Monday, April 25, 2022

ADUHAI AH 07

 

ADUHAI AH  07

(Tien Kumalasari)

 

“Kamu tidak usah terkejut,” kata bu Sriani, ibunya Hesti.

“Bukankah sebelum kamu berangkat Ibu sudah mengatakannya?” sambungnya.

“Tapi Hesti mengira Ibu hanya bercanda.”

“Ibu menginginkan menantu seperti Danar, bukan bercanda.”

“Tapi kelihatannya saat ini dia sudah punya pacar, seorang dokter.”

“Kan baru pacar? Belum isteri? Kamu harus bisa merebut hatinya Hesti.”

“Iya, Hesti juga suka sih, dia ganteng banget.”

“Tuh kan, kamu baru tahu setelah kamu dewasa. Jadi lakukan apa saja supaya dia bisa memilih kamu. Kalau waktunya senggang, ibu akan datang dan menemui dia. Dia harus tahu bahwa sejak kecil bahkan sejak kamu lahir, kalian sudah dijodohkan.”

“Kalau datang jangan sekarang Bu, dia sedang sakit, dan dirawat di rumah sakit.”

“Baiklah, saat ini Ibu juga sedang sibuk. Banyak pesanan yang harus segera dilayani. Makanya Ibu bilang kalau senggang.”

“Baiklah Bu, ini Hesti mau pulang ke tempat kost.”

“Harusnya kamu minta supaya bisa tinggal di rumahnya Hes, soalnya dia kan sendirian setelah ibunya meninggal?”

“Tadinya Hesti ingin begitu Bu, tapi saya belum mengatakan apapun dia sudah menolak. Alasannya nggak enak menerima seorang gadis di rumahnya, sementara dia seorang bujang yang tinggal sendirian.”

“Baiklah, tidak apa-apa. Cari kesempatan agar bisa terus mendekati dia. Kamu itu cantik, tak mungkin seorang pria menolak kamu.”

“Iya Bu, akan Hesti coba.”

“Ya sudah, hati-hati pulangnya. Naik apa?”

“Naik ojol saja Bu, biar irit.”

“Nanti Ibu belikan sepeda motor agar mudah kalau kamu mau ke mana-mana. Atau sepeda motor kamu yang di Surabaya Ibu kirim saja kemari?”

“Terserah Ibu saja.”

“Ya sudah, hati-hati.”

Hesti menutup ponselnya dengan perasaan tak menentu. Kaget mendengar bahwa dia memang dijodohkan dengan Danarto, dokter muda yang dikaguminya.

“Aduuh, apa itu benar? Kalau begitu aku sudah bisa memiliki dia limapuluh persen, selebihnya adalah berusaha merebutnya dari dokter Desy,” gumam Hesti sambil berjalan keluar rumah sakit, lupa bahwa tadi ingin memesan ojol.

Dia terus melangkah dan membayangkan Danarto benar-benar akan menjadi miliknya, lalu tersenyum-senyum sendiri. Ketika tiba-tiba kakinya terasa lelah, ia sudah berjalan semakin jauh dari rumah sakit, dan baru teringat bahwa ia harus memesan ojol sejak saat masih di rumah sakit tadi.

“Ya ampuuun, kok aku berjalan sampai disini sih? Ini mana ya?” gumamnya bingung.

Hesti belum benar-benar hapal jalan-jalan di kota itu. Ia hanya tahu jalan ke tempat kostnya dari rumah Danarto, dan juga dari rumah sakit di mana Danarto dirawat. Ia tidak sadar sudah berjalan ke arah mana, dan harus belok kemana. Ia menolah ke arah kiri dan kanan jalan, dan tiba-tiba ia melihat seorang penjual gorengan di pinggir jalan.

“Mbak, mau tanya, ini jalan apa ya?” tanyanya kepada si penjual gorengan, seorang wanita muda yang wajahnya tertutup cadar.

“Ini jalan RM Said. Mbak mau ke mana?”

