Thursday, June 2, 2022

ADUHAI AH 37

 

ADUHAI AH  37

(Tien Kumalasari)

 

“Kenapa lagi dia?” tanya Desy setelah sampai di rumah sakit.

“Tiba-tiba pingsan begitu turun dari bus, lalu aku langsung membawanya ke rumah sakit,” jawab Sarman yang menunggu di luar ruang IGD.

“Apa yang terjadi. Tadi Mas bilang keadaannya buruk?”

“Saat kami datang, ternyata neneknya Hesti sudah meninggal tiga hari yang lalu. Ketika sedang berada di dalam rumah itu, tiba-tiba bu Sriani muncul. Jadi heboh karena begitu datang dia memaki-maki semua orang.”

“Kenapa memangnya?”

“Tampaknya dia sudah menguras barang-barang berharga milik bu Mintarsih, neneknya Hesti itu. Dan dia sudah punya pegangan kuat untuk menguasai semua hartanya. Hesti ternyata sangat rapuh.”

Lalu Sarman menceritakan semua yang didengarnya dan diketahuinya saat berada di rumah bu Mintarsih. Dikatakannya juga,  Hesti tampak sangat terpukul, dan ketakutan.

Desy menghela napas kesal. Ia kemudian memasuki ruang IGD, mendekati Hesti yang masih terbaring lemah. Wajahnya pucat, tapi dia sudah tersadar. Begitu melihat Desy, tangannya terulur, lalu ditangkap oleh Desy dan digenggamnya erat.

“Aku tak mau harta itu … sungguh aku tak mau …” bisiknya dengan linangan air mata.

“Hesty, baiklah. Tapi kamu tidak perlu ketakutan seperti ini. Kamu tidak sendiri, banyak yang akan membantu kamu,” kata Desy lembut.

“Aku tidak mau harta itu … biarkan dia mengambil semuanya …”

“Itu kita pikirkan nanti. Yang penting kamu harus kuat dan segera sembuh. Masalah harta tidak usah dipikirkan sekarang. Kalau ada yang jahat kepada kamu, serahkan semuanya kepada Allah, nanti Allah akan menunjukkan jalannya, dan memberikan yang terbaik untuk kita.”

“Aku pulang saja Mbak, aku tidak punya banyak uang …”

“Jangan pikirkan masalah uang. Kamu harus tenang.”

“Aku tidak akan kuat membayar biaya rumah sakit ini. Tolong, aku tidak apa-apa.”

“Kamu tidak perlu membayar apapun. Kamu lupa, aku dokter disini?”

“Tapi_”

“Hentikan pikiran yang tidak-tidak. Kalau kamu ingin cepat pulang, maka kamu harus bisa menenangkan hati kamu, menguatkan jiwa kamu, sehingga kamu mampu menghadapi semuanya.”

“Mas Sarman mana?”

“Ada di luar, kamu mau ketemu?”

“Suruh dia pulang. Kasihan, dia kan mau ujian besok?” dalam keadaan kacau, Hesti masih peduli pada Sarman.

“Ya, nanti aku suruh dia pulang. Sekarang kamu tenang ya. Barangkali kamu harus menginap sehari atau dua hari di sini.”

“Tidak, aku tidak mau. Tolonglah, aku mau pulang. Lagi pula hari ini kontrak kost habis, aku belum_”

“Tinggal di rumah aku, biar mas Sarman membawa semua barang-barang kamu ke rumah aku. Sudah disiapkan kamar untuk kamu.”

“Tidak, jangan begitu.”

“Kamu harus menurut.”

“Aku selalu membuat repot semua orang. Aku harus mencari pekerjaan, dan_”

“Nanti aku carikan kamu pekerjaan.”

Mendengar kata-kata itu, wajah Hesti langsung berubah. Matanya menatap Desy tak berkedip.

“Aku bersungguh-sungguh. Tapi syaratnya kamu harus tinggal di rumah aku.”

