ADUHAI AH 09
(Tien Kumalasari)
Haryo masih terbelalak menatap Sarman yang kembali
memotong ranting-ranting pohon melati yang menjulur keluar pagar.
“Sarman,” kata Haryo sambil menyentuh bahunya.
Sarman menoleh, setelah melemparkan ranting-ranting
itu ke samping, sebelum nanti dibersihkannya.
“Ya,”
“Kamu tadi bicara apa? Kamu mau pergi? Ke mana?”
“Saya kangen ibu saya,” katanya lirih.
“Kamu mau ziarah ke makam ibumu?”
“Saya ingin tinggal di sana untuk beberapa waktu. Ada
rumah kecil di sana di mana saya sering menginap.”
“Tapi kamu kan sedang mengerjakan skripsi kamu Man?
Apa itu tidak menghambat? Kamu tahu, aku ingin kamu segera bisa menyelesaikan
kuliah kamu, lalu mencari pekerjaan, lalu terserah apa yang akan kamu lakukan.
Aku akan membantu kamu sampai kamu bisa mandiri, bisa menghidupi diri kamu
sendiri, mungkin segera menikah atau bagaimana, aku akan selalu membantu kamu,
Man,” kata Haryo dengan suara bergetar.
Sarman sedikit tersentuh. Ia heran bapak angkatnya
bisa berkata dengan suara yang begitu mengusik perasaannya, dan bisa mengusir
keraguannya atas kasih sayang yang diberikan keluarga itu.
“Bapak tidak perlu khawatir. Saya akan menyelesaikan
tugas akhir saya. Di tempat yang lebih bisa menenangkan saya.”
Haryo duduk di sebuah bangku yang terletak di taman
itu, sangat dekat dengan Sarman yang sedang membersihkan kebun melati.
“Apa kamu merasa terganggu di rumah ini?”
“Tidak Pak, sama sekali tidak.”
“Mengapa kamu harus pergi?”
“Saya ingin dekat, atau setidaknya ‘merasa’ dekat dengan
ibu saya.”
“Bukankah dengan mengirimkan doa kamu bisa merasa
lebih dekat? Dan doa itu bisa diucapkan di mana saja, karena Allah berada
dimanapun kamu ada.”
“Saya tahu.”
“Jangan pergi Sarman,” pinta Haryo. Sarman heran,
kata-kata itu seakan menunjukkan bahwa Haryo sangat menyayanginya dan tak ingin
jauh darinya. Tapi Sarman benar-benar ingin menjauh dari rumah itu. Setiap hari
melihat Tutut, mendengar suara manjanya, menikmati senyuman manisnya, tapi
kemudian mendengar suara yang seakan tak ingin dirinya berdekatan dengannya,
membuatnya gelisah. Ia harus pergi, untuk menenangkan diri.
“Kamu mendengar aku kan Man?” kata Haryo lagi ketika
melihat Sarman tak menjawab, bahkan kembali sibuk mengumpulkan ranting-ranting
tak berguna, lalu membuangnya ke tempat sampah.
“Man !”
Sarman kembali mendekat, lalu mengelesot di tanah,
sambil menggunting daun-daun kering yang merusak pemandangan.
“Kamu mendengar aku berkata-kata?”
“Iya Pak, saya mendengarnya.”
“Aku melarang kamu pergi,” kata Haryo tandas.
Sarman menghentikan kegiatannya, menatap Haryo yang
sedang memandanginya dengan wajah bersungguh-sungguh.
“Tolonglah Pak.”
“Apa yang membuat kamu tidak nyaman?”
“Saya merasa nyaman. Disini saya diperlakukan seperti
keluarga, dan ini membuat saya merasa menjadi ‘orang’.
“Kalau begitu mengapa kamu ingin pergi?”
“Saya … hanya ingin ‘dekat’ dengan ibu saya. Dari sana
saya mendapat kekuatan.”
“Kekuatan itu datang dari Allah, Man.”
