Friday, November 1, 2019

DALAM BENING MATAMU 37

DALAM BENING MATAMU  37

(Tien Kumalasari)

"Kenapa mas? Kok wajah mas Adhit tiba-tiba jadi aneh begitu?" tanya Dinda.

"Aku baru teringat sesuatu, tentang laki-laki yang tadi bersama Mirna.

"Mas kenal?"\

"Nggak cuma  kenal, bahkan pernah berantem sama dia..."

"Waauuuw....Memang kenapa?"

"Dia itu mata keranjang... tapi memang dia masih bujang.. eh.. bukan... duda.. so'alnya pernah dipaksa menikahi seorang gadis.. tapi kemudian bercerai... Kabarnya hanya suka mengganggu gadis-gadis.. tapi tak pernah dijadikannya isteri."

"Wah, bisa ganti-ganti dong..lebih enak begitu 'kali."

"Hush... enak gimana, sering di maki-maki orang donk."

"Asal jangan sama aku aja.. ceritain dong tentang berantem itu tadi, kayaknya seru deh."

"Sudahlah, selesaikan makan es krimnya, lalu kita pergi dari sini, nggak enak kalau sampai Mirna tau bahwa kita melihat mereka."

"Tapi mas, kalau memang laki-laki itu nggak baik, harusnya mas Adhit mengingatkan donk sama Mirna, jangan sampai terjerat rayuannya."

"Lha kan belum tentu kalau mereka pacaran."

"Mas tanya donk, kasihan kalau dia hanya dipermainkan.."

"Nanti aku tanya... ayuk kita pulang..."

"Jangan lupa, aku diantarnya ke kost, bukan ke rumah mas Adhit..."

"Iya, aku tau..."

"Nanti ceritain tentang yang tadi itu.. apa berantem karena rebutan pacar?"

"Bukaaaan... cerewet kamu ya," kata Adhit sambil menrik tangan Dinda menuju kasir, lalu segera mengajaknya keluar dari sana."

***

 "Ada seorang gadis, teman kuliah aku waktu itu, pacaran sama dia," Adhit memulai ceritanya ketika dalam perjalanan mengantar Dinda pulang.

"Nama gadis itu...?"

"Namanya Dewi. Dia cantik, baik, dan tampaknya sangat mencintai dia. Tapi Aji.. laki-laki itu hanya mempermainkannya, bahkan membuatnya hamil."

"Waaah... gila itu."

"Udah gitu.. dia itu nggak bertanggung jawab, malah kabur  dan nggak pernah muncul. Dewi yang sahabat mas, mengatakan sambil menangis. Marah aku, ber hari-hari mencari dirumahnya nggak ketemu, tapi kemudian setelah seminggunan dia muncul. Dia menemui Dewi dan menyuruh menggugurkan kandungannya. Tapi Dewi tidak mau. Dia minta Aji menikahinya, tapi Aji kabur lagi. Dan yang terakhir itu mas berhasil menemuinya dirumahnya, pas dia mau pergi, mungkin mau minggat lagi.

###########

"Anda siapa?" tanyanya sengit ketika Adhit memintanya untuk bicara sebentar.

"Saya saudaranya Dewi," dan itu membuat wajah Aji merah padam.

"Mau apa menemui saya?"

"Anda jangan pura-pura tidak tau, saya ingin membawa anda menemui Dewi dirumahnya."

"Untuk apa?" suaranya mulai meninggi.

"Orang tua Dewi minta supaya anda menikahinya."

"Nggak bisa !! Aku sama sekali nggak ingin menikahi dia !!"

"Tapi anda telah membuatnya hamil !!"

"Bohong !!" Aji berteriak, dan kesabaran Adhit pun habis, ia maju selangkah dan menonjok wajah Aji sekuatnya.

"Gila kamu!!" 

Lalu Adhit dan Aji benar-benar berantem. 

"Orng gila!! Aku tetap nggak mau !!" teriaknya sambil bangkit ketika Adhit membuatnya tersungkur.

"Aku akan melaporkan kamu ke polisi !!" teriak Adhit tak kalah sengit.

Pertikaian itu berhenti ketika seorang tetangga Aji yang RT..melerainya.

Dengan ancaman mau dilaporkan ke polisi akhirnya Aji mau mengikuti Adhit kerumah Dewi, dan  dengan disaksikan pak RT itu dia berjanji mau menikahi Dewi.

