Saturday, March 4, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 35

 

SETANGKAI BUNGAKU  35

(Tien Kumalasari)

 

Bondan melihat Sony berdiri di tengah pintu, sebelah tangannya bertopang pada kruk, dan kelihatan bahwa kaki kirinya agak tergantung. Bondan tahu bahwa Sony luka pada kaki kirinya, yang kabarnya akan dioperasi.

“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Bondan sambil menatap tajam Sony.

“Harusnya aku yang bertanya sama kamu Bondan, mengapa kamu ada di sini? Tak mungkin kamu akan menangkap aku, lalu menyerahkannya pada polisi.”

“Kamu buron kan?”

“Kalau ya, kenapa? Kamu tahu bahwa aku bisa melakukan apa saja. Sekarang katakan, kenapa kamu berada di sini?”

“Aku mencari Susana. Mana Susana?”

“Apa? Kamu mencari Susana? Susana itu milik aku,” kata Sony sambil menatap marah.

“Tidak, dia mencintai aku, aku mencintai dia,” jawab Bondan tandas.

Sony terbahak.

“Kamu mengigau? Aku lebih dulu mencintai dia.”

“Bohong! Mana dia?”

“Pergi kamu. Haruskah ada darah menetes diantara kita?”

Bondan mengangkat kepalanya. Ia dengan berani menyatakan rasa cintanya pada Susana, bahkan di depan Sony, Itu dilakukannya dengan berani, diluar kemauannya, tapi ia tak ingin membantahnya. Mendengar ucapan Sony yang merupakan tantangan itu, darah Bondan mendidih. Sebagai laki-laki, ia pantang menyerah. Sony ingin membuatnya takut, tapi tidak. Bondan agak ragu mendengar Sony menantangnya, karena dalam keadaan kaki terluka, bagaimana dia berani menantangnya bertarung. Tapi tiba-tiba dia merasa was-was. Jangan-jangan Susana ada di dalam dan menjadi sandera baginya.

Bondan menatap ke dalam, tak ada bayangan Susana, pastilah di sembunyikan di suatu tempat, untuk menghindari penangkapan polisi.

“Kamu mencari apa?”

“Mana Susana?”

“Aku sudah bilang bahwa dia milik aku. Kalau kamu tidak segera meninggalkan tempat ini, maka kamu akan celaka,” ancam Sony.

Tiba-tiba Sony bertepuk tangan tiga kali, setelah bersandar pada pintu dan menyandarkan kruk di dekatnya.

Bondan berdebar. Tampaknya Sony tidak sendiri. Dan laki-laki pengecut itu sedang memanggil temannya. Itu benar. Bondan bersiap ketika melihat dua laki-laki keluar dari dalam. Mereka berbadan tegap dan pastinya sangat kuat. Tapi Bondan tidak gentar.

Ia mundur ke arah luar agar bisa bergerak leluasa. Dan bersamaan dengan itu, dua laki-laki anak buah Sony menyergapnya, bersamaan. Bondan sempat menghindari sebuah serangan dari salah satunya, tapi bahunya terkena pukulan dari yang lain. Ia agak terhuyung, dan itu dipergunakan oleh mereka untuk menyerangnya.

Bondan bukan penakut. Ia juga bukan tukang berkelahi. Tapi menyerang dan memukul, pernah dipelajarinya ketika dia belajar silat semasa SMA. Tidak pernah dipergunakan sih, tapi untuk sekedar berkelit dan menyerang, dia masih sanggup. Kedua penyerang terkejut, karena lawannya ternyata cukup tangguh.

Dari arah pintu, terdengar Sony berteriak.

“Segera selesaikan! Habisi dia!!” perintahnya.

Kedua penyerang itu menyerang dengan lebih gencar. Tapi tiba-tiba dari arah gerbang, sebuah taksi berhenti, Sony yang berdiri di depan pintu sangat terkejut, melihat siapa yang turun dari taksi.

“Susan?”

