Wednesday, April 27, 2022

ADUHAI AH 09

 

ADUHAI AH  09

(Tien Kumalasari)

 

Haryo masih terbelalak menatap Sarman yang kembali memotong ranting-ranting pohon melati yang menjulur keluar pagar.

“Sarman,” kata Haryo sambil menyentuh bahunya.

Sarman menoleh, setelah melemparkan ranting-ranting itu ke samping, sebelum nanti dibersihkannya.

“Ya,”

“Kamu tadi bicara apa? Kamu mau pergi? Ke mana?”

“Saya kangen ibu saya,” katanya lirih.

“Kamu mau ziarah ke makam ibumu?”

“Saya ingin tinggal di sana untuk beberapa waktu. Ada rumah kecil di sana di mana saya sering menginap.”

“Tapi kamu kan sedang mengerjakan skripsi kamu Man? Apa itu tidak menghambat? Kamu tahu, aku ingin kamu segera bisa menyelesaikan kuliah kamu, lalu mencari pekerjaan, lalu terserah apa yang akan kamu lakukan. Aku akan membantu kamu sampai kamu bisa mandiri, bisa menghidupi diri kamu sendiri, mungkin segera menikah atau bagaimana, aku akan selalu membantu kamu, Man,” kata Haryo dengan suara bergetar.

Sarman sedikit tersentuh. Ia heran bapak angkatnya bisa berkata dengan suara yang begitu mengusik perasaannya, dan bisa mengusir keraguannya atas kasih sayang yang diberikan keluarga itu.

“Bapak tidak perlu khawatir. Saya akan menyelesaikan tugas akhir saya. Di tempat yang lebih bisa menenangkan saya.”

Haryo duduk di sebuah bangku yang terletak di taman itu, sangat dekat dengan Sarman yang sedang membersihkan kebun melati.

“Apa kamu merasa terganggu di rumah ini?”

“Tidak Pak, sama sekali tidak.”

“Mengapa kamu harus pergi?”

“Saya ingin dekat, atau setidaknya ‘merasa’ dekat dengan ibu saya.”

“Bukankah dengan mengirimkan doa kamu bisa merasa lebih dekat? Dan doa itu bisa diucapkan di mana saja, karena Allah berada dimanapun kamu ada.”

“Saya tahu.”

“Jangan pergi Sarman,” pinta Haryo. Sarman heran, kata-kata itu seakan menunjukkan bahwa Haryo sangat menyayanginya dan tak ingin jauh darinya. Tapi Sarman benar-benar ingin menjauh dari rumah itu. Setiap hari melihat Tutut, mendengar suara manjanya, menikmati senyuman manisnya, tapi kemudian mendengar suara yang seakan tak ingin dirinya berdekatan dengannya, membuatnya gelisah. Ia harus pergi, untuk menenangkan diri.

“Kamu mendengar aku kan Man?” kata Haryo lagi ketika melihat Sarman tak menjawab, bahkan kembali sibuk mengumpulkan ranting-ranting tak berguna, lalu membuangnya ke tempat sampah.

“Man !”

Sarman kembali mendekat, lalu mengelesot di tanah, sambil menggunting daun-daun kering yang merusak pemandangan.

“Kamu mendengar aku berkata-kata?”

“Iya Pak, saya mendengarnya.”

“Aku melarang kamu pergi,” kata Haryo tandas.

Sarman menghentikan kegiatannya, menatap Haryo yang sedang memandanginya dengan wajah bersungguh-sungguh.

“Tolonglah Pak.”

“Apa yang membuat kamu tidak nyaman?”

“Saya merasa nyaman. Disini saya diperlakukan seperti keluarga, dan ini membuat saya merasa menjadi ‘orang’.

“Kalau begitu mengapa kamu ingin pergi?”

“Saya … hanya ingin ‘dekat’ dengan ibu saya. Dari sana saya mendapat kekuatan.”

