Tuesday, April 26, 2022

ADUHAI AH 08

 

ADUHAI AH  08

(Tien Kumalasari)

 

“Tentang apa sebenarnya?”

“Kan aku sudah bilang bahwa ibu nanti akan datang kemari, jadi biar ibu saja yang mengatakannya.”

Danarto diam. Ia merasa, apa yang akan dikatakan Hesti adalah sesuatu yang tidak akan enak di dengar, atau entahlah, yang jelas perasaannya mengatakan bahwa lebih baik tak mendengar apapun dari Hesti maupun dari ibunya.

 “Apa kabar pak dokter, apa sudah lebih baik?” Danarto memalingkan wajahnya ke arah datangnya suara, dan matanya berbinar.

“Desy, aku menunggu kamu sejak tadi.”

“Masih ada yang bezoek rupanya?” kata Desy sambil menatap ke arah Hesti yang masih saja duduk di dekat Danarto.

“Dia sudah mau pulang, aku sudah mengingatkannya bahwa jam bezoek sudah habis.”

“Baiklah, maaf, saya permisi dulu. Cepat sembuh ya Mas,” katanya sambil berdiri, lalu menatap Danarto sambil tersenyum, kemudian mengangguk sekilas ke arah Desy, dan berlalu.

“Dia sangat setia menemani kamu,” kata Desy.

“Aku menunggu kamu dari tadi.”

“Bukankah sudah ada yang menemani? Senang dong ditemani gadis cantik yang tampaknya sangat perhatian sekali,” kata Desy sambil duduk.

“Gadis itu masih kekanak-kanakan. Aku sudah bilang tidak usah sering-sering datang, masih saja nekat.”

“Menolak kebaikan orang itu kan tidak baik?”

“Aku bukan menolak.”

“Lalu apa namanya? Menolak sering-sering datang?”

“Hanya tidak ingin merepotkan.”

“Kalau begitu mengapa selalu minta aku agar datang kemari?”

“Kamu itu beda.”

“Beda … ya, masa sama? Dia adalah dia, aku adalah aku.”

“Beda rasa.”

“Dia rasa apa? Aku rasa apa?”

“Aku serius.”

“Apa aku kurang serius?”

“Kamu bercanda.”

“Tidak, aku juga serius.”

“Kamu selalu menerima kata-kataku dengan canda. Aku hanya selalu menginginkan kamu.”

“Ah …”

“Dan desah itu.”

“Ah.”

“Aku ingin segera sembuh, lalu kita bisa jalan-jalan lagi. Semoga kali itu kamu sudah bisa menerima aku.”

“Aku selalu bisa menerima kamu kok.”

“Sebagai apa?”

“Sebagai teman, sebagai sahabat, sebagai saudara. Pokoknya kamu itu segalanya buat aku.”

“Sebagai pacar?”

“Itu lebih daripada pacar, kan?”

“Jangan selalu membuat teka-teki Desy.”

"Mas, kamu itu lagi sakit. Fokus ke penyembuhan kamu. Jangan memikirkan yang tidak-tidak.”

“Itu bukan tidak-tidak lhoh. Tanpa itu aku tidak akan sembuh. Bahkan tidak ingin sembuh.”

“Apa-apaan sih? Ngomong yang baik. Ucapan itu adalah doa.”

“Soalnya kamu itu penyemangat aku. Berjanjilah kalau aku sembuh nanti, kamu sudah akan menjadi Desy yang lain.”

“Apa maksudmu Mas? Mana bisa aku menjadi Desy yang lain?”

“Maksudku Desy yang punya perasaan lain, yang lebih dari saudara, teman dan sahabat.”

“Semoga ya Mas,” jawabnya sambil tersenyum.

Barangkali Desy juga sudah menemukan jawab atas pertanyaan di dalam hatinya selama ini, hanya selalu saja dia ingin mengingkarinya.

“Nanti aku akan bicara banyak Mas. Tentang keraguanku, tentang ketakutanku, dan semoga kala itu sudah ada titik temu, diantara hati kita.”

“Senang mendengarnya Des,” kata Danarto sambil menatap mesra gadis yang dicintainya.

***

Hesti keluar dari rumah sakit dengan berjalan kaki. Ia ingin lewat di jalan yang beberapa hari lalu dilewatinya, karena ingin bertemu dengan penjual gorengan itu. Bahwa dia bekas pacar Danarto, itu sangat menarik. Ia ingin bicara lebih banyak dengannya. Tapi karena bingung, ia nyasar ke arah yang lain. Langkahnya mulai pelan karena keletihan, dan bingung karena yang dilewatinya tampak berbeda.