#############

"Sekarang bagaimana?" tanya Dinda yang ikut penasaran mendengar cerita itu.

"Dia menikahi Dewe hanya sampai bayi yang dikandung Dewi lahir, setelah itu Dewi diceraikannya."

"Waah... benar-benar bukan manusia.."

"Aku pernah ketemu pak RT yang dulu ikut menjadi saksi pernikahan mereka, katanya Aji sudah pindah entah kemana, tapi kabarnya masih suka ganti-ganti pacar."

"Dia pasti orang kaya.."

"Dia pengangguran, oang tuanya yang kaya. Tapi kedua orang tuanya juga sudah meninggal."

"Wah, makan dari warisan orang tua dong.."

"Iya, pinter kamu.."

"Semoga besok aku mendapat pacar yang baik ah, nggak mau kalau kayak Aji itu," celetuk Dinda yang membuat Adhit tersenyum.

"Pacaran sama aku aja, kan aku jelas baik..." Adhit selalu menggoda.

"Nggak mau, mas Adhit teralu tua untuk aku," jawab Dinda sekenanya.

"Apa kamu bilang? Tua? Tapi biar tua aku kan masih ganteng," bantah Adhit sambil berusaha mencubit pipi Dinda, dan karena itu tiba-tiba ia harus menginjak rem tiba-tiba, so'alnya mobilnya hampir menabrak becak yang sedang berjalan didepannya. Dinda terkejut, untung shift belt dikenannya sehingga tubuhnya tidak tersungkur kedepan.

"Aaah...mas Adhit..... sembrono deh..." teriak Dinda.

"Ma'af... ma'af...," Adhit pun kemudian meminggirkan mobilnya, menghela nafas dan lega karena tak terjadi hal-hal yang menghawatirkan.

***

Siang itu ketika tiba di kantor, ternyata Mirna sudah duduk di tempat kerjanya. Adhit ingin menanyakan perihal laki-laki yang mengajaknya makan siang, tapi diurungkannya. Tak enak rasanya ketka ia tiba-tiba bertanya, seakan tadi melihatnya makan siang bersama. 

Lagipula ketika itu Ayud muncul dan mengajaknya berbincang agak lama. 

"Kata Raka, om Raharjo sama tante Retno mau ke Solo dalam waktu dekat," kata Ayud.

"Bagus lah, so'alnya bapak sama ibu juga pasti akan datang untuk ikut mengurus semuanya. Kasihan kalau kamu sama Raka saja yang mondar mandir mengurus semuanya."

"Sebenarnya nggak apa-apa mas, supaya nanti aku sama Raka juga merasa puas karena beberapa barang kami memilihnya sendiri."

"Ya sudah terserah kamu saja."

"Karena sibuk jadi lupa kalau Dinda sudah lama nggak dirumah kita, apa kabarnya si centil itu ya mas?"

"Barusan aku makan sama dia."

"Yaaaah... bagaimana bisa? Dia datang kemari?"

"Nggak, aku nyamperin ditempat kost nya."

"Curang ya, aku nggak diajak.."

"Kamu kan pergi sama Raka.."

"Bagaimana kabarnya dia?"

"Baik-baik saja, dia suka kok di tempat kost nya. Tempatnya enak, dulu aku sama eyang yang mengantar dia."

"Iya, eyang sudah cerita. Basok aku akan kesana sama Raka, dia juga belum menjenguk adiknya semenjak pindah ke kost ittu.

"Aku juga mau ikut kalau kalian mau kesana."

"Iih.. mas Adhit, tunggu mas, sebenarnya mas Adhit itu sungguh-sungguh jatuh cinta sama Dinda?" kata Ayud sambil berbisik, takut suaranya terdengar oleh Mirna.

"Kamu kan sudah tau.. pake nanya lagi, tapi nanti saja kita ngomongin so'al itu, fikus pada pernikahan kamu saja dulu."

Tiba-tiba dering ponsel Mirna berbunyi, halus suaranya, tapi sempat membuat Ayud dan Adhit menoleh kearahnya. Dilihatnya Mirna mengangkat ponselnya.

"Hallo, ya bapak.. iya.. besok libur.. nggak, sudah hampir pulang... iya bapak.. besok saja, baiklah."

Lalu Mirna menutup ponselnya.

"Dipanggil bapak ya?" tanya Ayud.

"Iya bu, besok kan libur."

