ADUHAI AH 37
(Tien Kumalasari)
“Kenapa lagi dia?” tanya Desy setelah sampai di rumah
sakit.
“Tiba-tiba pingsan begitu turun dari bus, lalu aku
langsung membawanya ke rumah sakit,” jawab Sarman yang menunggu di luar ruang
IGD.
“Apa yang terjadi. Tadi Mas bilang keadaannya buruk?”
“Saat kami datang, ternyata neneknya Hesti sudah meninggal tiga hari yang lalu. Ketika sedang berada di dalam rumah itu, tiba-tiba bu
Sriani muncul. Jadi heboh karena begitu datang dia memaki-maki semua orang.”
“Kenapa memangnya?”
“Tampaknya dia sudah menguras barang-barang berharga
milik bu Mintarsih, neneknya Hesti itu. Dan dia sudah punya pegangan kuat untuk
menguasai semua hartanya. Hesti ternyata sangat rapuh.”
Lalu Sarman menceritakan semua yang didengarnya dan
diketahuinya saat berada di rumah bu Mintarsih. Dikatakannya juga, Hesti tampak sangat terpukul,
dan ketakutan.
Desy menghela napas kesal. Ia kemudian memasuki ruang
IGD, mendekati Hesti yang masih terbaring lemah. Wajahnya pucat, tapi dia sudah
tersadar. Begitu melihat Desy, tangannya terulur, lalu ditangkap oleh Desy dan
digenggamnya erat.
“Aku tak mau harta itu … sungguh aku tak mau …”
bisiknya dengan linangan air mata.
“Hesty, baiklah. Tapi kamu tidak perlu ketakutan
seperti ini. Kamu tidak sendiri, banyak yang akan membantu kamu,” kata Desy
lembut.
“Aku tidak mau harta itu … biarkan dia mengambil
semuanya …”
“Itu kita pikirkan nanti. Yang penting kamu harus kuat
dan segera sembuh. Masalah harta tidak usah dipikirkan sekarang. Kalau ada yang
jahat kepada kamu, serahkan semuanya kepada Allah, nanti Allah akan menunjukkan
jalannya, dan memberikan yang terbaik untuk kita.”
“Aku pulang saja Mbak, aku tidak punya banyak uang …”
“Jangan pikirkan masalah uang. Kamu harus tenang.”
“Aku tidak akan kuat membayar biaya rumah sakit ini.
Tolong, aku tidak apa-apa.”
“Kamu tidak perlu membayar apapun. Kamu lupa, aku
dokter disini?”
“Tapi_”
“Hentikan pikiran yang tidak-tidak. Kalau kamu ingin
cepat pulang, maka kamu harus bisa menenangkan hati kamu, menguatkan jiwa kamu,
sehingga kamu mampu menghadapi semuanya.”
“Mas Sarman mana?”
“Ada di luar, kamu mau ketemu?”
“Suruh dia pulang. Kasihan, dia kan mau ujian besok?” dalam keadaan kacau, Hesti masih peduli pada Sarman.
“Ya, nanti aku suruh dia pulang. Sekarang kamu tenang
ya. Barangkali kamu harus menginap sehari atau dua hari di sini.”
“Tidak, aku tidak mau. Tolonglah, aku mau pulang. Lagi
pula hari ini kontrak kost habis, aku belum_”
“Tinggal di rumah aku, biar mas Sarman membawa semua
barang-barang kamu ke rumah aku. Sudah disiapkan kamar untuk kamu.”
“Tidak, jangan begitu.”
“Kamu harus menurut.”
“Aku selalu membuat repot semua orang. Aku harus
mencari pekerjaan, dan_”
“Nanti aku carikan kamu pekerjaan.”
Mendengar kata-kata itu, wajah Hesti langsung berubah.
Matanya menatap Desy tak berkedip.
“Aku bersungguh-sungguh. Tapi syaratnya kamu harus
tinggal di rumah aku.”
“Kalau aku sudah bekerja, aku akan membayar sewa
kamarnya. Tapi jangan mahal-mahal ya Mbak,” kata Hesti yang sudah mulai merasa
tenang. Janji mencarikan pekerjaan membuat kekuatannya muncul.