“Kalau aku sudah bekerja, aku akan membayar sewa kamarnya. Tapi jangan mahal-mahal ya Mbak,” kata Hesti yang sudah mulai merasa tenang. Janji mencarikan pekerjaan membuat kekuatannya muncul.

Desy tersenyum mendengarnya.

“Ya, baiklah. Dan satu lagi, kamu harus tetap kuliah.”

“Apa? Mungkinkah gajiku nanti cukup?”

“Aku carikan pekerjaan yang gajinya bisa mencukupi semua kebutuhan kamu.”

Hesti seperti anak kecil mendapat iming-iming mainan bagus. Wajahnya mendadak berseri, walau sisa air mata masih tampak menghiasi pelupuknya. Memang Desy mengucapkan kata-kata itu untuk membuat Hesti bersemangat.

“Benarkah?”

Desy mengangguk.

“Kamu harus kuat dulu, lalu pulang.”

“Sebenarnya aku sudah tidak apa-apa. Aku mau pulang.”

“Besok pagi kita lihat lagi. Kalau keadaan kamu stabil, pasti boleh pulang. Sekarang harus menginap dulu disini.”

“Tapi_”

“Kalau kamu tidak menurut, aku tidak mau membantu kamu mencari pekerjaan.”

Hesti menyurutkan niatnya yang ngotot ingin pulang. Ia harus menurut. Masalah pekerjaan itu lebih menarik hatinya katimbang berebut harta peninggalan almarhumah neneknya.

***

“Bagaimana keadaannya?” tanya Tutut ketika melihat Desy pulang bersama Sarman.

“Nggak apa-apa. Dia hanya stress berat, tapi sekarang sudah mulai tenang. Besok dia akan pulang kemari.”

“Bagus lah, aku sudah menata kamarnya, tanpa aku, supaya dia bisa lebih enak tidur.”

“Setelah ujian mas Sarman akan membawa semua barang-barang Hesti di tempat kost. Ya kan Mas?” katanya kemudian kepada Sarman.

“Ya, aku sudah memikirkannya,” kata Sarman.

“Sekarang Mas istirahat saja dulu. Jangan terganggu apapun. Tadi ibu sudah berpesan begitu.”

“Baiklah, aku ke kamarku dulu ya,” kata Sarman sambil berlalu.

“Nanti Mbak harus menceritakan semuanya sama aku.”

“Tentang apa?”

“Tentang Hesti, supaya aku tahu permasalahannya, dan bisa bicara yang mungkin akan lebih menenangkan hatinya.”

“Apa kamu mau tidur di kamar aku lagi?”

“Iya lah. Sebentar lagi sudah ada pangeran tampan yang akan membawa tuan puteri ke istananya, aku akan puas-puasin tidur bersama kakak aku yang galak ini.”

“Tuh kan, seenaknya ngatain kakaknya galak.”

“Emang iya. Kalau sama Tutut kan seringnya marah-marah, ngomel.”

“Nyatanya kamu masih suka tidur bersama Mbak.”

“Iya sih, kan aku sayang sama Mbak. Diomelin atau di galakin aku juga mau kok. Nanti kalau Mbak sudah nggak ada lagi di rumah ini, pasti aku kangen sama omelan Mbak.”

Desy tersenyum, lalu merangkul adiknya erat.

“Aku juga sayang sama kamu, biarpun kamu bawel, manja, ngeyel.”

“Tapi aku mau protes nih Mbak.”

“Protes soal apa?”

“Mengapa Mbak mengusulkan aku menjadi pendamping pengantin bersama mas Danis?”

“Memangnya kenapa? Nggak suka?”

“Nggak.”

“Bener, nggak suka?”

“Habis dia tuh nyebelin.”

“Nyebelin apa, kan kamu sering diberi hadiah boneka, dan kamu suka kan?”

“Suka hadiahnya …”

“Nggak suka orangnya?”

“Mbak mau, aku suka sama duda?”

“Apa salahnya kalau dia duda. Dia tuh duda tapi keren. Hatinya juga baik, sama anak manja seperti kamu juga bisa momong. Susah lho mencari cowok yang bisa momong kamu.”

