Thursday, January 12, 2023

KANTUNG BERWARNA EMAS 33

 

KANTUNG BERWARNA EMAS  33

(Tien Kumalasari)

 

Rian menatap tajam ibunya, menganggap permintaan ibunya sangat berlebihan. Demikian juga pak Candra.

“Kamu tertarik foto itu, atau kalung dan leontinnya?” tanya pak Candra.

“Maaf, maksudnya, ingin membuat kenangan foto yang bisa dicetak di kalung seperti punya Nurani. Bukan foto aku, tapi semua.”

“Mengapa harus dicetak di kalung? Ada beberapa foto keluarga di sini, lebih besar, bisa dilihat siapapun, setiap saat. Kalau kamu iri atas kalung Nurani ….”

“Bukan iri, hanya ingin,” sergah bu Candra.

“Beda dikit.”

“Ibu tidak usah ingin yang aneh-aneh. Itu diberikan oleh ibu Nurani, saat sebelum meninggal,” kata Rian.

“Betul. Dia berpikir, kalau aku menikah lagi, tak akan ada foto dia dipajang di rumah ini, karena itulah dia membuat foto yang dicetak pada leontin, agar Nurani selalu mengingatnya. Itu benar bukan? Adakah foto ibu Nurani di rumah ini?”

“Maaf.”

“Apa kamu ingin membuat foto lagi? Mau dipasang di mana lagi?” tantang pak Candra.

“Tidak, aku kan sudah minta maaf.”

“Selalu berperilaku lah yang baik, agar aku tak membenci kamu. Kesalahan kamu sangat besar, dan aku luluh karena permintaan Nurani. Aku bukan membanding-bandingkan, tapi kamu bisa mencontoh perilakunya yang baik dan terpuji. Dia tidak ada di sini kan, jadi aku mengatakannya bukan untuk membuat dia bangga. Hanya ingin agar kamu banyak belajar dari dia.”

Bu Candra tak menjawab, tapi dalam hati dia meng ‘iya’ kan kata suaminya. Beberapa sikap baiknya, dia sudah mencontohnya. Pelajaran buruk di hari-hari yang telah lewat, membuatnya harus membuka mata agar mengerti tentang kebenaran dan keburukan.

“Kalau kamu baik, uang belanja akan aku berikan untuk kamu. Ingat, jangan karena ada uang banyak maka kamu akan menghamburkannya sesuka hati kamu. Menjadilah istri dan ibu yang baik di keluarga ini,” kata pak Candra, yang selama marah kepada istrinya, dia tak pernah memberinya uang belanja. Semua kebutuhan Nurani yang mengaturnya.

“Terserah Bapak saja. Nurani yang pegang uang belanja juga tidak apa-apa. Toh semua kebutuhan tercukupi. Kalau aku ingin sesuatu, aku bisa minta sama dia.”

“Tidak. Nurani sudah mulai kuliah, jangan membebaninya dengan urusan rumah tangga. Dia hanya membantu saja.”

“Baiklah, terserah Bapak saja.”

Dan pak Candra merasa puas dengan jawaban istrinya. Semoga benar-benar ada perubahan yang membuatnya senang, dan seluruh keluarga menjadi tenang.

“Apa Rian harus mengantarkan Nurani dulu ya?” tanya Rian setelah selesai makan.

“Tidak Mas, kamu berangkatlah dulu. Jangan terlambat di hari pertama kamu bekerja,” kata Nurani yang sudah selesai berdandan.

“Baiklah, terima kasih Nur.”

***

Hari yang berjalan belum membuat Nurani jatuh hati pada Andre. Nurani heran pada dirinya sendiri. Menurutnya Andre tak ada cacat celanya. Ayah dan ibunya telah memilihkan yang terbaik untuk pendamping hidupnya. Kalaupun dipaksa, pasti Nurani akan menjalaninya. Tapi kemana rasanya cinta? Nurani benci kepada dirinya sendiri.

“Mengapa menurutku hanya ada mas Rian di hati aku? Apakah itu artinya bahwa cinta di hatiku hanya untuk mas Rian?”

