HANYA BAYANG-BAYANG 10
(Tien Kumalasari)
Tuan Sanjoyo meletakkan kembali ponsel Priyadi sambil tersenyum. Ia membatin, rupanya Priyadi punya kekasih? Mana tahu sang tuan siapa yang dianggap kekasih oleh Priyadi. Ia tenang karena tak punya pikiran apa-apa, sampai kemudian Priyadi kembali sambil membawa obat gosok pesanan sang majikan.
“Ponselmu berdering berkali-kali.” kata tuan Sanjoyo setelah mobilnya berjalan.
“Oh, iya. Benarkah?”
“Iya, aku tadi mengambil ponselmu, ternyata kamu punya pacar?”
“Apa?” Priyadi terkejut.
Tuan Sanjoyo tertawa melihat wajah Priyadi yang tiba-tiba berubah.
“Mengapa kamu ini? Wajar saja kalau kamu punya kekasih. Kamu masih muda, belum bisa dibilang tua, jadi semangat untuk memiliki kekasih itu wajar. Tidak usah takut.”
“Tap … pi … Tuan … mengapa Tuan …”
“Aku kan bilang tadi sempat mengambil ponselmu, jangan khawatir, aku tidak membukanya, hanya melihat siapa pengirimnya, barangkali dari nyonya yang ingin memesan sesuatu. Tapi aku membaca namanya di situ, ‘sayangku’. Romantis sekali kamu,” kata tuan Sanjoyo sambil tersenyum.
“Oh, itu … “ wajah Priyadi sudah pucat pasi.
“Tidak apa-apa Pri, aku tidak akan marah kok. Atau kamu ingin menelponnya dulu, barangkali kekasihmu itu membutuhkan sesuatu, dan itu sangat penting.”
“Tidak, Tuan. Sebenarnya … itu telpon dari Nilam, anak saya.”
“Oh, dari Nilam? Maka kamu tuliskan namanya dengan sayangku, begitu? Mengapa tidak namanya saja?”
“Tidak … tuan, begitu bahagianya saya karena mendapatkan anak saya kembali, jadi saya tuliskan namanya dengan … itu … “ jawab Priyadi yang tiba-tiba sudah menemukan kalimat untuk berdalih.
“Oh, begitu. Aku pikir kamu punya pacar. Tapi kalau memang kamu punya pacar juga tidak apa-apa Pri, kamu masih belum bisa dibilang tua. Masih sehat dan gagah. Carilah istri, supaya kamu tidak kesepian.”
Priyadi menelan ludah. Begitu perhatian tuan majikan ini kepada dirinya, tapi dengan tega dia mengkhianatinya.
Tiba-tiba ponselnya berdering lagi. Kembali dari ‘sayangku’.
“Angkatlah, siapa tahu ada yang penting.”
Priyadi mengangkatnya.
“Mas, kenapa belum pulang?”
“Iya … iya, sabar. Ini sedang dalam perjalanan mengantarkan tuan Sanjoyo, nanti aku akan segera pulang.”
Priyadi segera menutup ponselnya.
“Dari Nilam?”
“Iya Tuan, dia tidak betah sendirian di rumah.”
“Jangan lupa besok ajak dia ke kantor, supaya dia segera punya kesibukan.”
“Baik, Tuan.”
***
Sore hari itu, dengan alasan sang anak menunggu, Priyadi cepat-cepat mohon pamit. Dan tentu saja tuan Sanjoyo mengijinkannya.
Ketika duduk berdua dengan istrinya, tuan Sanjoyo tersenyum-senyum sendiri.
“Ada apa Mas, kok seperti sedang mengingat-ingat hal yang lucu?”
“Iya, memang lucu. Tadi itu ketika berhenti di sebuah apotek, aku suruh Priyadi turun untuk membeli obat gosok, tiba-tiba ponselnya berdering. Aku melihat ponsel itu untuk mengetahui siapa yang menelpon. Takutnya kamu sedang berpesan sesuatu, ternyata panggilan itu dari ‘sayangku'."
“Dari sayangku bagaimana maksud Mas?”
“Priyadi menamakan seseorang dengan sayangku. Aku berpikir, Priyadi rupanya punya pacar.”
Wajah Srikanti langsung berubah. Siapa sayangku yang ada di ponsel Priyadi?
“Ternyata, setelah aku tanya, yang diberi nama ‘sayangku’ itu adalah Nilam, anaknya sendiri. Aku jadi tertawa geli.”
“Mengapa tidak ditulis namanya saja, mengapa ditulis ‘sayangku’?”
“Ketika aku bertanya, karena begitu senangnya Priyadi karena anaknya datang kembali untuknya, maka dia tidak menuliskan nama Nilam.”
“O … Benarkah itu Nilam?”
“Iya. Tak berapa lama dia menelpon lagi, dan ternyata memang itu dari Nilam.”
”Kekanak-kanakan,” omel Srikanti. Bagaimanapun dia sempat kaget, mengira Priyadi memiliki kekasih lain.
