KANTUNG BERWARNA EMAS
33
(Tien Kumalasari)
Rian menatap tajam ibunya, menganggap permintaan
ibunya sangat berlebihan. Demikian juga pak Candra.
“Kamu tertarik foto itu, atau kalung dan leontinnya?”
tanya pak Candra.
“Maaf, maksudnya, ingin membuat kenangan foto yang
bisa dicetak di kalung seperti punya Nurani. Bukan foto aku, tapi semua.”
“Mengapa harus dicetak di kalung? Ada beberapa foto
keluarga di sini, lebih besar, bisa dilihat siapapun, setiap saat. Kalau kamu
iri atas kalung Nurani ….”
“Bukan iri, hanya ingin,” sergah bu Candra.
“Beda dikit.”
“Ibu tidak usah ingin yang aneh-aneh. Itu diberikan
oleh ibu Nurani, saat sebelum meninggal,” kata Rian.
“Betul. Dia berpikir, kalau aku menikah lagi, tak akan
ada foto dia dipajang di rumah ini, karena itulah dia membuat foto yang dicetak
pada leontin, agar Nurani selalu mengingatnya. Itu benar bukan? Adakah foto ibu
Nurani di rumah ini?”
“Maaf.”
“Apa kamu ingin membuat foto lagi? Mau dipasang di
mana lagi?” tantang pak Candra.
“Tidak, aku kan sudah minta maaf.”
“Selalu berperilaku lah yang baik, agar aku tak
membenci kamu. Kesalahan kamu sangat besar, dan aku luluh karena permintaan
Nurani. Aku bukan membanding-bandingkan, tapi kamu bisa mencontoh perilakunya
yang baik dan terpuji. Dia tidak ada di sini kan, jadi aku mengatakannya bukan
untuk membuat dia bangga. Hanya ingin agar kamu banyak belajar dari dia.”
Bu Candra tak menjawab, tapi dalam hati dia meng ‘iya’
kan kata suaminya. Beberapa sikap baiknya, dia sudah mencontohnya. Pelajaran
buruk di hari-hari yang telah lewat, membuatnya harus membuka mata agar
mengerti tentang kebenaran dan keburukan.
“Kalau kamu baik, uang belanja akan aku berikan untuk
kamu. Ingat, jangan karena ada uang banyak maka kamu akan menghamburkannya
sesuka hati kamu. Menjadilah istri dan ibu yang baik di keluarga ini,” kata pak
Candra, yang selama marah kepada istrinya, dia tak pernah memberinya uang
belanja. Semua kebutuhan Nurani yang mengaturnya.
“Terserah Bapak saja. Nurani yang pegang uang belanja
juga tidak apa-apa. Toh semua kebutuhan tercukupi. Kalau aku ingin sesuatu, aku
bisa minta sama dia.”
“Tidak. Nurani sudah mulai kuliah, jangan membebaninya
dengan urusan rumah tangga. Dia hanya membantu saja.”
“Baiklah, terserah Bapak saja.”
Dan pak Candra merasa puas dengan jawaban istrinya.
Semoga benar-benar ada perubahan yang membuatnya senang, dan seluruh keluarga
menjadi tenang.
“Apa Rian harus mengantarkan Nurani dulu ya?” tanya
Rian setelah selesai makan.
“Tidak Mas, kamu berangkatlah dulu. Jangan terlambat
di hari pertama kamu bekerja,” kata Nurani yang sudah selesai berdandan.
“Baiklah, terima kasih Nur.”
***
Hari yang berjalan belum membuat Nurani jatuh hati
pada Andre. Nurani heran pada dirinya sendiri. Menurutnya Andre tak ada cacat
celanya. Ayah dan ibunya telah memilihkan yang terbaik untuk pendamping
hidupnya. Kalaupun dipaksa, pasti Nurani akan menjalaninya. Tapi kemana rasanya
cinta? Nurani benci kepada dirinya sendiri.
“Mengapa menurutku hanya ada mas Rian di hati aku?
Apakah itu artinya bahwa cinta di hatiku hanya untuk mas Rian?”