Nurani yang sedang berjalan keluar dari kampus sambil melamun, terkejut ketika tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di sampingnya.

“Nur, mau pulang?”

Ternyata Siswati yang menyapanya. Mereka memang kuliah di kampus yang sama. Kampus terbaik dikotanya, dan Nurani diterima dengan prestasi gemilang yang dicapainya saat sekolah sebelumnya.

Lamunan Nurani buyar seketika. Ada perasaan tak enak, ketika dia sedang melamunkan Rian, tiba-tiba Siswati muncul di dekatnya. Apakah Nurani sesungguhnya cemburu melihat kedekatan mereka lagi? Bukankah Nurani ikut mendamaikan saat keduanya agak menjauh?

Entahlah, Nurani sendiri juga bingung terhadap perasaannya.

“Nur ….”

“Eh, iya Mbak …”

“Mau pulang? Ulangnya karena sedari tadi Nurani tampak bengong dan belum menjawab.

“Iya Mbak, mau pulang.”

“Ayo aku antar.”

Tiba-tiba Nurani merasa tak ingin pulang bersama Siswati. Tiba-tiba perasaan aneh menggayuti hatinya.

“Tidak Mbak, aku pulang sendiri saja.”

“Nggak apa-apa, aku antar.”

“Nggak usah Mbak, Mbak pulang saja dulu..”

“Kenapa Nur? Kamu takut kalau aku jatuh lagi lalu kamu ikut terluka?”

“Tidak Mbak, aku masih itu … mmm … mau … mampir-mampir.”

“Nggak apa-apa, mau mampir ke mana? Aku antar saja.”

“Nggak Mbak, aku .. nunggu mas Rian saja.”

“Lhoh, nunggu Mas Rian? Bukankah Mas Rian sudah bekerja?”

Nurani terkejut sendiri atas jawaban yang dilontarkan. Ia sedang mencari beribu alasaan tapi tidak ketemu juga. Akhirnya menyebut nama Rian. Hal yang tak mungkin karena Rian sudah bekerja.

“Ah ya, aku lupa. Tapi … sungguh, aku tidak ingin menyusahkan, Mbak Sis pulang saja sendiri.”

“Sebenarnya aku sedang tidak ada pekerjaan. Kita bisa jalan-jalan dulu, kan hari masih siang. Oh ya, aku traktir bakso yuk.”

“Tidak Mbak, sungguh tidak ingin apapun untuk kali ini. Lebih baik Mbak pulang saja.”

Siswati agak merasa aneh. Sikap Nurani tidak seperti biasanya. Tapi tak ada yang bisa dilakukannya. Dia juga tak bisa memaksa.

“Baiklah Nur, sungguh kamu tidak ingin aku boncengin?”

“Terima kasih Mbak, soalnya aku masih punya keperluan.”

Siswati mengangguk, kemudian menjalankan motornya, menjauh dari Nurani. Pasti dengan perasaan tak enak.

Sementara Nurani sendiri juga merasa heran atas perasaannya. Mengapa tiba-tiba dia tak suka sama Siswati? Nurani merasa dirinya sangat jahat. Tapi dia tak bisa memaksa perasaannya. Dia tak ingin berboncengan dengan Siswati. Padahal dia juga tak ingin mampir ke mana-mana.

Ketika di depan gerbang, Nurani memesan ojol.

“Mengapa aku merasa lebih baik bersama mas ojol dari pada bersama mbak Siswati yang begitu baik?”

Nurani tak menemukan jawabannya, sampai menginjakkan kakinya di rumah, bahkan sampai masuk ke dalam kamarnya.

“Nur, kamu sudah pulang?” teriakan ibunya terdengar dari luar kamar, ketika dia ingin merebahkan tubuhnya.

“Iya Bu.”

Nurani baru teringat, tidak melongok ke dapur, bahkan tidak ingin membantu ibunya. Ia kemudian membuka pintu kamarnya.

“Tumben sudah pulang.”

“Ibu masih memasak? Maaf, Nurani tidak membantu.”

