Saturday, November 2, 2019

DALAM BENING MATAMU 38

DALAM BENING MATAMU  38

(Tien Kumalasari)

Dengan hati gembira kemudin Aji mengajak pak Kadir makan malam disebuh restoran.

"Tapi nak, saya sungguh berpsan wanti-wanti, kalau memangn ak Aji suka atau cinta sama Mirna, cintailah dia dengan sepenuh hati, dan lindungilah dia, karena dia tak lagi punya siapa-siapa kecuali saya, bapaknya yang tidak berharga ini," kata pak Kadir dis sela-sela makan.

"Bapak jangan bilang begitu, mana ada orang tua yang tidak berharga? Bapak akan menjadi bapak saya jugam yang pasti saya hormati dengan se3penuh hati."

"Terimakasih nak."

"Dan Mirna akan saya lindungi, saya cintai selama hidup saya."

"Terimakasih nak, saya percayakan Mirna kepada nak Aji, karena saya mempercayai nak Aji."

"Saya belum pernah jatuh cinta pak, saya ini bujang lapuk, saya akan bahagia bisa memiliki Mirna, karena sejak pertama kali saya melihatnya saya sudah jatuh cinta."

"Sayangnya nak Aji belum berbicara pada Mirna mengenai keinginan nak Aji ini."

"Yang penting kan bapak dulu mengijinkan, kalau orang tua tidak memberi restu, walau anaknya suka kan nggak bagus kalau diteruskan pak."

"Benar nak, saya kagum sama nak Aji, ternyata nak Aji berpandangan sangat jauh. Semoga nanti Mirna juga akan setuju dengan keputusan saya ini ya nak."

"Aamin pak, itu harapan saya.Memang selama ini saya belum mengerti bagaimana perasaannya terhadap saya, tapi sikapnya selalu baik kok, itu yang membuat saya semakin jatuh cinta."

"Semoga kita bisa menjadi keluarga seperti harapan nak Aji ya."

"Aamiin pak, mohon do'anya selalu ya pak."

Kesan yang ditampilkan Aji sungguh apik, dan membuat pak Kadir terpesona. Belum-belum ia merasa bersyukur, orang sebaik Aji mencintai anak gadisnya, dan ingin menikahinya, serta berjanji akan membahagiakannya. Bukankah itu semua adalah harapan semua orang tua?

***

Malam itu bu Broto sedang berbincang dengan kedua cucunya, tentang pernikahan Ayud yang akan diselenggarakan tak lama lagi. Undangan sudah disebar, persiapan sudah matang, dan mungkin Minggu ini keluarga Raharjo dan keluarga Galang akan datang ke solo.

"Eyang, bolehkan Ayud usul, nanti ketika keluar dari kamar rias lalu duduk di pelaminan sebelum "panggih".. Dinda yang mendampingi Ayud?" kata Ayud kepada neneknya.

"Ya.. boleh saja, tapi sama siapa?" bu Broto tampak berfikir..

"Sama Adhit saja ya  eyang?" tiba-tiba Adhit nyeletuk.

"Tidak... nggak boleh, " sergah bu Broto cepat-cepat.

"Tuh kan, Adhit sudah tau kalau itu jawaban eyang. Adhit sudah tau...," kata Adhit sambil cemberut.

Melihat hal itu bu Broto merasa bahwa Adhit terluka oleh jawabannya. Tapi bu Broto tau alasan yang tepat untuk mencegahnya. Dipegangnya pundak cucunya dengan lembut.

"Jangan marah ya le, dengar, yang "menganthi" penganten putri itu.. tidaak boleh laki-laki dan perempuan, harus dua-duanya perempuan."

"Iya mas, kok mas Adhit kayak sewot begitu," kata Ayud menimpali.

"Iya, aku tau sekarang," kata Adhit sambil menyandaarkan kepalanya di sandaran sofa. Bagaimanapun ia tak suka ada orang yang menghalangi kedekatannya dengan Dinda. Diam-diam Adhit berjanji, bahwa setelah selesai perhelatan itu, ia akan terus memperjuangkan cintanya.

"Baklah, jadi siapa yang sebaiknya menemani Dinda?" tanya Ayud.

"Bagaimana kalau Mirna? Aku sudah bilang sama dia agar membantu sa'at pernikahan kamu." akhirnya kata Adhit setelah berhasil meredam emosinya.

"Oh iya, Mirna... baiklah eyang, sudah beres itu."

"Baiklah, tapi kalau yang nanti acara "temu".. yang mendampingi kamu haruslah orang yang sudah pernah mantu. Dan sebaiknya yang masih genap."

"Masih genap itu bagaimana eyang?"

"Genap itu ya yang masih bersuami... sedangkan yang mendampingi pengantin laki-lakinya juga suami dari ibu-ibu yang mendampingi kamu itu."

"O, gitu ya, pengantin Jawa sangat rumit ya eyang?"