Desy tersenyum mendengarnya.
“Ya, baiklah. Dan satu lagi, kamu harus tetap kuliah.”
“Apa? Mungkinkah gajiku nanti cukup?”
“Aku carikan pekerjaan yang gajinya bisa mencukupi
semua kebutuhan kamu.”
Hesti seperti anak kecil mendapat iming-iming mainan
bagus. Wajahnya mendadak berseri, walau sisa air mata masih tampak menghiasi
pelupuknya. Memang Desy mengucapkan kata-kata itu untuk membuat Hesti
bersemangat.
“Benarkah?”
Desy mengangguk.
“Kamu harus kuat dulu, lalu pulang.”
“Sebenarnya aku sudah tidak apa-apa. Aku mau pulang.”
“Besok pagi kita lihat lagi. Kalau keadaan kamu
stabil, pasti boleh pulang. Sekarang harus menginap dulu disini.”
“Tapi_”
“Kalau kamu tidak menurut, aku tidak mau membantu kamu
mencari pekerjaan.”
Hesti menyurutkan niatnya yang ngotot ingin pulang. Ia
harus menurut. Masalah pekerjaan itu lebih menarik hatinya katimbang berebut
harta peninggalan almarhumah neneknya.
***
“Bagaimana keadaannya?” tanya Tutut ketika melihat
Desy pulang bersama Sarman.
“Nggak apa-apa. Dia hanya stress berat, tapi sekarang
sudah mulai tenang. Besok dia akan pulang kemari.”
“Bagus lah, aku sudah menata kamarnya, tanpa aku, supaya
dia bisa lebih enak tidur.”
“Setelah ujian mas Sarman akan membawa semua
barang-barang Hesti di tempat kost. Ya kan Mas?” katanya kemudian kepada Sarman.
“Ya, aku sudah memikirkannya,” kata Sarman.
“Sekarang Mas istirahat saja dulu. Jangan terganggu
apapun. Tadi ibu sudah berpesan begitu.”
“Baiklah, aku ke kamarku dulu ya,” kata Sarman sambil
berlalu.
“Nanti Mbak harus menceritakan semuanya sama aku.”
“Tentang apa?”
“Tentang Hesti, supaya aku tahu permasalahannya, dan
bisa bicara yang mungkin akan lebih menenangkan hatinya.”
“Apa kamu mau tidur di kamar aku lagi?”
“Iya lah. Sebentar lagi sudah ada pangeran tampan yang
akan membawa tuan puteri ke istananya, aku akan puas-puasin tidur bersama kakak
aku yang galak ini.”
“Tuh kan, seenaknya ngatain kakaknya galak.”
“Emang iya. Kalau sama Tutut kan seringnya
marah-marah, ngomel.”
“Nyatanya kamu masih suka tidur bersama Mbak.”
“Iya sih, kan aku sayang sama Mbak. Diomelin atau di
galakin aku juga mau kok. Nanti kalau Mbak sudah nggak ada lagi di rumah ini,
pasti aku kangen sama omelan Mbak.”
Desy tersenyum, lalu merangkul adiknya erat.
“Aku juga sayang sama kamu, biarpun kamu bawel, manja,
ngeyel.”
“Tapi aku mau protes nih Mbak.”
“Protes soal apa?”
“Mengapa Mbak mengusulkan aku menjadi pendamping
pengantin bersama mas Danis?”
“Memangnya kenapa? Nggak suka?”
“Nggak.”
“Bener, nggak suka?”
“Habis dia tuh nyebelin.”
“Nyebelin apa, kan kamu sering diberi hadiah boneka,
dan kamu suka kan?”
“Suka hadiahnya …”
“Nggak suka orangnya?”
“Mbak mau, aku suka sama duda?”
“Apa salahnya kalau dia duda. Dia tuh duda tapi keren.
Hatinya juga baik, sama anak manja seperti kamu juga bisa momong. Susah lho
mencari cowok yang bisa momong kamu.”
