SETANGKAI BUNGAKU
39
(Tien Kumalasari)
Ada tiga orang polisi yang mengacungkan senjatanya,
salah seorang sudah menelikung salah satunya yang tadi menjadi sopir. Tapi yang
dua masih merengkuh tubuh Susana dan Pratiwi yang dipergunakannya sebagai tameng.
“Menyerah saja, kalau ingin selamat! Dan lepaskan dua
gadis itu.”
“Biarkan kami pergi … kalau tidak, keduanya tak akan
selamat,” dan tiba-tiba juga, keduanya sudah memegang belati yang diarahkannya
ke leher Susana dan juga Pratiwi.
“Tembak saja dia pak, jangan hiraukan kami!” teriak
Susana tiba-tiba.
“Aku bunuh kamu lebih dulu!!” ancam laki-laki itu
sambil mempererat cengkeramannya dan menyentuhkan ujung belati yang berkilat-kilat
ke leher Susana.
Tapi tiba-tiba terdengar lagi sirene, dan serombongan
polisi datang, mengepung tempat itu.
Ardian dan Roy sudah turun dari mobil. Ia melihat
sebuah pohon besar di rumah sebelah, yang beberapa dahannya melintang ke halaman,
dimana ketegangan sedang terjadi.
Polisi sedang mengatur posisi, bagaimana cara
menyergap ke dua orang yang mencengkeram dua gadis itu, dan sedang bergerak
mundur mendekati rumah, sambil menyeret tubuh Pratiwi dan Susana.
Tiba-tiba terdengar tembakan dari dalam rumah, yang
kemudian membuat salah seorang polisi terkena tembakan di lengannya. Tapi
bersamaan dengan itu, Susana bisa
meronta, lalu menyikutkan sikunya ke perut laki-laki yang menawannya, membuat
laki-laki itu terhuyung ke belakang, tapi dengan sigap dia mengayunkan belati
ditangannya, ke arah tubuh Susana, mengenai pinggang kiri nya. Pratiwi menjerit
melihat Susana roboh bermandikan darah. Tapi bersamaan dengan itu, dua tubuh
laki-laki berayun di dahan pohon, dimana dahan itu berada tepat di atas
terjadinya peristiwa. Mereka adalah Ardian dan Roy yang berhasil merayapi dahan
pohon dari halaman samping. Dengan serta merta Ardian mengayunkan kakinya ke
arah tengkuk penjahat yang memegangi Pratiwi, membuatnya tersungkur. Dan
satunya menendang tubuh laki-laki didepan Susana yang siap mengayunkan lagi
belatinya.
“Mbak Susana … Mbak Susana … “ Pratiwi menjerit-jerit
sambil menubruk tubuh Susana yang terkulai lemah.
“Aku … tidak apa-apa,” rintihnya pelan.
Roy dengan cekatan menggendong tubuh Susana, dibawanya
ke pinggir, sementara Ardian membawa Pratiwi menjauh.
Polisi dengan sigap meringkus kedua laki-laki penjahat
itu, lalu merangsek masuk ke rumah. Namun ada perlawanan dari dalam rumah.
Polisi harus berhati-hati karena tembakan dari dalam terdengar membabi buta.
“Tolonglah … Mbak Susana … sadar …”
“Roy, kita harus segera membawanya ke rumah sakit,”
kata Ardian.
Roy mengangguk. Dengan menyusuri pinggiran tembok
rumah, dia menggendong Susana, dibawanya ke mobil. Pratiwi dan Ardian berlari mengikutinya.
Dari kejauhan terdengar Mario berteriak-teriak
mengamuk, tapi dengan tangan sudah diborgol polisi.
“Bodoh kalian! Goblog semua!! Heiiii !!! Lepaskaaan!!
Aku punya banyak uang!! Lepaskaaan!!”
Ardian menjalankan mobilnya, memacunya ke rumah sakit.
Apa yang didengarnya, menunjukkan bahwa polisi berhasil meringkus penjahat itu.
***
Hari sudah malam, ketika keluarga Juwono sudah berada
di rumah sakit. Bondan sudah terlelap, barangkali karena obat yang diberikan
dokter kepadanya. Tapi keluarga merasa lega, karena tidak ada luka dalam di
tubuh Bondan yang menghawatirkan.