“Rasa dekat dengan orang tua juga bisa memberikan
kekuatan. Tolong ijinkan saya Pak.”
Haryo menahan titik air matanya. Ia tak ingin
kehilangan darah dagingnya, tapi ia begitu takut membuka semuanya.
“Apakah kamu akan menjauhi keluarga ini?”
“Saya akan kembali ketika saya berhasil menyelesaikan
semuanya, mempersembahkan buah kasih sayang Bapak kepada keluarga ini. Maaf
Pak, saya mohon ijinkan saya pergi.”
Hening pagi itu, suasana masih remang, tapi semburat
keemasan di ufuk timur menyiratkan cahaya pagi yang akan segera menyelimuti
bumi. Haryo berhasil mengeringkan air mata yang semula merebak basah di
pelupuknya, sehingga Sarman tak melihatnya.
Dengan alasan yang tidak bisa dimengertinya, akhirnya
Haryo dan isterinya melepas kepergian Sarman.
***
“Mas Sarmaaan …” teriak Tutut di pagi hari pada keesokan
harinya.
Ia berjalan ke arah kamar Sarman yang tertutup, lalu
mengetuknya perlahan.
“Ada apa Tut?”
“Ibu, Tutut tak akan mengganggu mas Sarman terlalu
lama, hanya ingin bertanya sesuatu. Ada hal yang tidak saya mengerti di buku
ini,” katanya sambil menunjukkan buku yang dibawa.
“Tut, apa mas mu tidak mengatakannya sama kamu?”
“Soal apa?”
“Dia sudah pergi tadi pagi.”
“Ke kampus pagi-pagi? Kok Tutut tidak melihatnya? Apa
ada kencan dengan dosen pembimbingnya pagi-pagi sekali?”
“Tidak, dia pergi meninggalkan rumah ini.”
“Meninggalkan rumah ini? Pergi dan tidak akan
kembali?” kata Tutut dengan mata membulat.”
“Dia akan kembali, pada suatu hari nanti.”
“Ibu, aku tidak mengerti. Mengapa dia tiba-tiba pergi.
Apa Ibu memarahinya? Atau bapak?”
“Tidak. Tidak ada yang memarahinya, bukankah kamu tahu
kami semua mengasihinya?”
“Kalau begitu mengapa dia pergi? Bukankah dia sedang
mengerjakan tugas akhirnya?”
“Dia akan mengerjakannya, itu janjinya.”
“Aku tidak mengerti.”
“Terkadang seseorang butuh ketenangan.”
“Disini dia merasa tidak tenang? Apakah karena Tutut
mengganggunya? Bukankah ibu selalu melarang Tutut mengganggunya, dan Tutut
sudah melakukannya?” kata Tutut yang tetap merasa tidak terima atas kepergian
Sarman.
“Ketenangan itu bisa saja terganggu oleh sesuatu, tapi jangan mengira bahwa itu karena kamu. Kata
bapak, dia bilang ingin dekat dengan ibunya, agar merasa lebih tenang.”
“Bagaimana dengan kuliahnya?”
“Dia tetap akan mengerjakannya.”
Tutut menatap ibunya curiga. Tak mungkin Sarman
pergi tanpa sebab.
“Mengapa menatap Ibu seperti itu?”
“Tutut merasa … pasti ada apa-apa. Tutut tahu,
terkadang mas Sarman itu sangat perasa. Pasti ada yang membuatnya tersinggung,”
tuduh Tutut.
“Tutut, mengapa kamu berkata begitu? Kamu kan tahu
bahwa bapak sama Ibu sangat menyayangi dia?”
“Betul, tapi
mungkin ada ucapan entah siapa yang tanpa sengaja, tapi menyinggung
perasaannya.”
“Kamu mengada-ada deh, kata Tindy sambil menjauh.”