“Iih, memangnya aku anak kecil?”

“Kamu tuh memang seperti anak kecil.”

“Mbak Desy tuuuh…”

“Desy hanya tertawa melihat ulah adiknya. Ia juga tak tahu, apakah Tutut menyukai Danis atau tidak. Sikapnya terkadang baik, terkadang acuh saja. Tapi bahwa tak ada penolakan atas olok-oloknya, Desy bisa menangkap, bahwa walau sedikit, ada rasa suka juga di hati Tutut, entah kapan dia bisa membukakan hatinya, barangkali memang belum saatnya. Jadi kesimpulannya adalah, Danis harus bersabar.

***

Pagi sekali Sarman sudah bangun, mandi dan rapi.  Kemudian mereka sarapan bersama. Lalu Sarman memohon doa kepada kedua orang tuanya, karena dia akan maju ujian hari itu.

“Bapak, saya mohon doanya,” katanya sambil mencium tangan Haryo, yang disambut dengan elusan tangan lembut di kepala Sarman.

“Semoga kamu berhasil, dan menjadi anak yang membanggakan orang tua,” ucapnya pelan.

Sarman terharu, akhirnya tetesan darah laki-laki setengah tua itu dirasakan mengalir dalam sepanjang nadinya. Tak ada dendam, yang tersisa hanyalah cinta kasih yang tulus, yang menyirami hari-harinya dengan kehangatan dan membuatnya merasa memiliki keluarga. 

Lalu Sarman juga mencium jemari Tindy yang selalu merengkuhnya dalam cinta seorang ibu. Benar-benar keluarga yang mengentaskannya dari keprihatinan, menjadikan hidupnya menjadi penuh makna.

“Sukses ya Man, doa ibu selalu untuk kamu,” kata Tindy lembut sambil menepuk-nepuk bahunya.

“Semoga sukses ya Mas, pastilah, kan Mas Sarman pintar,” kata Tutut ketika Sarman menyalaminya.

“Terima kasih ya dik,” kata Sarman sambil tersenyum.

“Ih,. Kok dik sih, biasanya nggak begitu memanggilnya,” Tutut cemberut.

Sarman tertawa. Hampir saja ia terjerumus kedalam lautan cinta yang semula ditujukannya untuk gadis manja ini. Tak tahunya adalah adiknya satu ayah.

“Iya Tut, terima kasih ya.”

“Mas Sarman, sukses ya, kalau sudah lulus segera cari pacar, dan menikah,” doa Desy disertai embel-embel pacar dan menikah, membuat semuanya tertawa.

“Terima kasih ya Des, doakan ada yang mau sama aku,” jawab Sarman sambil tertawa.

“Bawalah mobil bapak Man.”

“Sarman naik sepeda motor saja Pak.”

“Bukankah kata ibumu kamu juga harus membawa barang-barang Hesti dari tempat kost nya?”

“Benar, kalau dengan sepeda motor mana bisa. Sudah, bawa mobil bapak saja, itu kuncinya di meja,” kata Tindy sambil menunjuk ke arah meja.

“Baiklah kalau begitu,” jawab Sarman pada akhirnya.

Keberangkatan Sarman diantarkan sampai ke teras oleh semua penghuni rumah, membuat Sarman terharu.

“Anak laki-laki ku,” bisik Haryo dengan perasaan tak menentu. Ada rasa menyesal telah menelantarkan ibunya, tapi ada bahagia menemukan keberadaan anak kandungnya, dan sekarang  hampir bisa menyelesaikan pendidikannya.

***

Sesampai di rumah sakit, Desy memerlukan menemui Hesti di kamarnya. Ia melihat gadis itu tampak lebih segar dari sebelumnya. Ia bahkan sedang duduk dan menikmati sarapannya.

“Hesti …”

“Maaf Mbak, saya lapar,” katanya tersipu.

“Tidak apa-apa Hesti, memang seharusnya kamu makan banyak. Habiskan.”

