ADUHAI AH 08
(Tien Kumalasari)
“Tentang apa sebenarnya?”
“Kan aku sudah bilang bahwa ibu nanti akan datang
kemari, jadi biar ibu saja yang mengatakannya.”
Danarto diam. Ia merasa, apa yang akan dikatakan Hesti
adalah sesuatu yang tidak akan enak di dengar, atau entahlah, yang jelas
perasaannya mengatakan bahwa lebih baik tak mendengar apapun dari Hesti maupun
dari ibunya.
“Apa kabar pak
dokter, apa sudah lebih baik?” Danarto memalingkan wajahnya ke arah datangnya
suara, dan matanya berbinar.
“Desy, aku menunggu kamu sejak tadi.”
“Masih ada yang bezoek rupanya?” kata Desy sambil
menatap ke arah Hesti yang masih saja duduk di dekat Danarto.
“Dia sudah mau pulang, aku sudah mengingatkannya bahwa
jam bezoek sudah habis.”
“Baiklah, maaf, saya permisi dulu. Cepat sembuh ya
Mas,” katanya sambil berdiri, lalu menatap Danarto sambil tersenyum, kemudian
mengangguk sekilas ke arah Desy, dan berlalu.
“Dia sangat setia menemani kamu,” kata Desy.
“Aku menunggu kamu dari tadi.”
“Bukankah sudah ada yang menemani? Senang dong
ditemani gadis cantik yang tampaknya sangat perhatian sekali,” kata Desy sambil
duduk.
“Gadis itu masih kekanak-kanakan. Aku sudah bilang
tidak usah sering-sering datang, masih saja nekat.”
“Menolak kebaikan orang itu kan tidak baik?”
“Aku bukan menolak.”
“Lalu apa namanya? Menolak sering-sering datang?”
“Hanya tidak ingin merepotkan.”
“Kalau begitu mengapa selalu minta aku agar datang
kemari?”
“Kamu itu beda.”
“Beda … ya, masa sama? Dia adalah dia, aku adalah aku.”
“Beda rasa.”
“Dia rasa apa? Aku rasa apa?”
“Aku serius.”
“Apa aku kurang serius?”
“Kamu bercanda.”
“Tidak, aku juga serius.”
“Kamu selalu menerima kata-kataku dengan canda. Aku hanya selalu menginginkan kamu.”
“Ah …”
“Dan desah itu.”
“Ah.”
“Aku ingin segera sembuh, lalu kita bisa jalan-jalan
lagi. Semoga kali itu kamu sudah bisa menerima aku.”
“Aku selalu bisa menerima kamu kok.”
“Sebagai apa?”
“Sebagai teman, sebagai sahabat, sebagai saudara.
Pokoknya kamu itu segalanya buat aku.”
“Sebagai pacar?”
“Itu lebih daripada pacar, kan?”
“Jangan selalu membuat teka-teki Desy.”
"Mas, kamu itu lagi sakit. Fokus ke penyembuhan kamu.
Jangan memikirkan yang tidak-tidak.”
“Itu bukan tidak-tidak lhoh. Tanpa itu aku tidak akan
sembuh. Bahkan tidak ingin sembuh.”
“Apa-apaan sih? Ngomong yang baik. Ucapan itu adalah
doa.”
“Soalnya kamu itu penyemangat aku. Berjanjilah kalau
aku sembuh nanti, kamu sudah akan menjadi Desy yang lain.”
“Apa maksudmu Mas? Mana bisa aku menjadi Desy yang
lain?”
“Maksudku Desy yang punya perasaan lain, yang lebih
dari saudara, teman dan sahabat.”
“Semoga ya Mas,” jawabnya sambil tersenyum.
Barangkali Desy juga sudah menemukan jawab atas
pertanyaan di dalam hatinya selama ini, hanya selalu saja dia ingin mengingkarinya.
“Nanti aku akan bicara banyak Mas. Tentang keraguanku,
tentang ketakutanku, dan semoga kala itu sudah ada titik temu, diantara hati
kita.”
“Senang mendengarnya Des,” kata Danarto sambil menatap
mesra gadis yang dicintainya.
***
Hesti keluar dari rumah sakit dengan berjalan kaki. Ia
ingin lewat di jalan yang beberapa hari lalu dilewatinya, karena ingin bertemu
dengan penjual gorengan itu. Bahwa dia bekas pacar Danarto, itu sangat menarik. Ia ingin bicara lebih banyak dengannya. Tapi karena bingung, ia nyasar ke arah yang lain.
Langkahnya mulai pelan karena keletihan, dan bingung karena yang dilewatinya
tampak berbeda.