Pak Juwono menyalakan televisi, dan terkejut melihat
tayangan breaking news yang sedang menyiarkan berita tertangkapnya Mario.
“Ya, akhirnya tertangkap juga, dia,” gumam pak Juwono.
Tapi ada yang lebih mengejutkan lagi ketika narasi
menyiarkan berita tentang seorang wanita yang berhasil melepaskan diri dari
cengkeraman penjahat yang menyandera nya.
“Seorang wanita bernama Susana yang semula di sandera,
berhasil meloloskan diri dari cengkeraman penyandera, dengan menyakitinya dan
membuatnya terlepas. Tapi kemudian wanita itu terluka karena penjahat berhasil
melukai pinggangnya dengan belati yang dibawanya.
“Itu kan Susana?” teriak bu Juwono.
“Kok bisa? “
Tayangan menunjukkan ketika Susana berada di rumah
sakit dengan terkapar di atas brankar, dan darah membasahi bajunya, sementara
Pratiwi menangis meraung-raung.
“Ada Mbak Pratiwi juga?” teriak Ratih.
Mendengar teriakan-teriakan itu, Bondan membuka
matanya. Ia mendengar nama Susana di sebut-sebut.
‘Saat ini Susana masih dalam perawatan intensif di
sebuah rumah sakit swasta karena lukanya yang cukup parah’
Buntut berita itu mengejutkan Bondan.
“Ada apa? Kenapa Susana? Kenapa kalian berteriak?”
tanya Bondan panik.
“Susana dijadikan sandera dalam penangkapan pak
Mario,” akhirnya Ratih yang menjawab.
“Bagaimana bisa terjadi?”
“Belum jelas, ada mbak Pratiwi juga,” lanjut Ratih.
“Mana ponselku,” kata Bondan yang segera meraih
ponselnya.
“Dia lagi sakit, mana bisa menerima telpon kamu?” cela
ayahnya.
“Aku menelpon Pratiwi,” jawab Bondan yang segera
memutar nomor kontak Pratiwi. Kali ini, pak Juwono dan bu Jowono tidak
memprotes. Rupanya pengorbanan Susana dalam penangkapan penjahat itu telah
menyentuh hati mereka, menghilangkan kebencian yang semula melingkupi hati
mereka. Demikian juga apa yang dirasakan Ratih.
Agak lama, tapi kemudian Pratiwi menjawabnya, masih
dengan suara serak.
“Pratiwi,” sapa Bondan lebih dulu.
“Mas Bondan, mbak Susana …” lalu Pratiwi kembali
terisak.
“Aku melihat sekilas berita di televisi, tapi tidak
jelas. Katakan apa yang terjadi, dan bagaimana keadaan Susana.
Lalu dengan terbata-bata, Pratiwi menceritakan
semuanya, mulai dari saat dirinya dan Susana mencari rumah untuk berjualan,
sampai kemudian menjadi sandera dan membuat Susana luka parah sampai berdarah-darah.
“Mbak Susana luar biasa. Dia sangat berani. Bahkan
tadinya menyuruh polisi-polisi langsung menembak saja penjahat itu, tanpa
mempedulikan keselamatan dirinya.”
“Bagaimana keadaan Susana sekarang?”
“Masih dirawat. Dia mengeluarkan banyak darah. Untung,
mas Roy dan mas Ardian segera melarikannya ke rumah sakit.
“Ini rumah sakit yang sama, di mana aku di rawat.”
“Benar Mas.”
“Aku akan melihat keadaannya.”
“Jangan dulu Mas, bukankah Mas Bondan juga masih
sakit?”
“Aku tidak apa-apa. Hanya luka luar saja.”
“Tapi mbak Susana juga masih di ruang ICU, belum bisa
dijenguk. Sabar lah Mas, nanti aku kabari kalau ada perkembangan.”
Bondan menutup ponselnya.
“Bagaimana?” tak urung Ratih juga ingin mengetahui
terjadinya peristiwa itu.
“Temui Pratiwi. Mereka ada di rumah sakit ini. Tapi
Susana masih di ruang ICU. Dia mengeluarkan banyak darah,” kata Bondan dengan
gelisah.
