Friday, January 13, 2023

KANTUNG BERWARNA EMAS 34

 

KANTUNG BERWARNA EMAS  34

(Tien Kumalasari)

 

Rian tertegun. Jawaban Nurani sama sekali tidak diduganya. Tadi begitu bersemangat seperti suka saat diajak, tapi sekarang tiba-tiba menolak.

“Nurani, tadi mau, kok sekarang menolak?”

“Siapa bilang mau? Aku kan hanya bertanya.”

“Kenapa tidak mau? Kita hanya akan merayakannya bertiga.”

“Aku lagi malas saja.”

“Kan hanya jalan, terus makan malam, kalau kamu masih mau … kita bisa_”

“Tidak. Aku sudah bilang tidak mau.”

“Nur.”

“Tolong jangan memaksa aku.”

“Baiklah kalau begitu,” kata Rian sambil langsung menuju ke arah motornya, meninggalkan Nurani yang masih tegak di teras.

Nurani merasa heran. Ia tiba-tiba menjadi begitu jahat. Membenci seseorang, tidak suka kepada seseorang, tanpa alasan yang jelas, bukankah itu jahat? Tapi mengapa hatinya ini? Apa yang terjadi? Lalu tiba-tiba air mata Nurani menitik turun, yang segera diusapnya. Sayangnya ketika air mata itu menetes, Rian sedang menoleh ke arahnya. Rian mengerutkan keningnya. Lalu kembali menghampiri Nurani.

“Nur, ada apa?”

“Tidak ada apa-apa,” kata Nur yang segera membalikkan tubuhnya, kembali masuk ke rumah.

Rian ingin mengejarnya, tapi kemudian ia melihat arloji di tangannya. Merasa kalau akan terlambat, Rian mengurungkan niatnya. Ia kembali mendekati sepeda motornya, menstarternya, kemudian pergi menjauh dengan benak penuh tanda tanya.

Nurani langsung ke belakang, menuju dapur, sambil masih mengusap sisa air matanya. Ia berangkat kuliah agak siang. Tapi dilihatnya bu Candra masih berkutat membersihkan dapur.

“Kamu belum mau berangkat?”

“Nanti Bu, sebentar lagi,” katanya sambil membantu mencuci piring-piring kotor.

“Masak apa hari ini, Nur?”

“Terserah Ibu saja.”

“Bagaimana kalau timlo?”

“Ya, itu enak. Apa sih bumbu timlo? Nurani belum pernah masak timlo.”

“Bumbunya sih hampir sama dengan soto, cuma ada tambahan cengkeh, sama bunga pala. Isiannya juga berbeda. Ada jamur hitam, soun, irisan sosis, kentang goreng tipis-tipis. Oh ya, ada irisan telur juga, wortel … “

“Banyak isiannya ya Bu, tapi kayaknya enak. Lalu yang namanya bunga pala yang mana ya Bu?”

“Ini, ibu sudah punya. Nih lihat, bentuknya juga seperti bunga, trus baunya khas. Kalau di Jawa disebut pekak.”

“Oh, ini? Apa nanti ikut dihaluskan bersama bumbunya?” tanya Nurani yang sudah menyelesaikan mencuci piring.

“Tidak. Ini sama cengkeh, dibiarkan utuh.”

“Nurani berangkat agak siang. Nanti Nur bantuin memasak timlo nya.”

“Kamu anak yang rajin Nur. Pasti kelak bisa menjadi istri yang baik dalam rumah tangga.”

“Ah, ibu bisa saja. Nur kira semua wanita akan suka melakukannya.”

“Tidak semua. Contohnya Karina.”

Lalu bu Candra tampak sedih.

“Ibu menyesal tidak bisa mendidiknya dengan baik,” keluhnya kemudian.

“Masih ada waktu untuk membenahi segala sesuatunya Bu,” hibur Nurani.

“Sebenarnya ibu sedang kecewa.”

“Pada Karina? Bukankah nanti_”

“Bukan Karina. Tapi ayahmu, dan juga Rian.”

“Kenapa Bu.”

“Semalam ibu mengusulkan, agar Rian bisa berjodoh sama kamu.”

