matur nuwun tayang gasik
ReplyDeleteAlhamdulillah ... trimakasih bu Tien.....sehat selalu
ReplyDeletealhamdulillah...maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien
🌻🌿🌻🌿🦋🌿🌻🌿🌻
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 40 telah
tayang.Matur nuwun Bu Tien.
Moga tetap sehat & smangat.
Salam Aduhai
🌻🌿🌻🌿🦋🌿🌻🌿🌻
Berat nih Bondan, Susana sudah tidak ada cinta. Tapi seiring berjalannya waktu mungkin akan berubah.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Skrg Ardian ga ada saingan lg utk mendekati Pratiwi.. yaa pak..
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun bu
Pas nginceng kok pas tayang mbak
ReplyDeleteLgsg mojok deh penisirin bingitz jew
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah..tambah seruuu cerbungnya
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Semoga bunda sehat" selalu..
Salam Aduhaaiii...
Alhamdulillah terima kasih bu Tien...
ReplyDeleteAyo Bondan rayu Susana yakinkan, apalagi ibu bapaknya sudah berubah....
Salam sehat selalu bu Tien
Ya iyalah no 1..... Pesaingnya isih durung medun saja ngisya, di mesjid.... Mulih kok mesjid wis tayang. Tujune naskah sdh saya kirim ke jeng Nani, jadi langsung posting di WAG PCTK
ReplyDelete🥬🌹🥬🌹🥬🌹🥬🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah eSBeKa_40 sdh tayang, juara 1 jeng Iin Jogja.
Terima kasih bu Tien, salam hormat, tetap sehat dan produktif.
Tetap ADUHAI......
🥦🌷🥦🌷🥦🌷🥦🌷
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Suwun Bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien salam sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteAlhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah buat nangis..terima kasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah SB-40 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Trims Bu tien
ReplyDeleteMbak Tien memang luar biasa...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Adem
ReplyDeleteBondan sudah memohon mohon agar boleh meniliki Susan, kudunya itu ngungak, menjenguk, Susan yang baik, paling tidak punya rasa, ada sesu watu yang mengganjal, gimana tå watu ya buat ngganjel itu jangan terlalu kecil gitu, gampang lumat, besaran dikit napa, kan mustinya sudah siap crane buat ngangkat, kan bilang mawar yang nyemplung lumpur.
Sudah nggak punya cinta.. wauw..apa iya..
Waduh jalan panjang nich.
Huh.. ati judheg sirah mumet muka bengep.
Serem ya nilai yang dibuat, baru tahu kan kalau orang lain justru beda menilai dari apa yang dikerjakan, terlihat jelas memperlakukan pekerjaan secara serius dan cekatan dengan ikhlas itu pandangan ibu ibu di warungnya you Kasnah, operator nya keren; spg nya cantik cantik keren kan.
Mana ada pasar krempyeng kaya gitu bisa tampil beda.
Tapi Susan kan tahu diri siapa dirinya, nggak punya keluarga jadi melihat keluarga Pratiwi membuat semangat hidupnya ada, sadar dan cepat menyesuaikan, dia butuh teman dan keluarga, ada yang bisa diajak bicara.
Pertimbangan kelegaan Yuwono, lihat Bondan serius perhatian nya pada Susan dan penilaian orang orang disekitar Susan jadi luruh ada sesuatu, mengharap ibunya Ratih menjenguk sekali kali pada Susan, rupanya dia salah menilai, dia tidak punya saudara; siapa tahu kalau sudah terkunci menilai orang buruk, malah se hari hari harus menghadapi kan runyem, bisa sutrees
gitu donk
ADUHAI
Nggak kaya kamu nang; mung udu crigiz ngecipris nganti ndower.
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke empat puluh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah SB-40 sdh hadir
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Alhamdulillah ,matur nuwun bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.🤗🥰
ReplyDeleteSabar ya Bondan kita tunggu ,,,🤭
Kasihaaann..
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam hangat selalu aduhai.
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 selalu