Nurani yang sedang berjalan keluar dari kampus sambil
melamun, terkejut ketika tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di sampingnya.
“Nur, mau pulang?”
Ternyata Siswati yang menyapanya. Mereka memang kuliah
di kampus yang sama. Kampus terbaik dikotanya, dan Nurani diterima dengan
prestasi gemilang yang dicapainya saat sekolah sebelumnya.
Lamunan Nurani buyar seketika. Ada perasaan tak enak,
ketika dia sedang melamunkan Rian, tiba-tiba Siswati muncul di dekatnya. Apakah
Nurani sesungguhnya cemburu melihat kedekatan mereka lagi? Bukankah Nurani ikut
mendamaikan saat keduanya agak menjauh?
Entahlah, Nurani sendiri juga bingung terhadap
perasaannya.
“Nur ….”
“Eh, iya Mbak …”
“Mau pulang? Ulangnya karena sedari tadi Nurani tampak
bengong dan belum menjawab.
“Iya Mbak, mau pulang.”
“Ayo aku antar.”
Tiba-tiba Nurani merasa tak ingin pulang bersama
Siswati. Tiba-tiba perasaan aneh menggayuti hatinya.
“Tidak Mbak, aku pulang sendiri saja.”
“Nggak apa-apa, aku antar.”
“Nggak usah Mbak, Mbak pulang saja dulu..”
“Kenapa Nur? Kamu takut kalau aku jatuh lagi lalu kamu
ikut terluka?”
“Tidak Mbak, aku masih itu … mmm … mau …
mampir-mampir.”
“Nggak apa-apa, mau mampir ke mana? Aku antar saja.”
“Nggak Mbak, aku .. nunggu mas Rian saja.”
“Lhoh, nunggu Mas Rian? Bukankah Mas Rian sudah
bekerja?”
Nurani terkejut sendiri atas jawaban yang dilontarkan.
Ia sedang mencari beribu alasaan tapi tidak ketemu juga. Akhirnya menyebut nama
Rian. Hal yang tak mungkin karena Rian sudah bekerja.
“Ah ya, aku lupa. Tapi … sungguh, aku tidak ingin menyusahkan, Mbak Sis pulang saja sendiri.”
“Sebenarnya aku sedang tidak ada pekerjaan. Kita bisa
jalan-jalan dulu, kan hari masih siang. Oh ya, aku traktir bakso yuk.”
“Tidak Mbak, sungguh tidak ingin apapun untuk kali
ini. Lebih baik Mbak pulang saja.”
Siswati agak merasa aneh. Sikap Nurani tidak seperti
biasanya. Tapi tak ada yang bisa dilakukannya. Dia juga tak bisa memaksa.
“Baiklah Nur, sungguh kamu tidak ingin aku boncengin?”
“Terima kasih Mbak, soalnya aku masih punya keperluan.”
Siswati mengangguk, kemudian menjalankan motornya,
menjauh dari Nurani. Pasti dengan perasaan tak enak.
Sementara Nurani sendiri juga merasa heran atas
perasaannya. Mengapa tiba-tiba dia tak suka sama Siswati? Nurani merasa dirinya
sangat jahat. Tapi dia tak bisa memaksa perasaannya. Dia tak ingin berboncengan
dengan Siswati. Padahal dia juga tak ingin mampir ke mana-mana.
Ketika di depan gerbang, Nurani memesan ojol.
“Mengapa aku merasa lebih baik bersama mas ojol dari
pada bersama mbak Siswati yang begitu baik?”
Nurani tak menemukan jawabannya, sampai menginjakkan
kakinya di rumah, bahkan sampai masuk ke dalam kamarnya.
“Nur, kamu sudah pulang?” teriakan ibunya terdengar
dari luar kamar, ketika dia ingin merebahkan tubuhnya.
“Iya Bu.”
Nurani baru teringat, tidak melongok ke dapur, bahkan
tidak ingin membantu ibunya. Ia kemudian membuka pintu kamarnya.
“Tumben sudah pulang.”
