ADUHAI AH 38
(Tien Kumalasari)
Danis masih menggenggam ponselnya karena ingin
menelpon Tutut, tapi terhenti ketika melihat Nungki turun dari mobil dan
berjalan menghampirinya. Wajah Danis gelap seketika.
“Mas …”
“Aku mau pergi, apakah ada hal penting yang ingin kamu
sampaikan?” tanyanya dingin.
“Mas, apa aku tidak boleh duduk dulu barang sebentar?”
“Baiklah, silakan duduk, tidak usah masuk rumah,
karena sekali lagi aku bilang, bahwa aku mau pergi keluar.”
Nungki duduk, wajahnya sendu. Ia datang sendiri, entah
dimana anak semata wayangnya dititipkan.
“Mas, benarkah surat BPKB mobil tidak tertinggal di
sini?” tanyanya pelan.
“Apa maksudmu? Apa kamu lupa bahwa aku telah
menyerahkan semuanya sama kamu?” kata Danis kesal.
“Iya, aku ingat, tapi barangkali aku lupa, dan
tertinggal di sini.”
“Tidak ada milik kamu yang tertinggal. Aku kan sudah
bilang.”
“Oh, nggak ada ya?” wajah Nungki tampak sedih, tapi
Danis tak ingin menanyakan apa penyebabnya.
Nungki masih duduk diam, belum ada tanda-tanda bahwa
dia akan segera pergi.
“Maaf, kalau sudah tidak ada yang ingin kamu katakan
lagi, silakan pergi. Aku mau ada perlu.”
Nungki mengangkat wajahnya yang semula tertunduk. Danis
melihat ada air mata menggenang di sana. Tapi tak ada yang diucapkannya. Ia
malah mengambil ponselnya dan menelpon Tutut.
“Mas, sebenarnya aku mau bicara,” kata Nungki lagi.
“Aku minta maaf Nung, sepertinya diantara kita sudah
tidak ada hubungan apa-apa lagi, dan pastinya tidak akan ada yang bisa kita
bicarakan pula. Jadi aku mohon, jangan lagi menemui aku, atau menghubungi aku.
Maaf, aku sedang menelpon seseorang,” katanya dingin.
“Mas Danis?” suara nyaring dari seberang sana
menyambutnya.
“Ya, syukurlah kamu tidak melupakan suaraku.”
“Ya enggak lah, suara jelek begitu, mana bisa aku lupa<’
ketusnya.
“Haaa, suaraku jelek ya?”
“Emang. Siapa bilang merdu?” ledek Tutut yang membuat
Danis tertawa.
“Kamu di rumah?”
“Iya.”
“Sudah selesai ujiannya?”
“Sudah. Mau ngajakin makan bakso?”
“Oke, siap. Aku samperin ya.”
“Siang-siang begini?”
“Memang siapa yang melarang makan bakso saat siang?”
“Nggak ada sih, Biasanya aku juga makan bakso setiap pulang
kuliah.”
“Kalau begitu jangan protes dong. Tungguin, aku mau ke
situ sekarang.”
“Baiklah,” kata Tutut riang.
Danis menutup ponselnya, dan melihat Nungki sudah
tidak ada lagi di tempat duduknya. Rupanya ketika Danis asyik bertelpon, Nungki
pergi diam-diam.
Danis masuk ke rumah untuk mengambil kunci mobil.
“Ada apa pula, mengapa dia terus menerus menanyakan BPKB
mobil? Pasti hilang entah kemana, tak mungkin juga tertinggal di rumah ini,”
gumamnya sambil mengunci rumahnya.
***
Sarman sudah mengabari ayah ibunya bahwa dia lulus. Sekarang
dia sedang berada di rumah kost Hesti. Ia sudah menemui ibu kost nya, dan mengatakan
bahwa Hesti tidak akan memperpanjang sewa kamarnya, karena dia harus pindah di
tempat saudaranya.
Sarman sudah bersiap membawa kardus-kardus, untuk
tempat pakaian dan barang-barang lainnya, serta buku-buku Hesti. Tak ada yang
tersisa. Ketika ia sedang membawa salah satu kardus itu keluar, tiba-tiba
muncullah Sita.
“Mas Sarman, mau dibawa kemana kardus itu?”
Sarman meletakkan kardus itu di depan pintu.
