SETANGKAI BUNGAKU
35
(Tien Kumalasari)
Bondan melihat Sony berdiri di tengah pintu, sebelah
tangannya bertopang pada kruk, dan kelihatan bahwa kaki kirinya agak
tergantung. Bondan tahu bahwa Sony luka pada kaki kirinya, yang kabarnya akan
dioperasi.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Bondan sambil menatap
tajam Sony.
“Harusnya aku yang bertanya sama kamu Bondan, mengapa
kamu ada di sini? Tak mungkin kamu akan menangkap aku, lalu menyerahkannya pada
polisi.”
“Kamu buron kan?”
“Kalau ya, kenapa? Kamu tahu bahwa aku bisa melakukan
apa saja. Sekarang katakan, kenapa kamu berada di sini?”
“Aku mencari Susana. Mana Susana?”
“Apa? Kamu mencari Susana? Susana itu milik aku,” kata
Sony sambil menatap marah.
“Tidak, dia mencintai aku, aku mencintai dia,” jawab
Bondan tandas.
Sony terbahak.
“Kamu mengigau? Aku lebih dulu mencintai dia.”
“Bohong! Mana dia?”
“Pergi kamu. Haruskah ada darah menetes diantara kita?”
Bondan mengangkat kepalanya. Ia dengan berani menyatakan
rasa cintanya pada Susana, bahkan di depan Sony, Itu dilakukannya dengan berani,
diluar kemauannya, tapi ia tak ingin membantahnya. Mendengar ucapan Sony yang
merupakan tantangan itu, darah Bondan mendidih. Sebagai laki-laki, ia pantang
menyerah. Sony ingin membuatnya takut, tapi tidak. Bondan agak ragu mendengar
Sony menantangnya, karena dalam keadaan kaki terluka, bagaimana dia berani
menantangnya bertarung. Tapi tiba-tiba dia merasa was-was. Jangan-jangan Susana
ada di dalam dan menjadi sandera baginya.
Bondan menatap ke dalam, tak ada bayangan Susana,
pastilah di sembunyikan di suatu tempat, untuk menghindari penangkapan polisi.
“Kamu mencari apa?”
“Mana Susana?”
“Aku sudah bilang bahwa dia milik aku. Kalau kamu
tidak segera meninggalkan tempat ini, maka kamu akan celaka,” ancam Sony.
Tiba-tiba Sony bertepuk tangan tiga kali, setelah
bersandar pada pintu dan menyandarkan kruk di dekatnya.
Bondan berdebar. Tampaknya Sony tidak sendiri. Dan
laki-laki pengecut itu sedang memanggil temannya. Itu benar. Bondan bersiap
ketika melihat dua laki-laki keluar dari dalam. Mereka berbadan tegap dan
pastinya sangat kuat. Tapi Bondan tidak gentar.
Ia mundur ke arah luar agar bisa bergerak leluasa. Dan
bersamaan dengan itu, dua laki-laki anak buah Sony menyergapnya, bersamaan. Bondan
sempat menghindari sebuah serangan dari salah satunya, tapi bahunya terkena
pukulan dari yang lain. Ia agak terhuyung, dan itu dipergunakan oleh mereka
untuk menyerangnya.
Bondan bukan penakut. Ia juga bukan tukang berkelahi.
Tapi menyerang dan memukul, pernah dipelajarinya ketika dia belajar silat
semasa SMA. Tidak pernah dipergunakan sih, tapi untuk sekedar berkelit dan
menyerang, dia masih sanggup. Kedua penyerang terkejut, karena lawannya
ternyata cukup tangguh.
Dari arah pintu, terdengar Sony berteriak.
“Segera selesaikan! Habisi dia!!” perintahnya.
Kedua penyerang itu menyerang dengan lebih gencar.
Tapi tiba-tiba dari arah gerbang, sebuah taksi berhenti, Sony yang berdiri di
depan pintu sangat terkejut, melihat siapa yang turun dari taksi.
“Susan?”