Tapi dalam hati Tindy bisa menerima ucapan Tutut. Bisa
jadi ada yang membuatnya tersinggung. Apa ya? Apakah dia merasakannya, bahwa
dirinya dan suaminya tampak sangat menghalangi kedekatan Sarman dan Tutut? Kalau
seperti kata Tutut bahwa Sarman sangat perasa, mungkin sekali iya. Aduh,
akhirnya Tindy menyesali keputusan suaminya untuk tidak segera mengatakan hal
yang sebenarnya. Tapi apa mau dikata, semuanya sudah terlanjur.
***
Sepuluh hari di rumah sakit, membuat Danarto merasa
tak betah. Ia ingin segera pulang.
“Kamu itu kan dokter, spesialis pula, kok ngeyel mau
pulang sebelum tuntas pengobatannya sih Mas?” protes Desy.
“Aku bisa istirahat di rumah.”
“Kalau di rumah kamu pasti mengerjakan banyak
pekerjaan. Bersih-bersih rumah, memasak … membuat ini … itu….”
“Aku bisa beli untuk makan.”
“Bagaimana dengan bersih-bersih rumah, menjerang air
untuk minum ... O, aku tahu, apakah dia akan melayani kamu di rumah?”
“Dia lagi … dia siapa sih?”
“Aku yakin dia akan dengan suka rela melakukan banyak
hal untuk melayani kamu.”
Danarto tertawa. Semakin Desy menampakkan rasa
cemburunya, semakin suka dia.
“Kok tertawa sih? Suka ya?”
“Suka.”
“O, gitu, ya sudah, nggak apa-apa besok pulang, kan
suka ada yang siap melayani.”
“Bukan suka itu …”
“Bukan?”
“Suka cara kamu cemburu.”
“Ah, ngaco nih,” cemberut Desy.
“Bertahun-tahun aku menunggu kamu, masa iya aku
tertarik sama gadis lain yang baru kenal beberapa hari.”
“Ada lho, cinta pada pandangan pertama, dan itu bisa
saja terjadi sama kamu.”
“Ah …”
“Nggak boleh ngomong ‘ah’ dong, itu punyaku,” sergah Desy
Dan itu membuat Danarto tertawa keras.
“Ya ampuun, baru saja merasa sehat ketawanya sudah
begitu keras.”
“Habis kamu lucu.”
“Mas Danar…” itu suara lain, dari seseorang yang baru
saja datang.
“Tuh, baru saja diomongin, orangnya datang,” kata Desy
sambil tersenyum.
Wajah Danarto langsung muram.
“Jadi tadi ngomongin aku ya Mas?” kata Hesti yang baru
saja datang.
Danarto hanya diam.
“Ini Mas, aku bawakan gorengan, masih anget,” kata
Hesti sambil meletakkan bungkusan di meja.
“Gorengan? Gimana sih dik, dokter Danarto belum boleh
makan gorengan.”
“Kan sudah hampir sembuh?”
“Belum boleh, jadi nanti bawa saja pulang ke rumah
kost dan dibagi sama teman-temannya, ya,” kata Desy masih dengan senyumnya.
“Susah-susah saya membelinya. Sejak pertama kali
membeli, merasakan enak, jadi saya beli untuk Mas Danar. Itupun baru tadi
ketemu tempatnya, kemarin nyari sampai nyasar dan ponsel hampir hilang,” terang Hesti
tanpa ditanya.
“Kasihan dik, tapi benar, saat ini beliau belum boleh
makan makanan kasar.”
“Mas Danar pasti teringat sesuatu ketika mendengar
kata gorengan. Ya nggak?”
“Apa maksudnya? Aku nggak suka gorengan walau tidak
sedang sakit sekalipun,” kata Danarto pada akhirnya.
“Tidak mengingat sesuatu?”
“Nggak ada.”
“Oh, kirain ingat.”
“Apa sih dik maksud kata-kata itu?”
“Dokter tidak tahu juga?”
“Ya ampun, anak ini, datang-datang membawa teka-teki,”
kata Desy yang kemudian berdiri.