“Kekuatan itu datang dari Allah, Man.”

“Rasa dekat dengan orang tua juga bisa memberikan kekuatan. Tolong ijinkan saya Pak.”

Haryo menahan titik air matanya. Ia tak ingin kehilangan darah dagingnya, tapi ia begitu takut membuka semuanya.

“Apakah kamu akan menjauhi keluarga ini?”

“Saya akan kembali ketika saya berhasil menyelesaikan semuanya, mempersembahkan buah kasih sayang Bapak kepada keluarga ini. Maaf Pak, saya mohon ijinkan saya pergi.”

Hening pagi itu, suasana masih remang, tapi semburat keemasan di ufuk timur menyiratkan cahaya pagi yang akan segera menyelimuti bumi. Haryo berhasil mengeringkan air mata yang semula merebak basah di pelupuknya, sehingga Sarman tak melihatnya.

Dengan alasan yang tidak bisa dimengertinya, akhirnya Haryo dan isterinya melepas kepergian Sarman.

***

“Mas Sarmaaan …” teriak Tutut di pagi hari pada keesokan harinya.

Ia berjalan ke arah kamar Sarman yang tertutup, lalu mengetuknya perlahan.

“Ada apa Tut?”

“Ibu, Tutut tak akan mengganggu mas Sarman terlalu lama, hanya ingin bertanya sesuatu. Ada hal yang tidak saya mengerti di buku ini,” katanya sambil menunjukkan buku yang dibawa.

“Tut, apa mas mu tidak mengatakannya sama kamu?”

“Soal apa?”

“Dia sudah pergi tadi pagi.”

“Ke kampus pagi-pagi? Kok Tutut tidak melihatnya? Apa ada kencan dengan dosen pembimbingnya pagi-pagi sekali?”

“Tidak, dia pergi meninggalkan rumah ini.”

“Meninggalkan rumah ini? Pergi dan tidak akan kembali?” kata Tutut dengan mata membulat.”

“Dia akan kembali, pada suatu hari nanti.”

“Ibu, aku tidak mengerti. Mengapa dia tiba-tiba pergi. Apa Ibu memarahinya? Atau bapak?”

“Tidak. Tidak ada yang memarahinya, bukankah kamu tahu kami semua mengasihinya?”

“Kalau begitu mengapa dia pergi? Bukankah dia sedang mengerjakan tugas akhirnya?”

“Dia akan mengerjakannya, itu janjinya.”

“Aku tidak mengerti.”

“Terkadang seseorang butuh ketenangan.”

“Disini dia merasa tidak tenang? Apakah karena Tutut mengganggunya? Bukankah ibu selalu melarang Tutut mengganggunya, dan Tutut sudah melakukannya?” kata Tutut yang tetap merasa tidak terima atas kepergian Sarman.

“Ketenangan itu bisa saja terganggu oleh sesuatu, tapi jangan mengira bahwa itu karena kamu. Kata bapak, dia bilang ingin dekat dengan ibunya, agar merasa lebih tenang.”

“Bagaimana dengan kuliahnya?”

“Dia tetap akan mengerjakannya.”

Tutut menatap ibunya  curiga. Tak mungkin Sarman pergi tanpa sebab.

“Mengapa menatap Ibu seperti itu?”

“Tutut merasa … pasti ada apa-apa. Tutut tahu, terkadang mas Sarman itu sangat perasa. Pasti ada yang membuatnya tersinggung,” tuduh Tutut.

“Tutut, mengapa kamu berkata begitu? Kamu kan tahu bahwa bapak sama Ibu sangat menyayangi dia?”

“Betul,  tapi mungkin ada ucapan entah siapa yang tanpa sengaja, tapi menyinggung perasaannya.”

“Kamu mengada-ada deh, kata Tindy sambil menjauh.”