“Oh, ya. Saya mau ke daerah Nusukan.”

“O, jauh dari sini.”

“Baiklah, saya mau memanggil taksi saja,” katanya.

Ia memanggil taksi dan mengatakan dirinya ada di mana, lalu menunggunya di dekat penjual gorengan itu.

Ketika hidungnya mencium bahu gurih, timbul niatnya untuk membeli.

“Saya mau beli gorengannya ya Mbak.”

“Baiklah, berapa? Yang mana yang mau dibeli?”

“Semuanya saja, limabelas ribu ya. Masih anget kah?”

“Sudah agak dingin, kalau tadi ya masih panas.”

“Ya sudah, nggak apa-apa.”

“Sebetulnya Mbak dari mana?”

“Dari rumah sakit, membezoek pacar saya.”

“Oh, pacarnya sakit ya? Tapi rumah sakit kan jauh dari sini?”

"Jauh ya. Nggak terasa sih, pantesan aku merasa lelah."

“Dia seorang dokter,” lanjutnya sombong tapi bohong.

“Wah, hebat ya, punya pacar dokter. Dulu pacar saya juga dokter.”

“Oh ya? Sekarang putus?”

“Diputusin gara-gara ada pesaing saya yang lebih getol mendekatinya.”

“Kasihan.”

“Kabarnya dia juga praktek di rumah sakit itu.”

“Oh ya? Namanya dokter siapa? Barangkali saya tahu.”

“Kalau Mbak tidak tahu, pasti pacar Mbak tahu dong. Namanya Danarto.”

Hesti terkejut sekali. Adakah Danarto yang lain?

“Dia dokter penyakit dalam?” tanya Hesti.

“Nah, itu Mbaknya tahu. Tapi sayangnya dia kemudian jatuh hati dengan sesama dokter.”

“Namanya Desy?” Hesti langsung menyebut nama Desy.

“Yaaah, benar sekali. Mereka pacaran dan meninggalkan saya begitu saja. Maklum, saya kan hanya anak seorang penjual gorengan. Dibandingkan dengan seorang dokter, tentu saja saya kalah. Kok Mbak bisa tahu? Iyalah, kalau pacarnya dokter pasti tahu tentang dokter Danarto bekas pacar saya itu,” kata sang penjual gorengan sambil mengambilkan beberapa gorengan dagangannya seperti permintaan Hesti.

Hesti merasa heran. Benarkah dulunya Danarto pacaran dengan anak seorang penjual gorengan? Pembicaraan itu terhenti, ketika taksi yang dipanggil sudah datang.

“Sudah dulu ya Mbak. Lain kali saya akan beli lagi gorengannya, saat saya membezoek pacar saya,” kata Hesti sambil meletakkan uang limabelas ribu, lalu bergegas mendekati taksi yang sudah menunggunya.

***

“Mas Sarman kenapa kemarin nggak menjemput aku sih? Malah bapak yang menjemput,” tegur Tutut yang baru pulang dari kampus, dan kali itu ia membawa mobil ibunya atas perintah ayahnya.

“Mulai sekarang kamu harus membawa mobil sendiri, jadi kalau pulang tidak usah merepotkan orang lain,” kata ayahnya kemarin.

“Kemarin bapak menyuruh membawa mobilnya ke bengkel. Mana bisa menjemput kamu? Bapak sendiri yang bilang bahwa bapak yang akan menjemput.

“Kalau sama bapak nggak bisa ngajakin mampir-mampir. Padahal pengin beli bakso lagi seperti dulu itu.”

“Masa sih bapak nggak mau diajakin mampir?”

“Nggak mau lah, bapak selalu bilang, kasihan simbok sudah masak-masak, kok kita makan di luar, begitu kata bapak.”

“Tapi itu benar kan?”

“Tutuut, sini sebentar,” tiba-tiba Tindy memanggil. Tutut segera meninggalkan Sarman dan mendekati ibunya.