"Orang Jawa, kalau punya hajad mantu, biasanya masih mempergunakan adat dan budaya mereka masing-masing. Adat Jawa, adat Sunda, adat Jogya, pesisiran, semua punya kebudayaan masing-masing yang selalu dipegang teguh. Yang menghawatirkan, kalau nanti cucu-cucu eyang seterusnya... lalu tidak lagi memegang teguh adat dan budaya kita, pasti akan punah kebudayaan yang adi luhung ini."

"Bukan cuma Jawa eyang, di Sumatra, Bali.. dan lain-lain juga punya adat budaya masing-masing," kata Adhit.

"Benar le, dan seringkali, mereka lebih memilih praktis, sederhana, tidak neka=neka. Tapi selama eyang masih ada, cucu-cucu eyang masih harus memegang teguh adat dan kebudayaan kita. Lha wong orang asing saja kagum melihat prosesi-prosesi pernikahan yang ada di negeri kita, kok kita sendirri malah ingin meninggalkan, sedih eyang kalau mengingat hal itu."

"Iya eyang, Ayud ingin mempelajari lebih banyak, supaya kelak Ayud masih bisa memegang teguh adat budaya kita," kata Ayud.

"Bagus nduk, eyang senang mendengarnya, semoga eyang masih diberi umur panjang lagi, supaya bisa melihat semua cucu-cucu eyang menikah," kata bu Broto sambil terus mengelus bahu Adhit yang memang duduk disisi neneknya. 

"Aamiin...," kata Ayud dan Adhit hampir bersamaan.

"Eyang masih sehat, pasti nanti juga masih bisa menyaksikan cicit-cicit eyang tumbuh dewasa," kaya Ayud.

Bu Broto tersenyum, dan rona bahagia tampak pada wajahnya, menyaksikan cucu-cucunya bisa membesarkan hatinya. Mereka juga cucu-cucu yang membanggakan, yang cantik dan tampan, yang pintar. Berlinang air mata bu Broto, teringat pada pak Broto yang telah mendahului dan tak sempat menyaksikan pernikahan cucunya.

"Mengapa eyang menangis?" tanya Ayud yang melihat perubahan wajah neneknya. Adhit yang duduk disampung bu Broto menoleh kearahnya, lalu mengusap air mata itu dengan jemarinya.

"Eyang pasti teringat sama eyang kakung ya?," kata Adhit.

Bu Broto mengangguk, tapi kemudian tersenyum. 

"Eyang kakungmu sudah tenang disana, " lalu diambilnya tissue . Adhit merangkul neneknya dengan terharu, demikian juga Ayud yang segera mendekat dan menciumi neneknya. Mereka keluarga yang penuh kasih sayang.

***

Hari Minggu itu Mirna bangun pagi sekali, membersihkan kamar lalu mandi dan berpakaian rapi. Ia harus menemui ayahnya, yang sebenarnya tanpa disuruhpun ia memang ingin kesana. Hari-hari luangnya harus dipergunakan untuk bersama ayahnya, agar hidupnya tak terasa sendiri.

Ketika Mirna sampai didepan kamar sewa ayahnya, dilihatnya ayahnya sedang membereskan tempat tidur.

"Hayoo.. bapak bangun kesiangan bukan?" celetuknya tiba-tiba, membuat Kadir terkejut dan menoleh kearah pintu.

"Mirna, kamu sudah disini?"

"Iya pak, ini Mirna bawakan bapak sarapan nasi liwet."

"Wah, kamu juga masih ingat kesukaan bapak kalau pagi."

"Sudah, sekarang bapak mandi saja, biar Mirna yang membereskan kamarnya."

"Ya baiklah," kata Kadir yang kemudian berdiri dan menyambar handuk, lalu melangkah keluar dari sana. Memang kamar mandinya ada diluar kamar, daan beruntung tidak perlu mengantri karena barangkali penghuninya yang rata-rata pekerja kasar masih malas keluar dari kamarnya.

Mirna merapikan kamar ayahnya, mengganti seprei dan sarung bantal dengan yang bersih, kemudian ia mengisi panci dengan air untuk mengisi termos untuk membuat minuman, lalu ia mengambil gelas dan piring kotor yang belum sempat dicuci. Tempat mencuci itu terletak  dipancuran yang ada disebelah luar kamar itu juga. Ada beberapa orang penghuni kamar sewa itu yang sudah bangun, dan duduk diluar kamar mereka, memperhatikan Mirna dengan kagum. Rata-rata berpikir alangkah senangnya Kadir punya anak secantik itu. Anak yang tadinya mereka sangka adalah bini mudanya Kadir, yang lalu disambut Kadir dengan tertawa ngakak.

"Mana ada gadis yang mau sama laki-laki tua dan miskin seperti aku?" jawabnya ketika itu. Sekarang mereka tau, bahwa Mirna adalah anaknya. Sungguh luar biasa dihari tuanya bisa menemukan anak kandungnya yang terpisah puluhan tahun, pikir mereka setelah Kadir menceritakan kisah hidupnya.