"Ya deh, selamat berhari Minggu sama bapak ya."

***

Sore itu Aji menemui pak Kadir dipondokannya. Pak Kadir menerimanya dengan sungkan, karena mereka duduk berdua diatas selembar tikar yang digelar didekat kasur busanya.

"Ma'af nak, ya beginilah bapak.. temat seperti ini saja juga bukan mulik bapak, jadi..." kata pak Kadir terpenggal karena Aji menghentikannya.

"Sudah pak, jangan merendahkan diri seperti itu, saya senang bisa menemui bapak sore ini, seperti janji saya di telepone tadi."

"Ya nak, tapi ya cuma beginilah keadaannya, ma'af, saya suguhin teh ya nak, tapi harus buat dulu.."

"Jangan pak, nggak usah, sebenarnya saya ingin mengajak bapak makan diluar, tapi saya ingin membicarakan sesuatu yang penting, yang sebaiknya saya katakan dirumah ini, walau kamar sewa, tapi disinilah bapak tinggal kan. Nanti setelah bicara saya mau mengajak bapak makan diluar."

"Maksud nak Aji bagaimana? Apa yang ingin nak Aji bicarakan?"

"Begini pak, saya ini kan sudah cukup umur, dan harusnya sudah panas punya isteri dan pastinya anak."

"Iya nak, itu benar. Saya juga heran, mengapa seumur nak Aji ini belum juga punya pasangan."

"Habisnya belum laku juga pak," kata Aji sambil tertawa. 

"Belum laku, atau nak Aji yang terlalu me milih-milih?"

"Bukan terlalu me milih-milih pak, memang belum ada yang mau," kata Aji sambil tertawa.

"Saya kira sosok seperti nak Aji ini aneh rasanya kalau belum ada yang mau. Sudah ngganteng, baik hati, mapan, pengusaha kaya.. masa nggak ada yang mau?"

"Mungkin ada pak, cuma saya yang belum merasa cocok."

"Lalu yang seperti apa sesungguhnya yang nak Aji cari itu?"

"Begini pak, sebenarnya saya jatuh cinta pada Mirna."

Pernyataan Aji ini membuat Kadir terkejut, walau sebelumnya sudah men duga-duga.

"Saya ber sungguh-sungguh. Itu sebabnya saya ingin bicara sama bapak dirumah ini. Intinya saya ingin melamar Mirna, kalau bapak tidak keberatan."

Pak Kadir menatap Aji lekat-lekat. Ia mencari kesungguhan dari kata-kata Aji, karena ia merasa bahwa Mirna adalah anaknya, anak seorang miskin yang tidak punya apa-apa.

"Apa bapak tidak percaya?" tanya Aji ketika melihat pak Kadir tak segera menjawab kata-katanya.

"Sungguh saya tidak percaya, karena nak Aji itu siapa, dan Mirna itu siapa. Apa orang tua nak Aji mau berbesan dengan seorang mandor bangunan? Fikirkanlah dulu nak, jangan sampai nanti nak Aji menyesal dikemudian hari." kata Kadir hati-hati.

"Pak,saya itu tidaka punya keluarga. Bapak dan ibu saya sudah meninggal, dan saya tidak punya saudara."

"Tapi saya tak ingin nak Aji nanti menyesal, Mirna bukan siapa-siapa."

"Saya mencintai Mirna pak, saya ingin menjadikannya isteri saya, saya letih hidup sendirian selama ini. Saya membutuhkan seorang isteri, dan Mirna adalah pilihan saya."

"Apa nak Aji sudah bicara sama Mirna?"

"Tidak pak, saya justru meminta ijin bapak terlebih dahulu, so'al kesediaan Mirna saya serahkan kepada bapak."

Kadir menghela nafas panjang. Ada kebahagiaan karena anak gadisnya dipinang oleh seseorang yang menuurutnya baik,dan pantas, tapi ada rasa was-was, jangan-jangan karenaMirna hanya anak orang tak punya lalu dipermainkannya.

"Bagaimana pak, saya berjanji akan membahagiakan Mirna,saya akan menjadikannya ratu dirumah saya. Bagaimana pak..apakah bapak tidak percaya pada saya?"

Setelah diam sejenak, akhirnya Kadir menyerah.

"Baiklah nak, saya terima lamaran nak Aji."

Aji hampir bersorak karena kegirangan.

***

besok lagi ya

 


















No comments:

Post a Comment

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...