“Ya Bu.”

“Kamu itu jangan selalu mengganggu mas Sarman. Dia sudah akan mulai mengerjakan tugas akhir. Kalau kamu mengganggu nanti nggak selesai-selesai,” kata Tindy.

Sesungguhnya Tindy dan Haryo sedang berupaya mencegah Tutut terlalu dekat dengan Sarman, sebelum hal yang mereka khawatirkan terjadi, tapi Tutut tidak merasakan hal itu. Baginya, Sarman adalah kakak sulungnya, tempat dia bermanja, karena kedua kakak perempuannya sudah asyik dengan kesibukan masing-masing. Lala sudah jauh bersama keluarganya, dan Desy terlalu sibuk dengan profesi dokternya.

“Tutut tidak mengganggu kok Bu, hanya bertanya, kenapa kemarin bapak yang menjemput Tutut, sedangkan Tutut berpesan sama mas Sarman.”

“Iya, karena mas Sarman disuruh bapak membawa mobilnya ke bengkel. Dan sekarang bapak menyuruh kamu selalu membawa mobil sendiri bukan?”

“Takutnya Ibu juga mau memakainya.”

“Ibu sudah pensiun, jarang ke mana-mana. Lagian ada mobilnya bapak juga kan?”

“Iya, kalau begitu besok Tutut bawa mobil sendiri deh. Cuma kadang-kadang Tutut tuh pengin mampir makan sesuatu saat pulang dari kampus. Dan mas Sarman selalu dengan sabar menemani Tutut.”

“Mas mu itu memang sabar dan penurut, tapi kamu harus tahu bahwa dia sudah mulai membuat tugas akhir. Jadi jangan lagi mengganggunya.”

“Iya Bu, baiklah, Tutut tidak akan mengganggunya saat ini. Besok kalau sudah selesai boleh kan? Tutut itu sebenarnya senang, punya kakak sulung, seorang laki-laki pula, jadi kadang-kadang mbak Desy juga mengatakan bahwa Tutut selalu manja sama mas Sarman.”

Tindy sesungguhnya bisa memaklumi kalau alasan Tutut adalah hanya ingin bermanja karena menganggap Sarman adalah kakak sulungnya, tapi kalau keseringan dekat, lama-lama pasti akan terjadi hal yang dikhawatirkannya. Bukankah ada pepatah Jawa yang mengatakan bahwa witing tresna jalaran saka kulina? Karena terlalu dekat maka rasa cinta itu bisa saja kemudian tumbuh setiap saat. Sementara Tindy dan Haryo sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan siapa Sarman sesungguhnya.

***

“Bagus, sekarang kamu tidak malas untuk membawa mobil sendiri,” kata Desy malam itu sebelum tidur.

“Iya, terkadang aku memang malas. Lebih enak diantar dan dijemput kan?”

“Kayak anak TK saja.”

“Iya juga sih, tapi aku tuh kan sukanya beli jajanan, atau makan apa lah yang ringan-ringan setiap pulang dari kampus,”

“Bakso … ya kan?”

“Iya, seringnya bakso, atau selat, atau gado-gado.”

“Kalau pulang sendiri kan bisa mampir jajan.”

“Ya nggak enak lah, makan sendirian. Aku seringnya ngajakin mas Sarman, tapi dimarahin sama ibu, katanya nggak boleh mengganggu mas Sarman.”

Desy merasa, ada alasan ayah ibunya untuk membatasi kebersamaan Tutut dan Sarman. Ia tahu ayah ibunya melarang ada hubungan cinta diantara keduanya, tapi ia tidak tahu alasannya.

“Tapi sebenarnya aku ingin tahu satu hal,” kata Desy sambil menatap adiknya yang sedang memeluk guling di sampingnya.

“Tentang apa?”

“Apakah kamu pacaran sama mas Sarman?”

“Apa?” lalu Tutut terkekeh begitu keras..

“He, ditanya kok malah tertawa sih. Iya tidak?”

