Wednesday, October 2, 2019

DALAM BENING MATAMU 12

DALAM BENING MATAMU  12

(Tien Kumalasari)

 

Mirna sedikit merasa canggung, karena yang duduk dikursi Adhitama adalah Ayud. Gadis yang menurut Mirna sedikit angkuh itu sama sekali tak menyapanya ramah. Ia sibuk mem balik-balikkan surat yang sudah diletakkannya dimeja. Berkas yang kemarin kata Adhitama harus ditelitinya kembali. Tapi kan memang nggak ada yang salah? Ia ingin menanyakan pada Ayud, kemana Adhitama, tapi diurungkannya.

"Ini sudah harus kemarin selesai, mengapa baru diserahkan sekarang?" tegur Ayud.

"Sebenarnya kemarin sudah selesai, tapi pak Adhit mengembalikannya ke saya, saya sudah menelitinya dan tampaknya nggak ada yang salah bu Sore harinya pak Adhit tidak kembali ke kantor, jadi baru sekarang saya letakkan dimeja."

Ayud merasa, memang tak ada yang salah pada berkas itu. Ia menutup kembali mapnya, setelah menandatanganinya. Memang Ayud berhak menandatangani seandainya kakaknya tidak ada. Ia kemudian mengangkat map itu lalu memanggil Mirna.

"Mirna, ini sudah.. "

Mirna berdiri dan mengambil berkas itu.

"Boleh kamu kirimkan sekarang."

"Baik bu."

Tiba-tiba ponsel Ayud berdering, Dinda menelpon rupanya.

"Hallo Din, ada apa?"

"mBak, ini aku lagi bantuin simbok memasak, tapi setahnya aku mau kerumah simbah ya?"

"Sendirian? Kamu nggak takut nyasar?"

"Ya enggak lah mbak, aku bisa naik ojek online atau taksi."

"Baiklah, terserah kamu, tapi setelah ini kamu harus siap-siap ikutan ujian masuk kamu ke universitas lho, nggak lama lagi tuh."

"Iya mbak, siap..."

Ayud menutup pembicaraan itu. Ia senang ikut memikirkan kelanjutan kuliah Dinda, ia memang menyayangi Dinda sejak mereka masih kanak-kanak.

***

Retno terkejut ketika siang itu tiba-tiba Adhitama muncul dihadapannya.

"Adhit ? Ya ampun Dhit, angin apa yang membawamu kemari?" Sambut Retno sambul memeluk Adhitama erat-erat.

"Kebetulan ada waktu, pengin mampir kemari tante. Ini oleh-oleh buat tante dan om Raharjo." kata Adhit sambil menyerahkan sekotak bingkisan berisi makanan khas Solo. Tadi sebelum ke bandara dia mampir beli oleh-oleh itu.

"Waduuh.. banyak banget oleh-olehnya, terimakasih banyak ya."

"Om Raharjo belum pulang?"

"Belum nak, nanti sorean baru pulang, tapi nanti tante mau menelpon saja, barangkali dia bisa pulang lebih awal.

"Biar saja tante, nanti mengganggu."

"Nggak, nggak apa-apa.. sebentar, tante ambilkan minum buat kamu."

Adhitama duduk menunggu di kursi tamu itu, tapi hatinya  er debar-debar. Ia tak tau harus mengatakan apa, dan ia juga seperti mimpi ketika tiba-tiba sudah menginjakkan kakinya dirumah itu. Adhitama belum pernah jatuh cinta, belum pernah merasakan perasaan seperti yang ia rasakan kepada Dinda, dan ia sungguh kebingungan ketika belum-belum ayahnya sudah menentangnya. Sekarang ia datang kerumah orang tua Dinda, tapi ia bingung harus mengatakan apa. 

"Aku benar-benar seperti gila," bisiknya lirih, sambil menyandarkan kepalanya di kursi itu. Ketika Retno datang dengan membawa segelas minuman dngin , Adhit baru menegakkan tubuhnya..

"Capek ya Dit?"

"Enggak tante. Sepi ya dirumah tante sendirian."

"Iya, cuma ada satu pembantu. Sebenarya tante masih ingin bekerja di kantor, tapi semenjak dipindahkan ke Medan om mu melarang tante bekerja. Ya sudah, jadi ibu rumah tangga saja. Ayo diminum dulu."

"Terimakasih tante," kata Adhit yang kemudian meneguk minumannya.