“Aku pergi dulu ya,” lanjutnya.
“Nanti dulu, kita belum selesai bicara,” kata Danarto.
“Aku lapar, mau makan dulu.”
“Kalau begitu aku temani,” kata Danarto sambil
bangkit.
“Tidaaak, jangan ngeyel.”
Danarto kembali membaringkan tubuhnya.
Hesti sangat kesal, kedatangannya seperti tidak
dihiraukan oleh mereka berdua.
“Dokter kalau memang lapar, makan gorengannya itu
dulu.”
“Wah, enggak dik. Terima kasih.”
“Ya sudah Mas, aku pulang dulu ya, bener nih
gorengannya aku bawa kembali saja?”
“Bawa saja, disini nggak ada yang makan.”
“Baiklah, tapi kapan Mas pulang?”
“Masih lama, belum boleh sama dokter.”
“Mas kan juga dokter?”
“Mana bisa dokter mengobati diri sendiri. Harus ada
dokter lain yang merawat. Ya kan Des?" katanya sambil menatap Desy, dan Desy hanya
mengangguk sambil tersenyum.
“Baiklah, aku pulang. Oh ya Mas, mungkin Minggu depan
ibu mau datang menemui Mas, semoga saat itu Mas Danar sudah ada di rumah,” kata
Hesti kemudian berlalu, setelah mengangguk kepada Desy sekilas, sambil meraih
bungkusan gorengan diatas meja.
Desy dan Danarto saling pandang.
“Apa maksudnya dengan gorengan ?” tanya Desy.
“Nggak tahu juga aku, bingung mendengar pertanyaannya.”
“Anak itu terlihat aneh.”
“Aku juga merasa begitu.”
“Benarkah, Mas baru mengenalnya beberapa hari?”
“Mengenal secara dekat … ya, tapi pernah bertemu
sekali, saat ibuku meninggal, dia datang bersama ibunya. Aku lupa dong, dia
masih gadis kecil yang selalu menggelendot di tubuh ibunya.”
“Begitu dewasa dan bertemu, dia langsung jatuh hati
sama Mas.”
“Itu yang aneh.”
“Ya sudah, sekarang aku pamit ya, Danis pasti sudah
menunggu aku di kantin.”
“Ya sudah, makanlah, jangan sampai kamu pingsan di
sini, aku tak akan kuat menggendongmu.
“Ah …” Desy berlalu sambil meninggalkan senyuman khas
nya. Danarto merasa, kali ini Desy tak akan lagi mengingkari perasaannya
terhadap dirinya.
***
“Ibu,” sapa Hesti ketika menelpon ibunya.
“Ya, kok tumben kamu menelpon, biasanya nggak pernah
sambung kalau bukan ibu yang menelpon.”
“Hesti kesal Bu.”
“Kenapa?”
“Mas Danar kelihatan sudah sangat dekat dengan teman
dokternya itu. Di depan mataku pula.”
“Kamu tidak menegur dia?”
“Sungkan Bu.”
“Kamu bilang saja kalau kalian itu sudah dijodohkan.”
“Dulu sudah pernah Hesti hampir mengatakannya, tapi
sungkan. Lebih baik Ibu saja yang mengatakannya.”
“Mengapa pakai sungkan, keburu mereka menikah, baru
tahu rasa kalian.”
“Ibu kapan datang?”
“Nanti dulu, ini masih banyak urusan.”
“Aku terlanjur bilang bahwa minggu depan Ibu mau
datang.”
“Lancang kamu. Ibu belum bisa kalau minggu depan,
bulan depan baru bisa.”
“Yaaa, bulan depan, keburu menikah mereka,” kata Hesti
menirukan ucapan ibunya.
“Kamu harus sering mendekati dia.”
“Sudah Bu, tapi setiap kali Hesti datang, pasti dokter
wanita itu ada.”
“Apa dia masih dirawat?”
“Masih.”
“Bersabar saja. Saat dia sudah boleh pulang, giliran
kamu mendekati dia.”