“Sudah hampir habis,” kata Hesti sambil menikmati suapan terakhirnya.

“Bagaimana keadaan kamu?”

“Baik Mbak, saya mau pulang.”

“Baiklah, aku akan mengurusnya. Kalau selesai, biar Tutut menjemput kamu.”

“Saya pulang sendiri saja, mau langsung ke rumah kost.”

“Kamu langsung ke rumah ibuku saja. Barang-barang kamu di tempat kost akan diambil mas Sarman.”

“Oh … tapi mas Sarman kan_”

“Setelah ujian akan  diambil semuanya, dia membawa mobil bapak.”

“O, begitu ya.”

“Kamu langsung ke rumah, Tutut sudah menata kamar untuk kamu. Nanti setelah barang-barang kamu diambil, kamu boleh menata sendiri.”

“Terima kasih banyak ya Mbak. Kapan Mbak mencarikan pekerjaan untuk saya?”

“Secepatnya, tapi kamu harus sehat dulu, baru kita bicara tentang pekerjaan.”

“Tapi sungguh kan, saya bisa bekerja?”

“Tentu Hesti. Sekarang aku akan mengabari Tutut dulu supaya menjemput kemari.”

Hesti mengangguk senang. Janji mendapatkan pekerjaan itu amat membuatnya bersemangat. Hanya itu yang dia inginkan untuk menyambung hidupnya.

Desy keluar dari kamar Hesti untuk mulai bertugas.

“Desy!” sebuah panggilan membuatnya berhenti. Ternyata Danarto yang baru datang.

“Ya Mas.”

“Dari mana?

“Hesti masuk rumah sakit, sejak kemarin.”

“Lhoh, bukannya dia ke Surabaya?”

“Sepulang dari Surabaya, dia tiba-tiba pingsan. Mas Sarman membawanya ke rumah sakit.”

“Sakit lagi?”

“Ternyata dia sangat rapuh. Ada hal baru yang membuatnya tertekan, tapi ceritanya nanti saja, aku mau praktek dulu.”

“Baiklah,” kata Danarto kemudian berlalu. Tapi tiba-tiba seseorang menepuk bahunya keras sekali.

“Adduhh!” Danarto mengaduh karena memang merasa sakit. Dibelakangnya, Danis menatapnya sambil terbahak.

“Gila kamu ya, sakit tahu.”

“Aku kesal sama kamu.”

“Aku salah apa?”

“Bukankah aku minta supaya kamu merekomendasikan aku supaya menjadi pendamping bersama Tutut?”

“Oh, itu … nanti deh, aku ke sana dulu, kan aku belum ke rumah calon mertua aku lagi.”

“Telaat.”

“Telat?”

“Sudah ada orang lain yang memilihku.”

“Oh ya? Kalau begitu mengapa masih marah-marah sama aku?”

“Habisnya … awalnya aku dibuat jantungan karena pertama kali yang disebut oleh pak Haryo tuh bukan aku.”

“Siapa?”

“Mas Sarman.”

“Lalu …?”

“Aku berdoa di detik-detik terakhir sebelum akhirnya Desy memilih aku.”

Danarto terbahak.

“Kata-katamu kok manis banget. Ada detik-detik terakhir segala.”

“Memang itu yang terjadi.”

“Kamu itu beneran … suka sama Tutut?”

“Kira-kira dia mau nggak ya sama aku? Kejauhan ya terpautnya umur dia sama aku?”

“Masalah umur itu menurut aku nggak masalah. Ada yang terpaut belasan tahun juga bisa hidup bahagia kok.”

“Semoga saja ya.”

“Eh, kamu belum menjawab pertanyaan aku.”

“Pertanyaan yang mana?”

“Ya ampuun, aku tadi nanya ke kamu, apa benar kamu suka sama Tutut?”

“Aku belum pernah merasa seperti ini. Sama mantan isteri aku juga tidak begini rasanya. Jangan tanya bagaimana, sulit aku mengatakannya. Pokoknya aku serius ingin melamarnya.”