“Mas Bondan sabar ya, biar aku ke sana dulu,” kata
Ratih yang sedikit melegakan hati Bondan.
“Segera kabari aku,” pesannya ketika Ratih akan
berlalu. Ratih hanya mengangguk, tapi kelihatan bahwa dia juga merasa prihatin
atas kejadian itu.
Pak Juwono menyandarkan tubuhnya di sofa. Sedikitpun
tak ada kata menentang ketika Ratih ingin pergi, dan ketika melihat Bondan
sangat gelisah.
“Mario itu sangat kejam, ya kan?” gumam bu Juwono.
“Sebenarnya semua itu terjadi, hanya karena rasa
sayangnya kepada Sony. Dia kan anak tunggalnya,” tukas suaminya.
“Sony terlalu dimanja, tapi dia lupa, bagaimana cara
mendidik anak agar tahu mana yang pantas dilakukan, dan mana yang tidak.
Bermain banyak wanita, itu kan tidak baik. Kenapa Mario tidak pernah
mengingatkannya?”
“Hal itu terjadi ketika Sony ditinggalkan calon istrinya.
Bukankah waktu itu mereka hampir menikah? Lalu calon istrinya lari dengan
laki-laki bule, dan entah kemana sekarang dia berada. Setelah itu Sony jadi
kehilangan kendali. Menganggap wanita hanyalah barang mainan.”
“Hal itu tidak bisa dilakukannya. Wanita kan harus
dihormati?”
“Kalau saja dia waras. Tapi Sony kan tidak waras?”
Beberapa saatnya mereka berbincang tentang Mario, yang
sesungguhnya sahabat mereka sejak masih sama-sama muda. Tapi tiba-tiba ponsel
Bondan berdering. Segera Bondan mengangkatnya.
“Bagaimana keadaannya?”
“Mbak Susana kritis.”
“Apa? Aku mau ke sana.”
“Dia butuh donor darah.”
“Apa golongan darahnya?”
“O. Sedangkan aku bukan. Mas Ardian dan mas Roy juga
bukan.”
“Kenapa?” sela pak Juwono yang tiba-tiba juga menaruh
perhatian.
“Susana kritis. Dia butuh tranfusi darah. Golongan
darahnya O.”
“Itu sama dengan darahku, aku mau ke sana,” kata pak
Juwono yang langsung berdiri, dan bergegas keluar dari ruangan itu.
Bondan menghela napas panjang. Kegelisahannya belum sirna, kendati ayahnya sudah tampak bersimpati pada Susana.
***
Ardian mendekatinya. Ia berpikir tentang yu Kasnah,
yang pasti akan cemas memikirkan Pratiwi yang tidak diketahui sedang pergi ke
mana. Mereka meninggalkan mobil Susana begitu saja, tentu hal itu akan
menimbulkan banyak pertanyaan di hati ibunya, dan pastinya Nano.
“Tiwi, apakah kamu ingin pulang?”
“Saya mencemaskan mbak Susana.”
“Apa kamu tidak memikirkan ibumu? Pasti dia bingung
karena kamu tidak segera pulang, sementara mobil Susana sudah ada di depan
rumah.”
Pratiwi terkejut. Ia ingat telah meninggalkan mobil
Susana begitu saja, ketika dua orang memaksanya masuk ke dalam mobil anak buah
Mario.
“Iya, pasti ibu bingung.”
“Bagaimana kalau kamu aku antar pulang dulu?”
“Bagaimana kalau saya menunggu mbak Susana sampai
sadar?”
“Begini saja. Aku akan minta tolong ibu, agar bersedia mengabari yu Kasnah,” kata Roy, yang juga enggan pulang karena ada Ratih di tempat itu, yang memberi perhatian juga pada Pratiwi.
“Ah, nggak enak saya sama bu Sasmi dan bu Ratna,” kata
Pratiwi.
“Ya sudah, aku saja yang pergi ke rumah Mbak Pratiwi,
mengabari bu Kasnah bahwa mbak Pratiwi baik-baik saja.”
“Ide bagus. Aku akan mengantarkan kamu, Ratih,” kata
Roy tiba-tiba. Ia melirik sekilas kepada Ardian yang tertawa tertahan karena
sungkan, tapi sebenarnya sedang mentertawakan dirinya.