“Ibu masih memasak? Maaf, Nurani tidak membantu.”
“Tidak apa-apa, kan kamu kuliah.”
“Ibu masih memasak?”
“Tidak, sudah selesai, tinggal menata meja untuk makan
kita saja. Bukankah ayah kamu dan Rian pulang agak sore?”
“Iya Bu, mari Nur bantu,” kata Nurani yang kemudian
beranjak ke ruang makan, membantu ibunya menata makan siang mereka.
“Nur, ibu ingin bertanya,” kata bu Candra ketika
mereka makan bersama.
“Ya Bu, soal apa?”
“Yang sering bepergian sama Rian itu siapa sih?”
Aduh, bukankah Nurani sedang tidak ingin bicara tentang
Siswati?
“Kamu kenal kan?” lanjut bu Candra.
“Iya. Itu Mbak Siswati.”
“Mereka pacaran kan?”
“Itu … Nurani tidak tahu.”
“Masa tidak tahu? Bukankah Rian seringkali cerita sama
kamu tentang banyak hal?”
“Tapi tidak tentang Mbak Siawati.”
“Apakah dia baik?”
“Dia … sepengetahuan Nur, dia baik.”
“Tapi Rian tidak mau memperkenalkannya sama ibu.”
“Waktu wisuda, dia ada. Ibu sih, tidak ikut menghadiri.”
“Ibu segan.”
“Kenapa?”
“Rian bersikap dingin sama ibu. Mengajak juga dia
tidak mau.”
“Mas Rian menyuruh Nur bicara sama ibu.”
“Mengapa tidak bicara sendiri? Ibu tahu, ibu telah
membuatnya kecewa. Tapi ibu kan sudah bilang mau merubahnya.”
“Barangkali butuh waktu. Ibu harus sabar.”
“Semoga nanti istri Rian baik seperti kamu,” kata bu
Candra. Dan itu sangat mengejutkan Nurani.
Bukankah Nurani juga ingin punya suami yang baik
seperti Rian? Mengapa mereka tidak bisa bersatu? Aduhai, baru sekarang Nurani
merasa benar-benar akan kehilangan Rian. Dan sungguh, itu membuatnya sedih.
Sejak Rian datang menjenguknya di rumah sakit, Nurani
sudah merasa aneh, ketika Rian datang bersama Siswati. Tapi dia masih bisa
menepisnya. Tapi semakin lama, Nurani merasa bahwa ia tak ingin kehilangan
Rian.
“Nurani juga berharap, kelak bisa punya suami seperti
mas Rian,” kata Nurani tiba-tiba, yang kemudian sangat di sesalinya. Apakah itu
menunjukkan isi hatinya?”
Menurut ibu, lebih baik kalian berjodoh.”
Ucapan bu Candra membuat Nurani tersedak, kemudian
terbatuk-batuk agak lama.
“Nur, pelan-pelan. Minumlah dulu,” kata bu Candra
sambil mendekatkan gelas berisi air putih ke depan Nurani.
Nurani minum beberapa teguk, dan agak tersengal.
“Kenapa kamu ini?”
“Maaf bu, mau menjawab, sambil menelan, jadinya
tersedak.”
“Itu sebabnya, sebenarnya saat sedang makan dilarang
bicara. Salah ibu nih. Maaf ya,” kata bu Candra yang kemudian tak melanjutkan
kata-katanya.
Tapi sebenarnya Nurani ingin mengatakan lebih banyak
tentang Rian. Ah, Nurani tiba-tiba merasa galau, lalu kesadarannya muncul
ketika tanpa sadar dia meraba leontinnya. Ada pesan di dalamnya, yang tak harus
diingkarinya.
***
Malam hari itu bu Candra menyusul suaminya yang sedang
duduk di teras sendirian.
“Pak, apa di luar tidak dingin ?”
“Nggak begitu dingin. Ada apa kamu ikut duduk di sini?”
“Terkadang ingin bicara sama Bapak.”
“Ada yang penting?”