“Mas Bondaaaan!!” Susana berteriak dari kejauhan. Tapi
dia tidak langsung mendekat. Dia menelpon polisi. Sebuah tindakan yang amat
jitu.
Susana kemudian berlari mendekat.
“Mas Bondaaan!”
Tapi Bondan tak sempat menoleh, karena kedua penyerang
seakan tak memberi kesempatan untuk itu. Berkali-kali Bondan terjatuh, dan
berguling-guling, dan kedua musuhnya terus memburunya.
“Hentikaaaan!!”
“Segera bunuh dia!!”
Sony kembali berteriak.
“Manusia jahat!!” teriak Susana yang merasa cemas
melihat Bondan kewalahan.
“Siapkan mobil!!” Sony kembali berteriak. Ternyata
masih ada lagi orang di dalam.
Tak lama kemudian tampak mobil keluar dari garasi.
Sony tertatih keluar dan berusaha turun dari teras. Pertarungan berat sebelah
itu membuat Bondan semakin sering terlempar jatuh.
“Jangan pergiii! Orang jahat!!” teriak Susana.
Tapi mobil yang ditumpangi Sony sudah bergerak ke arah
luar.
“Habisi dia dan segera pergi!!” teriak Sony lagi dari
jendela mobil yang dibukanya. Tapi ketika mobil itu sampai di mulut gerbang, terdengar
sirene mobil polisi, lalu Sony melihat sebuah mobil polisi berhenti melintang.
“Bagaimana tuan?” tanya sopirnya.
“Sialan!! Kalian terlalu lamban, bodoh!!” umpatnya.
Pertarungan segera berhenti. Bondan terduduk dengan
wajah lebam. Keduanya berlari ke arah garasi. Ada sepeda motor terparkir di
sana. Tapi keduanya tak berkutik, ketika salah seorang polisi menodongkan
senjatanya.
Susana melihat Sony kembali diringkus, tapi ia tak
mempedulikannya. Ia bersimpuh di hadapan Bondan, menyapu darah dengan tissue yang
diambilnya dari dalam tas nya.
“Mas Bondan, mengapa Mas ada di sini?” tanya Susana
trenyuh, tapi kemudian dia menelpon ambulans agar segera datang.
“Aku mencari kamu.”
“Mengapa?”
“Hanya ingin memberi tahu, bahwa Sony kabur,” Bondan
terengah.
“Ternyata aku sudah tahu. Aku ada di rumah Pratiwi.
Aku ingin menginap di sana, dan sekarang aku sebenarnya ingin mengambil baju
ganti.”
“Kamu tahu dari mana?”
“Mas Ardian dan mas Roy datang ke rumah Pratiwi,
mengatakan bahwa Sony kabur dari rumah sakit.”
“Aku tidak mengira Sony ada di sini.”
“Ini rumah aku. Sony tak mungkin pulang ke rumahnya
sendiri. Tapi aku tak mengira dia ada di sini.”
“Mungkin dia mengira, polisi tak akan melacaknya
sampai kemari. Ternyata polisi juga datang kemari.”
“Barusan aku yang memanggilnya.”
“Kamu?”
“Saat aku turun dari taksi, aku melihat Mas dikeroyok,
dan Sony berdiri di depan pintu. Aku langsung menelpon polisi.”
“Oh, ternyata….”
“Aku sudah memanggil ambulans. Mas harus dibawa ke
rumah sakit.”
“Mobilku ada di depan.”
“Biar aku yang membawanya,” kata Susana yang kemudian
membantu Bondan berdiri, ketika ambulans yang dipanggilnya sudah datang.
***
Pratiwi sedang menyiapkan lauk untuk makan malam nanti,
ditemani Nano yang sudah selesai belajar.
“Masak apa Mbak?” tanya Nano.
“Hanya oseng sayur, dan sisa ikan masih ada.”
“Mbak Susan ke mana?”
“Tadi pamit pulang, mau mengambil baju.”