“Iih, memangnya aku anak kecil?”
“Kamu tuh memang seperti anak kecil.”
“Mbak Desy tuuuh…”
“Desy hanya tertawa melihat ulah adiknya. Ia juga tak
tahu, apakah Tutut menyukai Danis atau tidak. Sikapnya terkadang baik,
terkadang acuh saja. Tapi bahwa tak ada penolakan atas olok-oloknya, Desy bisa
menangkap, bahwa walau sedikit, ada rasa suka juga di hati Tutut, entah kapan dia
bisa membukakan hatinya, barangkali memang belum saatnya. Jadi kesimpulannya
adalah, Danis harus bersabar.
***
Pagi sekali Sarman sudah bangun, mandi dan rapi. Kemudian mereka sarapan bersama. Lalu Sarman
memohon doa kepada kedua orang tuanya, karena dia akan maju ujian hari itu.
“Bapak, saya mohon doanya,” katanya sambil mencium
tangan Haryo, yang disambut dengan elusan tangan lembut di kepala Sarman.
“Semoga kamu berhasil, dan menjadi anak yang membanggakan
orang tua,” ucapnya pelan.
Sarman terharu, akhirnya tetesan darah laki-laki setengah tua itu dirasakan mengalir dalam sepanjang nadinya. Tak ada dendam, yang tersisa hanyalah cinta kasih yang tulus, yang menyirami hari-harinya dengan kehangatan dan membuatnya merasa memiliki keluarga.
Lalu Sarman juga mencium
jemari Tindy yang selalu merengkuhnya dalam cinta seorang ibu. Benar-benar
keluarga yang mengentaskannya dari keprihatinan, menjadikan hidupnya menjadi
penuh makna.
“Sukses ya Man, doa ibu selalu untuk kamu,” kata Tindy
lembut sambil menepuk-nepuk bahunya.
“Semoga sukses ya Mas, pastilah, kan Mas Sarman pintar,” kata Tutut ketika Sarman menyalaminya.
“Terima kasih ya dik,” kata Sarman sambil tersenyum.
“Ih,. Kok dik sih, biasanya nggak begitu memanggilnya,”
Tutut cemberut.
Sarman tertawa. Hampir saja ia terjerumus kedalam
lautan cinta yang semula ditujukannya untuk gadis manja ini. Tak tahunya adalah
adiknya satu ayah.
“Iya Tut, terima kasih ya.”
“Mas Sarman, sukses ya, kalau sudah lulus segera cari
pacar, dan menikah,” doa Desy disertai embel-embel pacar dan menikah, membuat
semuanya tertawa.
“Terima kasih ya Des, doakan ada yang mau sama aku,”
jawab Sarman sambil tertawa.
“Bawalah mobil bapak Man.”
“Sarman naik sepeda motor saja Pak.”
“Bukankah kata ibumu kamu juga harus membawa
barang-barang Hesti dari tempat kost nya?”
“Benar, kalau dengan sepeda motor mana bisa. Sudah,
bawa mobil bapak saja, itu kuncinya di meja,” kata Tindy sambil menunjuk ke
arah meja.
“Baiklah kalau begitu,” jawab Sarman pada akhirnya.
Keberangkatan Sarman diantarkan sampai ke teras oleh
semua penghuni rumah, membuat Sarman terharu.
“Anak laki-laki ku,” bisik Haryo dengan perasaan tak
menentu. Ada rasa menyesal telah menelantarkan ibunya, tapi ada bahagia
menemukan keberadaan anak kandungnya, dan sekarang hampir bisa menyelesaikan
pendidikannya.
***
Sesampai di rumah sakit, Desy memerlukan menemui Hesti
di kamarnya. Ia melihat gadis itu tampak lebih segar dari sebelumnya. Ia bahkan
sedang duduk dan menikmati sarapannya.
“Hesti …”
“Maaf Mbak, saya lapar,” katanya tersipu.
“Tidak apa-apa Hesti, memang seharusnya kamu makan
banyak. Habiskan.”