“Jangan begitu Ar, masa aku harus membiarkan Ratih
pergi sendiri. Malam-malam pula,” kata Roy membela diri.
“Iya, aku tahu. Memangnya kenapa, aku kan tidak
melarang kamu?”
“Ya sudah, ayo Tih, sekalian beli makanan buat
kita-kita nih. Lapar kan, sejak sore belum makan apa-apa?”
“Iya Mas, cepatlah kalau begitu, kata Ratih yang tak
sabar, kemudian mendahului berdiri. Ia menepuk bahu Pratiwi pelan.
“Aku ketemu Ibu ya, jangan khawatir.”
“Terima kasih, Ratih. Tapi hati-hati, tidak usah
menceritakan yang serem-serem dan membuat ibu khawatir.”
“Aku tahu, tenang saja,” katanya kemudian berlalu,
diikuti Roy.
***
Tapi di tengah jalan Roy ditilpun ibunya.
“Roy, kalian ada di mana?”
“Lagi di jalan Bu, ini lagi nganterin Ratih.”
“Jadi kamu ke rumah Ratih?”
“Tidak, ceritanya panjang, tapi Ibu tidak perlu
khawatir, kami baik-baik saja.”
“Kamu tahu di mana Pratiwi? Tadi sore Nano ke rumah,
dia bingung karena mobil Susana sudah datang, tapi Susana maupun Pratiwi belum
pulang ke rumah.”
“Iya, ini ada hubungannya dengan mereka.”
“Ada apa sebenarnya? Apa kalian bertemu mereka?”
Tak urung, secara singkat kemudian Roy bercerita
tentang apa yang terjadi, membuat Sasmi terkejut, dan juga khawatir.
“Gadis itu bagaimana?”
“Tadi sempat kritis. Dia kehilangan banyak darah. Tapi
sudah tertolong. Ayah Ratih sudah mendonorkan darahnya. Belum tahu kalau nanti
masih kurang.”
“Apa golongan darahnya?”
“O.”
“Itu sama dengan golongan darah ibu.”
“Benarkah?”
“Kabari ibu, kalau memang masih membutuhkannya.”
“Iya Bu, terima kasih. Sudah dulu, ini Roy sudah
sampai di rumah yu Kasnah. Dia pasti cemas memikirkan Tiwi yang tidak segera
pulang.”
“Baiklah. Hati-hati,” pesan Sasmi.
***
Yu Kasnah memang sedang kebingungan, dan karena itu
pula, Nano juga tidak konsentrasi dalam belajar.
“Ini sudah sangat malam. Iya kan No? Jam beraa coba?”
“Sudah jam sembilan lebih Bu.”
“Apa yang terjadi? Mengapa kakakmu belum pulang juga?”
Tapi langkah-langkah kaki yang mendekat segera
membuatnya lega.
“Tiwi?” tanya yu Kasnah.
“Bukan mbak Tiwi, Bu,” kata Nano.
“Apa?”
Tiba-tiba yu Kasnah merasa, seseorang merangkulnya. Ia
mengenali rangkulan itu.
“Ini seperti nak Ratih ?”
“Iya Bu, tentu saja saya.”
“Mana Pratiwi?”
“Mbak Tiwi baik-baik saja. Dia sedang menunggui mbak
Susan di rumah sakit.”
“Apa? Nak Susan sakit apa? Bukankah sore tadi sudah
pulang, lalu pergi lagi?”
“Iya, Tampaknya lupa sesuatu, lalu pergi lagi, tapi
kemudian mbak Susan jatuh dan terluka, sekarang mbak Tiwi menunggui di rumah
sakit.”
“Parah, lukanya?”
“Tidak parah sekali, cuma harus dirawat.”
“Kenapa anak itu? Kasihan sekali.”
“Ibu mau bicara sama mbak Tiwi?”
“Iya, mau. Biar Ibu lega.”
Ratih mengirim pesan singkat pada Pratiwi, tentang
alasan yang dikatakan pada ibunya. Tapi sebelumnya Pratiwi menjawab pesan
Ratih, dan mengatakan bahwa Susana masih kritis.
***
Besok lagi ya.