“Benar, mbak Susan mau tidur di sini?”
“Iya.”
“Nanti Mbak Tiwi tidur di kamar saya ?”
“Tidak. Mbak Susan tidak mau tidur sendiri. Aku akan
menemaninya.”
“Orang kaya kok mau tidur di rumah jelek seperti ini
ya?”
“Mbak Susan sedang butuh teman. Di rumah, dia
sendirian.”
“Bukankah biasanya juga sendirian?”
“Kali ini sedang butuh teman. Tidak apa-apa. Terkadang
orang juga merasa kesepian.”
“Bapak ibunya sudah tidak ada?”
“Tidak ada. Dia tinggal sendirian.”
“Kasihan. Mbak Tiwi sudah tahu di mana rumahnya?”
“Belum.”
“Pasti rumahnya bagus.”
“Iya. Tapi pada suatu waktu, orang tak begitu peduli
tentang tempat yang dia tinggali, selama dia merasa nyaman.”
“Iya, benar. Ketika Nano ikut camping, juga tidur
beralaskan tikar, di atas rumput, di dalam tenda-tenda yang ketika malam terasa
dingin. Tapi senang, karena banyak teman dan saking bercanda.”
“Nah, itu salah satu contoh, bukan? Jadi saat ini mbak
Susan memang sedang merasa ingin punya teman. Disini dia merasa nyaman, jadi
rumah kita yang sederhana ini tetap membuatnya kerasan.”
“Ini ikannya mau di goreng lagi?”
“Iya, tapi biar mbak saja yang melakukannya. Kamu
menemani ibu saja di depan, ya. Kasihan ibu sendirian.’
“Baiklah.”
Nano segera beranjak ke depan, tapi tak lama kemudian
dia kembali ke dapur dengan membawa ponsel kakaknya yang terus berdering.
“Ini, ada telpon Mbak,” kata Nano sambil mengulurkan
ponselnya.
“Oh, dari mbak Susan,” gumamnya sambil mengangkat
ponselnya.
“Ya Mbak. Sudah di rumah?”
“Aku di rumah sakit.”
“Lhoh, Mbak sakit apa?”
“Bukan aku, tapi mas Bondan.”
“Mas Bondan sakit apa?”
Lalu Susana secara singkat menceritakan apa yang
dialami Bondan, dan sekarang dia sudah mengantarkannya ke rumah sakit.
Pratiwi sangat terkejut mendengarnya.
“Lalu bagaimana keadaannya? Apa mas Bondan sadar?”
“Sadar, dia bisa bicara banyak. Tapi dia terluka.
Mungkin juga terluka dalam, baru di observasi. Aku mau minta tolong, bisa kah
kamu mengabari keluarganya?”
“Aku tahu nomor kontaknya Ratih, akan aku kabari dia.
Kirimkan alamat rumah sakitnya ya Mbak. Tapi katakan juga pada mas Bondan, aku
ikut prihatin. Kalau aku selesai, mau ke rumah sakit juga.”
“Jangan Tiwi, besok saja. Ini sudah sore, hampir
malam. Lebih baik kamu kabari keluarganya saja. Rumah sakitnya jauh dari rumah
kamu.”
“Baiklah Mbak, saya akan telpon Ratih saja.”
“Terima kasih Pratiwi, untuk sementara aku akan
menunggui mas Bondan dulu. Sebentar lagi sudah akan di bawa ke ruang rawat.”
“Baik.”
***
Ratih sangat terkejut ketika mendengar apa yang
dialami kakaknya. Ia segera mencari ayahnya, yang rupanya sedang bertelpon
dengan entah siapa. Ratih menunggu beberapa saat lamanya. Sang ibu yang duduk
tak jauh dari sana, mendekati Ratih.
“Ada apa? Bapak sedang bicara dengan keluarganya Sony.
Anak itu memang membuat susah orang tua saja. Bapakmu harus ikut-ikutan memikirkannya,
padahal tidak tahu apa-apa,” kata ibunya.