“Tidak apa-apa, kan kamu kuliah.”

“Ibu masih memasak?”

“Tidak, sudah selesai, tinggal menata meja untuk makan kita saja. Bukankah ayah kamu dan Rian pulang agak sore?”

“Iya Bu, mari Nur bantu,” kata Nurani yang kemudian beranjak ke ruang makan, membantu ibunya menata makan siang mereka.

“Nur, ibu ingin bertanya,” kata bu Candra ketika mereka makan bersama.

“Ya Bu, soal apa?”

“Yang sering bepergian sama Rian itu siapa sih?”

Aduh, bukankah Nurani sedang tidak ingin bicara tentang Siswati?

“Kamu kenal kan?” lanjut bu Candra.

“Iya. Itu Mbak Siswati.”

“Mereka pacaran kan?”

“Itu … Nurani tidak tahu.”

“Masa tidak tahu? Bukankah Rian seringkali cerita sama kamu tentang banyak hal?”

“Tapi tidak tentang Mbak Siawati.”

“Apakah dia baik?”

“Dia … sepengetahuan Nur, dia baik.”

“Tapi Rian tidak mau memperkenalkannya sama ibu.”

“Waktu wisuda, dia ada. Ibu sih, tidak ikut menghadiri.”

“Ibu segan.”

“Kenapa?”

“Rian bersikap dingin sama ibu. Mengajak juga dia tidak mau.”

“Mas Rian menyuruh Nur bicara sama ibu.”

“Mengapa tidak bicara sendiri? Ibu tahu, ibu telah membuatnya kecewa. Tapi ibu kan sudah bilang mau merubahnya.”

“Barangkali butuh waktu. Ibu harus sabar.”

“Semoga nanti istri Rian baik seperti kamu,” kata bu Candra. Dan itu sangat mengejutkan Nurani.

Bukankah Nurani juga ingin punya suami yang baik seperti Rian? Mengapa mereka tidak bisa bersatu? Aduhai, baru sekarang Nurani merasa benar-benar akan kehilangan Rian. Dan sungguh, itu membuatnya sedih.

Sejak Rian datang menjenguknya di rumah sakit, Nurani sudah merasa aneh, ketika Rian datang bersama Siswati. Tapi dia masih bisa menepisnya. Tapi semakin lama, Nurani merasa bahwa ia tak ingin kehilangan Rian.

“Nurani juga berharap, kelak bisa punya suami seperti mas Rian,” kata Nurani tiba-tiba, yang kemudian sangat di sesalinya. Apakah itu menunjukkan isi hatinya?”

Menurut ibu, lebih baik kalian berjodoh.”

Ucapan bu Candra membuat Nurani tersedak, kemudian terbatuk-batuk agak lama.

“Nur, pelan-pelan. Minumlah dulu,” kata bu Candra sambil mendekatkan gelas berisi air putih ke depan Nurani.

Nurani minum beberapa teguk, dan agak tersengal.

“Kenapa kamu ini?”

“Maaf bu, mau menjawab, sambil menelan, jadinya tersedak.”

“Itu sebabnya, sebenarnya saat sedang makan dilarang bicara. Salah ibu nih. Maaf ya,” kata bu Candra yang kemudian tak melanjutkan kata-katanya.

Tapi sebenarnya Nurani ingin mengatakan lebih banyak tentang Rian. Ah, Nurani tiba-tiba merasa galau, lalu kesadarannya muncul ketika tanpa sadar dia meraba leontinnya. Ada pesan di dalamnya, yang tak harus diingkarinya.

***

Malam hari itu bu Candra menyusul suaminya yang sedang duduk di teras sendirian.

“Pak, apa di luar tidak dingin ?”

“Nggak begitu dingin. Ada apa kamu ikut duduk di sini?”

“Terkadang ingin bicara sama Bapak.”

“Ada yang penting?”

Bukan terlalu penting, tapi ada baiknya dibicarakan, siapa tahu Bapak setuju.”

“Masalah apa? Jangn bicara masalah leontin lagi. Kamu sudah tahu alasannya kan, mengapa Nurani memilikinya?”