Bukan terlalu penting, tapi ada baiknya dibicarakan,
siapa tahu Bapak setuju.”
“Masalah apa? Jangn bicara masalah leontin lagi. Kamu
sudah tahu alasannya kan, mengapa Nurani memilikinya?”
“Iya, aku tahu. Bukan masalah itu yang ingin aku
bicarakan.”
“Ada apa?”
“Tentang Rian.”
“Memangnya kenapa dia?”
“Rian kan sudah dewasa, bahkan sudah bekerja. Sudah
saatnya dia punya istri. Ya kan?”
“Ya, tentu saja, Rian juga pasti sudah memikirkannya.”
“Aku punya gagasan yang menarik nih Pak.”
“Apa tuh?”
“Bagaimana kalau Rian kita jodohkan saja sama Nurani.”
“Apa?” mata pak Candra terbelalak. Dipandanginya sang
istri dengan wajah kesal.
“Bukankah itu bagus? Mereka adalah pasangan yang
serasi.”
“Apa kamu lupa? Rian dan Nurani itu bersaudara? Mana
ada saudara menikah dengan saudara?”
“Tapi bukankah mereka bukan saudara kandung? Mereka orang-orang
lain kan Pak.”
“Kamu itu kalau mengusulkan sesuatu, bicara sesuatu,
selalu tidak pantas dan tidak pas.”
“Mengapa Bapak berpikiran begitu?”
“Mereka itu sudah jadi saudara. Sama-sama anakku. Mana
mungkin dijodohkan?”
“Tapi kan_”
“Sudah, berhentilah bicara yang tidak-tidak, aku tidak
mau dengar.”
“Apa tidak pantas mereka menjadi suami istri?”
“Tidak … tidak … tidak. Nurani sudah punya jodoh
sendiri, dan Rian juga sudah punya pilihan. Jadi kamu tidak bisa merubahnya.”
“Nurani punya jodoh siapa?”
“Andre adalah jodoh yang tepat untuk Nurani. Tak ada
yang bisa merubahnya.”
“Nurani tidak pernah jalan bersama Andre.”
“Kamu saja yang tidak tahu,” kata pak Candra sambil
berdiri, kemudian memasuki rumah tanpa menatap lagi sang istri.
Bu Candra membanting-banting kakinya dengan kesal.
“Kenapa sih, kalau aku bicara tidak pernah lagi
diperhatikan?” gumamnya sambil mengikuti sang suami masuk ke dalam.
“Dan kenapa juga harus menjodohkan dengan orang lain,
sementara di rumah ini mereka bisa dipasangkan sebagai suami istri? Kalau
demikian halnya, kan harta keluarga Candra tidak akan jatuh ke tangan orang
lain?” bu Candra masih bergumam sambil menutup pintu depan rumah.
***
Tidak terima bicara dengan suaminya, malam itu juga bu
Candra memasuki kamar Rian.
Ketika masuk, Rian sedang mengutak atik ponselnya,
tampaknya sedang chating dengan seseorang.
“Rian,” sapa ibunya.
“Ada apa Bu?”
“Ibu mau bicara, ibu harap kamu mau mendengarkannya,
dan syukur bisa memenuhinya.”
“Ada apa sih, Bu?”
“Kamu kan sudah bekerja, dan kamu memang sudah dewasa,
sudah waktunya punya istri.”
“Rian baru saja mulai bekerja, soal istri bisa
nanti-nanti, kalau Rian sudah merasa mapan,” jawab Rian yang agak heran karena
tiba-tiba ibunya memperhatikannya.
“Baiklah, terserah kamu kapan mau menikah. Tapi ibu
punya usul, bagaimana kalau kamu menikah sama Nurani saja.”
“Apa? Mengapa ibu berpikir sampai ke situ? Nurani itu
adik Rian. Setidaknya sudah Rian anggap sebagai adik sendiri.”
“Nurani itu baik, dia akan menjadi istri yang akan
membahagiakan kamu.”
“Tidak, tidak Bu. Nurani sudah dijodohkan, dan Rian
juga sudah punya pilihan.”