“Ini baju-baju Hesti, yang masih di dalam,
barang-barang lainnya. Ada sabun cuci, sabun mandi dan semuanya, tak ada yang
tersisa.”
“Hesti tidak meneruskan kontrak kamarnya?”
“Tidak Sita, dia akan tinggal di rumah dokter Desy.”
“Oh, begitu ya? Saya tidak tahu, karena beberapa hari
ini belum ketemu Hesti, dan Hesti belum mengatakan yang sebenarnya.”
“Iya, keluargaku mendesak agar dia mau tinggal di
sana.”
“Sayang sekali ya Mas. Aku jadi sedih,” kata Sita yang
memang benar-benar menampakkan raut muka sedih.
“Mengapa sedih, Hesti kan masih ada di kota ini, dan
setiap saat kalian bisa saja ketemuan.”
“Tapi kan belum tentu bisa ketemu Mas Sarman.” Kata Sita
yang rupanya keceplosan bicara, soalnya dia kemudian menutup mulutnya. Tapi apa
mau dikata, Sarman terlanjur mendengarnya. Pria ganteng itu tersenyum tipis.
“Semoga kita masih akan selalu bertemu,” kata Sarman
sambil kembali mengangkat kardusnya.
Melihat hal itu Sita kemudian membantunya, mengangkat
dari sisi yang berbeda.
“Sudah Sita, biar aku saja.”
“Kalau diangkat berdua kan lebih ringan,” katanya
nekat memegangi sisi kardus, sehingga Sarman harus mengangkat dari sisi yang
lain.
“Enteng kan?” kata Sita lagi.
Sarman tersenyum. Memang sih, lebih ringan, tapi kan
tangan gadis itu seperti sengaja menyentuh tangannya juga.
Oleh karena itu dia buru-buru mengangkat lagi sebuah
kardus yang masih tertinggal di kamar, dan menyisakan satu kardus lagi yang
kecil, dan hanya berisi sabun dan perlengkapan mandi. Ketika Sita mau membantu
mengangkat kardus yang dibawa Sarman, dengan menolehkan kepalanya dia menunjukkan
kepada Sita bahwa masih ada yang harus dibawa.
Sarman sudah menata semua bawaannya di dalam mobil.
“Mas, bolehkah saya ikut?”
“Ikut?”
“Iya, supaya saya tahu dimana Hesti tinggal, sehingga
kalau ingin main ke sana tidak harus bertanya-tanya.”
“O, begitu ya. Baiklah, terserah kamu saja,” akhirnya
kata Sarman.
Sita membalikkan tubuhnya, mengambil tas tangannya dan
mengunci kamarnya, kemudian berlari ke arah mobil Sarman, lalu masuk ke
dalamnya tanpa dipersilakan. Sarman hanya geleng-geleng kepala.
***
“Selamat, anakku, bapak bangga sama kamu,” kata Haryo
sambil memeluk Sarman.
“Selamat Nak, kamu luar biasa, kami semua bangga sama
kamu,” sambung Tindy yang menepuk bahu Sarman dengan hangat.
Dari dalam rumah muncullah Tutut dan Hesti, yang
segera memberi selamat atas keberhasilan Sarman.
“Terima kasih, Bapak, Ibu, dan juga seluruh keluarga
ini, yang telah membimbing saya, menuntun saya, mengasihi saya, sehingga saya menjadi seperti sekarang ini,”
kata Sarman dengan linangan air mata.
“Sekarang kamu punya tugas baru, yaitu mencari isteri,”
kata Haryo sambil tersenyum lebar.
Sarman tersipu.
“Bapak, itu saja yang dikatakan. Biarkan Sarman
bekerja dulu, supaya bisa menghidupi istri Sarman, ya kan Bu.”
“Itu benar Sarman, bekerja dulu, baru cari pacar yang
cocok, yang baik, yang pantas untuk dijadikan istri.
Tiba-tiba semua sadar, bahwa ada orang lain berdiri di
depan teras, tak ada yang memperhatikan karena sibuk dengan kegembiraan mereka.
Hesti yang lebih dulu melihatnya, kemudian berteriak.
“Itu kan Sita?”
“Oh, ya, maaf Sita, hampir lupa kalau aku datang
bersama kamu,” kata Sarman.
“Itu pacar kamu?” Haryo seenaknya saja berteriak.