“Ya enggak lah, masa aku pacaran sama mas Sarman? Bukankah dia kakak angkat kita karena bapak sama ibu menganggap mas Sarman adalah anak sulungnya?”

“Tapi kebenarannya adalah bahwa dia orang lain bukan? Siapa tahu kedekatan kalian itu bisa tumbuh menjadi cinta.”

Tutut termenung mendengar kata kakaknya.

“Cinta? Aku sayang sama mas Sarman, karena dia baik, karena dia rendah hati, suka menolong, dan selalu dengan suka rela menuruti keinginankua. Misalnya mengantar aku kemana … gitu.  Dia nggak pernah menolak apalagi mengeluh lho.”

“Sayang dengan cinta itu hanya beda tipis. Kalau cinta pasti sayang, kalau sayang … lama-lama bisa menjadi cinta.”

“Menurut Mbak Desy, lama-lama aku bisa jatuh cinta sama mas Sarman?”

“Semua kemungkinan itu ada. Bukankah cinta bisa datang tanpa permisi?”

Tutut kembali terkekeh.

“Aku ingin tahu lhoh, bagaimana sebuah cinta bilang permisi.”

“Aku serius.”

“Nggak tahu aku. Dan kalau hal itu bisa terjadi, apakah salah?”

Desy terbelalak. Jadi kemungkinan itu memang bisa saja ada dan terjadi. Tutut tidak menolaknya.

“Sebaiknya jangan.”

“Apa maksud Mbak?”

“Cukup menjadi kakak adik saja. Jangan lebih.”

“Kenapa?”

“Itu lebih baik.”

“Kenapa?”

“Itu saranku, sebaiknya kamu mendengarkan.”

Desy membalikkan tubuhnya, lalu memejamkan matanya. Tutut menatapnya tak mengerti.

***

Siang hari itu Danarto terkejut, ketika Hesti muncul dengan membawa buah-buahan dan makanan.

“Hesti, kamu apa-apaan membawa buah dan makanan begitu banyak?”

“Iya Mas, itu untuk Mas, supaya kalau lagi sendirian, Mas bisa menikmatinya. Buahnya masih segar, aku masukkan ke dalam kulkas ya,” kata Hesti ngeyel.

“Aku kan sudah bilang, kamu tidak usah terlalu merepotkan aku. Lagi pula aku tidak boleh makan sembarangan, sampai kesehatanku pulih.”

“Ini sudah hampir seminggu, pastinya sudah lebih baik,”

“Tapi aku tidak makan makanan seperti itu. Tidak boleh, jadi lebih baik kamu bawa pulang kembali, dan makan bersama teman-teman kost kamu.”

“Ya ampun Mas, nggak bagus lho menampik rejeki.”

“Bukan semata menampik, kesehatanku belum mengijinkan.”

“Itu semua ibu yang menyuruhku.”

“Ibu? Kamu bilang pada ibu Sriani bahwa aku sakit dan dirawat?”

“Iya. Ibu bilang akan datang menemui mas Danar pada suatu hari nanti.”

“Aku tidak suka merepotkan banyak orang. Apalagi ibumu kan jauh dari sini. Kalau sampai repot-repot datang, aku sungkan dong.”

“Tidak apa-apa Mas, ibu bilang, Mas Danar bukan orang lain. Ibu kita sudah dekat sejak mereka masih sekolah. Jadi apa salahnya kalau aku juga dekat dengan Mas Danar?”

Danarto tak menjawab. Ia tidak mengira Hesti begitu nekat dan akhirnya hanya membuatnya kesal.

“Mas, kira-kira kapan Mas Danar boleh pulang?”

“Dia akan di sini sampai sembuh benar.”

Hesti terkejut, ketika melihat dokter Danis sudah ada di dalam kamar itu.

“Dokter …” sapanya tersipu.