“Apa?” Nurani teringat ucapan ibu tirinya sebelum ini. Tentang menjodohkannya dengan Rian, dan membuatnya berdebar.

“Tapi ayahmu menolak. Demikian juga Rian.”

Nurani mencoba tersenyum, tipis.

“Ibu ada-ada saja.”

“Apakah kamu tidak suka, seandainya itu terjadi? Bukankah Rian itu ganteng, pintar, baik hati pula?”

Nurani tak menjawab. Ia sedang bertanya kepada hatinya, apakah dia akan suka? Tapi semuanya tidak mungkin terjadi bukan?

“Tapi yah, karena mereka tidak setuju, ibu bisa apa. Ibu suka punya menantu seperti kamu.”

“Mengapa Bu?”

“Karena kamu baik, cantik. Dan kalau nanti kalian berjodoh, harta ayahmu tidak akan kemana-mana. Ya kan?”

Nurani tertegun. Ternyata arah tujuan ibunya adalah harta. Tidak karena dirinya baik dan pantas menjadi menantunya.

Tiba-tiba Nurani seperti disadarkan dari angan yang terbang entah kemana, lalu semuanya buyar entah kemana pula. Tidak ada cinta yang didasari keinginan memiliki harta, tidak ada keinginan memenuhi sebuah mimpi karena harta. Wajahnya murung, rasa simpati terhadap ibunya lenyap pula bagai dihembus angin.

“Mengapa kamu diam? Tidak sependapat dengan ibumu ini?”

Nurani menggeleng, wajahnya berubah keruh. Lalu dia beranjak keluar dari dapur.

“Nur, apa kamu marah sama ibu karena tidak setuju dengan keinginan ibu ini?”

Nurani berhenti melangkah.

“Tidak Bu, saya sudah dijodohkan, dan mas Rian sudah memilih jodohnya sendiri,” katanya, kemudian berlalu.

Wajah bu Candra muram seketika. Ia berharap mendapat dukungan setelah berbicara dengan Nurani, karena Nurani sangat dekat dengan Rian. Sepertinya tak begitu sulit menyatukan keduanya dalam ikatan cinta. Ternyata tidak. Tiga orang yang diajaknya bicara, mengutarakan alasan yang sama. Yang satu sudah dijodohkan, yang satunya lagi sudah memilih jodohnya sendiri.

Bu Candra menyiapkan bumbu masakan. Ia akan memasak seperti tadi dikatakannya, tapi rupanya Nurani tak jadi belajar memasak timlo yang katanya belum pernah dimasaknya.

Bu Candra mengejar Nurani, berharap sang anak tiri akan membantunya.

“Nur, katanya kamu ingin mencoba memasak timlo?”

“Tidak Bu, ternyata jam kuliah saya dimajukan, saya mau berangkat sekarang.” Jawab Nurani yang kecewa karena ternyata sang ibu tiri belum sepenuhnya menjadi baik.

***

Ketika sedang duduk di teras menunggu ojol, Nurani mencoba menelpon Rian.

“Ya Nur, aku baru akan menelpon kamu,” jawab Rian dari seberang..

“Mas belum mulai bekerja?”

“Sedang menunggu rekan. Ada apa?”

“Mas bilang mau menelpon Nurani, ada apa?”

“Kamu dulu yang bilang, menelpon aku ada apa?”

“Ya ampuun. Baiklah, aku cuma mau bilang, nanti malam ikut kalian makan malam.”

“Bagus, senang aku mendengarnya.”

“Mas sekarang bilang, mau bicara apa?”

“Aku mau bertanya, kenapa ketika aku mau berangkat tadi, kamu menangis?”

Nurani terkejut. Tidak menyadari kalau ternyata Rian melihatnya.

“Aku tidak menangis,” jawabnya bohong.

“Kamu menangis, aku melihatnya.”

“Mataku kemasukan debu.”

“Ah, jawaban klise.”

“Ya sudah Mas, aku mau berangkat kuliah, ojol nya sudah datang,” kata Nurani, kemudian ditutupnya ponselnya.

***

“Ndre, ini kan malam Minggu?” tanya pak Candra ketika makan  siang bersama Andre.

