KANTUNG BERWARNA EMAS
32
(Tien Kumalasari)
Nurani heran ketika melihat Rian terus menatap ke arah
depan. Ia menoleh, dan melihat Siswati berdiri agak jauh dari mereka.
“Itu mbak Sis, Mas,” katanya kepada Rian.
“Hei, mengapa kamu bengong? Dia datang untuk kamu,”
tegur Andre.
Rian menatap ke arah ayahnya, yang kemudian
mengangguk. Setengah berlari Rian menuju ke arah Siswati.
Pak Candra dan lainnya bertukar senyum senang,
kemudian kembali berbincang.
Rian semakin mendekati Siswati, lalu menebar senyuman
memikat, membuat Siswati kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Sis?”
“Aku mengucapkan selamat dan ikut berbahagia untuk
kamu,” kata Siswati sambil menatap kearah Rian.
“Terima kasih. Ayo ke sana, ada Nur, mas Andre dan
Bapak.”
“Aku juga akan mengucapkan terima kasih.”
“Untuk apa?”
“Atas semua yang kamu lakukan, ketika aku jatuh.”
“Lupakanlah. Kamu jatuh karena aku, bukan?”
“Aku ingin tahu, berapa aku harus mengganti semuanya?”
tanya Siswati sambil menundukkan wajahnya.
“Mengganti apanya sih?”
“Bukankah kamu mengeluarkan uang untuk beaya perawatan
aku? Aku sudah tahu berapa jumlahnya, dari petugas rumah sakit. Ini. Kalau
kurang katakan saja,” kata Siswati sambil mengulurkan amplop berisi uang.
“Sis, aku tidak menghutangkan apapun, mengapa kamu
harus menggantinya? Simpan kembali uang kamu. Tolong,” Rian memohon dengan
wajah bersungguh-sungguh.
“Tapi ….”
“Kamu jatuh karena aku, jadi lupakanlah soal beaya.
Aku harus bertanggung jawab karena aku merasa bersalah.”
“Mas, aku ….”
“Simpan kembali amplopnya. Jangan membuat aku malu
dengan membiarkan aku tidak menebus kesalahan itu,” kata Rian sambil membantu
memasukkan amplop uang itu ke dalam tas Siswati yang masih terbuka.
Siswati tak bisa menolaknya, walau rasanya sungguh
sungkan.
“Ayo ke sana, terima kasih telah hadir untuk aku.”
“Aku ingin bicara.”
“Nanti saja bicaranya, setelah acara usai. Masih ada
acara makan-makan di sana, kamu harus ikut,” kata Rian sambil berusaha meraih
tangan Siswati, tapi Siswati sudah melangkah mengikuti, menghindari tangan Rian
yang hampir menyentuhnya.
Rian tersenyum mengerti.
***
“Namamu Siswati?” tanya pak Candra saat mereka makan
bersama.
“Ya Pak,” kata Siswati sambil tertunduk malu.
Lain kali harus hati-hati mengendarai sepeda motor.
Kenapa lari, Rian ini kan sudah jinak, dia tidak suka menggigit lho,” canda pak
Candra sambil tertawa, diikuti yang lainnya.
Siswati kembali tertunduk malu.
“Rian ini adalah anakku. Dia ganteng, pintar, baik
hati, dan tidak sombong,” pak Candra masih melanjutkan candanya.
Siswati masih tertunduk malu.
“Dia sudah minta sama aku, agar segera melamar kamu,”
lanjutnya lagi.
Kali ini Rian terperangah, menatap ayahnya yang dianggapnya
‘agak lancang’.
“Bukan begitu ya? Jadi kamu tidak mau? Ya sudah kalau
tidak mau. Sis, kamu boleh mencari yang lain.”
“Apa? Aduh, Bapak kok gitu,” protes Rian.
“Kamu tidak mau kan?” pak Candra menatap tajam
anaknya.
“Bapak tuh. Dia malu tuh,” protes Rian lagi.
“Yang aku tanya itu kamu. Mau tidak? Nggak peduli dia
malu atau tidak, yang penting itu kamu.”