“Ya sudah, tungguin saja, dan rajin-rajin ngedekatin serta mengambil hatinya,” kata Danarto sambil berbelok arah, karena ruang praktek mereka berbeda.

***

Siang itu Danis sudah berdandan rapi. Sudah beberapa hari dia tidak ketemu Tutut, karena Tutut sedang ujian. Kali ini dengan alasan membahas laporan tentang gedung dan lain-lain, yang sesungguhnya sudah siap dan selesai dibicarakan, Danis akan datang kerumah Haryo. Tapi ia harus memastikan, apakah Tutut sudah ada di rumah atau belum, maka ia akan menelponnya terlebih dulu.

Tapi sebelum dia mengangkat ponselnya, tiba-tiba dilihatnya sebuah mobil memasuki halaman. Danis terkejut, karena tahu bahwa mobil itu adalah mobilnya yang sudah diberikannya kepada bekas isterinya.

***

Besok lagi ya.

 

 

36 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah.
      Selamat bu Iyeng.

      Delete
    2. Selamat bu dosen Iyeng Juara 1 pada ADUHAI AH Episode 37.

      Delete
    3. Alhamdulillahi.....
      Matur nuwun bu Tien ADUHAI...AH_37 sdh ditayangkan..........
      Salam sehat & dan tetap ADUHAI

      Delete
  2. Matur suwun bunda Tien ...sehat selalu utk bunda n kel ...

    salam seroja dr Smg

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah... Yg ditunggu2 sudah muncul🙏😘😘😘

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah AA37 telah tayang , terima kasih mbak Tien, sehat dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah, AA 37 telah tayang matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang salam sehat selalu ya dari Cibubur

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh muncul.
    Terima kasih bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah..
    Terima kasih Bu Tien..
    Semoga sehat dan bahagia selalu
    Salam *ADUHAI AH*

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, suwun Bu Tien....
    Salam sehat selalu....😊🙏

    ReplyDelete
  9. 𝐍𝐚𝐡 𝐚𝐝𝐚 𝐚𝐩𝐚𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐢𝐧𝐢 𝐢𝐬𝐭𝐫𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐃𝐚𝐧𝐢𝐬 𝐤𝐨𝐤 𝐝𝐚𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐫𝐮𝐦𝐚𝐡𝐧𝐲𝐚 ??? 𝐀𝐩𝐚 𝐦𝐬𝐡 𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐬𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢 𝐮𝐫𝐮𝐬𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐜𝐞𝐫𝐚𝐢𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐚𝐝𝐚 𝐦𝐚𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐚𝐫𝐮 𝐥𝐚𝐠𝐢...??

    𝐒𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐮𝐭𝐤 𝐁𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚..🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 37 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  11. Terima kasih mbak Tien. Didoakan semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah AA 37 sudah tayang. Matursuwun bu Tien
    ADUHAI... salam sehat selalu

    ReplyDelete
  13. Wah makasih bu Tien.nih langsung baca n ngantuk malam bu Tien

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah ADUHAI-AH 37 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  15. Lah ikut deh deg an nis....
    Trims Bu tien

    ReplyDelete
  16. Makasih mba Tien.
    Semakin seru.
    Salam hangat dan selalu aduhai

    ReplyDelete
  17. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Sriani masih muncul lagi apa tidak ya,
    Istri Danis apa masih akan berulah ya,
    Jawabannya besuk lagi ya...
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Aduhaii Semuanya deh

    Salam sehat wa'afiat ya bu Tien,🤗🥰

    ReplyDelete
  19. Alhamdullilah mksih bunda Tien..slm sht sll dan tetap aduhai dri sykabumi🙏🥰

    ReplyDelete
  20. Salam ADUHAY AH dari Rewwin......👋

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun bunda Tien AA37 telah tayang..

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 31

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  31 (Tien Kumalasari)   Sinah terkejut. Pandangan mata simboknya sangat terasa menghujam di dadanya. Ia tah...