“Mas Sony sudah ditangkap polisi lagi.”
“Syukurlah. Itu juga tadi yang dikatakan ayahnya.”
“Mas Bondan ada di rumah sakit,” kata Ratih lirih.
“Apa? Kenapa Bondan?”
“Berantem dengan anak buah mas Sony.”
“Kenapa?” tiba-tiba pak Juwono yang sudah selesai
bicara di telpon mendengar apa yang dikatakan Ratih.
“Mas Bondan Pak, ada di rumah sakit. Dikeroyok anak
buah mas Sony,” kata Ratih menahan tangis.
“Ya sudah, jangan menangis, kita segera ke sana. Tapi
kenapa dan bagaimana Bondan ikut-ikutan dalam penangkapan Sony?” tanya bu Juwono.
“Tadi dia bilang akan mengabari gadis yang namanya
Susana itu,” sambung pak Juwono.
“Ya sudah, ceritanya sambil jalan. Kita harus segera
ke rumah sakit,” kata bu Juwono.
“Siapa sebenarnya gadis itu, mengapa Bondan begitu
peduli?” kata pak Juwono sambil memanggil sopir untuk mengantarkan mereka ke
rumah sakit.
Ratih diam saja. Ia sudah tahu kakaknya tertarik pada
Susana, tapi dia sangat menentangnya. Masa lalu Susana sangat tidak terpuji,
karena mengadakan hubungan dengan Sony yang sudah diketahui bagaimana
perilakunya.
***
Susana masih menunggui Bondan yang tampak menahan sakit.
Trenyuh hati Susana menyaksikan kejadian itu. Bondan menjadi korban karena
ingin mengingatkannya bahwa Sony kabur, dan itu berarti Bondan menghawatirkan
keselamatannya.
“Maafkan aku ya Mas. Aku yang membuat Mas jadi begini,”
katanya lirih, sambil berlinang air mata.
“Tidak. Kamu justru telah menyelamatkan aku, dan
membantu polisi untuk menangkap Sony kembali,” jawab Bondan terbata.
“Sakitkah rasanya?”
“Tidak begitu sakit. Kan ada kamu yang menunggui.”
Susana tersenyum tipis. Ia mencoba mencerna apa yang
dikatakan Bondan. Apakah dirinya sangat berarti, dengan menungguinya saat
kesakitan? Siapa dirinya ini, hanya gadis yang tidak lagi suci, tak berharga
untuk dicintai.
Kalau saja Susana tahu, bahwa Bondan mengaku
mencintainya dihadapan Sony, pasti dia akan sangat terkejut. Entah itu
diucapkan dengan segenap kesungguhan hati, atau hanya untuk menyerang Sony yang
dikira menyembunyikan Susana, waktu itu.
“Keluarga Mas akan segera datang. Apa sebaiknya aku
pulang?”
“Kamu akan pulang?”
“Aku pulang hanya untuk mengambil baju ganti. Aku
sudah berjanji akan tidur di rumah Pratiwi. Mungkin untuk beberapa hari.”
“Kamu suka tinggal di sana?”
“Aku suka. Pratiwi sangat baik. Dan karena itu, Mas
Bondan suka sama dia, bukan? Aku akan mendukungnya.”
“Apa?”
Bondan tersenyum. Tadinya dia suka pada Pratiwi. Gadis
lugu yang berhati mulia, dan sangat mencintai keluarganya. Tapi kemudian ada
Ardian yang tampaknya juga menaruh hati pada Pratiwi. Bondan ingat pesan Ratih,
bahwa dia tidak boleh bertengkar dengan Ardian karena memperebutkan cinta
Pratiwi. Waktu itu dia hanya tertawa. Tapi kemudian dia menyadari, bahwa
sesungguhnya dia lebih tertarik pada Susana. Susana yang pantas dikasihani
karena terpuruk dalam kehidupan yang buruk dan kotor. Ketika dia sadar, apakah
dia masih pantas disebut nista? Apakah gadis seperti Susana tak pantas
mendapatkan cinta?