“Tapi ibu segera datang dan bicara ya.”
“Ya, baiklah. Sudah dulu, ini Ibu lagi sibuk mengurusi
pesanan.”
Hesti masih merasa kesal ketika ibunya menutup
ponselnya. Bayangan kemesraan Danarto dan dokter Desy tak pernah lepas dari
ingatannya, membuatnya tak sabar menunggu ibunya datang dan mengatakan tentang
perjodohan itu.
***
“Tutut, kamu ikut nggak? Kita semua mau makan diluar,”
ajak Haryo malam itu.
“Nggak, Tutut nggak ikut,” kata Tutut tanpa mengalihkan
pandangannya dari ponselnya. Berkali-kali ia mencoba menelpon Sarman, tapi tak
pernah berhasil. Rupanya ponsel Sarman tak pernah aktif.
“Kalau nggak ikut, kamu sendirian di rumah lho,”
sambung ibunya.
“Nggak apa-apa, Tutut sama simbok saja.”
“Simbok ikut,” sela Desy.
“Simbok ikut?”
“Iya, sekali-sekali simbok dibebaskan untuk tidak
memasak makan malam kita, dan kita ajak jalan-jalan,” kata Tindy lagi.
“Nggak apa-apa, Tutut lagi malas.”
“Tutut, berhari-hari kamu bersikap seperti itu, ada
apa?” tanya Tindy.
“Iya, kalau malam mau tidur biasanya ngoceh dia, tapi
beberapa hari ini begitu masuk kamar langsung ngorok,” kata Desy.
“Nggak apa-apa. Tutut lagi kesal dan malas banget,”
katanya langsung masuk ke kamar.
Tindy mengikutinya.
“Tutut, katakan ada apa?”
“Tutut kesal karena mas Sarman pergi, pamit kepada
semua orang, tapi tidak sama Tutut.”
“Karena itu?”
“Dan Tutut tidak pernah berhasil menghubungi dia,”
sungut Tutut.
“Mungkin dia sedang tak mau diganggu.”
“Tidak, pasti ada sesuatu.”
“Kamu mengada-ada.”
“Besok Tutut mau mencarinya ke kampus.”
Tindy terpana.
***
Besok lagi ya.
Terima kasih
ReplyDeleteAlhamdulillah
DeleteHebat mbk Yati Juara 1
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteHayo sahabat2 Penggemar Cerbung Tien Kumalasari kunjungi terus noveltoon setiap hari, subscribe dan like SETANGKAI MAWAR BUAT IBU , untuk tambah pundi2 bu Tien.
ReplyDeleteMakasih Bunda
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, suwun Bu Tien.....salam sehat selalu,..😊🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAduhaaii .. mtr.nwn mbak Tien .. dr Kota Magelang hadir dan siyap .membaca .. smakin seru
ReplyDeleteMatur suwun.bunda tien...sehat slalu utk bunda n kel
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda Tien...
Alhamdulillah....
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien..
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Ibu Tien
Semoga sehat selalu
Salam *ADUHAI AH..*
alhamdulillah..
ReplyDeletematurnuwun
Alhamdulillah ADUHAI-AH 09 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku, ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteMulai panas udara di rumah Tindy dan juga Danar. Siap saja kipas biar tidak begitu gerah.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Matur nuwun, bu Tien...salam sehat.🙏😀
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH EPISODE 09 sudah tayang, mature nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Alhamdulillah, suwun bu Tien AA 9 SDh tayang. Salam sehat
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien. Kasihan Tutut kangen ke Sarman semoga cepat selesai dan Sarman tau bahwa Tutut adiknya.. salam sehat selalu teruntuk bunda Tien.. Aduhai ah tambah asyiik.,
ReplyDeleteMbak Tien memang hebat...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah AA 09 sudah tayang, terima kasih mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin
Ada apa nih beberapa kali salah mengetik nama pelakon
ReplyDeleteMa'af, sebenarnya saya kurang sehat
DeleteTerima kasih banyak mbak tien. Didoakan semoga mbak tien sehat² selalu.