“Mas Bondaaaan!!” Susana berteriak dari kejauhan. Tapi dia tidak langsung mendekat. Dia menelpon polisi. Sebuah tindakan yang amat jitu.

Susana kemudian berlari mendekat.

“Mas Bondaaan!”

Tapi Bondan tak sempat menoleh, karena kedua penyerang seakan tak memberi kesempatan untuk itu. Berkali-kali Bondan terjatuh, dan berguling-guling, dan kedua musuhnya terus memburunya.

“Hentikaaaan!!”

“Segera bunuh dia!!”  Sony kembali berteriak.

“Manusia jahat!!” teriak Susana yang merasa cemas melihat Bondan kewalahan.

“Siapkan mobil!!” Sony kembali berteriak. Ternyata masih ada lagi orang di dalam.

Tak lama kemudian tampak mobil keluar dari garasi. Sony tertatih keluar dan berusaha turun dari teras. Pertarungan berat sebelah itu membuat Bondan semakin sering terlempar jatuh.

“Jangan pergiii! Orang jahat!!” teriak Susana.

Tapi mobil yang ditumpangi Sony sudah bergerak ke arah luar.

“Habisi dia dan segera pergi!!” teriak Sony lagi dari jendela mobil yang dibukanya. Tapi ketika mobil itu sampai di mulut gerbang, terdengar sirene mobil polisi, lalu Sony melihat sebuah mobil polisi berhenti melintang.

“Bagaimana tuan?” tanya sopirnya.

“Sialan!! Kalian terlalu lamban, bodoh!!” umpatnya.

Pertarungan segera berhenti. Bondan terduduk dengan wajah lebam. Keduanya berlari ke arah garasi. Ada sepeda motor terparkir di sana. Tapi keduanya tak berkutik, ketika salah seorang polisi menodongkan senjatanya.

Susana melihat Sony kembali diringkus, tapi ia tak mempedulikannya. Ia bersimpuh di hadapan Bondan, menyapu darah dengan tissue yang diambilnya dari dalam tas nya.

“Mas Bondan, mengapa Mas ada di sini?” tanya Susana trenyuh, tapi kemudian dia menelpon ambulans agar segera datang.

“Aku mencari kamu.”

“Mengapa?”

“Hanya ingin memberi tahu, bahwa Sony kabur,” Bondan terengah.

“Ternyata aku sudah tahu. Aku ada di rumah Pratiwi. Aku ingin menginap di sana, dan sekarang aku sebenarnya ingin mengambil baju ganti.”

“Kamu tahu dari mana?”

“Mas Ardian dan mas Roy datang ke rumah Pratiwi, mengatakan bahwa Sony kabur dari rumah sakit.”

“Aku tidak mengira Sony ada di sini.”

“Ini rumah aku. Sony tak mungkin pulang ke rumahnya sendiri. Tapi aku tak mengira dia ada di sini.”

“Mungkin dia mengira, polisi tak akan melacaknya sampai kemari. Ternyata polisi juga datang kemari.”

“Barusan aku yang memanggilnya.”

“Kamu?”

“Saat aku turun dari taksi, aku melihat Mas dikeroyok, dan Sony berdiri di depan pintu. Aku langsung menelpon polisi.”

“Oh, ternyata….”

“Aku sudah memanggil ambulans. Mas harus dibawa ke rumah sakit.”

“Mobilku ada di depan.”

“Biar aku yang membawanya,” kata Susana yang kemudian membantu Bondan berdiri, ketika ambulans yang dipanggilnya sudah datang.

***

Pratiwi sedang menyiapkan lauk untuk makan malam nanti, ditemani Nano yang sudah selesai belajar.

“Masak apa Mbak?” tanya Nano.

“Hanya oseng sayur, dan sisa ikan masih ada.”

“Mbak Susan ke mana?”

“Tadi pamit pulang, mau mengambil baju.”

“Benar, mbak Susan mau tidur di sini?”

“Iya.”

“Nanti Mbak Tiwi tidur di kamar saya ?”