“Pratiwi gadis yang baik,” kata Susana lagi.
“Benar. Tapi Susana juga gadis yang baik.”
“Aku tak ada bandingnya dengan Pratiwi. Pratiwi itu
kejora yang selalu berkedip dan bersinar, sedangkan aku adalah lumpur yang
kotor dan menjijikkan,” kata Susana pilu.
“Kamu adalah bunga yang tercebur kedalam kolam lumpur.
Aku akan memungutnya, dan.membasuhnya,” kata Bondan tersenyum.
Susana terkejut. Ia sedang mencerna kembali arti kata
yang diucapkan Bondan, ketika tiba-tiba keluarga pak Juwono masuk.
Begitu melihat Susana,
pak Juwono langsung menatapnya dengan pandangan tak suka. Ratih pun tak
bersikap ramah padanya. Kecut hati Susana.
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn
ReplyDeleteSelamat jeng Isdar juara 1
DeleteAku kalah banter.....
🥬🌹🥬🌹🥬🌹🥬🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah *eSBeKa_35 sdh hadir ditengah-tengah kita.*
Terima kasih bu Tien, salam hormat, tetap sehat dan produktif.
Tetap ADUHAI......
🥦🌷🥦🌷🥦🌷🥦🌷
ReplyDeleteMtnuwun Mb Tien
Matur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir
ReplyDeleteMatur suwun bunda tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien...
Mugiya ibu tansah pinaringan sehat...
Aamiin Yaa Mujibassailiin...
Alhamdulilah, terima kasih bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah...mtr nwn Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu tien
Yang playune pada bantere:
ReplyDelete1. Jeng Isdar
2. Kakek Habi
3. Uti Nani
4. Jangkung Latief
Disusul 21:11, al:
1. Agustina
2. Endang Amirul
Selamat buat para penyemangat bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~35 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSalam sehat penuh semangat bunda Hj Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah, mstur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang, salam aduhaai dari Lampung
ReplyDeleteAlhamdullilah SB 35 sdh tayang..mksih sanget bunda Tien..slmt mlm dan slmt istrhat..slm seroja dri skbmi🙏🥰❤️🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah , Terima kasih bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Matur nuwun bunda Tien....🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillaah, dah tayang maksih bunda
ReplyDelete💐🌿💐🌿🦋🌿💐🌿💐
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 35 telah
hadir. Matur nuwun Bunda
Tien. Salam sehat, bahagia
dan tetap Aduhai...
💐🌿💐🌿🦋🌿💐🌿💐
Alhamdulillah SB-35 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat selalu
Aamiin
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteBêngêp tå ndan, dikroyok wong telu; yå dadi mempur awakmu ndan, ya namanya anak juragan, ortunya ngasi duwit cuma digunakan untuk ngumbar kesenangan diri aja, jadi nggak enak tuh; ngapain, tuh pak Yuwono jadi paman kikuk satunya anak temen; yang satu anak sendiri, Sony malah perintah anak buah disuruh habisi Bondan, waduh, pak Yuwono kelihatannya bingung gimana ini.
ReplyDeleteYang jadi sasaran Susana.
Tuh pada pasang muka kenceng pada Susana.
Nggak terimakasih lagi malah, sudah susah susah paké dp lagi, buat biar cepat di beri tindakan.
Susana, mau ambil baju ganti, malah lihat ada buronan dibantu anak buahnya; mengeroyok Bondan.
Petualangan cuti mu asyik ndan, ada perhatian dari Susana. Berharap banyak seeh.
Tapi keluarga Yuwono terlihat tidak senang, penyebab Bondan jadi begini, hih kena stempel lho na.
duh pada nggolèk salamété déwé déwé
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke tiga puluh lima sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteKasihan Susana...
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Trims Bu Tien....sehat2 selalu ibuuuu
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien....semoga sehat2 selalu. Aamiin
ReplyDelete