“Bukan Bapak, itu teman Hesti satu kost,” kata Sarman,
tapi ucapan itu membuat Sita senang. Siapa tahu itu benar, kata batin Sita,
yang kemudian menyalami dan mencium tangan Haryo dan isterinya, lalu menyalami
Tutut. Hesti merangkulnya senang.
“Kok kamu bisa ikut mas Sarman?”
“Aku membantu mas Sarman mengusung barang-barang kamu,”
kata Sita.
“Ya sudah Man, bawa barang-barang Hesti ke kamarnya, nanti
biar Hesti sendiri menatanya. Sudah ada almari di kamar itu, dan juga meja,”
kata Tindy.
“Baiklah Bu, akan saya bawa ke kamarnya sekarang,”
kata Sarman.
Hesti segera menarik Sita ke dalam kamarnya.
“Kamu tidak bilang-bilang bahwa kamu akan pindah kemari,”
tegur Sita sambil duduk ditepi pembaringan.
“Aku kan sakit, lalu sepulang dari Surabaya itu sakit
lagi, jadi tidak sempat ngomong sama kamu. Apalagi aku masih bingung harus
pindah ke mana.”
“Ini rumah yang bagus, dan kamar yang bagus pula. Aku
mana kuat menyewa tempat sebagus ini,” kata Sita.
“Aku tidak menyewa, keluarga ini sangat baik dan
perhatian sama aku, padahal belum lama mereka mengenal aku. Aku justru pernah
melakukan hal buruk pada dokter Desy. Aku merasa telah tersesat, tapi syukurlah kemudian
menemukan jalanku kembali.”
“Syukurlah, aku ikut senang. Semoga kamu kerasan.”
Sementara itu Sarman telah meletakkan ketiga buah
kardus yang berisi barang-barang Hesti di dalam kamar itu, kemudian berlalu.
“Terima kasih banyak mas Sarman,” Hesti berteriak.
Sarman hanya mengangguk dari luar kamar, kemudian
menutupkan pintunya kembali.
“Aku tidak bisa lama di sini, aku belum mandi. Tadi
aku ikut mas Sarman supaya tahu di mana kamu tinggal.”
“Terima kasih sudah memperhatikan aku Sita. Nanti pulangnya
aku antar saja.”
“Tidak Hesti, mana bisa begitu? Kamu kan habis sakit.
Tidak apa-apa aku nanti cari ojol.”
“Jangan, baiklah, aku akan minta mas Sarman agar
mengantarkan kamu.”
“Jangan merepotkan.”
“Mas Sarman orang baik, mana tega dia membiarkan kamu
pulang sendiri.”
Sita tersenyum, senang dong, diantarkan pulang oleh pria
yang dikaguminya.
***
Siang itu Desy dan Danarto sedang makan di sebuah
warung langganan mereka. Desy segera menceritakan keadaan Hesti dan semua yang di
alaminya.
“Keterlaluan sekali bu Sriani. Dia ternyata begitu
jahat.”
“Yang aku heran, dia malah membawa masalah itu ke
pengadilan.”
“Bunuh diri dia.”
“Itulah. Mungkin dia hanya berpegang pada surat yang
ditanda tangani Hesti.”
“Hesti bisa menyangkal kan, bahwa dia melakukannya
karena terpaksa?”
“Yang membuat Sarman kecewa adalah ketika mereka
bertemu, dan Sriani mengatakan bahwa Hesti sudah membaca surat itu lalu
menandatanganinya, ee .. saat ditanya .. bener kan Hesti, Hesti mengangguk.”
“Mengapa mengangguk?”
“Mungkin karena ketakutan. Ketika di rumah sakit
kemarin, dia bilang tak mau harta itu, biar saja kalau ibu tirinya
menginginkannya. Hesti benar-benar terlihat rapuh.”
“Aku heran, dulu dia begitu berani mendekati aku, dan
tampak sangat nekat. Ternyata dia sangat rapuh.”
“Dulu melakukannya karena tekanan ibu tirinya.”
“Iya benar. Sekarang aku jadi kasihan sama dia.”
“Dia terus mengeluh ingin bekerja. Dan aku berharap
dia bisa melanjutkan kuliahnya. Aku punya rencana, setelah kamu membuka praktek
di rumah baru, biarlah dia membantu di sana. Mencatat nama pasien dan sebagainya.