"Bagaimana kabar Dinda? Merepotkan bukan?"

"Oh, tidak tante, kami senang Dinda ada disana," kata Adhit sambil menahan debar jantungnya.

"Dia itu manja, dan nakal lho, kalau minta apa-apa .. kalau belum diturutin... teruus saja me rengek-rengek. Itu sebabnya tante sesungguhnya berat melepaskan dia, takut menyusahkan."

Adhit tersenyum, rengekan Dinda itu, sangat disukainya, dan membuatnya gemas. 

"Tidak tante, tante jangan khawatir, Ayud sangat memanjakan Dinda kok."

"Tapi tante percaya, karena keluarga kami dan keluarga ayahmu sudah seperti audara, pasti kalian akan saling mengasihi."

"Oh, lebih dari itu tante," meluncur begitu saja kata-kata Adhit, yang kemudian membuatnya terkejut sendiri. Lebih dari itu, apa maksudnya? Ya ampun, jangan sampai tante Retno bisa menangkap artinya, kata batin Adhit.

"Ya, tante percaya, sebentar, tante akan menelpon om mu dulu, siapa tau dia bisa pulang lebih cepat." kata Retno sambil berdiri dan mengambil ponsel untuk menelpon suaminya.

Adhitama termenung sendiri. Seperti mimpi rasanya ketika ia tiba-tiba sudah berada dirumah ini. Banyak yang ingin dikatakannya, tentang isi hatinya, tentang perasaannya pada Dinda, dan sesungguhnya ia berharap mendapat dukungan, bukan tentangan seperti sikap ayahnya, yang mungkin juga ibunya. Tapi rasanya ia tak akan mampu mengatakan apapun. Barangkali sangat ter gesa-gesa mengakui perasaan cintanya, apalagi Dinda juga belum tentu bisa menerimanya. Kemudian ia menjadi menyesal mengapa tiba-tiba datang menemui orang tua Dinda.

Lamunan itu buyar ketika Retno sudah kembali duduk dihadapannya.

"Om mu akan segera pulang,"

"Oh, saya menyusahkan saja, padahal saya cuma mampir."

Lalu Adhit terkejut sendiri menyadari pernyataannya. Mampir? Mampir dari mana? Aduh.. sekarang Adit sibuk mencari alasan mengapa ia datang kerumah Raharjo.

Sebentr ya, tante akan menyiapkan makan siang," kata Retno sambil berdiri.

"Jangan repot-repot tante."

"Nggak repot kok Dit, kan om mu juga mau pulang, nanti kita bisa makan sama-sama."

Adhit kembali menyandarkan kepalanya disandaran sofa itu. Ia kemudian menyadari kebodohannya, sifar grusa grusu yang membuatnya tanpa berfikir panjang lalu terbang ke Medan. Lalu dia bingung harus berkata apa, bingung harus mencari alasan apa.. aduuh.. bagaimana ini..

Adhitama memejamkan matanya, terbayang lagi wajah cantik dan manja itu, seperti me nari-nari didepan pelupuk matanya. Adhit tersenyum. Dipeluknya bantalan kursi yang ada disampingnya, membayangkan Dinda berada dalam pelukannya. Aduhai... 

Adhit terkejut ketika seseorang menepuk bahunya. Adit melemparkan bantal itu dan berdiri tiba-tiba ketika melihat Raharjo sudah ada dibelakangnya.

"Adhit?"

"Om.."

Keduanya berpelukan lama sekali. Ada desir kerinduan yang juga tak bisa dimengerti oleh keduanya. Ada jalinan benang tipis yang mengikat keduanya dalam satu raga dan rasa. Namun juga tak mereka sadari apa artinya.

"Om kangen sekali sama kamu. Berapa tahun kita nggak jumpa ya Dit?" Kata Raharjo yang kemudian duduk berhadapan di sofa itu.

"Lumayan lama om, waktu itu Dinda masih SMP, baru masuk SMP di sini." kata Adhit.

"Benar, sudah tiga tahunan ya Dit, kamu sudah dewasa dan bertambah ganteng seperti ayahmu," kata Raharjo.

"Lho, pak.. sudah pulang ternyata," pekik Retno yang baru keluar dari dapur sambil membawa sepiring makanan.

"Ibu gimana, tamunya dibiarkan mengantuk disini, sendirian.."