“Iya Pak, benar. Saya harus lembur?”

“Tidak Ndre. Semuanya sudah beres kan?”

“Lalu kenapa Bapak menanyakan itu, sebenarnya saya ada acara nanti malam, tapi kalau pak Candra menyuruh saya mengerjakan sesuatu, saya bisa membatalkan acara itu.

“Ya sudah kalau ada acara. Aku hanya ingin, kamu mau menemani Nurani jalan-jalan.”

Andre tertawa keras.

“Acara yang saya katakan tadi adalah, saya ingin mengajak Nurani jalan-jalan.”

Lalu mereka tertawa bersama-sama dengan lucunya.

 “Ini yang namanya pucuk dicinta ulam tiba,” kata Andre.

“Nurani itu kan tidak pernah kemana-mana. Rian sudah punya pacar. Biasanya dia pergi bersama pacarnya itu. Mengapa juga kamu tidak gerak cepat untuk lebih mendekati Nurani?”

“Sebenarnya saya agak takut. Sikap Nurani terkadang dingin, takutnya kalau saya kelihatan nekat, dia malah tidak suka sama saya.”

“Nurani bukan gadis yang gampang tertarik pada seorang pria. Dia itu ibaratnya sebuah gamelan. Tidak akan keluar bunyinya kalau kita tidak menabuhnya.”

“Iya Pak, saya tahu.”

“Sering-seringlah menemui dia, agar kalian segera bisa saling mengenal dan semakin dekat.”

“Baiklah.”

“Sekarang dia sudah kuliah, tidak mudah memanggilnya datang kemari seperti sebelumnya.”

***

Nurani masih ada kelas di siang itu. Sambil menunggu, dia duduk di taman, sendirian. Di tengah taman itu ada kolam ikan. Dulu Rian dan Siswati selalu berbincang manis di tepi kolam tersebut. Tapi semuanya sudah lewat. Rian sudah lulus, dan Siswati tak lagi punya teman berbincang yang bisa membuatnya senang.

Ketika dia mau pulang dan melewati taman itu, dia berhenti karena melihat Nurani duduk sendirian di situ.

Setelah menstandartkan sepeda motornya, Siswati melangkah pelan mendekatinya.

“Nur,” sapanya lembut.

Nurani terkejut. Ada debar di dadanya ketika melihat Siswati mendekat. Tapi ia kemudian mengulaskan senyum. Gadis cantik ini tak berdosa, dan Nurani tak perlu membencinya. Ia sadar telah merasa jahat setelah merasa bahwa Siswati adalah pengganggu perasaannya. Tidak, ternyata Nurani hanya tergoda melakukan kejahatan sesaat. Gadis yang kemudian duduk di sampingnya ini, begitu cantik dan baik. Nurani benci pada perasaannya sendiri.

“Sudah mau pulang, Mbak?” sapanya sambil tetap saja tersenyum.

“Iya. Melihat kamu duduk di sini, membuat aku teringat mas Rian."

Deg. Tapi kembali Nurani menemukan akal sehatnya.

“Mbak sering duduk di sini bersama mas Rian?”

“Ya, kalau lagi senggang, atau kuliah kami selesai.”

“Udara di sini sangat sejuk. Ikan-ikan itu juga menenangkan,” kata Nurani.

“Kamu belum mau pulang?”

“Masih ada kelas, sebentar lagi.”

“Aku tunggu di sini ya, nanti pulangnya aku antar,” kata Siswati.

“Ya Tuhan, gadis ini begitu baik, dan aku nyaris menjahatinya,” kata batin Nurani sambil memarahi dirinya sendiri.

“Mau kan?” ulang Siswati, ketika menunggu jawaban Nurani.

“Tidak usah Mbak, kelamaan. Nanti ditunggu ibu di rumah.”

“Aku ingin sekali mengantarkan kamu, supaya bisa bertemu dengan ibu. Aku belum pernah dikenalkan.”

“Datanglah lain kali, tidak dengan menunggu aku kuliah.”

“Tidak apa-apa, aku senang melakukannya. Aku tidak akan hanya bengong, aku bisa sambil mengerjakan skripsi aku.”

