Wednesday, July 10, 2019

SA'AT HATI BICARA 49

SA'AT HATI BICARA  49

(Tien Kumalasari)

 

Laras terpaku sejenak, kemudian ingin berteriak memanggil. Tapi hati warasnya menahannya. Tak mungkin Sasa sendirian, pasti ada Santi disitu. Laras berfikir bagaimana caranya bisa mengambil Sasa dan menyerahkannya pada papanya. Tampaknya Sasa memang sakit, ada selang infus terhubung ke lengannya. Dan Sasa tampak tertidur. Laras ingin melongok kedalam, ingin tau dimanakah Santi duduk. Tapi diurungkannya. Kalau dia melakukannya, lalu Santi melihatnya.. bisa2 Santi akan berbuat sesuatu yang nekat. Bisa jadi selang infus itu dilepaskannya lalu dibawanya kembali Sasa entah kemana. Laras tak berani beringsut dari sana. Ia harus mengawasinya terus. Bodohnya aku, mengapa tidak membawa ponsel. Ia ingin menghubungi Agus, tapi dengan apa?

Laras bingung. Ada orang2 lewat, tapi mana mungkin ia meminjam ponsel mereka untuk menghubungi Agus atau Panji?

Ada bangku disamping jendela itu. Laras duduk sambil berfikir keras.Sebentar2 kepalanya melongok kearah kamar, dan dilihatnya Sasa masih tertidur. Dimanakah sebenarnya Santi? Laras kemudian berdiri, melongok agak mendekat ke jendela, tapi pintu kekamar itu tertutup. Kalau ia tiba2 masuk, dan ternyata Santi ada didalam? Wah, bisa kacau.  

Laras berjalan kesana kemari.. seperti orang linglung. Ketika perawat yang ditanyainya arah ruangannya lewat lagi, Laras tersenyum dan mengangguk.

"Sudah ketemu ruang Melati mbak?" tanya perawat itu yang mengira Laras masih kebingungan.

"O, sudah suster, ini lagi.. lagi.. nungguin teman," jawab Laras sekenanya.

Perawat itu berlalu. Ia tiba2 teringat film2 yang pernah dilihatnya, orang asing memasuki sebuah ruang dirumah sakit, dengan meminjam baju suster yang berjaga, kemudian dengan bebas bisa masuk kedalam.Lalu melakukan kejahatan disitu. Tapi itu kan cerita. (eh, emangnya ini bukan cerita?)...

Tapi Laras ternyata bukan seorang pemberani. Ia justru merasa kecut membayangkan dia akan gagal menyelamatkan gadis kecil itu. Ia butuh seseorang. Siapa yang tau kalau ia berada disini? Ia ingin ke ruangannya sendiri untuk mengambil ponsel, tapi takut kehilangan jejak Sasa. Tapi bukankah Sasa sedang dirawat dan tak mungkin bisa pergi dari situ? Laras beridiri, kemudian bergegas pergi keruangannya sendiri. Cepaat... cepaaaat... bisik batinnya. Aduh, ternyata dia berjalan sangat jauh, sepuluh menit kemudian dia baru menemukan kamarnya, dan astaga, disitu ada Dita. Laras memeluknya erat.

"Darimana saja, aku sudah mau tidur disini karena menunggu mbak terlalu lama," tegur Dita.

"Ssst.. dengar, aku melihat Sasa, ayo... aku kesini cuma ingin mengambil ponsel. Ayo cepaaat, kita harus menghubungi mas Panji atau mas Agus."

Laras menarik tangan Dita tanpa memberinya kesempatan untuk bertanya. Sambil berjalan itu Laras mencari nomor kontar Panji, atau Agus, mana yang lebih dulu ketemu. Ini dia, mas Agus.

"Hallo, " jawaban dari seberang sana.

"Mas, cepatlah kemari, aku melihat Sasa,"

"Apa? Dimana?"

"Dirumah sakit tempat aku dirawat, cepatlah."

"Diruang apa?"

"Kemari dulu, diruang anak2 lah.. tapi aku tidak melihat Santi. Cepat mas.."

Laras menutup pembicaraan itu sambil terus melangkah.

"Dimana dia?"

"Tunggu, diruang anak2, Apa tadi namanya, aduh.. aku ini suka bingung...

***

 "Tanya saja ke petugas, ruang anak2. mBak Laras jangan panik, tenang mbak, kata Dita.

Itu benar, Laras memang panik. Dita menggandengnya dan menepuk nepuk tangannya. Padahal sebenarnya dia juga panik. Benarkah Sasa ada disini? Ya Tuhan, semoga semuanya segera berakhir. 

Mereka tiba diruang anak2.. tapi kamar yang mana? Laras bingung karena tadi dia melihat dari luar.

Mereka mendekati suster jaga.

"Selamat pagi sus," sapa Laras.

"Pagi mbak, ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ingin membezoek keponakan saya, dikamar mana ya?"

"Namanya siapa mbak?"

"Sasa...."

