Friday, July 12, 2019

SA'AT HATI BICARA 50

SA'AT HATI BICAEA  50

(Tien Kumalasari)

Dita bersiap siap seandainya yang masuk adalah Santi. Tapi bukan, seorang tua dengan penyangga kaki dan berjalan tertatih masuk, dan dengan heran memandang Dita serta Laras bergantian. Kemudian serta merta ia membalikkan tubuhnya, dan keluar dari pintu. Tapi sebelum keluar Dita memanggilnya.

"Bu.. ibu.. ibu mencari siapa?"

"Ma'af, salah kamar.." kata perempuan itu dengan suara serak, kemudian menghilang dibalik pintu setelah menutupkannya .

Laras dan Dita berpandangan, tapi kemudian diingatnya perempuan tua yang keluar dari ruangan ketika ia berhenti didepan pintu sebuah kamar.

"Perempuan itu aneh bukan?"

"Sangat aneh, aku akan mengejarnya keluar," kata Dita yang kemudian bergegas keluar dari kamar .

Dita menoleh kesana kemari, tpi tak ada perempuan tua itu. Mungkin sudah berbelok keujung lorong. Dita menuju ujung lorong, tapi tak tampak perempuan tua itu.Padahal pasti jalannya tertatih dan tak bisa cepat. Apa dia bisa menghilang?

Dan kalau tadi dia bilang salah kamar, berarti kamar yang ditujunya pasti didekat dekat situ. Masa salah sampai dikamar lain yang letaknya berbelok belok?

Dita nekat. Mungkin perempuan itu sudah masuk kesalah satu kamar disebelah kiri atau kanannya kamar Sasa. Jadi dia nekat masuk kesebelah kirinya dulu. Ia mengetuk pintu pelan, lalu masuk seakan akan dia akan membezoek seseorang. Tapi kamar itu ditunggui oleh seorang perempuan setengah baya dengan pakaian sederhana, duduk sambil bersandar ke sofa.

"Silahkan, mau membezoek cucu saya?" sapa perempuan itu.

"Oh, ma'af bu, saya salah kamar," lalu Dita keluar. Sepanjang kamar yang berjajar dikiri kanan Sasa sudah dimasukinya, dan entah sudah berapa kali Dita berucap ma'af salah kamar.

Lalu Dita kembali menemui Laras, yang masih saja memeluk Sasa.

"Ketemu?"

Dita menggelengkan kepalanya.

"Mencurigakan sekali. Jangan2..."

Ucapan Laras berhenti karena tiba2 seorang perawat datang membawa map berisi surat2.

"mBak, atas permintaan orang tuanya, anak ini mau dipindahkan kerumah sakit lain ," kata perawat itu.

"Apa,?" Dita berteriak.

"Iya, ini atas permintaan orang tuanya, ini surat2nya sudah selesai, tinggal membawa anaknya saja. Dia memesan mobil ambulan, dan akan menunggunya disana."

"Rumah sakit mana ?"

"Ma'af, saya tidak berhak memberi tau, sekarang saya akan mengambil anak itu."

"Tidak bisa," kata Laras sambil memeluk Sasa erat2.

"Mana orang tuanya?" tanya Dita kesal.

"Saya orang tuanya," tiba2 Agus muncul dikamar itu.

Laras sangat gembira, dan Sasa langsung berteriak.:"Papaaaa...."

Agus memeluk Sasa, menciumi  sepuas puasnya, air matanya berlinang, air mata bahagia.

"Aku mau pulang, papa... " rengek Sasa.

"Ya, pastinya kamu akan pulang bersama papa."

"Bagaimana ini?" perawat itu bingung.

"Suster, anak saya ini diculik, sekarang saya sudah disini, sayalah yang berkuasa atas anak ini. Jadi kembalilah, lagipula ibunya sudah ditangkap polisi.

 Perawat itu kebingungan, tapi kemudian keluar dari kamar itu.

"Sayang, ma'afkan papa ya...," Agus mencium Sasa lagi. Laras mundur kebelakang, air matanya juga berlinang. Ia dan Dita berpelukan karena perjuangannya berhasil.

"Mas,  tadi mas bilang ibunya sudah ditangkap polisi, apa benar?" tanya Laras.

"Benar, ketika aku dan Panji mau masuk kerumah sakit ini, tiba2 ada seorang nenek2 memakai tongkat keluar. Tapi ada yang aneh, begitu sampai dihalaman dia melempar tongkat itu dan berjalan dengan santai, memasuki sebuah mobil. Aku dan Panji terus memandanginya dengan heran. Tapi kemudian aku mengenalinjya. Nenek2 itu memakai sepatu berhak tinggi, itu aneh, dan aku mengenali cara dia berjalan. Aku langsung memberi kode kepada polisi yang menunggui didepan. Mereka menghadang mobil itu sehingga urung berjalan. Polisi menarik perempuan itu, menarik wig yang dipakainya, juga kaca matanya. Dia memang Santi."