“Tidak. Mbak Susan tidak mau tidur sendiri. Aku akan menemaninya.”

“Orang kaya kok mau tidur di rumah jelek seperti ini ya?”

“Mbak Susan sedang butuh teman. Di rumah, dia sendirian.”

“Bukankah biasanya juga sendirian?”

“Kali ini sedang butuh teman. Tidak apa-apa. Terkadang orang juga merasa kesepian.”

“Bapak ibunya sudah tidak ada?”

“Tidak ada. Dia tinggal sendirian.”

“Kasihan. Mbak Tiwi sudah tahu di mana rumahnya?”

“Belum.”

“Pasti rumahnya bagus.”

“Iya. Tapi pada suatu waktu, orang tak begitu peduli tentang tempat yang dia tinggali, selama dia merasa nyaman.”

“Iya, benar. Ketika Nano ikut camping, juga tidur beralaskan tikar, di atas rumput, di dalam tenda-tenda yang ketika malam terasa dingin. Tapi senang, karena banyak teman dan saking bercanda.”

“Nah, itu salah satu contoh, bukan? Jadi saat ini mbak Susan memang sedang merasa ingin punya teman. Disini dia merasa nyaman, jadi rumah kita yang sederhana ini tetap membuatnya kerasan.”

“Ini ikannya mau di goreng lagi?”

“Iya, tapi biar mbak saja yang melakukannya. Kamu menemani ibu saja di depan, ya. Kasihan ibu sendirian.’

“Baiklah.”

Nano segera beranjak ke depan, tapi tak lama kemudian dia kembali ke dapur dengan membawa ponsel kakaknya yang terus berdering.

“Ini, ada telpon Mbak,” kata Nano sambil mengulurkan ponselnya.

“Oh, dari mbak Susan,” gumamnya sambil mengangkat ponselnya.

“Ya Mbak. Sudah di rumah?”

“Aku di rumah sakit.”

“Lhoh, Mbak sakit apa?”

“Bukan aku, tapi mas Bondan.”

“Mas Bondan sakit apa?”

Lalu Susana secara singkat menceritakan apa yang dialami Bondan, dan sekarang dia sudah mengantarkannya ke rumah sakit.

Pratiwi sangat terkejut mendengarnya.

“Lalu bagaimana keadaannya? Apa mas Bondan sadar?”

“Sadar, dia bisa bicara banyak. Tapi dia terluka. Mungkin juga terluka dalam, baru di observasi. Aku mau minta tolong, bisa kah kamu mengabari keluarganya?”

“Aku tahu nomor kontaknya Ratih, akan aku kabari dia. Kirimkan alamat rumah sakitnya ya Mbak. Tapi katakan juga pada mas Bondan, aku ikut prihatin. Kalau aku selesai, mau ke rumah sakit juga.”

“Jangan Tiwi, besok saja. Ini sudah sore, hampir malam. Lebih baik kamu kabari keluarganya saja. Rumah sakitnya jauh dari rumah kamu.”

“Baiklah Mbak, saya akan telpon Ratih saja.”

“Terima kasih Pratiwi, untuk sementara aku akan menunggui mas Bondan dulu. Sebentar lagi sudah akan di bawa ke ruang rawat.”

“Baik.”

***

Ratih sangat terkejut ketika mendengar apa yang dialami kakaknya. Ia segera mencari ayahnya, yang rupanya sedang bertelpon dengan entah siapa. Ratih menunggu beberapa saat lamanya. Sang ibu yang duduk tak jauh dari sana, mendekati Ratih.

“Ada apa? Bapak sedang bicara dengan keluarganya Sony. Anak itu memang membuat susah orang tua saja. Bapakmu harus ikut-ikutan memikirkannya, padahal tidak tahu apa-apa,” kata ibunya.

“Mas Sony sudah ditangkap polisi lagi.”

“Syukurlah. Itu juga tadi yang dikatakan ayahnya.”

“Mas Bondan ada di rumah sakit,” kata Ratih lirih.