“Iya, aku tahu. Bukan masalah itu yang ingin aku bicarakan.”

“Ada apa?”

“Tentang Rian.”

“Memangnya kenapa dia?”

“Rian kan sudah dewasa, bahkan sudah bekerja. Sudah saatnya dia punya istri. Ya kan?”

“Ya, tentu saja, Rian juga pasti sudah memikirkannya.”

“Aku punya gagasan yang menarik nih Pak.”

“Apa tuh?”

“Bagaimana kalau Rian kita jodohkan saja sama Nurani.”

“Apa?” mata pak Candra terbelalak. Dipandanginya sang istri dengan wajah kesal.

“Bukankah itu bagus? Mereka adalah pasangan yang serasi.”

“Apa kamu lupa? Rian dan Nurani itu bersaudara? Mana ada saudara menikah dengan saudara?”

“Tapi bukankah mereka bukan saudara kandung? Mereka orang-orang lain kan Pak.”

“Kamu itu kalau mengusulkan sesuatu, bicara sesuatu, selalu tidak pantas dan tidak pas.”

“Mengapa Bapak berpikiran begitu?”

“Mereka itu sudah jadi saudara. Sama-sama anakku. Mana mungkin dijodohkan?”

“Tapi kan_”

“Sudah, berhentilah bicara yang tidak-tidak, aku tidak mau dengar.”

“Apa tidak pantas mereka menjadi suami istri?”

“Tidak … tidak … tidak. Nurani sudah punya jodoh sendiri, dan Rian juga sudah punya pilihan. Jadi kamu tidak bisa merubahnya.”

“Nurani punya jodoh siapa?”

“Andre adalah jodoh yang tepat untuk Nurani. Tak ada yang bisa merubahnya.”

“Nurani tidak pernah jalan bersama Andre.”

“Kamu saja yang tidak tahu,” kata pak Candra sambil berdiri, kemudian memasuki rumah tanpa menatap lagi sang istri.

Bu Candra membanting-banting kakinya dengan kesal.

“Kenapa sih, kalau aku bicara tidak pernah lagi diperhatikan?” gumamnya sambil mengikuti sang suami masuk ke dalam.

“Dan kenapa juga harus menjodohkan dengan orang lain, sementara di rumah ini mereka bisa dipasangkan sebagai suami istri? Kalau demikian halnya, kan harta keluarga Candra tidak akan jatuh ke tangan orang lain?” bu Candra masih bergumam sambil menutup pintu depan rumah.

***

Tidak terima bicara dengan suaminya, malam itu juga bu Candra memasuki kamar Rian.

Ketika masuk, Rian sedang mengutak atik ponselnya, tampaknya sedang chating dengan seseorang.

“Rian,” sapa ibunya.

“Ada apa Bu?”

“Ibu mau bicara, ibu harap kamu mau mendengarkannya, dan syukur bisa memenuhinya.”

“Ada apa sih, Bu?”

“Kamu kan sudah bekerja, dan kamu memang sudah dewasa, sudah waktunya punya istri.”

“Rian baru saja mulai bekerja, soal istri bisa nanti-nanti, kalau Rian sudah merasa mapan,” jawab Rian yang agak heran karena tiba-tiba ibunya memperhatikannya.

“Baiklah, terserah kamu kapan mau menikah. Tapi ibu punya usul, bagaimana kalau kamu menikah sama Nurani saja.”

“Apa? Mengapa ibu berpikir sampai ke situ? Nurani itu adik Rian. Setidaknya sudah Rian anggap sebagai adik sendiri.”

“Nurani itu baik, dia akan menjadi istri yang akan membahagiakan kamu.”

“Tidak, tidak Bu. Nurani sudah dijodohkan, dan Rian juga sudah punya pilihan.”

“Jangan bodoh. Kalau kamu menikah sama Nurani, harta keluarga Candra tidak akan ke mana-mana.”

Wajah Rian menjadi merah padam karena marahnya.

“Bu, ternyata hati ibu masih belum benar-benar bersih. Kekurangan apa kita ini, sehingga ibu masih memikirkan harta keluarga Candra?”