“Dia harus banyak beristirahat. Dirumah tidak ada yang merawat, jadi lebih baik disini dulu sampai benar-benar sehat. Lagi pula di rumahnya dia hanya sendirian, tak ada yang merawatnya. Salah sendiri, mengapa tidak segera menikah, sehingga kalau terjadi hal seperti ini, ada yang merawatnya.”

“Kalau Mas Danar mau, aku bersedia kok merawat,  kalau dia sudah diperbolehkan pulang.”

“Tidak,” kata Danarto cepat-cepat.

Danis tertawa.

“Gadis cantik ini bersedia merawat, kenapa kamu menolak?”

“Ada-ada saja. Bukan siapa-siapa, mengapa harus merepotkan dia,” kata Danarto kesal.

“Mas, bukankah kita sudah seperti saudara?”

“Aku bahkan baru saja mengenal kamu,” sergah Danarto.

“Tapi ibu kita bersahabat, bahkan sudah seperti saudara.”

“Ya sudah, aku hanya ingin melihat keadaan kamu. Aku senang, sudah lebih baik, tapi kamu tetap masih harus beristirahat, jangan buru-buru ingin pulang,” kata Danis sambil menepuk tangan Danarto, lalu beranjak keluar dari kamar.

“Hesti, kamu pulanglah, dan bawa kembali makanan-makanan itu.”

“Mas kok mengusir saya sih?”

“Bukan mengusir, waktu bezoek sudah hampir habis.”

“Baiklah, aku akan segera pulang, tapi aku ingin mengatakan satu hal Mas.”

“Apa itu?”

“Nggak jadi ah, biar ibu yang mengatakannya.

***

Besok lagi ya.

 

43 comments:

  1. Replies
    1. Mslah pa Bambang yang berhasil nendang bolanya...GOLLLLL

      Delete
    2. Alhamdulillah bs komen fi blok bunda Tien.. Terimakasih bunda, slm sehat sll yaa❤️😘

      Delete
    3. Hebat euy pak Bambang Smule an sambil jaga gawang..

      Delete
  2. Aduhai....Ah_07 sdh tayang. Yuk kita baca apa yang terjadi antara Danarto dan Hesti???

    Terima kasih bunda Tien, sehat selalu ya banyak minum air hangat......
    Salam ADUHAI, dari mas Kakek Bandung.
    🌹🌹🌹🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  3. Alhamdullilah..sdh hadir AA 07..hatur nuwun sangat 🙏salam sht dan tetap Aduhai dri 🙏🥰❤️

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah AA~07 sudah hadir.. maturnuwun bu Tien.🙏

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, Terima kasih mbak Tien salam sehat dan salam ADUHAI..

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun, bu Tien. Salam sehat.🙏😀

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun bunda Tien AA 07 sudah hadir..🙏

    ReplyDelete

  8. Sahabat² blogger tienkumalasari22.blogspot.com, yang saya sayangi & banggakan.
    Sudah pada terima "Te Ha Er" kan?
    Ada yang ingin menyisihkan sebagian TeHaeR-nya buat Bunda Tien Kumalasari, yang setiap malam menyajikan bacaan pengantar tidur kita?
    Apabila jawaban Anda "YA, SAYA AKAN MENYISIHKAN SEBAGIAN THR SAYA BUAT BUNDA TIEN KUMALASARI, maka kami siap menampung niat baik Anda, transfer saja ke norek BRI 014001006493532 an Nur'Aini S. Pd.

    Tidak ditentukan nominalnya seikhlasnya saja.
    Transfer Anda saya tunggu sd "H-3".
    Jangan lupa bukti transfer nya kirim via WA 082116677789, ibu Nani Nur'Aini Siba.
    Atas perhatian dan kerjasamanya, disampaikan rasa hormat dan terima kasih.