“Tapi aku kemudian berpikiran begini Sri. Priyadi itu masih muda. Bukan sangat muda, tapi dia masih kuat, gagah, wajahnya juga tidak mengecewakan. Ada baiknya dia punya kekasih, lalu dijadikan istri, dan_”
“Tidak. Mengapa Mas bisa berpikiran begitu?”
“Memangnya kenapa Sri. Laki-laki seusia dia masih membutuhkan wanita untuk mendampinginya.”
“Tidak. Aku tidak setuju. Priyadi itu sudah mengabdi di sini sampai puluhan tahun. Kalau kita mencari sopir lagi, belum tentu cocok dan belum tentu sebaik dia. Bagaimana Mas ini, apa tidak rugi kalau kita kehilangan Priyadi?”
“Sri, kamu jangan hanya memikirkan diri kamu sendiri, atau keluarga ini. Memang dia sangat kita butuhkan, tapi dia itu juga manusia. Dia butuh kelengkapan dalam hidupnya, seperti juga aku. Waktu itu aku sendirian, sakit-sakitan, lalu ada kamu, yang kemudian bisa melayani aku, lalu aku jadikan kamu istriku. Dan karena itu hidupku menjadi lengkap. Bagi Priyadi, itu hal yang sama. Dia pasti menginginkan wanita dalam hidupnya. Masa dia menjalani kehidupan dalam kesepian. Kasihan dong Sri.”
“Mengapa kita tiba-tiba peduli pada orang lain? Priyadi suka menjalaninya, mengapa Mas memikirkan sampai sejauh itu? Kalau dia butuh, pasti dia juga mengatakannya.”
“Mungkin dia ingin mengatakan, tapi takut. Coba besok aku tanya dia.”
“Mas itu ada-ada saja,” kata Srikanti yang kemudian beranjak masuk ke dalam rumah. Barangkali risih mendengar Priyadi disuruh mencari jodoh.
“Ke mana Sri?”
“Melihat ke belakang, bibik sudah siap menata makan malam atau belum,” katanya sambil menjauh.
***
Priyadi sudah sampai di rumah. Nilam sedang berbaring di ranjang.
“Wah, hampir saja aku ketahuan.”
“Ketahuan apa sih?”
“Ketika kamu menelpon, aku beri nama kamu dengan ‘sayangku’ dan itu terbaca oleh tuan Sanjoyo.”
“Kamu dimarahi?”
“Bukan dimarahi, aku bilang kalau yang aku maksud itu adalah kamu.”
“Kamu bukan menamainya dengan namaku?”
“Tidak, kan aku sayang sama kamu.”
“Hm, kalau sayang, mengapa hampir malam baru sampai rumah?”
“Kamu kan tahu, aku tuh sopir kantor, merangkap sopir pribadi. Jadi sore tadi aku baru menjemput tuan di kantor, karena nyonya menyuruh aku mengantarkan ke mana-mana.”
“Paling suka kalau mengantarkan nyonya kan?”
“Nilam, kamu tidak boleh cemburu. Aku dekat sama Srikanti itu kan karena uangnya. Bukan karena cinta. Sedangkan yang aku cintai itu hanya kamu. Apa semua yang aku berikan untuk kamu itu tidak cukup membuktikan rasa cinta aku sama kamu?”
“Tapi janji ya, kalau kita sudah kaya, kamu harus meninggalkan nyonya genit itu?”
“Iya, percayalah. Sekarang ini kami sedang membangun rumah. Dan rumah itu atas nama aku lhoh. Perempuan bodoh itu aku porotin sampai habis-habisan nanti.”
“Kalau rumahnya jadi, kita bisa tinggal di situ kan?”
“Iya. Bertiga.”
“Kok bertiga?”
"Srikanti juga berhak atas rumah itu, dia juga setiap hari akan ada di rumah itu, kecuali kalau malam. Suaminya kan juga butuh didampingi oleh dia.”
“Tapi walau bagaimanapun, dia itu membuat aku cemburu lhoh Mas.”
“Mengapa kamu cemburu pada perempuan tua seperti Srikanti? Kamu tak ada bandingnya daripada dia.”
Dan pintarnya Priyadi merayu, memang meredakan rasa kesal Nilam karena merasa terlalu lama ditinggalkan sendirian.
“Ini hari terakhir kamu sendirian. Besok kamu akan ikut aku, karena tuan Sanjoyo ingin bertemu. Pastinya kamu akan diterima bekerja di kantornya.”
“Benarkah? Senang sekali aku Mas. Jadi kita bisa berangkat bersama dan pulang bersama kan?”
“Iya Nilam, tentu saja.”
"Asyiik, aku suka sekali, aku tak akan kesepian, dan kamu jangan kecewa karena tak akan punya waktu untuk nyonya majikan kamu itu.”
Priyadi terkekeh. Nilam tentu saja tidak tahu bahwa selalu ada waktu untuk bersenang senang dengan nyonya majikan. Biarkan saja, Priyadi sedang memainkan sebuah permainan yang pasti akan menyenangkan. Di sini cinta di sana cinta.