“Ya ampuun. Di sini?”

“Ya, kenapa tidak. Dalam suasana tenang, aku bisa lebih lancar mengerjakannya.”

“Aduhai …. “

“Jadi kamu tidak usah sungkan.”

“Oh ya, aku hampir lupa, ini hari lahir Mbak Sis bukan? Selamat ya Mbak, sehat selalu, bahagia, sukses, dikaruniai umur panjang yang barokah,” ucap Nurani sambil memeluk Siswati.

“Aamiin. Terima kasih ya Nur, tahu dari mana?”

“Mas Rian tadi pagi mengatakannya. Nanti malam mau mengadakan acara makan malam.”

“Astaga, mas Rian …, “ kata Siswati tersipu.

“Baiklah, ini sudah saatnya, aku ke kelas dulu ya Mbak. Benar, tidak apa-apa, sendirian di sini?”

“Tidak apa-apa Nur, sungguh. Sudah sana, pergilah. Ini jam nya pak Dio kan? Ati-ati, dia galak,” kata Siswati menakut-nakuti.

Nurani tertawa, lalu melangkah menjauh. Bukankah damai itu indah? Indah di hati, indah di rasa.

“Ya Tuhan, aku hampir saja melakukan sebuah perbuatan jahat,” gumam Nurani menyesali diri.

***

Siswati benar-benar menunggu sampai Nurani selesai, kemudian mengantarkannya pulang. Belum ada yang pulang ke rumah kecuali Nurani.

Nurani mempersilakan Siswati duduk, kemudian masuk ke dalam. Dilihatnya bu Candra sedang duduk di ruang tengah, sambil terkantuk-kantuk.

“Assalamu’alaikum ….” Sapa Nurani.

“Ss …salam … “ jawab sang ibu singkat, dengan terkejut.

“Ibu capek ya?” tanya Nurani.

“Tidak, hanya ngantuk.”

“Diluar ada mbak Siswati, ibu mau menemuinya?”

“Siapa tuh, Siswati?”

“Pacarnya mas Rian,” kata Nurani agak berbisik.”

“Oh ya?”

“Nurani mau ganti baju lalu membuatkan minuman, ibu temani dia sebentar ya.”

“Baiklah,” kata bu Candra sambil merapikan rambutnya, kemudian beranjak keluar.

“Ada tamu rupanya,” sapa bu Candra.

Siswati berdiri, kemudian meraih tangan bu Candra, lalu menciumnya,

“Ini yang namanya Siswati?”

“Iya Bu,” kata Siswati sambil kembali duduk.

“ Saya bu Candra, ibunya Nurani. Kok bisa bareng Nurani?”

“Kebetulan saja. Nurani masih ada kelas, saya menunggu, lalu pulang bersama.”

“Ooh, satu kampus ya? Dulu temannya Rian juga?”

“Mas Rian kakak kelas saya.”

“Oo, iya. Sekarang Rian kan sudah bekerja.”

“Iya.”

“Rian itu anak laki-laki ibu. Kalau Nurani itu anak suami ibu, ibu kandungnya sudah meninggal.”

“Iya, mas Rian sudah pernah cerita.”

“Benarkah? Tapi sesungguhnya ibu tuh ingin menjodohkan Rian dengan Nurani lhoh,” kata bu Candra enteng.

Siswati terkejut. Ada perasaan tak enak mendengar bu Candra mengatakan itu. Bu Candra seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi Nurani tiba-tiba keluar dengan membawa nampan berisi tiga gelas jus buah.

“Repot-repot sih Nur.”

“Tidak, ini sudah ada kok, tinggal nuang saja,” katanya sambil meletakkannya di meja.

“Ya sudah, ibu mau ke belakang dulu.”

“Oh ya Bu, nanti Nur ajak mbak Siswati makan di rumah ya.”

“Eh, nggak usah Nur,” sergah Siswati.

“Tidak apa-apa. Ibu jadi masak timlo?”

“Jadi sih, tapi cuma masak sedikit.”

“Nggak apa-apa, nanti kalau kurang Nur masak lagi,” kata Nurani yang merasa kurang enak atas jawaban bu Candra.