Perawat itu membuka komputernya, mencari cari nama Sasa, beberapa sa'aat lamanya tapi tidak ketemu.

"Namanya Sasa siapa ya?" tanya perawat itu lagi.

"Waduh, nama lengkapnya nggak tau tuh, nama orang tuanya dicatat nggak?"

"Ya, pastinya, siapa namanya, alamatnya...?"

"Santi? Jl. Kenikir..."

Perawat itu mencari cari lagi, sementara Laras sudah mulai gelisah. Ia menoleh kekanan dan kekiri, berharap Panji dan Agus segera datang.

"Kok nggak ada juga nama itu, atau alamat yang mbak sebutkan ya,"

"Dia baru masuk tadi pagi mestinya," sela Dita.

"Baru tadi pagi? Ini ada.. namanya Dora, umur 3 tahun.."

Laras dan Dita berpandangan, keduanya sepakat melalui pandangan itu, bahwa dialah yang mereka maksud.

"Ya, itulah... dimana kamarnya?"

"Dia di H1 mbak, kelas vip.. diujung sana."

Laras dan Dita mengucapkan terimakasih dan terburu buru mendekati kamar yang dimaksud. Tapi sampai didepan kamar itu mereka berhenti. Apa yang harus dilakukannya? Kalau langsung masuk.. bagaimana kalau terjadi keributan dan Santi membawanya lari?

Tiba2 pintu terbuka, dan seseorang keluar. Laras dan Dita mundur beberapa langkah. Tapi yang keluar adalah seorang nenek2 yang berjalan menggunakan penopang kaki.

Aduuh.. salah lagi.. 

"Bukan ini kamarnya..,"bisik Laras yang kemudian menarik tangan Dita menjauhi kamar itu. Laras mengajaknya berputar lalu menyusuri lorong yang tadi ditemukannya jendela yang sedikir terbuka dan dilihatnya Sasa.

Laras berdebar debar, apakah Santi akan membawanya kabur dalam keadaan anaknya sakit? Tapi Laras benar2 bingung, semua kamar bentuknya sama, semua jendela juga sama.

Haa.. bangku itu..

"Disitu, aku tadi duduk, sungguh, dan dibalik bangku itu aku melihat Sasa." kata Laras beremangat.

Mereka mendekati bangku yang ditunjuk Laras, lalu melongok kedalam. Dilihatnya seorang perawat sedang menggantikan celana si anak kecil.

"Itu Sasa?"

"Ssssh.....," Laras memberi isyarat agar Dita tidak berisik.

Anak kecil itu menangis keras.

"Papaaa... aku mau papa..."

Laras membungkam mulut Dita yang akan berteriak. Itu benar Sasa. Dimana Santi? Pasti sedang duduk di sofa yang membelakangi jendela itu. Bukan, agak kesamping sehingga tidak kelihatan.

Laras menarik tangan Dita, kembali mengitari ruangan itu. Nah, suster yang menggantikan popok itu sudah keluar.

"Suster..," sapa Laras.

"Ya ?" Suster itu berhenti.

"Suster baru saja menggantikan celana anak itu, apa ibunya nggak ada?"

"Oh, ibunya lagi ke instalasi farmasi, ada obat dan infus yang harus dibelinya."

"Terimakasih suster,"

Laras dan Dita berjingkrak kegirangan begitu suster itu berlalu. Keduanya masuk kedalam kamar, dan didengarnya tangisan memilukan itu.

Laras segera menubruk Sasa.

"Sayang, diamlah sayang, jangan menangis.. ingat sama tante?"

Seketika tangis itu berhenti. Ia mengenali Laraas, tentu saja. 

"Aku mau papa... ,"rengeknya lagi.

"Dita, tolong kamu telephone mas Panji atau mas Agus, suruh cepat, kenapa lama sekali?"

" Oh.. ya.. baiklah.."

"Tenang Sasa, oh ya.. kalau mas Agus yang menerima, tolong kasihkan dia biar tenang." kata Laras kepada Dita. 

Sebenarnya :aras ingin menggendong Sasa dan mengajaknya pergi, tapi masih terpasang infus dilengan Sasa.

"Mas Panji? Oh, pak Agus... kok lama pak, ini kami sudah menemukan Sasa," Dita mendekatkan ponselnya ketelinga Sasa.

"Ini papa, ayo panggil papa..."

"Papaaaa... aku mau papaaa... mbana mbak.. aku mau pulaaang..." rengek Sasa.

"Sayangku... cintanya papa... tenang, sebentar lagi papa kesini ya..."

Laras mengambil ponsel itu.

"Mas, lama banget.. ini mumpung mamanya nggak ada. Udah aku WA kamar dan nomernya. Buruan."

"Ya, ya.. ini sudah dekat.. tenanglah..."

Ponsel ditutup, Laras masih memeluk Sasa untuk menenangkan hatinya.

Tiba2 pontu bergerak perlahan. Laras memperketat pelukannya.

***

besok lagi ya

 

 


No comments:

Post a Comment

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...