ReplyDeleteWaduh tutut patah hati
ReplyDeleteTrima kasih bu Tien,sehat selalu ..makin seru Hestii ngetek aja.
ReplyDeleteSama sama keras hati memang kalau sudah berkeinginan kalau belum tercapai ya terus dikejar ..
ReplyDeletePabriknya sama; limited edition lagi, sama typenya -keras kepala- dah tuh ngaca, ngapain, ya kalau mau tahu aja
Kecewa berat Wulansih selama mengandung sampai tuh orok bisa maen dan sekolah sendiri, di sobek sobek semua kenangan dibakar,
la kok ditanyakan Tindy; apa nggak ada cerita atau benda mungkin yang bisa mengenali siapa bapakmu?
Lha simbok saja sudah bilang -kamu jangan tanya siapa bapakmu tidak akan aku jawab.-
Ya sudah,
malah Tindy jadi inget temen² nya yang ribut; berkepala besar maunya, jadi Haryo pamer ganti simcard baru, biar Tindy tidak ngambek, lah dari situ Wulansih mulai nggak bisa menghubungi, ya sudah dibumi hanguskan saja mengapa mengenang yang tak perlu.
Rumah nya sudah kosong ya kebetulan, ditempati lagi saja walau sendiri, memang dari dulu kan sendiri.
Mumêt ora kowé.
Rupanya Dinar menceritakan kalau awalnya mau ngedeketin Desy, si coas cantik rupanya; Danar nempel terus, yaudah mundur teratur saja, dari situlah Desy ngerti kalau Danar benci(bener bener cinta).
Desy juga berjanji akan mengemukakan merasa menemukan ketenangan bila dekat Danar, ya begitulah Dinar yang jadi juru bicara Danar. Mak comblang; ya enggak tho, mas comblang gitu.
Lha ini Tutut njethatut mencurigai semua penghuni rumah, yang menjadikan Sarman tidak betah.
Besok mau hunting di kampusnya Sarman; hanya mau konfirmasi ada apa sebenarnya.
Kenapa juga tidak berpamitan sama Tutut seorang uh melownya.
Tapi kalau ada masalah Tutut malah tidur lelap malah sampai ngorok, wow tambah ndut tå yå.
Biar semua cepat berlalu..
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang kesembilan sudah tayang,
Sehat sehatlah selalu doaku,
jangan dipaksakan kalau memang harus rehat ya Bu,
sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
DINAR ki sapa Nang?
DeleteWalah ikutan salah nutul;
DeleteDanis maksud nya, temen Danar..
Hé hé hé hé, kesetrum...
𝐀𝐥𝐡𝐚𝐦𝐝𝐮𝐥𝐢𝐥𝐥𝐚𝐡 ...𝐞𝐩𝐬 9 𝐭𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠 . 𝐒𝐞𝐦𝐨𝐠𝐚 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭....𝐀𝐚𝐦𝐢𝐢𝐧 𝐘𝐑𝐀 🙏🙏🙏
ReplyDeleteSalem(Boston), Rabu 27 April 2022.
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien! Semoga cepat sembuh ya, jangan terlalu cape! Love you bunda, love you all sahabat2 PCTK
Horeee.. akhirnya bisa..
DeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien AAnya
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Terimakasih bu Tien 🙏
ReplyDeleteMakasih mba Tien
ReplyDeleteTrims Bu Tien AA udah hadir
ReplyDeleteTambah seru ajah. Sehat2 bu Tien
ReplyDeleteBunda Tien mksih y AA 09 nya..yg penting bunda hrd sht y..slmt aduhai dri skbmi🥰🥰
ReplyDeleteHallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Tjoekherisubiyandono
Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....
Matur nuwun bunda Tien...
ReplyDeleteSemakin ADUHAI AH..