Tapi dalam hati Tindy bisa menerima ucapan Tutut. Bisa jadi ada yang membuatnya tersinggung. Apa ya? Apakah dia merasakannya, bahwa dirinya dan suaminya tampak sangat menghalangi kedekatan Sarman dan Tutut? Kalau seperti kata Tutut bahwa Sarman sangat perasa, mungkin sekali iya. Aduh, akhirnya Tindy menyesali keputusan suaminya untuk tidak segera mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi apa mau dikata, semuanya sudah terlanjur.

***

Sepuluh hari di rumah sakit, membuat Danarto merasa tak betah. Ia ingin segera pulang.

“Kamu itu kan dokter, spesialis pula, kok ngeyel mau pulang sebelum tuntas pengobatannya sih Mas?” protes Desy.

“Aku bisa istirahat di rumah.”

“Kalau di rumah kamu pasti mengerjakan banyak pekerjaan. Bersih-bersih rumah, memasak … membuat ini … itu….”

“Aku bisa beli untuk makan.”

“Bagaimana dengan bersih-bersih rumah, menjerang air untuk minum ... O, aku tahu, apakah dia akan melayani kamu di rumah?”

“Dia lagi … dia siapa sih?”

“Aku yakin dia akan dengan suka rela melakukan banyak hal untuk melayani kamu.”

Danarto tertawa. Semakin Desy menampakkan rasa cemburunya, semakin suka dia.

“Kok tertawa sih? Suka ya?”

“Suka.”

“O, gitu, ya sudah, nggak apa-apa besok pulang, kan suka ada yang siap melayani.”

“Bukan suka itu …”

“Bukan?”

“Suka cara kamu cemburu.”

“Ah, ngaco nih,” cemberut Desy.

“Bertahun-tahun aku menunggu kamu, masa iya aku tertarik sama gadis lain yang baru kenal beberapa hari.”

“Ada lho, cinta pada pandangan pertama, dan itu bisa saja terjadi sama kamu.”

“Ah …”

“Nggak boleh ngomong ‘ah’ dong, itu punyaku,” sergah Desy

Dan itu membuat Danarto tertawa keras.

“Ya ampuun, baru saja merasa sehat ketawanya sudah begitu keras.”

“Habis kamu lucu.”

“Mas Danar…” itu suara lain, dari seseorang yang baru saja datang.

“Tuh, baru saja diomongin, orangnya datang,” kata Desy sambil tersenyum.

Wajah Danarto langsung muram.

“Jadi tadi ngomongin aku ya Mas?” kata Hesti yang baru saja datang.

Danarto hanya diam.

“Ini Mas, aku bawakan gorengan, masih anget,” kata Hesti sambil meletakkan bungkusan di meja.

“Gorengan? Gimana sih dik, dokter Danarto belum boleh makan gorengan.”

“Kan sudah hampir sembuh?”

“Belum boleh, jadi nanti bawa saja pulang ke rumah kost dan dibagi sama teman-temannya, ya,” kata Desy masih dengan senyumnya.

“Susah-susah saya membelinya. Sejak pertama kali membeli, merasakan enak, jadi saya beli untuk Mas Danar. Itupun baru tadi ketemu tempatnya, kemarin nyari sampai nyasar dan ponsel hampir hilang,”  terang Hesti tanpa ditanya.

“Kasihan dik, tapi benar, saat ini beliau belum boleh makan makanan kasar.”

“Mas Danar pasti teringat sesuatu ketika mendengar kata gorengan. Ya nggak?”

“Apa maksudnya? Aku nggak suka gorengan walau tidak sedang sakit sekalipun,” kata Danarto pada akhirnya.

“Tidak mengingat sesuatu?”

“Nggak ada.”

“Oh, kirain ingat.”

“Apa sih dik maksud kata-kata itu?”

“Dokter tidak tahu juga?”

“Ya ampun, anak ini, datang-datang membawa teka-teki,” kata Desy yang kemudian berdiri.

“Aku pergi dulu ya,” lanjutnya.