Bagaimana? Kemarin aku mengatakan bahwa akan membantunya mencari pekerjaan, dan
dia sangat bersemangat. Itu pula yang menyebabkan kemudian dia bisa bangkit.”
“Aku setuju saja. Barangkali kita memang membutuhkan
pembantu.”
“Nanti aku bilang sama dia. Dia pasti senang.”
“Ya sudah, ayo kita pulang, ini sudah sore.”
***
Sore itu Tutut memang sedang makan bakso bersama
Danis. Bukan siang seperti tadi dikatakannya, karena Danis masih diajak
berbincang oleh keluarga Haryo sebelum berangkat.
“Aku heran sama Mbak Desy,” kata Tutut.
“Heran? Kenapa?”
“Masa aku harus menjadi pendamping pengantin, malu
aku.”
“Malu sama siapa?”
“Sama orang-orang dong, aku tuh sebenarnya nggak suka
didandanin, pakai kain, pakai kebaya pula.”
“Kamu itu kan orang jawa, apa susah mengenakan pakaian
Jawa?”
“Bukannya susah, ribet. Aku carikan pengganti saja ya?”
Danis terkejut, ia sampai membelalakkan matanya.
“Apa ? Pengganti? Nggak … nggak … nggak. Enak saja.
Aku nggak mau berduaan sama orang lain, aku maunya sama kamu.”
“Mengapa harus sama aku?”
“Ya aku merasa cocoknya sama kamu. Jangan membantah
kata kakak kamu.”
“Ada seorang gadis, cantik lho. Eh, manis, karena
kulitnya agak hitam, temannya Hesti. Cocok lho nanti kalau berduaan sama kamu.”
“Tidak mau. Yang cantik, yang manis, yang hitam atau
putih atau bule sekalian, aku tetap nggak mau. Maunya sama kamu. Titik.”
“Yee, kalau aku nggak mau?”
“Harus mau dong. Dengar Tutut, aku ingin berterus
terang.”
“Soal apa?”
“Soal perasaan aku.”
“Maksudnya apa?”
“Aku tuh cinta sama kamu.”
“Haaaach.” Tutut sampai tersedak mendengar pengakuan
Danis yang berterus terang.
“Eeih… kenapa kamu? Ini, minum dulu, sampai tersedak
begitu,” kata Danis menyesal.
Tutut minum seteguk minumannya.
“Maaf kalau mengejutkan kamu, aku hanya ingin
mengutarakan apa yang ada di dalam hati aku. Tapi aku siap patah hati kok,”
kata Danis sambil mengaduk es buah yang dipesannya, untuk mengobati kelancangannya
karena keceplosan bicara.
“Nggak romantis banget,” gerutu Tutut sambil menyuap
bakso nya.
“Apa?”
“Kamu itu lho Mas, nggak romantis banget. Masa
ngucapin cinta sambil makan bakso. Sering-sering lihat film romantis, gitu
lhoh."
Danis terkejut, dan juga berdebar-debar. Ia mengira
Tutut akan marah.
“Romantis itu yang bagaimana?”
“Bawa bunga … atau apa, lalu berlutut di hadapan aku, baru
mengucapkan cinta,” kata Tutut seenaknya.
“Jadi itu keinginan kamu? Baiklah, pasti akan aku
lakukan.”
“Eh, siapa yang ingin? Aku hanya mencela cara Mas mengucapkan
cinta kok.”
Danis sungguh merasa gemas pada gadis manja itu.
Sungguh tak bisa mengerti apa yang sebenarnya dirasakannya. Barangkali benar
kata Danarto, dia harus bersabar. Paling tidak dia merasa sedikit lega, karena
Tutut tidak marah.
***
Sudah jam sembilan lebih ketika Danis pulang setelah
mengantarkan Tutut. Ia heran ketika ia melihat mobil Nungki terparkir di
halaman rumahnya. Danis ingin memutar balik mobilnya, tapi dilihatnya Nungki
terlanjur melihatnya dan berdiri menyambutnya.
Danis terkejut ketika tiba-tiba Nungki menubruknya sambil menangis.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang
ReplyDeleteSelamat kung Latief Juara 1
Delete.
Terima kasih bu Tien
Salam ADUHAI
Alhamdulillah....