Ketika Mirna selesai mencuci gelas dan piring, air yang dijerang sudah mendidih. Mirna menyeduh dua gelas kopi untuk ayahnya dan untuk dirinya sendiri. Ketika masuk kekamarnya, Kadir sudah berganti pakaian rapi. Hidungnya kembang kempis, mencium aroma kopi yang selesai dibuat anaknya.

"Hm, wangi kopi..." katanya sambil tersenyum. 

"Iya, silahkan pak," kata Mirna sambil ngelesot duduk di tikar yang sudah digelaarnya. Lalu meletakkan dua piring yang sudah berisi bungkusan nasi liwet yang dibawanya.

"Ada roti di bungkusan itu nduk, buka lah," kata Kadir sambil menyisir ramputnya sambil berkaca.

"Roti? Bapak beli roti?"

Mirna membuka bungkusan plastik dan melihat beberapa potong roti disana.

"Hm, roti mahal ini pak, ada royi spekuk, keju, ini bapak beli dimana?"

"Bukan bapak yang beli, taruh disini saja... nah..sekarang bapak minum dulu kopinya, lalu makan nasi liwetnya.

"Kalau bukan bapak yang beli, lalu siapa?" tanya Mirna, tapi hatinya mulai men-duga-duga.

"Hm.. enak kopi buatan kamu nduk, pas dilidah.." kata Kadir sambil menyeruput kopi sedikit demi sedikit karena masih panas.

"Pelan-pelan pak, masih panas," kata Mirna yang kemudian juga mencicipi kopinya, dengan sendok.

"Ayo dimakan nasi liwetnya," lalu Kadir membuka bungkusan nasi liwet itu, dan mengguyurkan sambal goreng jepan yang terbungkus plastik tersendiri.

"Bapak dapat rotinya dari siapa?" Mirna mengulang pertanyaannya.

"Dari nak Aji,kemarin sore sampai malam bersama bapak," kata Kadir sambil menyendok nasinya.

 "Oh..." hanya itu jawaban Mirna, lalu ia juga sibuk mengunyah sarapannya. Ada perasaan kurang suka ketika mendengar bapaknya bersama Aji sampai malam.

"Ada lagi sebungkus nasi liwetnya, bapak mau nambah?"

"Ya, bapak ingin nambah, enak ini, beli dimana nasi liwetnya?"

"Didekat sana ada, saya saja yang membuka bungkusnya," kata Mirna sambil membukakan lagi sebungkus nasi.

"Semalam nak Aji duduk-duduk disini, di tikar ini... kemudian ia mengajak bapak makan malam, lalu belanja makanan lain, dan roti yang diberikan ke bapak itu. Makanlah nduk."

"Mirna kan sudah kenyang dengan sebungkus nasi ini pak. Nanti saja kalau sudah merasa lapar lagi."

"Baiklah." dan Kadir dengan lahap sudah menghabiskan bungkuan nasi liwet keduanya.

"Minum air putih pak, sudah Mirna siapkan nih," kata Mirna sambil mengangsurkan segelas air putih.

"Terimakasih nak, benar-benar bapak punya keluarga ya.. bahagia sekali bapak nduk."

Mirna tersenyum, lalu mengambil daun sisa makan dimasukkan kedalam kresek, dan mengesampingkan piring-piring yang tadi dipakainya.

"nDuk..."

"Ya pak.."

"Ada yang bapak ingin sampaikan," kata Kadir hati-hati, sambil mengelap mulutnya dengan tissue.

"Apa pak, tampaknya serius sekali."

"Kamu kan tau, bapak ini sudah tua.." lanjutnya.

"Nggak ah, bapak belum tua benar, kan masih bisa bekerja, dan pekerjaan itu berat lho pak."

"Bukan masalah itu. Bapak ini kan melihat kamu sudah dewasa, sudah sa'atnya ada yang mengambilmu sebagai isteri,  lalu bapak punya cucu-cucu yang ganteng dan cantik..." mata Kadir menerawang keatas. Mirna menunggu dengan berdebar. Ia mulai menduga duga, kemana arah pembicaraan ayahnya. 

"Tapi Mirna masih ingin merawat bapak seperti ini. Mirna sudah memikirkan, nanti akan mengontrak rumah yang pantas untuk Mirna dan bapak. Bapak suka kan?"

"Merawat bapak itu kan gampang. Sambil melayani suami, momong anak-anak kamu.. kamu juga masih bisa memikirkan bapak."

"Dengar nduk, bapak sudah menemukan calon yang cocog untuk kamu. Orang yang bapak bisa menitipkan hidupmu, melindungi dan membahagiakan kamu."

"Apa maksud bapak?" debar jantung Mirna bertambah cepat, arah pembicaraan ayahnya semakin jelas, tinggal menyebutkan sebuah nama, yang membuatnya ragu.

"Mirna, semalam nak Aji melamar kamu."

Tuh... kan... Mirna sudah menduganya, wajahnya gelap seketika.

"Dan bapak sudah menrimanya. Jangan kecewakan bapak ya?"

***

besok lagi ya

 


No comments:

Post a Comment

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...