“Ini bukan jalan yang dulu. Apa ya nama jalannya, aku
kok lupa. Beda sih, kok ada sekolahan besar di sini, dulu itu nggak ada. Aduh,
kok bisa kesasar ya. Memang kan aku belum hapal jalan-jalan di kota ini.
Celaka, berarti aku harus mencari taksi atau ojol lagi.”
Hesti sudah berjalan jauh, dan merasa sangat haus.
Ketika dilihatnya seorang penjual minuman botol di sana, ia bermaksud
membelinya. Tapi ia harus memanggil ojol terlebih dulu, dan minumnya nanti
sambil menunggu.
Hesti berdiri di pinggir jalan, sambil mengangkat
ponselnya, tapi tiba-tiba seorang pengendara sepeda motor merebut ponselnya dan
kabur.
“Eeeh… tolooong …. Cop..copeeet,” teriaknya.
Beberapa orang melihat kejadian itu, tapi tak
seorangpun mengejar pencopet itu.
Hesti menutupi wajahnya dengan kedua tangannya sambil
menangis.
“Ponselkuuuu…” tangisnya.
Ia sangat menyesalinya, karena itu adalah ponsel baru
yang dibelikan ibunya saat dia lulus dari SMA.
Orang yang berjalan di kiri kanannya hanya menatapnya
iba. Atau kalau ada celetukan, hanya celetukan yang mengatakan ‘kasihan’ ,
tanpa bisa melakukan apa-apa. Kebanyakan orang takut mengejar penjahat, karena kemungkinan
besar mereka membawa senjata.
“Mbaknya kurang hati-hati.”
“Sembrono, mengeluarkan ponsel di pinggir jalan, ya
itulah.”
“Duduk disini dulu Mbak,” seorang penjual minuman menarik
tangannya, dan mengajaknya duduk.
“Minumlah, biar tenang,” katanya sambil mengulurkan sebotol
minuman yang sudah dibukakan tutupnya.
Hesti meneguknya, hanya sedikit. Rasa gelisah dan
menyesal mengalahkan rasa haus yang sejak tadi mendera.
“Lain kali Mbak harus berhati-hati. Mengeluarkan
ponsel sambil berdiri di pinggir jalan, tentu saja menarik penjahat yang sedang
lewat,” kata ibu penjual minuman itu.
“Hesti tak tahu harus berbuat apa. Ia bisa
mempergunakan ponsel itu untuk memanggil taksi atau ojol, tapi tanpa ponsel ia bingung
dengan apa ia menuju pulang ke tempat kostnya.
“Mbak rumahnya dimana?”
Hesti belum sempat menjawabnya, ketika seorang
pengendara sepeda motor tiba-tiba berhenti di dekatnya.
“Mbak, inikah ponsel Mbak?”
“Oh, iya benar. Mas mendapatkannya kembali?”
“Kebetulan saya ada di tempat kejadian, dan berhasil
mengejarnya.”
“Wah, Masnya ini sungguh berani. Kok bisa Mas?” tanya
si penjual minuman.
“Saya mengejarnya, dan berhasil merebutnya kembali. Ini
Mbak, ponsel Mbak,” kata laki-laki itu.
“Terima kasih Pak,” kata Hesti sambil mengusap air
matanya.
Laki-laki itu tersenyum.
Tapi tiba-tiba Hesti terkejut. Ia mengenali laki-laki itu.
Di kampus, saat dia menabraknya dan membuat buku-buku yang dibawanya
berhamburan.
“Ini kan Pak… eh … Mas … Sarman?”
“Haaa? Ini Mbaknya yang nakal itu ya, yang menabrak
saya waktu itu? Mbak Hesti kan?”
Hesti tersenyum lebar. Teringat waktu itu ia mengira
Sarman adalah seorang dosen.
“Terima kasih Mas,” Hesti mengulang ucapannya.
“Kok ada disini? Mau kemana?”
“Sesungguhnya saya sedang tersesat Mas.”
“Tersesat?”
“Saya dari rumah sakit pusat, berjalan kaki, kok
nyasar sampai ke mari. Tadi saya mau memanggil taksi, tiba-tiba ponsel saya
dicomot orang.”
“Sekarang Mbak mau kemana?”
“Ke tempat kost saya. Ya sudah mas, saya memanggil
taksi dulu.”
“Kost nya di mana?”
“Dekat kampus Mas.”
“Saya antar saja, daripada tersesat lagi.”
“Ya enggak, masa naik taksi bisa tersesat, kan sudah
tahu alamatnya.”
“Daripada naik taksi, saya antar saja. Masa sama teman
satu kampus kok nggak percaya?”