"Diaaaa..," teriak Laras dan Dita hampir bersamaan.

"Kalian tau?"

"Tadi dia masuk kemari, tapi begitu melihat aku sama Dita, lalu keluar lagi dan bilang salah kamar. Rupanya dokter Santi menyamar jadi nenek2, suaranya juga di buat2." kata Laras.

"Hampir saja Sasa dibawa pergi lagi, tapi mbak Laras sudah mempertaruhkan nyawa dengan mendekap Sasa erat2. Ia tak akan mengijinkannya seandainya perawat itu nekat." 

Agus tersenyum,lalu dipandanginya Laras. Aduh, heran deh, mengapa dalam suasana seperti ini dia masih juga tebar pesona?Laras tersipu dan menundukkan kepalanya.

"Tunggu, bukankah kamu lagi sakit? Bagaimana bisa sampai kemari?"

"Aku lagi berjalan jalan, aku sudah bersiap minta pulang karena sudah merasa sembuh," lalu Laras menceriterakan bagaimana dia bisa menemukan Sasa. Agus menatap Laras, penuh terimakasih.

"Aku mau minta pulang, pasti dokter mengijinkan," kata Laras.

"Masa? Coba lihat, lha lukamu masih diperban..," kata Agus ambil memgangi lengan Laras. 

Laras berdebar. Agus memegangnya lama sekali, seperti dokter yang sedang mengamati penyakit pasiennya. Tapi Laras membiarkanhya, seperti ia membiarkan debur jantungnya memukul mukul dadanya.

"Ini belum boleh pulang, ayo kembali kekamar dan tidur," canda Agus.

"Iih, memangnya dokter ?" Laras cemberut.

Agus duduk sambil tersenyum senyum, barangkali dia menangkap ucapan selamat datang seandainya dia mengetuk pintu hatinya.

"Papaaa..." tiba2 Sasa merengek.

"Oh, ya sayang...?"

"Aku nggak mau ini... lepasin papaaa..." Sasa menunjuk lengannya yang terbalut dan ada selang tersambung ke botol infus.

"Eit.. sebentar sayang, papa mau nanya dulu sama pak dokter, apakah ini sudah boleh dilepas atau belum, kan Sasa sakit?"

"Sasa sudah sembuh!" kata Sasa kesal.

"Oh ya, baiklah, tunggu pak dokter dulu ya, nanti kalau sudah sembuh pasti pak dokter mengijinkan selang itu dilepas."

"Aku mau mbak..." rengek Sasa lagi.

"Oh, nanti papa akan menjemput mbak, supaya menungguin kamu disini."

"Aku nggak mau mama...," kata Sasa sepeti ketakutan.

"Nggak ada mama, sekarang Sasa bersama papa, bersama tante Laras, tante Dita. Oh ya, kamu sudah kenal tante Dita?"

Sasa memandangi Dita dan mengangguk. Dia ingat waktu masih bersama ibunya, Dita yang menenangkannya.

"Kenal dong Sasa...nggak lupa kan?" kata Dita sambil memandangi Sasa

"Aku mau menelpon Endang, biar dia kesini. "

"Papa jangan pergi, aku mau ikut," rengek Sasa lagi.

"Sayang, papa akan memanggil mbak ya, nanti kalau mbak Endang datang..papa mau ketemu dokternya juga, supaya Sasa boleh cepet2 pulang, ya?"

Agus menelpone Endang, sementara itu Laras juga kembali ke kamarnya. Dita masih dikamar itu menghibur Sasa, bersama Agus.

"Bagaimana keadaanmu Dita?"

"Baik pak, aku bersyukur Tuhan melindungi kita semua."

 "Benar, akhirnya semua segera berakhir. Terimakasih banyak karena kamu sudah berkorban untuk Sasa."

"Bapak nggak usah berterimakasih begitu, saya baru ketemu Sasa, tapi rasanya sayang banget sama dia."

"Santi benar2 gila melakukan ini semua. Dia itu sakit."

Tiba2 telephone berdering. Dari Panji.

"Hallo Panji, bagaimana? Masih di kantor polisi?"

"Ya, masih, urusannya masih panjang nih, Santi membawa bawa nama Dita."

"Ya ampuun, eddan dia."

"Dia akan dipanggil kekantor polisi juga."

Agus memandangi Dita yang sedang bercanda dengan Sasa. Ada rasa iba memenuhi hatinya.

***

besok lagi ya

No comments:

Post a Comment

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...