“Nanti dulu, kita belum selesai bicara,” kata Danarto.

“Aku lapar, mau makan dulu.”

“Kalau begitu aku temani,” kata Danarto sambil bangkit.

“Tidaaak, jangan ngeyel.”

Danarto kembali membaringkan tubuhnya.

Hesti sangat kesal, kedatangannya seperti tidak dihiraukan oleh mereka berdua.

“Dokter kalau memang lapar, makan gorengannya itu dulu.”

“Wah, enggak dik. Terima kasih.”

“Ya sudah Mas, aku pulang dulu ya, bener nih gorengannya aku bawa kembali saja?”

“Bawa saja, disini nggak ada yang makan.”

“Baiklah, tapi kapan Mas pulang?”

“Masih lama, belum boleh sama dokter.”

“Mas kan juga dokter?”

“Mana bisa dokter mengobati diri sendiri. Harus ada dokter lain yang merawat. Ya kan Des?" katanya sambil menatap Desy, dan Desy hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Baiklah, aku pulang. Oh ya Mas, mungkin Minggu depan ibu mau datang menemui Mas, semoga saat itu Mas Danar sudah ada di rumah,” kata Hesti kemudian berlalu, setelah mengangguk kepada Desy sekilas, sambil meraih bungkusan gorengan diatas meja.

Desy dan Danarto saling pandang.

“Apa maksudnya dengan gorengan ?” tanya Desy.

“Nggak tahu juga aku, bingung mendengar pertanyaannya.”

“Anak itu terlihat aneh.”

“Aku juga merasa begitu.”

“Benarkah, Mas baru mengenalnya beberapa hari?”

“Mengenal secara dekat … ya, tapi pernah bertemu sekali, saat ibuku meninggal, dia datang bersama ibunya. Aku lupa dong, dia masih gadis kecil yang selalu menggelendot di tubuh ibunya.”

“Begitu dewasa dan bertemu, dia langsung jatuh hati sama Mas.”

“Itu yang aneh.”

“Ya sudah, sekarang aku pamit ya, Danis pasti sudah menunggu aku di kantin.”

“Ya sudah, makanlah, jangan sampai kamu pingsan di sini, aku tak akan kuat menggendongmu.

“Ah …” Desy berlalu sambil meninggalkan senyuman khas nya. Danarto merasa, kali ini Desy tak akan lagi mengingkari perasaannya terhadap dirinya.

***

“Ibu,” sapa Hesti ketika menelpon ibunya.

“Ya, kok tumben kamu menelpon, biasanya nggak pernah sambung kalau bukan ibu yang menelpon.”

“Hesti kesal Bu.”

“Kenapa?”

“Mas Danar kelihatan sudah sangat dekat dengan teman dokternya itu. Di depan mataku pula.”

“Kamu tidak menegur dia?”

“Sungkan Bu.”

“Kamu bilang saja kalau kalian itu sudah dijodohkan.”

“Dulu sudah pernah Hesti hampir mengatakannya, tapi sungkan. Lebih baik Ibu saja yang mengatakannya.”

“Mengapa pakai sungkan, keburu mereka menikah, baru tahu rasa kalian.”

“Ibu kapan datang?”

“Nanti dulu, ini masih banyak urusan.”

“Aku terlanjur bilang bahwa minggu depan Ibu mau datang.”

“Lancang kamu. Ibu belum bisa kalau minggu depan, bulan depan baru bisa.”

“Yaaa, bulan depan, keburu menikah mereka,” kata Hesti menirukan ucapan ibunya.

“Kamu harus sering mendekati dia.”

“Sudah Bu, tapi setiap kali Hesti datang, pasti dokter wanita itu ada.”

“Apa dia masih dirawat?”

“Masih.”

“Bersabar saja. Saat dia sudah boleh pulang, giliran kamu mendekati dia.”

“Tapi ibu segera datang dan bicara ya.”