DeleteADUHAI AH_38 sdh tayang.
Terima kasih bunda Tien, salam sehat, tetap semangat.
Sudah dikasih hadiah sama 'si-dia' ... juara satunya.
DeleteAlhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien..
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMatur nuwun Ibu Tien ...
ReplyDeleteWes bu Tien msh sore dah up
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 38 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh muncul.
Terima kasih bu Tien
Semoga sehat selalu
alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdullilah..AA 38 sdh tayang..terima ksih bunda Tien..slmt mlm slmt istrht..salam sayang dan sht sll dri skbmi unk bund🥰😍🌹🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 38 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Mau rujuk ni... setelah menyakiti hati Danis. Sudah punya pengganti kok.
ReplyDeleteBagaimana kabar Sriani... besuk lagi ya...
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteMakasih Bunda
ReplyDeleteLha yg jdi pengiring temantan Denis sm Tutut apa sm Hesti ini bunda Tien..?
ReplyDeletejd agak bingung ini...
tp tetap Matur nuwun AA 38 sdh tayang..
Salam ADUHAI AH...
Alhamdulillah..
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien..
Salam *ADUHAI AH*
matur nuwun bu Tien...Aduhai Ah 38
ReplyDeletesudah tayang....salam aduhai
Terimakasih bunda Tien, salam sehat dan sejahtera selalu.
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien. Sugeng dalu salam sehat selalu
ReplyDeleteHahaha lah mungkin minta Balen ini nis nis mumet ora Kowe
ReplyDeleteTrims Bu tien
Turnuwun Mbak Tien
ReplyDeleteMbak Tien piawai dalam menjaga konflik cerita
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Maaf...ini apa gak salah ya...
ReplyDeleteSore itu Hesti memang sedang makan bakso bersama Danis. Bukan siang seperti tadi ........
............
“Harus mau dong. Dengar Hesti, aku ingin berterus terang.”
Yg bener Hesti apa Tutut...???
Maaf, sudah saya ganti. Matur nuwun kawigatosanipun
DeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Maturnuwun.. Tapi dikit amat bu tien.. Sak ndulit
ReplyDeleteNaaa.. Mgk bener dugaan ku. Mantannya denis, si nungki, menyesal sdh cerai. Krn ternyata pacarnya cuma mau hartanya saja dan nungki br mengetahuinya dan menyesal krn telah bercerai. Ujung2nya nnt minta balikkan sama danis.
ReplyDeleteWaduh ada penampakan Nungki; masih berkutat masalah buku mobil.
ReplyDeleteSayang; namanya terlena kaya judul lagu ndangdut, kenapa ngejar buaya darat;
Noh dimakan pacarmu ..
Léda lédé adol bagus ora urus, diuthuti, woalah nduk.. nggabur angên nganti ngléyang, uwit ratau gêlå kelangan godhong åpå manèh godhong garing, malah ènthèng.
Bisa bisané minggat ngoyak cah ora urus, dijanjeni yå..
mlétho tå, biasané yå ngono, ngetutaké gembus.
Tutut mengajukan pengganti, lebih cakêp dari dia katanya, malah seimbang nggak jauh-jauh selisih umurnya, nah lho.
Muter donk; Danis naksir Tutut, usulan Tutut; Danis sama Sita, Sita sendiri naksir Sarman, Sarman cuma senyum, masih punya pemain yang nongkrong di bangku cadangan.
Desy menjabarkan kronologi kejadian yang dialami Hesti sekalian usul biarkan Hesti sedikit pédé, buat percaya diri lebih, dengan mempekerjakannya di tempat praktek mereka.
Agar bisa kerja dan paginya kuliah.
Nungki mbingungi, bali omahé diomeli ortu, mau balikan sudah tutup pintu.
Mau alasan anak, justru itu anak temon nya Danis.
Kadang hati kalau dilukai susah kalau masalah nya kaya gini, gimana tidak nengok ortu alasannya, ternyata reuni eksklusif ya. iya bener kalau kereta itukan eksekutif ya.
Ngèyèl nya ada urusan bisnis; urusan bisnis sampai rumah dikepung orang kampung, mendekati tengah malem lagi.
Namanya juga mabok. Lupa..
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke tiga puluh delapan sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Jangan terperdaya sama Nungki lagi Danis.
ReplyDeleteMakasih mba Tien