“Bukannya nggak percaya, nggak enak saja.”
“Nggak apa-apa, ayo lah.”
Akhirnya Hesti menurut, membonceng Sarman menuju
pulang.
***
“Hayoo, mas Sarman tadi kemana? Aku melihat Mas Sarman
boncengan sama cewek,” kata Tutut ketika Sarman sampai di rumah.
“Kok kamu tahu?”
“Aku lewat di depan kampus Mas Sarman, melihat Mas Sarman boncengan. Kelihatan mesra sekali, duh.”
"Eh, mesra apa, aku belum lama kenal sama dia tahu.”
“Memangnya kenapa kalau belum lama kenal?”
“Dia itu mahasiswa baru di kampusku, dan kebetulan
juga satu jurusan. Tadi itu aku melihat dia kecopetan.”
“Kecopetan? Dimana?”
“Dia berdiri di pinggir jalan sambil membawa
ponselnya, seorang pencopet lewat dan merebut ponselnya.”
“Lalu Mas Sarman mengejar pencopet itu?”
“Iya, dan untunglah aku bisa merebutnya kembali.”
“Duel sama pencopet itu?”
“Aku mengejarnya dan menyuruhnya berhenti, dia kabur
tapi terhalang di lampu merah, sehingga dia terpaksa berhenti karena jalanan
sedang padat kendaraan. Aku teriaki dia copet dan dia ketakutan.”
“Dilaporkan ke polisi?”
“Kebetulan tak ada polisi, dan dia langsung
menyerahkan ponsel yang di masukkan ke saku baju depannya, lalu kabur.”
“Hajar dong.”
“Nggak sampai di hajar orang, dan aku juga hanya
menginginkan ponsel itu.”
“Enak dong bisa langsung kabur.”
“Biarkan saja, mungkin dia melakukannya karena butuh
uang.”
“Semuanya pasti ada alasannya. Entah alasan itu benar,
atau salah. Baik, atau buruk. Bagaimana kalau alasannya adalah dipergunakan
untuk berjudi? Beli miras?”
“Itu urusan dia. Biarkan saja.”
“Lalu Mas kembalikan ponsel gadis itu?”
“Iya lah, dia masih menangis ditempat semula, dan aku
kaget karena ternyata dia mahasiswa baru di kampusku. Dia kost di dekat kampus
juga.”
“Kirain Mas Sarman pacaran.”
“Wah .. masih jauh,” jawab Sarman sambil tersenyum.
“Kok jauh sih Mas.”
“Iya, nungguin kalau bidadari aku sudah turun dari
langit.”
“O, Mas Sarman ingin mempersunting bidadari?”
“Bidadari itu adalah wanita bukan?”
“Bidadari itu kan pasti cantik?”
“Ya cantik, lahir terutama batinnya.”
“Tutuuuut,” teriakan ibunya menghentikan percakapan
itu.
“Ya Bu,” kata Tutut mendekat.
“Katanya mau bantuin simbok.”
“Iya Bu, lupa,” kata Tutut yang langsung beranjak ke
dapur.
Banyak cara untuk menghalangi kedekatan mereka.
***
Tapi Sarman bukannya tak punya rasa. Keadaan dan
keberadaannya di rumah itu adalah karena belas kasihan, dan dia tahu diri. Dia
juga sangat sensitif pada setiap ucapan yang dia dengar. Akhir-akhir ini ia
merasa bahwa ada yang selalu menghalangi setiap kali dia sedang berbincang
dengan Tutut. Menghalangi setiap kali Tutut minta dijemput, Banyak alasan, dan
banyak cara.
“Apakah pak Haryo dan isterinya tahu apa yang aku
rasakan? Bahwa aku tertarik pada Tutut? Tapi aku tahu diri kok. Aku ini siapa,
dan Tutut itu siapa? Aku adalah bumi dan dia itu langit. Mana mungkin bisa
bertemu? Biarlah aku pendam rasa ini dalam-dalam di dasar hatiku,” gumamnya
pilu.
Dan karena itu pula maka Sarman pun tanpa diminta
kemudian selalu menjauhi Tutut, dan berusaha untuk menghindar setiap kali Tutut
mendekat.
Seperti ketika pada suatu hari, saat sore dan keluarga
sedang bersantai, dan Sarman juga ada di sana karena Haryo memintanya, tiba-tiba
Tutut nyeletuk.
“Mas Sarman, anterin yuk, aku pengin beli nasi liwet.”
“Nah, itu benar, aku juga pengin,” kata Haryo
tiba-tiba.
“Kalau begitu kita pergi sama-sama saja,” sambung
Tindy.