Wajah Siswati sudah kemerahan. Sungguh dia malu, pak
Candra langsung menembak dan seperti menekan Rian untuk menjawabnya.
“Bapak harusnya bertanya sama dia, bukan saya,” elak
Rian.
“Kamu kok ngatur ayahmu sih. Aku nanya ke kamu dulu,
soalnya kamu tadinya memutus hubungan kalian kan?”
Siswati terkejut, rupanya pak Candra sudah tahu
semuanya. Ia kembali menundukkan wajahnya. Tidak mengira ayah Rian begitu
nekat.
"Rian, kalau kamu tidak mau menjawabnya, atau kamu
diam, berarti kamu menolak kan? Siswati ini kan cantik, tidak sulit mencari
pria yang lebih ganteng dari kamu, lebih baik dari kamu, dan …”
“Rian mau kok.”
“Nah!”
Siswati benar-benar malu. Wajahnya semakin merah, tapi
ada senyum merekah dibibirnya yang indah.
“Sis, aku harap kamu tidak menolaknya. Jarang lho, ada
laki-laki baik seperti anakku ini.”
Siswati sudah tahu kalau pak Candra adalah ayah sambung.
Ia terharu atas kebaikan sang ayah yang bersikap seperti ayah kandung,
perhatian dan penuh sayang. Itu kelihatan dari sikap maupun pandangan matanya
yang teduh.
Ia kemudian merasa, bahwa keluarga pak Candra adalah
keluarga yang berbahagia. Ia juga melihat, Nurani sangat menyayangi kakak
tirinya, terlepas dari adiknya yang katanya ada di penjara karena kelakuan
buruknya.
Pak Candra tersenyum melihat sikap Siswati. Senyum
yang tersungging adalah jawaban tanpa ucapan. Ia tahu bahwa Siswati tidak akan
menolak Rian.
Nurani dan Andre hanya ikut tersenyum lucu, melihat
sikap ayahnya yang begitu getol memaksa Rian agar berterus terang tentang isi
hatinya.
***
“Ditolak? Jadi nggak enak dong,” komentar ibu Siswati
ketika ia mengatakan tentang penolakan pemberian uang ganti kepada Rian.
“Sis sudah memaksanya, tapi dia juga memaksa
mengembalikannya. Dia bilang, Sis jatuh karena salah dia.”
“Kenapa salah dia? Dia menabrak kamu?”
“Dia mengejar Sis, lalu Sis kabur dengan tergesa-gesa,
akhirnya kurang hati-hati.
“Mengapa dia mengejar kamu? Dan mengapa kamu lari?”
Aduh, Siswati kelepasan bicara. Karena ucapan itu,
ibunya akan tahu tentang hubungannya dengan Rian yang agak retak, dan segala
permasalahannya.
“Hanya … itu Bu, ada sedikit selisih paham,” hanya itu
akhirnya yang dikatakan Siswati.
“Ya sudah, alhamdulillah kalau tidak diterima, bisa
untuk bayar kuliah kamu yang semoga tidak lama lagi selesai.”
“Aamiin, Bu. Sis akan berusaha agar tidak lama lagi bisa
selesai.”
“Bagaimana kaki kamu?”
“Kemarin waktu kontrol hasilnya baik, tapi belum boleh
dilepas gips nya.”
“Ya sudah, sabar dulu. Tulangmu kan tulang anak muda,
pasti lebih cepat tersambungnya. Beda kalau yang sudah tua seperti ibu ini.”
“Ibu jangan sampai jatuh ya, hati-hati kalau berjalan.”
“Iya, tentu Sis, kecuali rasanya sakit, beayanya orang
sakit itu kan tidak murah.”
“Makanya Bu, lebih baik kalau sehat kan?”
“Kamu tampak ceria hari ini.”
“Masa sih Bu. Tadi habis datang di acara wisuda nya
mas Rian, jadi ikut senang.”
“Berarti nak Rian sudah siap bekerja ya Sis?”
“Katanya sih sudah dapat, cuma kapan mulainya, Sis
tidak tahu.”