“Ya, baiklah. Sudah dulu, ini Ibu lagi sibuk mengurusi pesanan.”

Hesti masih merasa kesal ketika ibunya menutup ponselnya. Bayangan kemesraan Danarto dan dokter Desy tak pernah lepas dari ingatannya, membuatnya tak sabar menunggu ibunya datang dan mengatakan tentang perjodohan itu.

***

“Tutut, kamu ikut nggak? Kita semua mau makan diluar,” ajak Haryo malam itu.

“Nggak, Tutut nggak ikut,” kata Tutut tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Berkali-kali ia mencoba menelpon Sarman, tapi tak pernah berhasil. Rupanya ponsel Sarman tak pernah aktif.

“Kalau nggak ikut, kamu sendirian di rumah lho,” sambung ibunya.

“Nggak apa-apa, Tutut sama simbok saja.”

“Simbok ikut,” sela Desy.

“Simbok ikut?”

“Iya, sekali-sekali simbok dibebaskan untuk tidak memasak makan malam kita, dan kita ajak jalan-jalan,” kata Tindy lagi.

“Nggak apa-apa, Tutut lagi malas.”

“Tutut, berhari-hari kamu bersikap seperti itu, ada apa?” tanya Tindy.

“Iya, kalau malam mau tidur biasanya ngoceh dia, tapi beberapa hari ini begitu masuk kamar langsung ngorok,” kata Desy.

“Nggak apa-apa. Tutut lagi kesal dan malas banget,” katanya langsung masuk ke kamar.

Tindy mengikutinya.

“Tutut, katakan ada apa?”

“Tutut kesal karena mas Sarman pergi, pamit kepada semua orang, tapi tidak sama Tutut.”

“Karena itu?”

“Dan Tutut tidak pernah berhasil menghubungi dia,” sungut Tutut.

“Mungkin dia sedang tak mau diganggu.”

“Tidak, pasti ada sesuatu.”

“Kamu mengada-ada.”

“Besok Tutut mau mencarinya ke kampus.”

Tindy terpana.

***

Besok lagi ya.

 

 

45 comments:

  1. Hayo sahabat2 Penggemar Cerbung Tien Kumalasari kunjungi terus noveltoon setiap hari, subscribe dan like SETANGKAI MAWAR BUAT IBU , untuk tambah pundi2 bu Tien.

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah, suwun Bu Tien.....salam sehat selalu,..😊🙏🙏

    ReplyDelete
  3. Aduhaaii .. mtr.nwn mbak Tien .. dr Kota Magelang hadir dan siyap .membaca .. smakin seru

    ReplyDelete
  4. Matur suwun.bunda tien...sehat slalu utk bunda n kel

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bunda Tien...

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah....
    Maturnuwun Bu Tien..

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Terima kasih Ibu Tien
    Semoga sehat selalu
    Salam *ADUHAI AH..*

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah ADUHAI-AH 09 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun mbak Tien-ku, ADUHAI AH sudah tayang.
    Mulai panas udara di rumah Tindy dan juga Danar. Siap saja kipas biar tidak begitu gerah.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  10. Matur nuwun, bu Tien...salam sehat.🙏😀

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah ADUHAI AH EPISODE 09 sudah tayang, mature nuwun mbak Tien.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, suwun bu Tien AA 9 SDh tayang. Salam sehat

    ReplyDelete
  13. Terima kasih bunda Tien. Kasihan Tutut kangen ke Sarman semoga cepat selesai dan Sarman tau bahwa Tutut adiknya.. salam sehat selalu teruntuk bunda Tien.. Aduhai ah tambah asyiik.,

    ReplyDelete
  14. Mbak Tien memang hebat...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah AA 09 sudah tayang, terima kasih mbak Tien.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin

    ReplyDelete
  16. Ada apa nih beberapa kali salah mengetik nama pelakon

    ReplyDelete
  17. Terima kasih banyak mbak tien. Didoakan semoga mbak tien sehat² selalu.