“Kamu kok kelihatannya senang.”
“Iya, aku senang karena ada kamu. Sudah, aku mandi dulu, nanti kamu bilang aku bau asem,” kata Priyadi sambil berlalu.
***
Malam hari itu Puspa mendekati bik Supi yang sedang bersih-bersih dapur.
“Non, sudah … sana, jangan duduk di sini, nanti nyonya melihatnya, Non pasti dimarahi.”
“Aku ingin ngobrol sama Bibik.”
“Ngobrol apa lagi sih Non, ini bibik sedang cuci-cuci perabotan, bau amis lhoh Non.”
“Biar saja, Bibik lanjutkan saja, kan bisa kerja sambil ngobrol.”
“Non ini ada ada saja.”
“Bibik, anak Bibik sekolah di mana sih?”
“Mengapa Non bertanya tentang anak saya?”
“Memangnya tidak boleh?”
“Boleh sih. Maksud saya itu ya Non, kan supaya dia bisa sekolah tinggi, biar besok bisa bekerja lebih baik, bukan seperti simboknya.”
“Jadi anak Bibik itu sekolah apa?”
“Kalau orang menyebutnya ya kuliah, begitu Non, tapi bibik kan kalau ditanya ya bilang sekolah, gitu saja. Nggak tahu saya jurusan apa. Pokoknya sekolah. Sama saja kan Non? Terlalu ketinggian kalau anak seorang pembantu seperti saya bilang kalau anaknya kuliah.”
“Tapi sebenarnya kuliah kan Bik? Ya tidak apa-apa. Kenapa ketinggian?”
“Iya Non, katanya sih sudah hampir selesai.”
“Syukurlah Bik, aku ikut senang.”
“Ya sudah Non, sana, ke ruang tengah, tuan sama nyonya sedang berbincang-bincang di sana tuh.”
“Besok aku libur kuliah, aku mau minta ibu agar boleh belanja sama Bibik.”
“Iya, barangkali memang sudah saatnya mengisi bahan-bahan dapur Non.”
“Aku ke depan dulu ya Bik,” kata Puspa sambil berlalu.
Ia menuju ke ruang tengah, ketika ayah dan ibunya sedang bicara tentang sumbangan-sumbangan untuk panti-panti yang membutuhkan. Hal itu sudah biasa, yang menanganinya setiap bulan adalah sang ibu.
“Jadi jumlahnya semua berapa Sri?”
“Itu lho Mas, sudah saya tulis semua, nanti aku yang akan membagi-baginya dan memasukkannya ke dalam amplop-amplop.”
“Bapak, besok aku libur, biarkan aku yang pergi ke panti-panti ya? Sekalian belanja.”
“Apa? Ini bukan urusan kamu,” sentak sang ibu.
Entah mengapa Srikanti sangat keberatan kalau yang membagikan uang ke panti-panti adalah anaknya.
***
Besok lagi ya.
πππ²πͺ΄π²ππ
ReplyDeleteAlhamdulillahi Robbil'alamiin....
HaBeBe_10 sudah tayang.
Matur nuwun mBak Tien, salam sehat penuh semangat.
π€π€π
πππ²πͺ΄π²ππ
Suwun mb Tien
ReplyDeleteTerima kaih bunda hbb nya..slm sht sll unk bundaππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah "Hanya Bayang-Bayang 10" sdh tayang. Matur nuwun Bu Tien, sugeng dalu π
ReplyDeleteAlhamdulilah Cerbung HBB 10 sampun tayang .... maturnuwun bu Tien, semoga ibu sekeluarga selalu sehat dan bahagia .. salam hangat dan aduhai aduhai bun ππ©·πΉπΉ
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteterimakasih Bunda...Semoga sehat selalu
Matur nuwun mbak Tien-ku Hanya Bayang-Bayang telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah HANYA BAYANG-BAYANG ~10 telah hadir.
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien π
Semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga, serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
Aamiin YRA..π€²
πΈπ»πΈπ»πΈπ»πΈπ»
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung HaBeBe_10
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
πΈπ»πΈπ»πΈπ»πΈπ»
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *HANYA BAYANG BAYANG 10* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia
bersama keluarga
Aamiin...
Alhamdulillah, HANYA BAYANG-BAYANG (HBB) 10 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteHamdallah
ReplyDeleteAlhamdulillah HBB ke 10 dah tayang, maturnuwun Bu Tien,tetep sehat semangat Buπππ
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, serial cerbung : Hanya Bayang Bayang 10 sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin
Weleh..weleh ...Kanti biasa nilep uang sumbangan ta. Kan tinggal minta uang ke tuan Sanjoyo pasti di kasih ta, malah pake nilep segala π
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " HANYA BAYANG BAYANG ~ 10 " ππΉ
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Itu Srikanti seperguruan dg Rohana njih Bu.....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat...
Matur nuwun, Bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteKalau Puspa ikut membagikan ketahuan bahwa uang itu sebenarnya bukan untuk Panti-panti...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...