“Sudah hampir habis,” kata Hesti sambil menikmati
suapan terakhirnya.
“Bagaimana keadaan kamu?”
“Baik Mbak, saya mau pulang.”
“Baiklah, aku akan mengurusnya. Kalau selesai, biar
Tutut menjemput kamu.”
“Saya pulang sendiri saja, mau langsung ke rumah kost.”
“Kamu langsung ke rumah ibuku saja. Barang-barang kamu
di tempat kost akan diambil mas Sarman.”
“Oh … tapi mas Sarman kan_”
“Setelah ujian akan
diambil semuanya, dia membawa mobil bapak.”
“O, begitu ya.”
“Kamu langsung ke rumah, Tutut sudah menata kamar
untuk kamu. Nanti setelah barang-barang kamu diambil, kamu boleh menata
sendiri.”
“Terima kasih banyak ya Mbak. Kapan Mbak mencarikan
pekerjaan untuk saya?”
“Secepatnya, tapi kamu harus sehat dulu, baru kita
bicara tentang pekerjaan.”
“Tapi sungguh kan, saya bisa bekerja?”
“Tentu Hesti. Sekarang aku akan mengabari Tutut dulu
supaya menjemput kemari.”
Hesti mengangguk senang. Janji mendapatkan pekerjaan
itu amat membuatnya bersemangat. Hanya itu yang dia inginkan untuk menyambung
hidupnya.
Desy keluar dari kamar Hesti untuk mulai bertugas.
“Desy!” sebuah panggilan membuatnya berhenti. Ternyata
Danarto yang baru datang.
“Ya Mas.”
“Dari mana?
“Hesti masuk rumah sakit, sejak kemarin.”
“Lhoh, bukannya dia ke Surabaya?”
“Sepulang dari Surabaya, dia tiba-tiba pingsan. Mas
Sarman membawanya ke rumah sakit.”
“Sakit lagi?”
“Ternyata dia sangat rapuh. Ada hal baru yang
membuatnya tertekan, tapi ceritanya nanti saja, aku mau praktek dulu.”
“Baiklah,” kata Danarto kemudian berlalu. Tapi
tiba-tiba seseorang menepuk bahunya keras sekali.
“Adduhh!” Danarto mengaduh karena memang merasa sakit.
Dibelakangnya, Danis menatapnya sambil terbahak.
“Gila kamu ya, sakit tahu.”
“Aku kesal sama kamu.”
“Aku salah apa?”
“Bukankah aku minta supaya kamu merekomendasikan aku
supaya menjadi pendamping bersama Tutut?”
“Oh, itu … nanti deh, aku ke sana dulu, kan aku belum
ke rumah calon mertua aku lagi.”
“Telaat.”
“Telat?”
“Sudah ada orang lain yang memilihku.”
“Oh ya? Kalau begitu mengapa masih marah-marah sama
aku?”
“Habisnya … awalnya aku dibuat jantungan karena
pertama kali yang disebut oleh pak Haryo tuh bukan aku.”
“Siapa?”
“Mas Sarman.”
“Lalu …?”
“Aku berdoa di detik-detik terakhir sebelum akhirnya
Desy memilih aku.”
Danarto terbahak.
“Kata-katamu kok manis banget. Ada detik-detik
terakhir segala.”
“Memang itu yang terjadi.”
“Kamu itu beneran … suka sama Tutut?”
“Kira-kira dia mau nggak ya sama aku? Kejauhan ya
terpautnya umur dia sama aku?”
“Masalah umur itu menurut aku nggak masalah. Ada yang
terpaut belasan tahun juga bisa hidup bahagia kok.”
“Semoga saja ya.”
“Eh, kamu belum menjawab pertanyaan aku.”
“Pertanyaan yang mana?”
“Ya ampuun, aku tadi nanya ke kamu, apa benar kamu
suka sama Tutut?”
“Aku belum pernah merasa seperti ini. Sama mantan
isteri aku juga tidak begini rasanya. Jangan tanya bagaimana, sulit aku
mengatakannya. Pokoknya aku serius ingin melamarnya.”