“Ini bukan jalan yang dulu. Apa ya nama jalannya, aku kok lupa. Beda sih, kok ada sekolahan besar di sini, dulu itu nggak ada. Aduh, kok bisa kesasar ya. Memang kan aku belum hapal jalan-jalan di kota ini. Celaka, berarti aku harus mencari taksi atau ojol lagi.”

Hesti sudah berjalan jauh, dan merasa sangat haus. Ketika dilihatnya seorang penjual minuman botol di sana, ia bermaksud membelinya. Tapi ia harus memanggil ojol terlebih dulu, dan minumnya nanti sambil menunggu.

Hesti berdiri di pinggir jalan, sambil mengangkat ponselnya, tapi tiba-tiba seorang pengendara sepeda motor merebut ponselnya dan kabur.

“Eeeh… tolooong …. Cop..copeeet,” teriaknya.

Beberapa orang melihat kejadian itu, tapi tak seorangpun mengejar pencopet itu.

Hesti menutupi wajahnya dengan kedua tangannya sambil menangis.

“Ponselkuuuu…” tangisnya.

Ia sangat menyesalinya, karena itu adalah ponsel baru yang dibelikan ibunya saat dia lulus dari SMA.

Orang yang berjalan di kiri kanannya hanya menatapnya iba. Atau kalau ada celetukan, hanya celetukan yang mengatakan ‘kasihan’ , tanpa bisa melakukan apa-apa. Kebanyakan orang takut mengejar penjahat, karena kemungkinan besar mereka membawa senjata.

“Mbaknya kurang hati-hati.”

“Sembrono, mengeluarkan ponsel di pinggir jalan, ya itulah.”

“Duduk disini dulu Mbak,” seorang penjual minuman menarik tangannya, dan mengajaknya duduk.

“Minumlah, biar tenang,” katanya sambil mengulurkan sebotol minuman yang sudah dibukakan tutupnya.

Hesti meneguknya, hanya sedikit. Rasa gelisah dan menyesal mengalahkan rasa haus yang sejak tadi mendera.

“Lain kali Mbak harus berhati-hati. Mengeluarkan ponsel sambil berdiri di pinggir jalan, tentu saja menarik penjahat yang sedang lewat,” kata ibu penjual minuman itu.

“Hesti tak tahu harus berbuat apa. Ia bisa mempergunakan ponsel itu untuk memanggil taksi atau ojol, tapi tanpa ponsel ia bingung dengan apa ia menuju pulang ke tempat kostnya.

“Mbak rumahnya dimana?”

Hesti belum sempat menjawabnya, ketika seorang pengendara sepeda motor tiba-tiba berhenti di dekatnya.

“Mbak, inikah ponsel Mbak?”

“Oh, iya benar. Mas mendapatkannya kembali?”

“Kebetulan saya ada di tempat kejadian, dan berhasil mengejarnya.”

“Wah, Masnya ini sungguh berani. Kok bisa Mas?” tanya si penjual minuman.

“Saya mengejarnya, dan berhasil merebutnya kembali. Ini Mbak, ponsel Mbak,” kata laki-laki itu.

“Terima kasih Pak,” kata Hesti sambil mengusap air matanya.

Laki-laki itu tersenyum.

Tapi tiba-tiba Hesti terkejut. Ia mengenali laki-laki itu. Di kampus, saat dia menabraknya dan membuat buku-buku yang dibawanya berhamburan.

“Ini kan Pak… eh … Mas … Sarman?”

“Haaa? Ini Mbaknya yang nakal itu ya, yang menabrak saya waktu itu? Mbak Hesti kan?”

Hesti tersenyum lebar. Teringat waktu itu ia mengira Sarman adalah seorang dosen.

“Terima kasih Mas,” Hesti mengulang ucapannya.

“Kok ada disini? Mau kemana?”

“Sesungguhnya saya sedang tersesat Mas.”

“Tersesat?”

“Saya dari rumah sakit pusat, berjalan kaki, kok nyasar sampai ke mari. Tadi saya mau memanggil taksi, tiba-tiba ponsel saya dicomot orang.”

“Sekarang Mbak mau kemana?”

“Ke tempat kost saya. Ya sudah mas, saya memanggil taksi dulu.”

“Kost nya di mana?”

“Dekat kampus Mas.”

“Saya antar saja, daripada tersesat lagi.”

“Ya enggak, masa naik taksi bisa tersesat, kan sudah tahu alamatnya.”

“Daripada naik taksi, saya antar saja. Masa sama teman satu kampus kok nggak percaya?”