    ReplyDelete
  18. Trima kasih bu Tien,sehat selalu ..makin seru Hestii ngetek aja.

    ReplyDelete
  19. Sama sama keras hati memang kalau sudah berkeinginan kalau belum tercapai ya terus dikejar ..
    Pabriknya sama; limited edition lagi, sama typenya -keras kepala- dah tuh ngaca, ngapain, ya kalau mau tahu aja

    Kecewa berat Wulansih selama mengandung sampai tuh orok bisa maen dan sekolah sendiri, di sobek sobek semua kenangan dibakar,

    la kok ditanyakan Tindy; apa nggak ada cerita atau benda mungkin yang bisa mengenali siapa bapakmu?

    Lha simbok saja sudah bilang -kamu jangan tanya siapa bapakmu tidak akan aku jawab.-
    Ya sudah,
    malah Tindy jadi inget temen² nya yang ribut; berkepala besar maunya, jadi Haryo pamer ganti simcard baru, biar Tindy tidak ngambek, lah dari situ Wulansih mulai nggak bisa menghubungi, ya sudah dibumi hanguskan saja mengapa mengenang yang tak perlu.

    Rumah nya sudah kosong ya kebetulan, ditempati lagi saja walau sendiri, memang dari dulu kan sendiri.

    Mumêt ora kowé.

    Rupanya Dinar menceritakan kalau awalnya mau ngedeketin Desy, si coas cantik rupanya; Danar nempel terus, yaudah mundur teratur saja, dari situlah Desy ngerti kalau Danar benci(bener bener cinta).
    Desy juga berjanji akan mengemukakan merasa menemukan ketenangan bila dekat Danar, ya begitulah Dinar yang jadi juru bicara Danar. Mak comblang; ya enggak tho, mas comblang gitu.

    Lha ini Tutut njethatut mencurigai semua penghuni rumah, yang menjadikan Sarman tidak betah.

    Besok mau hunting di kampusnya Sarman; hanya mau konfirmasi ada apa sebenarnya.
    Kenapa juga tidak berpamitan sama Tutut seorang uh melownya.
    Tapi kalau ada masalah Tutut malah tidur lelap malah sampai ngorok, wow tambah ndut tå yå.
    Biar semua cepat berlalu..



    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang kesembilan sudah tayang,
    Sehat sehatlah selalu doaku,
    jangan dipaksakan kalau memang harus rehat ya Bu,
    sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Walah ikutan salah nutul;
      Danis maksud nya, temen Danar..

      Hé hé hé hé, kesetrum...

      Delete
  20. 𝐀𝐥𝐡𝐚𝐦𝐝𝐮𝐥𝐢𝐥𝐥𝐚𝐡 ...𝐞𝐩𝐬 9 𝐭𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠 . 𝐒𝐞𝐦𝐨𝐠𝐚 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭....𝐀𝐚𝐦𝐢𝐢𝐧 𝐘𝐑𝐀 🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  21. Salem(Boston), Rabu 27 April 2022.
    Terima kasih bunda Tien! Semoga cepat sembuh ya, jangan terlalu cape! Love you bunda, love you all sahabat2 PCTK

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien AAnya
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  23. Bunda Tien mksih y AA 09 nya..yg penting bunda hrd sht y..slmt aduhai dri skbmi🥰🥰

    ReplyDelete
  24. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Tjoekherisubiyandono

    ReplyDelete
  25. Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
    ADUHAI.....

    ReplyDelete
  26. Matur nuwun bunda Tien...

    Semakin ADUHAI AH..

    ReplyDelete

ADA MAKNA 37

  ADA MAKNA  37 (Tien Kumalasari)   Reihan menatap kakaknya tak berkedip. Tak yakin akan apa yang diucapkannya. Tapi sambil tersenyum-senyum...