“Apa? Kenapa Bondan?”

“Berantem dengan anak buah mas Sony.”

“Kenapa?” tiba-tiba pak Juwono yang sudah selesai bicara di telpon mendengar apa yang dikatakan Ratih.

“Mas Bondan Pak, ada di rumah sakit. Dikeroyok anak buah mas Sony,” kata Ratih menahan tangis.

“Ya sudah, jangan menangis, kita segera ke sana. Tapi kenapa dan bagaimana Bondan ikut-ikutan dalam penangkapan Sony?” tanya bu Juwono.

“Tadi dia bilang akan mengabari gadis yang namanya Susana itu,” sambung pak Juwono.

“Ya sudah, ceritanya sambil jalan. Kita harus segera ke rumah sakit,” kata bu Juwono.

“Siapa sebenarnya gadis itu, mengapa Bondan begitu peduli?” kata pak Juwono sambil memanggil sopir untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit.

Ratih diam saja. Ia sudah tahu kakaknya tertarik pada Susana, tapi dia sangat menentangnya. Masa lalu Susana sangat tidak terpuji, karena mengadakan hubungan dengan Sony yang sudah diketahui bagaimana perilakunya.

***

Susana masih menunggui Bondan yang tampak menahan sakit. Trenyuh hati Susana menyaksikan kejadian itu. Bondan menjadi korban karena ingin mengingatkannya bahwa Sony kabur, dan itu berarti Bondan menghawatirkan keselamatannya.

“Maafkan aku ya Mas. Aku yang membuat Mas jadi begini,” katanya lirih, sambil berlinang air mata.

“Tidak. Kamu justru telah menyelamatkan aku, dan membantu polisi untuk menangkap Sony kembali,” jawab Bondan terbata.

“Sakitkah rasanya?”

“Tidak begitu sakit. Kan ada kamu yang menunggui.”

Susana tersenyum tipis. Ia mencoba mencerna apa yang dikatakan Bondan. Apakah dirinya sangat berarti, dengan menungguinya saat kesakitan? Siapa dirinya ini, hanya gadis yang tidak lagi suci, tak berharga untuk dicintai.

Kalau saja Susana tahu, bahwa Bondan mengaku mencintainya dihadapan Sony, pasti dia akan sangat terkejut. Entah itu diucapkan dengan segenap kesungguhan hati, atau hanya untuk menyerang Sony yang dikira menyembunyikan Susana, waktu itu.

“Keluarga Mas akan segera datang. Apa sebaiknya aku pulang?”

“Kamu akan pulang?”

“Aku pulang hanya untuk mengambil baju ganti. Aku sudah berjanji akan tidur di rumah Pratiwi. Mungkin untuk beberapa hari.”

“Kamu suka tinggal di sana?”

“Aku suka. Pratiwi sangat baik. Dan karena itu, Mas Bondan suka sama dia, bukan? Aku akan mendukungnya.”

“Apa?”

Bondan tersenyum. Tadinya dia suka pada Pratiwi. Gadis lugu yang berhati mulia, dan sangat mencintai keluarganya. Tapi kemudian ada Ardian yang tampaknya juga menaruh hati pada Pratiwi. Bondan ingat pesan Ratih, bahwa dia tidak boleh bertengkar dengan Ardian karena memperebutkan cinta Pratiwi. Waktu itu dia hanya tertawa. Tapi kemudian dia menyadari, bahwa sesungguhnya dia lebih tertarik pada Susana. Susana yang pantas dikasihani karena terpuruk dalam kehidupan yang buruk dan kotor. Ketika dia sadar, apakah dia masih pantas disebut nista? Apakah gadis seperti Susana tak pantas mendapatkan cinta?

“Pratiwi gadis yang baik,” kata Susana lagi.

“Benar. Tapi Susana juga gadis yang baik.”

“Aku tak ada bandingnya dengan Pratiwi. Pratiwi itu kejora yang selalu berkedip dan bersinar, sedangkan aku adalah lumpur yang kotor dan menjijikkan,” kata Susana pilu.