“Semoga semuanya baik-baik saja. Sekarang kamu
istirahat saja, jangan banyak bergerak.”
***
Sesampai di rumah, Nurani termenung di kamarnya. Surat
wasiat yang ada di dalam leontinnya selalu membuatnya gelisah. Sesuai dengan
keinginan ayahnya, mereka ingin dirinya berjodoh dengan Andre. Tapi Nurani
sendiri belum merasa suka kepada Andre. Ditambah keinginannya untuk kuliah
harus dilaksanakan, sampai berhasil. Apakah Andre mau menunggu? Rupanya sang
ayah begitu bersemangat mendekatkan dirinya dengan Andre, karena sejak ibunya
masih ada, keinginan berbesan dengan kawan mereka itu sudah dibicarakan. Dan
tidak kebetulan juga ketika kemudian Andre diajaknya membantu di perusahaannya,
yang ternyata kinerja nya tidak mengecewakan.
“Mengapa ya, aku tidak merasa suka sama dia? Menurut
aku, laki-laki terbaik itu mas Rian. Apakah mas Andre sebaik mas Rian?”
gumamnya lirih.
Nurani terkejut ketika tiba-tiba pintunya diketuk dari
luar.
Nurani membukakannya, dan melihat Rian sudah berdiri
di depan pintu.
“Ada apa Mas?”
“Pulang-pulang kok mengurung diri di kamar? Ada apa?”
“Nggak ada apa-apa. Cuma ingin istirahat.”
“Bolehkah aku tahu isi surat dari almarhumah ibu?”
tanya Rian yang ternyata masih penasaran tentang isi surat itu.
“Nggak boleh.”
“Kenapa? Rahasia ya? Kok bapak senyum-senyum, begitu.
Aku merasa ada sesuatu diantara kamu dan bapak.”
“Bapak kan selalu bersikap begitu. Kamu lupa ya?”
“Tidak. Aku mengira, surat itu adalah surat
perjodohan,” kata Rian tiba-tiba, membuat Nurani berteriak sambil memukul Rian
dengan bantal.
“Aauuuw,” teriak Rian, tapi kemudian dia tertawa-tawa.
“Benar ya? Kok wajahmu merah begitu?”
“Ada-ada saja.”
“Apakah waktu itu ibu sudah mengenal mas Andre?”
"Heeii, kok tiba-tiba menyebut nama itu sih. Jangan
ngaco.”
Rian tertawa lucu.
“Kamu menutupinya, tapi Bapak sudah mengatakannya sama
aku.”
“Apa?”
“Iya kan. Mengapa kamu kelihatan tidak suka? Bukankah
mas Andre itu ganteng, pintar, kesayangan bapak pula.”
“Nggak suka.”
“Masa?”
“Iya.”
“Tapi pesan orang tua, apa lagi yang sudah meninggal,
adalah amanah yang harus dijalankan.”
“Aku tidak tahu. Didalam pikiran aku, aku hanya ingin
kuliah.”
“Tidak apa-apa kan, jatuh cinta sambil kuliah?”
“Hiiih. Cinta apaan?”
“Nur, kamu sudah dewasa, jangan takut jatuh cinta.
Impian bisa diraih, dan cinta bisa menjadi penyemangat.”
“Itu pengalaman pribadi kan Mas?”
Rian tertawa.
"Lebih kurangnya begitu. Tapi itu benar.
Ada saran untuk kamu, belajarlah mencintai mas Andre, dia laki-laki yang baik,”
kata Rian sambil melangkahkan kakinya keluar dari kamar Nurani.
Nurani termenung.
“Belajar mencintai mas Andre? Tapi aku cinta kamu Mas,”
bisiknya lirih.
Tapi sesungguhnya Nurani tidak tahu, cinta seperti apa
yang dirasakannya kepada Rian. Cinta seorang wanita kepada kekasih? Cinta kepada
saudara? Entahlah, yang jelas menurut Nurani, laki-laki terbaik hanyalah Rian.