“Itu demi masa depan kita.”

“Tidak. Jangan lanjutkan bicara ibu, Rian tidak akan mendengarnya.”

Rian memunggungi ibunya, sambil melanjutkan mengutak atik ponselnya. Bu Candra keluar dengan perasaan tak menentu.

***

Pagi itu sebelum berangkat bekerja, Rian menghampiri Nurani.

“Nur, nanti malam kita jalan-jalan ya.”

“Kemana?” kata Nurani dengan mata berbinar.

“Hari ini Siswati ulang tahun. Kita akan merayakannya bersama-sama.”

Wajah Nurani muram seketika.

“Tidak, aku tidak ikut.”

***

Besok lagi ya.

36 comments:

  1. ⚘🍃⚘ Alhamdulillah KBE 33 telah hadir. Matur nuwun Bunda Tien. Semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...Salam Aduhai 🙏🦋⚘

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah, smg sehat selalu Bunda

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah..
    Terima kasih Bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh datang...
    Matur nuwun bu Tien ...
    Semoga sehat selalu....
    Tetap semangat .....

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah,matur nuwun bunda Tien KBE 33 sudah hadir

    ReplyDelete
  6. ayok mojok...manusang bu Tien,

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.

    ReplyDelete

  8. Alhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~33 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah sdh tayang...
    Terimakasih Bu Tien..
    Salam sehat selalu....

    ReplyDelete
  10. Waah ternyata bu Candara ada maunya...
    Makin pinisirin saja ini bu Tien..
    Matur nuwun, salam sehat

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 33 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  12. Ya Nurani cem cen..la kok ibu nya Rian punya gagasan menjodohkan Rian ma Nurani.....
    Trima kasih bu Tien ...Salam Aduhai

    ReplyDelete
  13. Aduh...kok berbelok ini si Nurani, maunya serius dengan Rian. Apa akan ditukar, Siswati dengan Andre...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  14. Mskasih bunda tayangannya, eh bu candra ikut ikutan msu menjodohkan anaknya karena harta

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah...
    Matunuwun, salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  16. Wiw, pengglenikan Amirah sama pak Chandra nggak berhasil, demi cita cita Saraswati yang berangan Nurani mau disandingkan anak sahabatnya yang ternyata bisa diandalkan jadi sekretaris Chandra, walau sebenarnya risih juga dengan posisi itu, apa boleh buat.
    Begitu juga usulan Amirah pada Rian; justru Rian menganggap ibunya belum move on kata anak jaman now, agak sore ajakan Rian ditolak, aneh juga perlakuan Nurani kali ini terhadap Siswati yang dikatakan sewaktu mereka berdua, ada apa, ini pasti rencana ibunya karena mereka berdua kan sering didapur.
    Waduh gimana nich runyem, sampai salah kata kata sewaktu bilang sama Siswati. Jangan jangan hak veto Nurani digunakan sebagai penguasa muda.
    Darah muda mulai menggeliat, dan mengumpulkan kekuatan seolah dipersiapkan meledak diwaktu yang tepat.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Kantung berwarna emas yang ke tiga puluh tiga sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  17. Lhoo...bukankah sudah pernah disebutkan bahwa Nurani selalu berdebar2 kalau berdekatan dengan Andre ya...kok tiba2 berubah? Ayo ibu Tien, alur ceritanya diplintir lagi...biarkan Rian jadian dengan Siswati sajalah.🤭😅

    ReplyDelete
  18. Terima kasih Bu Tien, semoga bu Tien sekeluarga sehat selalu

    ReplyDelete
  19. Terima kasih Bu Tien...
    Sehat selalu...
    Salam Aduhai, Berkah Dalem Gusti 🙏🛐😇

    ReplyDelete
  20. Makasih mba Tien.
    Semakin seru.
    Salam sehat selalu aduhai

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat selalu binda Tien..

    ReplyDelete
  22. Alhamdullilah..matur suwun bundaqu..slm sht sll🙏🥰🌹

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...