“Bukannya nggak percaya, nggak enak saja.”

“Nggak apa-apa, ayo lah.”

Akhirnya Hesti menurut, membonceng Sarman menuju pulang.

***

“Hayoo, mas Sarman tadi kemana? Aku melihat Mas Sarman boncengan sama cewek,” kata Tutut ketika Sarman sampai di rumah.

“Kok kamu tahu?”

“Aku lewat di depan kampus Mas Sarman, melihat Mas Sarman boncengan. Kelihatan mesra sekali, duh.”

"Eh, mesra apa, aku belum lama kenal sama dia tahu.”

“Memangnya kenapa kalau belum lama kenal?”

“Dia itu mahasiswa baru di kampusku, dan kebetulan juga satu jurusan. Tadi itu aku melihat dia kecopetan.”

“Kecopetan? Dimana?”

“Dia berdiri di pinggir jalan sambil membawa ponselnya, seorang pencopet lewat dan merebut ponselnya.”

“Lalu Mas Sarman mengejar pencopet itu?”

“Iya, dan untunglah aku bisa merebutnya kembali.”

“Duel sama pencopet itu?”

“Aku mengejarnya dan menyuruhnya berhenti, dia kabur tapi terhalang di lampu merah, sehingga dia terpaksa berhenti karena jalanan sedang padat kendaraan. Aku teriaki dia copet dan dia ketakutan.”

“Dilaporkan ke polisi?”

“Kebetulan tak ada polisi, dan dia langsung menyerahkan ponsel yang di masukkan ke saku baju depannya, lalu kabur.”

“Hajar dong.”

“Nggak sampai di hajar orang, dan aku juga hanya menginginkan ponsel itu.”

“Enak dong bisa langsung kabur.”

“Biarkan saja, mungkin dia melakukannya karena butuh uang.”

“Semuanya pasti ada alasannya. Entah alasan itu benar, atau salah. Baik, atau buruk. Bagaimana kalau alasannya adalah  dipergunakan untuk berjudi? Beli miras?”

“Itu urusan dia. Biarkan saja.”

“Lalu Mas kembalikan ponsel gadis itu?”

“Iya lah, dia masih menangis ditempat semula, dan aku kaget karena ternyata dia mahasiswa baru di kampusku. Dia kost di dekat kampus juga.”

“Kirain Mas Sarman pacaran.”

“Wah .. masih jauh,” jawab Sarman sambil tersenyum.

“Kok jauh sih Mas.”

“Iya, nungguin kalau bidadari aku sudah turun dari langit.”

“O, Mas Sarman ingin mempersunting bidadari?”

“Bidadari itu adalah wanita bukan?”

“Bidadari itu kan pasti cantik?”

“Ya cantik, lahir terutama batinnya.”

“Tutuuuut,” teriakan ibunya menghentikan percakapan itu.

“Ya Bu,” kata Tutut mendekat.

“Katanya mau bantuin simbok.”

“Iya Bu, lupa,” kata Tutut yang langsung beranjak ke dapur.

Banyak cara untuk menghalangi kedekatan mereka.

***

Tapi Sarman bukannya tak punya rasa. Keadaan dan keberadaannya di rumah itu adalah karena belas kasihan, dan dia tahu diri. Dia juga sangat sensitif pada setiap ucapan yang dia dengar. Akhir-akhir ini ia merasa bahwa ada yang selalu menghalangi setiap kali dia sedang berbincang dengan Tutut. Menghalangi setiap kali Tutut minta dijemput, Banyak alasan, dan banyak cara.

“Apakah pak Haryo dan isterinya tahu apa yang aku rasakan? Bahwa aku tertarik pada Tutut? Tapi aku tahu diri kok. Aku ini siapa, dan Tutut itu siapa? Aku adalah bumi dan dia itu langit. Mana mungkin bisa bertemu? Biarlah aku pendam rasa ini dalam-dalam di dasar hatiku,” gumamnya pilu.

Dan karena itu pula maka Sarman pun tanpa diminta kemudian selalu menjauhi Tutut, dan berusaha untuk menghindar setiap kali Tutut mendekat.

Seperti ketika pada suatu hari, saat sore dan keluarga sedang bersantai, dan Sarman juga ada di sana karena Haryo memintanya, tiba-tiba Tutut nyeletuk.

“Mas Sarman, anterin yuk, aku pengin beli nasi liwet.”

“Nah, itu benar, aku juga pengin,” kata Haryo tiba-tiba.

“Kalau begitu kita pergi sama-sama saja,” sambung Tindy.