Apakah dia cemburu ketika mengetahui hubungan Rian dan Siswati? Tidak tuh. Dia
senang melihat kakak tirinya berbahagia. Tapi ketika membayangkan nanti pada
akhirnya Rian akan pergi, atau menikah dengan gadis lain, ada rasa teriris
dihati Nurani.
Nurani menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Akhirnya ia
mengesampingkan semuanya.
“Aku ingin kuliah dan tidak memikirkan cinta.”
***
Pagi hari itu Nurani berkutat di dapur bersama buCandra.
Sikapnya yang selalu baik, membuat kemarahan pak Candra luluh, walau dia belum
ingin sang istri tidur di kamarnya. Jadi bu Candra masih menempati kamar
Karina.
“Nanti Nurani mau ke kampus, apakah Ibu ingin memasak?”
“Iya, pergi saja sana, ibu mau belanja, kemudian memasak.
Tapi uang belanja ibu sudah menipis.”
“Nurani masih membawa uang belanja, nanti saya
serahkan pada Ibu.”
“Baiklah. Kamu ingin masak apa?”
“Terserah Ibu saja. Saya kan suka semua masakan rumah.
Coba Ibu tanya sama Bapak, ingin dimasakin apa.”
“Baiklah, nanti akan ibu tanyakan.”
“Hari ini mas Rian juga sudah mulai bekerja. Kalau
mau, akan Nurani siapkan untuk bekal makan siang nanti.”
“Bagus, ada ayam masak kecap dan sambal, dia biasanya
suka.”
“Nurani siapkan sekarang saja.”
“Tidak usah Nur, aku belum tahu suasana di kantor
seperti apa. Kalau tiba-tiba masuk lalu membawa bekal, sungkan nanti makannya
bagaimana.”
“Makan kok bagaimana. Ya pokoknya Mas bawa saja, kalau
nanti tidak sempat memakannya, atau sungkan, boleh dibawa pulang kan,” Nurani
memaksa.
“Baiklah, terserah kamu saja. Kamu mau kuliah pagi?”
“Iya, habis ini aku mau mandi.”
Nurani menyiapkan makan pagi untuk Rian, tapi tanpa
sengaja bu Candra melihat kalung yang dikenakannya.
“Nur, kalung kamu itu baru ya?”
“Oh, ini Bu, sebenarnya tidak baru. Baru akhir-akhir
ini saya memakainya.”
“Bagus sekali, coba ibu lihat,” kata bu Candra sambil
meraih leontin di dada Nurani.
“Indah sekali. Ini foto kamu bersama bapak dan
almarhumah ibu kamu?”
“Iya Bu.”
“Ternyata wajahmu seperti wajah ibu kamu.”
“Alhamdulillah, Bu,” kata Nurani sambil meletakkan
kotak bekal untuk Rian, di atas meja.
“Saya mau memanggil bapak untuk makan, tapi saya mau
langsung mandi,” kata Nurani.
“Terserah kamu saja. Kan semuanya sudah siap,” kata
ibunya,
Nurani menghampiri ayahnya, dan mengatakan bahwa makan
pagi sudah siap.
Akhir-akhir ini pak Candra tidak lagi mencela masakan
istrinya. Karena sikapnya baik, pak Candra menganggapnya biasa saja, seperti
tak pernah terjadi apapun dalam rumah tangganya.
“Baiklah, aku makan sekarang. Kamu tidak sekalian
makan?”
“Nurani mau mandi dulu, setelahnya akan ke kampus.”
“Nanti Bapak antar.”
“Tidak usah Pak, nanti merepotkan Bapak, jurusannya
juga berbeda. Nurani bisa naik ojol.”
“Nanti Bapak belikan motor.”
“Tidak. Nurani tidak bisa mengendarai motor,” tolak Nurani.
“Atau mobil, ya?”
“Apa lagi mobil. Tidak pak. Naik ojol saja,” kata
Nurani sambil menuju ke arah kamarnya.
Pak Candra geleng-geleng kepala. Nurani gadis yang
sederhana, walaupun dilahirkan ditengah-tengah keluarga berada. Tak ada yang
bisa memaksanya, kalau dia sudah mengatakan ‘tidak’.