“Kamu adalah bunga yang tercebur kedalam kolam lumpur. Aku akan memungutnya, dan.membasuhnya,” kata Bondan tersenyum.

Susana terkejut. Ia sedang mencerna kembali arti kata yang diucapkan Bondan, ketika tiba-tiba keluarga pak Juwono masuk.

Begitu melihat Susana,  pak Juwono langsung menatapnya dengan pandangan tak suka. Ratih pun tak bersikap ramah padanya. Kecut hati Susana.

***

Besok lagi ya.


34 comments:

  1. 🥬🌹🥬🌹🥬🌹🥬🌹

    Alhamdulillah *eSBeKa_35 sdh hadir ditengah-tengah kita.*

    Terima kasih bu Tien, salam hormat, tetap sehat dan produktif.
    Tetap ADUHAI......

    🥦🌷🥦🌷🥦🌷🥦🌷

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah...
    Maturnuwun bu Tien...
    Mugiya ibu tansah pinaringan sehat...
    Aamiin Yaa Mujibassailiin...

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah...mtr nwn Bu Tien

    ReplyDelete
  5. Yang playune pada bantere:
    1. Jeng Isdar
    2. Kakek Habi
    3. Uti Nani
    4. Jangkung Latief
    Disusul 21:11, al:
    1. Agustina
    2. Endang Amirul

    Selamat buat para penyemangat bu Tien.

    ReplyDelete

  6. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~35 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  7. Salam sehat penuh semangat bunda Hj Tien

    ReplyDelete
  8. Alhamdulilah, mstur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang, salam aduhaai dari Lampung

    ReplyDelete
  9. Alhamdullilah SB 35 sdh tayang..mksih sanget bunda Tien..slmt mlm dan slmt istrhat..slm seroja dri skbmi🙏🥰❤️🌹

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah , Terima kasih bunda Tien

    ReplyDelete
  12. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun bunda Tien....🙏🙏

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillaah, dah tayang maksih bunda

    ReplyDelete
  15. 💐🌿💐🌿🦋🌿💐🌿💐
    Alhamdulillah SB 35 telah
    hadir. Matur nuwun Bunda
    Tien. Salam sehat, bahagia
    dan tetap Aduhai...
    💐🌿💐🌿🦋🌿💐🌿💐

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah SB-35 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien

    ReplyDelete
  18. Bêngêp tå ndan, dikroyok wong telu; yå dadi mempur awakmu ndan, ya namanya anak juragan, ortunya ngasi duwit cuma digunakan untuk ngumbar kesenangan diri aja, jadi nggak enak tuh; ngapain, tuh pak Yuwono jadi paman kikuk satunya anak temen; yang satu anak sendiri, Sony malah perintah anak buah disuruh habisi Bondan, waduh, pak Yuwono kelihatannya bingung gimana ini.
    Yang jadi sasaran Susana.
    Tuh pada pasang muka kenceng pada Susana.
    Nggak terimakasih lagi malah, sudah susah susah paké dp lagi, buat biar cepat di beri tindakan.
    Susana, mau ambil baju ganti, malah lihat ada buronan dibantu anak buahnya; mengeroyok Bondan.
    Petualangan cuti mu asyik ndan, ada perhatian dari Susana. Berharap banyak seeh.
    Tapi keluarga Yuwono terlihat tidak senang, penyebab Bondan jadi begini, hih kena stempel lho na.
    duh pada nggolèk salamété déwé déwé
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke tiga puluh lima sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  19. Kasihan Susana...
    Makasih mba Tien

    ReplyDelete
  20. Trims Bu Tien....sehat2 selalu ibuuuu

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien....semoga sehat2 selalu. Aamiin

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 44

  CINTAKU JAUH DIPULAU SEBERANG  44 (Tien Kumalasari}   Ketiga orang saling menatap dengan perasaan yang berbeda-beda. Mereka juga terkejut,...