“Maaf, saya tidak bisa ikut,” kata Sarman.

“Kenapa Mas?”

“Kebetulan saya mau konsultasi sama dosen pembimbing.”

“Malam hari” protes Tutut.

“Bisanya malam, kami sudah janjian.”

Dan akhirnya mereka keluar rumah, mencari nasi liwet, tanpa Sarman yang malam itu keluar sendiri entah kemana, sebagai isyarat bahwa dia tahu diri.

***

Tapi perubahan sikap Sarman itu bukan tak dirasakan oleh Tindy dan suaminya.

“Mas, sepertinya sikap Sarman akhir-akhir ini kelihatan berbeda.”

“Betul, aku juga merasakannya. Tapi menurutku karena dia sedang sibuk mengerjakan tugas akhirnya, sehingga seperti menghindar setiap aku ajak kumpul-kumpul keluarga.

“Apakah bukan karena dia merasa bahwa kita menghalangi kedekatannya dengan Tutut?”

“Begitukah menurutmu?”

“Mungkin. Jadi aku merasa bahwa sebaiknya kita segera membuka rahasia tentang hubungan Sarman dengan Mas.”

“Bagaimana kalau dia kemudian marah lalu menghentikan kuliahnya? Itu yang aku takutkan, karena pendidikan itu kan aku maksudkan agar bisa menjadi bekal bagi dirinya untuk hidup dan kehidupan dia selanjutnya.”

“Aku pernah bicara sama dia. Memang dia benci sekali kepada ayahnya, tapi aku mengajaknya bicara banyak, yang intinya agar dia menghilangkan rasa benci itu.”

“Apakah dia menurut?”

“Entahlah, waktu itu dia menangis.”

“Benarkah?”

Tindy mengangguk. Barangkali dengan pembicaraan waktu itu Sarman bisa sedikit mencairkan kebencian yang ada di dalam hatinya.

“Aku harap dengan berjalannya waktu dia akan bisa menerima Mas sebagai orang tuanya.”

“Kapan-kapan aku akan mengajaknya bicara, sebelum aku membuka semuanya.”

“Sebaiknya ya.”

***

Pagi itu seperti biasa Sarman berkutat di kebun bunga. Melati yang sudah mekar menebarkan harum yang menggelitik rasa.

“Rajin bener Man,” sapa Haryo tiba-tiba.

Sarman menghentikan kegiatannya.

“Saya harus memotong ranting-ranting yang memanjang supaya bisa tumbuh beraturan,” katanya.

“Bagus sekali Man, ibumu pasti suka.”

“Saya tahu melati ini bunga kesayangan ibu, itu sebabnya saya merawatnya lebih. Walau bunga-bunga mawar juga menjadi kesukaannya.”

“Kamu pintar mengambil hati ibumu. Tapi kan kamu sedang sibuk mengerjakan tugas akhir kamu Man, harusnya kamu mengurangi kegiatan di kebun, biasanya simbok melakukannya saat senggang.”

“Tidak apa-apa sementara ini Pak, nanti kalau saya tidak ada disini biar simbok melakukannya.”

Haryo terkejut.

“Mengapa kamu mengatakan kalau kamu sudah tidak ada disini? Aku tidak mengerti.”

“Maaf Pak, saya belum bilang sama Bapak dan ibu. Besok mungkin saya mohon pamit.”

Haryo terkejut bukan alang kepalang.

***

Besok lagi ya.




46 comments:

  1. Horreee, AD...AH_08,
    wis tayang.
    Matur nuwun bu Tien. Salam SEROJA.
    🌹🌹🌹👍🏼👍🏼👍🏼

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yeiy..,..om kakek...... Bu Tien, Danarto dan Saman jangan dibuat patah hati ya..... Hihihi

      Delete
  2. Hatur nuwun mbakyu Tienkumalasari salam kangen dan aduhaai dari Cibubur

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah...Aduhai 08 sudah terbit

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, maturnuwun mbak Tien....

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ...
    ADUHAI AH 08 dah tayang mksh Bu Tien
    Selamat malam selamat beristirahat semoga Ibu sht sll
    Salam ADUHAI ...

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku, ADUHAI AH sudah tayang.
    Nah... Sarman makin dekat dengan Hesti, mulai menjauhi Tutut.
    Salam sehat penuh semangat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, Terima kasih Bu Tien.. ADUHAI AH 08 sdh hadir.
    Salam sehat dan ADUHAI

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah AA~08 telah hadir, maturnuwun bu Tien....🙏

    ReplyDelete
  9. A𝐥𝐡𝐚𝐦𝐝𝐮𝐥𝐢𝐥𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐝𝐡 𝐭𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠 ...𝐌𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐧𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐁𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧...🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  10. Mau Pindah kemana mas sarman ini?