Pak Candra menuju ruang makan, dimana Rian dan
istrinya sudah menunggu.
“Silakan, Pak. Nurani bilang, mau mandi dulu,” kata bu
Candra.
Pak Candra hanya mengangguk.
Tapi ditengah-tengah mereka sarapan, tiba-tiba bu
Candra ingat tentang kalung yang dipakai Nurani.
“Pak, leontin Nurani bagus sekali.”
“Itu peninggalan ibunya.”
“Bagaimana kalau kita juga membuat foto bersama, lalu
dicetak di dalam leontin seperti punya Nurani?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Kantung Berwarna Emas sudah tayang
ReplyDeleteYesss
ReplyDelete🌼🍃🌼 Alhamdulillah KBE 32 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai 🙏🦋🌻
ReplyDeleteMtrnwn
ReplyDeleteAlhamdulillah KBE sudah tayang...
ReplyDeletematur nuwun Bu Tien...
Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Semoga bu Tien sehat selalu
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah yang di tunggu hadir KBE 32 , terimakasih bunda Tien ,salam aduhai dr Jakarta ,tetap sehat dan semangat
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~32 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 32 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah...
ReplyDeleteKBE 32 sudah tayang...
Matunuwun Bu Tien...
Salam sehat selalu...
Alhamdulillah...sudah tayang lebih awal..
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏🙏
Sehat Selalu..🤲🤲
Siswati - Rian sudah berdamai, apa lagi ya... Mungkin keinginan bu Candra membuat liontin bergambar satu keluarga. Terus dengan Karina yang masih menginap di hotel prodeo?
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Matur suwun bunda Tien, salam Tahes Ulales bunda dan tak lupa selalu Aduhaiiii
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti,
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat wal'afiat, diberi kemudahan dan bahagia selau bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah , Terima kasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah kbe sdh tayang ... jangan jangan kalung nurani diincar bu chandra ....makin seru .... salam sehat bu tien
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhmdllh, terima ksh mbu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien...
Semoga sehat selalu....
Terima kasih, bu Tien. Sekedar masukan...dalam percakapan, misalnya Nurani dengan bapak atau ibu tirinya, apakah tidak lebih luwes kalau tidak disebut nama lengkap ya, biasanya dalam keluarga kan pakai nama panggilan? "Nur" saja sudah cukup. Maaf kalau tidak berkenan. Salam sehat.🙏😀
ReplyDeleteLho la kalau potret bersama sekarang; Karina nggak ikut donk kan ditahan di mako, yah mungkin maknya sudah nggak kethus lagi, lagian sudah nggak ada pilihan, harus berbaikan sama penghuni rumah semuanya, Rian kali yang berandai-andai agar wujud keluarga ini utuh, lihat ibu nya terlihat banyak perubahan, etung etung pembulatan tekad biar Amirah; bênêr² berubah tanpa ada saling menyengit terutama pada Nurani dan seluruh keluarga ini.
ReplyDeleteJustru menempatkan diri sebagai asisten Nurani, bareng² memasak di dapur.
Menjalani hidup kebersamaan dalam satu keluarga.
Pak Chandra ngotot biar Rian sama Siswati, kan waktu itu; Nurani diminta pendapatnya, soal Andre ternyata menurut survey nya masih kurang; dibawah Rian, tapi kan waktu itu Nurani merasa ada yang support bahkan merasa Rian seorang pahlawan (bukan seorang kapitan yang punya pedang panjang lho).
Walau maknya kayaknya seolah menolak tentang poto keluarga, daripada nanti ada komentar satir iri leontin cantik Nurani.
Tapi kan Rian yang usul, anak pak Chandra
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke tiga puluh dua sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah .terima kasih bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteTerima kasih KBE nya bunda Tien..slm sht sll dan aduhai unk bunda🥰🌹❤️
ReplyDeleteBu Candra msh iri jg pada Nurani. Hadeh..
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien...
Semoga sehat selalu....
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat 🤗🥰
Wes ,,,ibunya Rian ,,ngiri aja minta dibuatkan liontin ,,,aduhaii bu Tien