"Oh ya, ngantuk Dit? Itu pak, ibu lagi menyiapkan makan siang .. tuh sudh selesai, jadi kita bisa makan siang sama-sama."

"Wah, bagus nih, bapak juga sudah lapar. Ayo Dit, kita makan." ajak Raharjo sambil berdiri.

Mau tak mau Adhit juga langsung berdiri dan melangkah ke ruang makan mengikuti Retno dan suaminya.

Ketika Adhit berpamit untuk ke kamar mandi, Raharjo bertanya pada isterinya.

"Kenapa tiba-tiba Adhit datang kemari? Nggak ada apa-apa tentang anak kita kan?"

"Nggak pak, dia bilang cuma mampir kok."

"Oh, ya sudah, aku khawatir Dinda merepotkan disana."

"Nggak merepotkan om, Ayud senang sekali mendapat teman. Sa'at ini Dinda pastinya sedang mempersiapkan diri untuk ikut ujian masuk ke universitas." kata Adhit sambi duduk.

"Syukurlah, aku titipkan Dinda pada Ayud dan kamu ya."

"Ya om."

Ketika selesai makan itu Adhit masih juga ber debar-debar. Pasti Raharjo akan bertanya tentang keperluan kedatangannya ke Medan, dan Adhit tak akan mampu menjawabnya.Melamar Dinda? Nanti pasti dikiranya dirinya sudah gila. Masa tiba-tiba melamar. Lalu apa? 

Ternyata aku ini bodoh. pikir Adhit.

"Sebenarnya kamu dari mana Dit, kok bisa mampir kemari," tanya Raharjo.

Tuh kan, Adhit sudah menduga pasti akan ada pertanyaan seperti itu. Adhit meraih gelas minum dan meneguknya. 

Mau membuka cabang dikota ini?" tiba=tiba pertanyaan Raharjo ini menerbitkan ide jawaban yang akan dikarangnya.

"Mm.. iya sebenarnya om, tapi.. belum tau saya, kayaknya ini terlalu jauh,"

"Terlalu jauh bagaimana? Besok aku antar kamu untuk ber putar-putar, barangkali ada peluang bisnis yang bagus buat kamu."

"Mm.. sebenarnya ingin om, tapi mungkin lain kali saja, saya hanya bisa meninggalkan kantor selama dua hari karena lusa akan ada tamu penting di perusahaan saya. Sementara saya juga harus ke Jakarta dulu besok pagi."

"Oh, begitu ya, baiklah, kapanpun kamu mau, om akan bantu."

"Terimakasih om." lalu Adhit bernafas lega karena menemukan jawaban yang bisa diucapkannya, padahal sama sekali tak terpikirkan olehnya membuka bisanis disana.

Tiba=tiba terdengar dering telephone dari ponsel milik Retno.

"Haa.. ini Dinda."

Aduh, Dinda menelpon? Adhitama ingin melarang Retno agar tak menceritakan keberadaannya di Medan, tapi rupanya sudah terlambat.

"Hallo Dinda, kebetulan, Adhit pas lagi disini lho."

"Apa bu? Mas Adhit dirumah?"

***

Siang itu Ayud juga menelpon ibunya.

"Hallo Ayud, apa kabar?"

"Baik ibu, bapak belum pulang?"

"Ya belum nak, kan biasanya sore baru pulang. Kamu lagi di kantor?"

"Iya nih, mana mas Adhit, Ayud ingin menanyakan sesuatu, ada masalah perusahaan yang harus mas Adhit yang menjawabnya."

Dan Putri tertegun. Adhit dimana ? Apakah Ayud salah menelpon orang? Tapi dia kan tadi dia memanggilny ibu?

"Bu, cepetan dong, mana mas Adhit?"

"Kamu itu mimpi kah? Bagaimana kamu mencari kakak kamu disini? Ini rumah Jakarta, aku ibumu lho Yud."

"Ibu, gimana sih, Ayud yang bingung sekarang, bukankah mas Adhit  ada di Jakarta?"

"Nggak mbak, mas Adit ada di Medan." tiba-tiba Dinda sudah ada diruangan itu dan menyambar pembicaraan Ayud dan ibunya. 

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1 comment:

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 13

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  13 (Tien Kumalasari)   “Kamu tidak menjawab pertanyaanku, Tangkil? Apa yang kamu lakukan di sini?” Tangkil...