Yess
ReplyDeleteSelamat juaranya priyantun Semarang..... Sugeng dalu jeng Iyeng.......
DeleteSugeng ndalu pakdhe...alhamdulillah..
DeleteJuara 1 Jeng Iyeng
DeleteGas poll tadi ya Jeng?
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Tiwi sudah hadir.
ReplyDeleteAlhamdulillah...maturnuwun mbak.Tien sayang...seruuu
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Alhamdulillah. Terimakasih bu Tien .
ReplyDeleteAlhamdulillah Turnuwun Bunda
ReplyDelete🌸🍃🌸🍃🦋🍃🌸🍃🌸
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 39 telah
hadir. Matur nuwun Bunda
Tien. Salam sehat, bahagia
dan tetap Aduhai...
🌸🍃🌸🍃🦋🍃🌸🍃🌸
🥬🌹🥬🌹🥬🌹🥬🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah *eSBeKa_39 sdh tayang.*
Terima kasih bu Tien, salam hormat, tetap sehat dan produktif.
Tetap ADUHAI......
🥦🌷🥦🌷🥦🌷🥦🌷
Alhamdulilah tayang gasik, maturnuwun bu tien...salam sehat
ReplyDeleteSuwun
ReplyDeleteSelamat mpm bunda Tien..terima ksih SB nya .slm seroja dan aduhaaidri skbmi🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeletealhamdulillah maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang, matur nuwun bunda Tien, sehat2 selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah terima kasih Bu Tien....
ReplyDeleteSemoga Susana selamat jadi nanti,
Susana dengan Bondan
Ratih dengan Roy
Pratiwi dengan Ardian.
Pak Juwono dan istri merestui Bondan.
Salam sehat selalu Bu Tien..
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah trims Bu tien
ReplyDeleteAkankah Susana diterima oleh keluarga Juwono? Mudah mudahan...
ReplyDeleteKalau demikian tiga pasangan sudah tidak ada masalah.
Dan sudah mendekati akhir? Mungkin saja, tentunya sudah siap dengan cerita baru.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~39 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Waah...makasih, bu Tien...ngebut nulis ya, tayang awal.😀😘😘
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien. Cerita makin seru. Salam sehat selalu utk mbak Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 39 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Seruuuuuuu,
ReplyDeleteAqu sukaaaaa...
Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSemoga Bu Tien sehat selalu.
Alhamdulillah, suwun Bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, terima kasih mbak Tien, salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Alhamdulillah SB-39 sdh hadir
ReplyDeletemenegangkan sekali.. semakin seru ceritanya
Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteSemoga Susana selamat.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Waduh pasar krempyeng yu Kasnah tutup, sudah jadi buah bibir penjualnya cantik cantik, sampai Bu Sasmi ikut menguatirkan Susana si kembang lambe, malah boyoké kejawil peso, semoga nggak dalem.
ReplyDeleteBola balio gede gombong biar kelihatan gede tetep waé kecamatan. Lho itu mau jadi kotatip lho.
Beraninya sama orang yang nggak berdaya, malah kelihatan arogannya. Nyandera, kelihatan sekali kaya nggak pede, percuma besarnya sura sapar ruah malah ngetung bulan Jawa.
Susana kok belum ada tanda-tanda kemajuan ya, ya kan pesonya itu masuk dalem apa tidak, dah bubar deh, kepercayaan orang kalau maen kasar gitu. Semoga cepat sembuh, itu kan sudah nggak punya siapa-siapa, makanya you Kasnah ikut prihatin.
Bondan ancik ancik kendi, mingset mingset itu kan tarian.
Pak Yuwono ikut suport pengorbanan Susana, sampai Mario tertangkap, masuk tv lagi, teman tapi sukanya ngasih kerjaan orang; nggak penting lagi, malah ngancam segala.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke tiga puluh sembilan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Semoga bunda sehat selalu dan tetap Aduhaaiii.. 🙏🙏🌹🌹❤️
Alhamdulillah Matur nuwun bu Tien
ReplyDeletesehat wal'afiat selalu 🤗🥰
Rame nih. ,,senangnya Bodan smg Susana sembuh ya
Alhamdulillah, suwun bu Tien, sehat sehat selalu
ReplyDelete