“Jangan bodoh. Kalau kamu menikah sama Nurani, harta
keluarga Candra tidak akan ke mana-mana.”
Wajah Rian menjadi merah padam karena marahnya.
“Bu, ternyata hati ibu masih belum benar-benar bersih.
Kekurangan apa kita ini, sehingga ibu masih memikirkan harta keluarga Candra?”
“Itu demi masa depan kita.”
“Tidak. Jangan lanjutkan bicara ibu, Rian tidak akan
mendengarnya.”
Rian memunggungi ibunya, sambil melanjutkan mengutak
atik ponselnya. Bu Candra keluar dengan perasaan tak menentu.
***
Pagi itu sebelum berangkat bekerja, Rian menghampiri Nurani.
“Nur, nanti malam kita jalan-jalan ya.”
“Kemana?” kata Nurani dengan mata berbinar.
“Hari ini Siswati ulang tahun. Kita akan merayakannya
bersama-sama.”
Wajah Nurani muram seketika.
“Tidak, aku tidak ikut.”
***
Besok lagi ya.
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien 🙏🙏
⚘🍃⚘ Alhamdulillah KBE 33 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai 🙏🦋⚘
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhmdllh
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, smg sehat selalu Bunda
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Semoga sehat selalu
Alhamdulilah, matur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat .....
Alhamdulillah,matur nuwun bunda Tien KBE 33 sudah hadir
ReplyDeleteayok mojok...manusang bu Tien,
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~33 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah sdh tayang...
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien..
Salam sehat selalu....
Waah ternyata bu Candara ada maunya...
ReplyDeleteMakin pinisirin saja ini bu Tien..
Matur nuwun, salam sehat
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 33 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Ya Nurani cem cen..la kok ibu nya Rian punya gagasan menjodohkan Rian ma Nurani.....
ReplyDeleteTrima kasih bu Tien ...Salam Aduhai
Aduh...kok berbelok ini si Nurani, maunya serius dengan Rian. Apa akan ditukar, Siswati dengan Andre...
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Mskasih bunda tayangannya, eh bu candra ikut ikutan msu menjodohkan anaknya karena harta
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMatunuwun, salam sehat selalu...
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeletemBlayune buanter dewe......
ReplyDeleteWiw, pengglenikan Amirah sama pak Chandra nggak berhasil, demi cita cita Saraswati yang berangan Nurani mau disandingkan anak sahabatnya yang ternyata bisa diandalkan jadi sekretaris Chandra, walau sebenarnya risih juga dengan posisi itu, apa boleh buat.
ReplyDeleteBegitu juga usulan Amirah pada Rian; justru Rian menganggap ibunya belum move on kata anak jaman now, agak sore ajakan Rian ditolak, aneh juga perlakuan Nurani kali ini terhadap Siswati yang dikatakan sewaktu mereka berdua, ada apa, ini pasti rencana ibunya karena mereka berdua kan sering didapur.
Waduh gimana nich runyem, sampai salah kata kata sewaktu bilang sama Siswati. Jangan jangan hak veto Nurani digunakan sebagai penguasa muda.
Darah muda mulai menggeliat, dan mengumpulkan kekuatan seolah dipersiapkan meledak diwaktu yang tepat.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Kantung berwarna emas yang ke tiga puluh tiga sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulilah trims Bu tien
ReplyDeleteLhoo...bukankah sudah pernah disebutkan bahwa Nurani selalu berdebar2 kalau berdekatan dengan Andre ya...kok tiba2 berubah? Ayo ibu Tien, alur ceritanya diplintir lagi...biarkan Rian jadian dengan Siswati sajalah.🤭😅
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga bu Tien sekeluarga sehat selalu
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien...
ReplyDeleteSehat selalu...
Salam Aduhai, Berkah Dalem Gusti 🙏🛐😇
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSemakin seru.
Salam sehat selalu aduhai
Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat selalu binda Tien..
ReplyDeleteAlhamdullilah..matur suwun bundaqu..slm sht sll🙏🥰🌹
ReplyDelete