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah ADUHAI-AH 07 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah sudah tayang Aduhai 07....mature nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  11. Alhsmdulillah ADUHAI AH 07 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin
    Salam ADUHAI

    ReplyDelete
  12. 𝐖𝐨𝐨𝐮𝐰𝐰𝐰 𝐇𝐞𝐬𝐭𝐲 𝐤𝐨𝐤 𝐧𝐠𝐞𝐭𝐞𝐤 𝐰𝐚𝐞 𝐲𝐨 𝐤𝐚𝐫𝐨 𝐃𝐚𝐧𝐚𝐫𝐭𝐨...😄😄😄

    𝐒𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐮𝐭𝐤 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah AA7 sudah tayang. Trmksh bu Tien.. Salam Sehat dan Salam ADUHAI...

    ReplyDelete
  14. Malam bu Tien .sehat selalu ..wk wl mulai maksa ha ha pasti Dr Desy akan tanggap org Dr Danarto suka ma dr Desy .. Hesti ma Sarman saja

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah sudah tayang Aduhai ah 7, terima kasih bunda Tien, salam sehat dan aduhai ah selalu.

    ReplyDelete
  16. Trimakasih bu Tien AA07nya..

    Waduuh..Hesti dikompori ibunya ++ bilang dijodohin lg..jd nempeeel teruus..smpe diusir..tp ndableg bocahe..🤦‍♀️

    Desy kemana niii...

    Salam sehat dan aduhaii kagem bu Tien..🙏🌹

    ReplyDelete
  17. Terima kasih banyak mbak tien, semoga mbak tien sehat² selalu.
    Ada juga anak gadis ngeyel seperti hesti. Saking pengennya sama dokter ganteng.

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien

    ReplyDelete
  19. Ah... Bu Tien makin bikin gemes aja

    ReplyDelete
  20. Hari ini kurang greget Bu Tien.....
    Ya trims Bu Tien AA udah hadir

    ReplyDelete
  21. Bisa jadi Danar gak jadian sama Desy, trus Desy ketemu Wahyudi (tokoh BM) yang jadi pasiennya. Eng ing eeeng. Tambah seru

    ReplyDelete
  22. Pikiran lagi nggak karu karuan, habis disemangati cita cita maknya, sampai nggak tau sampai didasaran Endah si perawan sunthi anak Nina, penjual gorèngan.

    Aduh selangit, sampai detail ceritanya, gagal dalam cinta ih, dulu juga naksir doang nggak pacaran blas, ini bilang direbut lagi, ketemu kambing hitam buat manas manasin Hesti biar ada semangat, lagian maknya Hesti juga berminat, jadi sengaja suruh Hesti kuliah di kotanya Danar.

    Jadi penasaran kan; janji datang lagi mau denger kisah asmara dari Endah, cerita yang digoreng juga pastinya.
    Sampai segitunya iklan gorèngan.

    Entah ada apapun itu mengapa ayah dan ibunya kawatir akan kedekatan Sarman dan Tutut.

    Desy memaklumi, sedikit bersyukur karena Tutut menganggap Sarman kakak, tapi tetep menyarankan jaga jarak dengan Sarman; Tutut sendiri ngebayangan lucu kalau jadian.




    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke tujuh sudah tayang.
    Sehat sehat selalu doaku,
    Sedjahtera dan bahagialah bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah,matur nuwun bu Tien untuk ADUHAAII Ah
    Piye Desy,,,kamu bisa kalah cepat dg Hesty,,yg dijodohkan
    Nah ini yg Aduhaaii,, ternyata Endah jual gorengan sambil memantau Danarto,,,

    Salam Sehat wal'afiat semua ya bu Tien 🤗💖

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah ADUHAI-AH 07 telah tayang , terima kasih mbak Tien, semoga tetap sehat dan bahagia selalu. Aamiin YRA.

    ReplyDelete
  25. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Tjoekherisubiyandono

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallow..
      Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
      Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
      . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys,

      Delete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 15

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  15 (Tien Kumalasari)   Wanita itu mempercepat langkahnya. Ia mengenal suara itu, tentu saja. Tapi gerimis ...