“Ya sudah, tungguin saja, dan rajin-rajin ngedekatin
serta mengambil hatinya,” kata Danarto sambil berbelok arah, karena ruang
praktek mereka berbeda.
***
Siang itu Danis sudah berdandan rapi. Sudah beberapa
hari dia tidak ketemu Tutut, karena Tutut sedang ujian. Kali ini dengan alasan
membahas laporan tentang gedung dan lain-lain, yang sesungguhnya sudah siap dan
selesai dibicarakan, Danis akan datang kerumah Haryo. Tapi ia harus
memastikan, apakah Tutut sudah ada di rumah atau belum, maka ia akan menelponnya
terlebih dulu.
Tapi sebelum dia mengangkat ponselnya, tiba-tiba
dilihatnya sebuah mobil memasuki halaman. Danis terkejut, karena tahu bahwa
mobil itu adalah mobilnya yang sudah diberikannya kepada bekas isterinya.
***
Besok lagi ya.
Uhuuuyy
ReplyDeleteAyo lgsg baca
DeleteAlhamdulillah.
DeleteSelamat bu Iyeng.
Selamat bu dosen Iyeng Juara 1 pada ADUHAI AH Episode 37.
DeleteAlhamdulillahi.....
DeleteMatur nuwun bu Tien ADUHAI...AH_37 sdh ditayangkan..........
Salam sehat & dan tetap ADUHAI
Alhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun mbak.Tien sayangkuu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMatur suwun bunda Tien ...sehat selalu utk bunda n kel ...
ReplyDeletesalam seroja dr Smg
Asyik sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah... Yg ditunggu2 sudah muncul🙏😘😘😘
ReplyDeleteAlhamdulillah AA37 telah tayang , terima kasih mbak Tien, sehat dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin
ReplyDeleteAlhamdulilah, AA 37 telah tayang matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang salam sehat selalu ya dari Cibubur
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh muncul.
Terima kasih bu Tien
Semoga sehat selalu
Alhamdulillah..
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien..
Semoga sehat dan bahagia selalu
Salam *ADUHAI AH*
Alhamdulillah, suwun Bu Tien....
ReplyDeleteSalam sehat selalu....😊🙏
alhamdulillah
ReplyDelete𝐍𝐚𝐡 𝐚𝐝𝐚 𝐚𝐩𝐚𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐢𝐧𝐢 𝐢𝐬𝐭𝐫𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐃𝐚𝐧𝐢𝐬 𝐤𝐨𝐤 𝐝𝐚𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐫𝐮𝐦𝐚𝐡𝐧𝐲𝐚 ??? 𝐀𝐩𝐚 𝐦𝐬𝐡 𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐬𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢 𝐮𝐫𝐮𝐬𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐜𝐞𝐫𝐚𝐢𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐚𝐝𝐚 𝐦𝐚𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐥𝐚𝐠𝐢...??
ReplyDelete𝐒𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐮𝐭𝐤 𝐁𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚..🙏🙏🙏
Matur nuwun, bu Tien. Salam ADUHAI
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 37 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Terima kasih mbak Tien. Didoakan semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah AA 37 sudah tayang. Matursuwun bu Tien
ReplyDeleteADUHAI... salam sehat selalu
Wah makasih bu Tien.nih langsung baca n ngantuk malam bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 37 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Lah ikut deh deg an nis....
ReplyDeleteTrims Bu tien
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSemakin seru.
Salam hangat dan selalu aduhai
Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteSriani masih muncul lagi apa tidak ya,
Istri Danis apa masih akan berulah ya,
Jawabannya besuk lagi ya...
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Terima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteMatur nuwun Bunda
ReplyDeleteCepete
ReplyDeleteMtr nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteAduhaii Semuanya deh
Salam sehat wa'afiat ya bu Tien,🤗🥰
Alhamdullilah mksih bunda Tien..slm sht sll dan tetap aduhai dri sykabumi🙏🥰
ReplyDeleteSalam ADUHAY AH dari Rewwin......👋
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien AA37 telah tayang..
ReplyDelete