“Maaf, saya tidak bisa ikut,” kata Sarman.
“Kenapa Mas?”
“Kebetulan saya mau konsultasi sama dosen pembimbing.”
“Malam hari” protes Tutut.
“Bisanya malam, kami sudah janjian.”
Dan akhirnya mereka keluar rumah, mencari nasi liwet,
tanpa Sarman yang malam itu keluar sendiri entah kemana, sebagai isyarat bahwa
dia tahu diri.
***
Tapi perubahan sikap Sarman itu bukan tak dirasakan
oleh Tindy dan suaminya.
“Mas, sepertinya sikap Sarman akhir-akhir ini
kelihatan berbeda.”
“Betul, aku juga merasakannya. Tapi menurutku karena
dia sedang sibuk mengerjakan tugas akhirnya, sehingga seperti menghindar setiap
aku ajak kumpul-kumpul keluarga.
“Apakah bukan karena dia merasa bahwa kita menghalangi
kedekatannya dengan Tutut?”
“Begitukah menurutmu?”
“Mungkin. Jadi aku merasa bahwa sebaiknya kita segera
membuka rahasia tentang hubungan Sarman dengan Mas.”
“Bagaimana kalau dia kemudian marah lalu menghentikan
kuliahnya? Itu yang aku takutkan, karena pendidikan itu kan aku maksudkan agar
bisa menjadi bekal bagi dirinya untuk hidup dan kehidupan dia selanjutnya.”
“Aku pernah bicara sama dia. Memang dia benci sekali
kepada ayahnya, tapi aku mengajaknya bicara banyak, yang intinya agar dia
menghilangkan rasa benci itu.”
“Apakah dia menurut?”
“Entahlah, waktu itu dia menangis.”
“Benarkah?”
Tindy mengangguk. Barangkali dengan pembicaraan waktu
itu Sarman bisa sedikit mencairkan kebencian yang ada di dalam hatinya.
“Aku harap dengan berjalannya waktu dia akan bisa
menerima Mas sebagai orang tuanya.”
“Kapan-kapan aku akan mengajaknya bicara, sebelum aku
membuka semuanya.”
“Sebaiknya ya.”
***
Pagi itu seperti biasa Sarman berkutat di kebun bunga.
Melati yang sudah mekar menebarkan harum yang menggelitik rasa.
“Rajin bener Man,” sapa Haryo tiba-tiba.
Sarman menghentikan kegiatannya.
“Saya harus memotong ranting-ranting yang memanjang
supaya bisa tumbuh beraturan,” katanya.
“Bagus sekali Man, ibumu pasti suka.”
“Saya tahu melati ini bunga kesayangan ibu, itu
sebabnya saya merawatnya lebih. Walau bunga-bunga mawar juga menjadi
kesukaannya.”
“Kamu pintar mengambil hati ibumu. Tapi kan kamu
sedang sibuk mengerjakan tugas akhir kamu Man, harusnya kamu mengurangi
kegiatan di kebun, biasanya simbok melakukannya saat senggang.”
“Tidak apa-apa sementara ini Pak, nanti kalau saya
tidak ada disini biar simbok melakukannya.”
Haryo terkejut.
“Mengapa kamu mengatakan kalau kamu sudah tidak ada
disini? Aku tidak mengerti.”
“Maaf Pak, saya belum bilang sama Bapak dan ibu. Besok
mungkin saya mohon pamit.”
Haryo terkejut bukan alang kepalang.
***
Besok lagi ya.
Horreee, AD...AH_08,
ReplyDeletewis tayang.
Matur nuwun bu Tien. Salam SEROJA.
🌹🌹🌹👍🏼👍🏼👍🏼
Kakek jaga obor.,.......
DeleteKakek selamat juara 1
DeleteYeiy..,..om kakek...... Bu Tien, Danarto dan Saman jangan dibuat patah hati ya..... Hihihi
DeleteMakasih Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMtnuwun mbak Tien
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien.
ReplyDeleteHatur nuwun mbakyu Tienkumalasari salam kangen dan aduhaai dari Cibubur
ReplyDeleteAlhamdulillah...Aduhai 08 sudah terbit
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Alhamdulillah, maturnuwun mbak Tien....
ReplyDeleteAlhamdulillah ...
ReplyDeleteADUHAI AH 08 dah tayang mksh Bu Tien
Selamat malam selamat beristirahat semoga Ibu sht sll
Salam ADUHAI ...
Matur nuwun mbak Tien-ku, ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteNah... Sarman makin dekat dengan Hesti, mulai menjauhi Tutut.