    ReplyDelete
  11. Terima kasih banyak mbak tien, semoga mbak tien sehat² selalu.

    ReplyDelete
  12. Duh SARMAN mau pindah kemana ya....trims Bu Tien AA udah hadir

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah ADUHAI-AH 08 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah.. mksh bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai..

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah ... AA 08 sdh tayang
    Salam aduhai salam sehat selalu .... Aamiin

    ReplyDelete
  16. Wah sarman mau pergi menghindari tutut

    ReplyDelete
  17. Matur nuwun bunda Tien ..alhamdulilah...Aduhainya 8 dah tayang....smg Mas Sarman dgn Hesti cocok....

    ReplyDelete
  18. Setuju deh kalau Sarman jadian saja sama Hesti....ADUHAI kali ya 😊

    Matur nuwu bunda Tien AA 08 telah hadir..aku 🙏

    ReplyDelete
  19. Lo kok jadi Hesti ma Sarman deh...Danarto ma Desy siiip Tutut cari ug lain makin penasaran...lo pindah kemana Sarman apa dia mulai tdk enak dgn Haryo dan Tindy kasian yaa ..Desy cepat ma Danarto deh dr pada ma Hesti. Salam sehat selalu u Ibu Tien dr Surabaya.selamat istirahat

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, suwun Bu Tien.....salam sehat selalu...😊🙏

    ReplyDelete
  21. Trimakasih bu Tien AA08nya...
    Duuuh..Sarman mau kmn yaa..pastinya Haryo kageet..
    Makanya cpt bilang dong Haryo bapaknya gt..

    Desy..cepetan jawab Danar yaaa...

    Salam.sehatvselalu dan aduhaii bu Tien..🙏🌹

    ReplyDelete
  22. Nah ini kaya apa respon Danar apakah kemlethus; kekethusan Danar ke Hesti sama atawa lebih ketika Desy kaya dilanda cemburu ada Hesti yang perhatian sama Danar.

    Selama ini ada harapan karena Desy mulai ada perubahan sikap yang sangat diharapkan Danar, beranikah Danar berharap lebih dari Desy?

    Tanda itu semakin meyakinkan Danar dimana Desy akan mengungkapkan apa yang ada dan rasa itukah diharapkan Danar?!.

    Semangat untuk sembuh, dan ingin segera datang masa itu; mendengarkan penuturan Desy.

    Rupanya Sarman ingin kost dekat kampus juga, karena rasa ini dan harus mengambil sikap agar berkurang hambatan; jadi lebih bebas mengemukakan pendapat.

    Sarman demo..
    minta penjelasan...



    Terimakasih Bu Tien;
    ADUHAI AH yang kedelapan sudah tayang.
    Sehat sehat selalu doaku,
    sedjahtera dan berbahagialah bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  23. Makasih mba Tien, salam hangat selalu. Ah

    ReplyDelete
  24. Ceritanya tambah menarik saja...

    ReplyDelete
  25. Makin bikin penasaran ceritatanya... terima kasih Mbu Tien... sehat² trs

    ReplyDelete
  26. Assalamualaikum wr wb .slmt pgi bunda Tien..trina ksih AA 08 sdh tayang dan sdh dibc..makin menarik alur ceritanya dan bikin penasaran..smh peran utamanya bahagia. Salam seroja dan aduhai dri sukabumi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  27. Kelamaan langkah Haryo akan memberi tahu Sarman tentang hubungan mereka... Tunggu saja lanjutannya...Maturnuwun mbak Tien..

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien, Aduhaaii Ah
    Memang Sarman Aduhaaii,, 👍👍👍
    Bingung Haryo

    Salam Sehat wal'afiat semua ya bu Tien 🤗💖

    ReplyDelete
  29. Semoga Bu Tien..." Selalu menguatkan hati mas Danar hanya untuk mbak Dessy, demikian juga sebaliknya... "
    Walaupun beribu rintangan menghadang, satukan keduanya dalam muara bahagia..

    Salam aduhai

    ReplyDelete
  30. Hayo sahabat2 Penggemar Cerbung Tien Kumalasari kunjungi terus noveltoon setiap hari, subscribe dan like SETANGKAI MAWAR BUAT IBU , untuk tambah pundi2 bu Tien.

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 01

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  01 (Tien Kumalasari)   Seorang wanita cantik dengan pakaian anggun sedang duduk di sebuah kursi, di dalam ...