“Tidak usah Nur, sungguh, Kalau aku makan di sini, nanti kasihan ibuku yang sudah memasak juga untuk aku.”

“Tapi Mbak.”

“Ya sudah Nur, kalau tidak mau jangan dipaksa,” kata bu Candra sambil masuk ke dalam.

Nurani geram atas sikap sang ibu.

***

Besok lagi ya.

43 comments:


  1. Alhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~34 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah..tayang..🥰🥰😘

    ReplyDelete
  3. Alhamdullilah sdh tayang KBE nya..Yerima ksih bunda Tien..slm sehatsll dan Aduhai sll..🙏😍🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  4. Wah ini pasti Nurani sedih krn suka ma Rian..trims bu Tien

    ReplyDelete
  5. Trimakasih Bu Tien .... Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  6. Wah, cepetnya...barusan saya tengok belum ada, eh...langsung banyak yg komen.😀 Makasih, bu Tien.🙏

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien
    Salam sehat dan aduhai

    ReplyDelete
  8. Alhamdulilah kbe sdh tayang ... makin seru dan sama dg nurani jadi geram dg bu chandra ... salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  9. Waduuh...kasus maneh Ki ...Bu Candra ancen hhhhhh

    Gemes, jadi orang kok jahat men
    Jadi baper kan

    Matur suwun bunda Tien salam Tahes Ulales bunda dari bumi Arema Malang dan selalu Aduhaiiii

    ReplyDelete
  10. Hem... bner² cerita yg sangat luar biasa trs... trma kasih Mbu tien... sehat sll bersama keluarga

    ReplyDelete
  11. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 34 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  13. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti,

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah ..ada resep Timlo
    Syukron nggih Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  15. Huuuuh sebel ngeliat kelakuan Bu Chandra, dasar matere ngomong gak liat sikon...☹️

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah yang ditunggu sdh tayang,mksh Bu Tien salam sehat selalu

    ReplyDelete
  17. Bu Candra nggak ada baik²nya.
    Jadi sebel.
    Mba Tien paling bisa deh,ngaduk aduk perasaan penggemarnya .
    Makasih mba Tien.
    Tetap sehat dan selalu aduhai

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah KBE 34 sdh tayang
    Terima kasih Bu Tien, sehat dan bahagia selalu Ibu..
    Aamiin

    ReplyDelete
  19. Ternyata bu Candra masih belum baik sepenuhnya, masih gila harta... semoga cepat sadar kasihan Siswati.. Terima kasih bunda Tien salam sehat dan bahagia selalu.

    ReplyDelete
  20. Hhmmmm, konflik mulai lagi nih..
    🤨🤨🤨🤨

    Sehat selalu Bu Tien, salam dari Bandung.

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun mbak Tien-ku Kantung Berwarna Emas sudah tayang.

    ReplyDelete
  22. Nurani sebetulnya sama perasaannya dengan bu Candra, tapi ketika tahu tendensinya tentang harta, jadi tidak simpati. Sebetulnya bagaimana perasaan Nurani ini.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  23. Hayuh saiki,
    Bingung déwé, dasarnya yang namanya cita cita saling ingin di capai, ingat bapak nya yang sangat suport untuk Siswati dan Rian jadian, kini dinyatakan oleh ibunya; keinginan untuk menyatukan Rian dan Nurani didepan Siswati; nah gimana, inginnya mau tahu lebih tentang ibunya Rian, ternyata justru mendapatkan penjelasan yang dia sudah tahu, tapi ada rencana ibunya yang baru kini diketahui Siswati; ouw jadi ini yang membuat Rian waktu itu memutuskan hubungan dengan dia, ternyata..
    Malam Minggu yang kelabu rupanya, apakah kejutan Rian yang dibocorin Nurani, gantian Siswati yang menghindar? demi kata kata ibunya tadi siang, nah ini malah ada Andre yang kebetulan menampakan diri dirumah Nurani; mudah mudahan tidak terlambat , biar tambah rame semeja ber empat; ada rasa canggung yang terbaca pada diri Siswati
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Kantung berwarna emas yang ke tiga puluh empat sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...