Salam sehat penuh semangat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Alhamdulillah, Terima kasih Bu Tien.. ADUHAI AH 08 sdh hadir.
ReplyDeleteSalam sehat dan ADUHAI
Alhamdulillah AA~08 telah hadir, maturnuwun bu Tien....🙏
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteA𝐥𝐡𝐚𝐦𝐝𝐮𝐥𝐢𝐥𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐝𝐡 𝐭𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠 ...𝐌𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐧𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐁𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧...🙏🙏🙏
ReplyDeleteMau Pindah kemana mas sarman ini?
ReplyDeleteTerima kasih banyak mbak tien, semoga mbak tien sehat² selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteDuh SARMAN mau pindah kemana ya....trims Bu Tien AA udah hadir
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 08 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah.. mksh bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai..
ReplyDeleteAlhamdulillah ... AA 08 sdh tayang
ReplyDeleteSalam aduhai salam sehat selalu .... Aamiin
Terima kasih bu tien cerbungnya
ReplyDeleteWah sarman mau pergi menghindari tutut
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien ..alhamdulilah...Aduhainya 8 dah tayang....smg Mas Sarman dgn Hesti cocok....
ReplyDeleteAlhamdulilah ....
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteSetuju deh kalau Sarman jadian saja sama Hesti....ADUHAI kali ya 😊
ReplyDeleteMatur nuwu bunda Tien AA 08 telah hadir..aku 🙏
Lo kok jadi Hesti ma Sarman deh...Danarto ma Desy siiip Tutut cari ug lain makin penasaran...lo pindah kemana Sarman apa dia mulai tdk enak dgn Haryo dan Tindy kasian yaa ..Desy cepat ma Danarto deh dr pada ma Hesti. Salam sehat selalu u Ibu Tien dr Surabaya.selamat istirahat
ReplyDeleteAlhamdulillah, suwun Bu Tien.....salam sehat selalu...😊🙏
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien AA08nya...
ReplyDeleteDuuuh..Sarman mau kmn yaa..pastinya Haryo kageet..
Makanya cpt bilang dong Haryo bapaknya gt..
Desy..cepetan jawab Danar yaaa...
Salam.sehatvselalu dan aduhaii bu Tien..🙏🌹
Nah ini kaya apa respon Danar apakah kemlethus; kekethusan Danar ke Hesti sama atawa lebih ketika Desy kaya dilanda cemburu ada Hesti yang perhatian sama Danar.
ReplyDeleteSelama ini ada harapan karena Desy mulai ada perubahan sikap yang sangat diharapkan Danar, beranikah Danar berharap lebih dari Desy?
Tanda itu semakin meyakinkan Danar dimana Desy akan mengungkapkan apa yang ada dan rasa itukah diharapkan Danar?!.
Semangat untuk sembuh, dan ingin segera datang masa itu; mendengarkan penuturan Desy.
Rupanya Sarman ingin kost dekat kampus juga, karena rasa ini dan harus mengambil sikap agar berkurang hambatan; jadi lebih bebas mengemukakan pendapat.
Sarman demo..
minta penjelasan...
Terimakasih Bu Tien;
ADUHAI AH yang kedelapan sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku,
sedjahtera dan berbahagialah bersama keluarga tercinta
🙏
Makasih mba Tien, salam hangat selalu. Ah
ReplyDeleteCeritanya tambah menarik saja...
ReplyDeleteMakin bikin penasaran ceritatanya... terima kasih Mbu Tien... sehat² trs
ReplyDeleteAssalamualaikum wr wb .slmt pgi bunda Tien..trina ksih AA 08 sdh tayang dan sdh dibc..makin menarik alur ceritanya dan bikin penasaran..smh peran utamanya bahagia. Salam seroja dan aduhai dri sukabumi🙏🥰🌹
ReplyDeleteKelamaan langkah Haryo akan memberi tahu Sarman tentang hubungan mereka... Tunggu saja lanjutannya...Maturnuwun mbak Tien..
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien, Aduhaaii Ah
Memang Sarman Aduhaaii,, 👍👍👍
Bingung Haryo
Salam Sehat wal'afiat semua ya bu Tien 🤗💖
Semoga Bu Tien..." Selalu menguatkan hati mas Danar hanya untuk mbak Dessy, demikian juga sebaliknya... "
ReplyDeleteWalaupun beribu rintangan menghadang, satukan keduanya dalam muara bahagia..
Salam aduhai
Hayo sahabat2 Penggemar Cerbung Tien Kumalasari kunjungi terus noveltoon setiap hari, subscribe dan like SETANGKAI MAWAR BUAT IBU , untuk tambah pundi2 bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDelete