Tuesday, July 9, 2019

SA'AT HATI BICARA 48

SA'AT HATI BICARA 48

(Tien Kumalasari)

 

Sasa lebih tenang, bisa tertidur, barangkali dokter memberinya obat penenang. Dia juga sudah tidak terus2an buang air, dan panasnya sudah turun. Santi merasa lega. Sejak semalam dia panik karena anaknya panas, lalu buang air terus2an. Ia sungguh beruntung karena pak tua ppemilik sebuah rumah yang ingin dipergunakannya untuk sembunyi, mengira dia adalah menantunya. Dia diam saja ketika bapak tua yang hidup sendirian dirumah sederhana itu menganggapnya Sumi, menantunya, sehingga dia bisa tenang semalaman tidur disitu. Bahkan ketika orang2 mencarinya, dia juga mendengarnya. Untunglah pak tua itu segera mengusirnya  Itulah sebabnya ketika pagi datang ia segera menelpon taksi dan buru2 minta diantar kerumah sakit. Dengan segala cara ia menyamar supaya tidak dikenali oleh siapapun.

Sekarang ia merebahkan tubuhnya di spfa, karena letih lahir batin. Dalam pelarian ia hampir tidak tidur nyenyak selama berhari hari. Sekarang ini mungkin di[ikirnya Dita sudah kembali kerumahnya, dan pasti sudah melaporkannya pada polisi. Tapi sekarang untuk sementara ia merasa tenang. Nanti setelah Sasa sembuh ia pasti akan membawanya jauh, dia belum memikirkannya. Sekarang matanya terpejam, lalu lelap dalam letih yang sudah lama ditahannya.

***

"Ibuu.... " teriak Dita begitu tiba dirumah sakit da menemui ibunya.

Bu Tarjo yang baru saja selesai makan pagi terkejut sekali. Tiba2 Dita muncul dihadapannya, dan memeluknya.

"Dita ?Kamu Dita?"

"Ibu, ini Dita... "

"Ya Tuhan, ibu kangen sekali sama kamu Dita, lama sekali, seperti bertahun tahun ibu tidak melihat wajahmu.." kata bu Tarjo sambil mencium putrinya. Air matanya berlinang linang.

"Benarkah kamu sudah diperiksa lagi dan sebenarnya sehat?"

"Iya bu, Dita sehat, Dita akan hidup seribu tahun lagi," kumat kesukaan bercandanya ketika Dita bertemu ibunya.

"Dokter Santi salah diagnose. Dia itu kan dokter yang masih bodoh," kata Dita dengan kesal. Ia dibuat sengsara dan diselimuti rasa takut selama ber hari2.

"Dita, kamu nggak boleh bilang begitu, dia itu kan baik sama kita," tegur bu Tarjo yang belum tau keadaan sebenarnya.

"Iya.. iya... ma'af..," kata Dita sambil meleletkan lidahnya.Ia belum ingin menceriterakan keadaan yang sesungguhnya kepada ibunya.

Bu Tarjo tertawa.

"Kamu itu, suka bercandanya nggak habis2. Tapi .. ya ampuun.. kamu bau sekali... belum mandi ya?" tiba2 bu Tarjo mengernyitkan hidungnya.

Dita tertawa keras.

"Ssst... " bu Tarjo mencubit pipi Dita. 

"Dita memang belum mandi, apa disini ada baju mbak Ruti yang tertinggal?"

"Sepertinya ada, coba saja di almari itu. Mandilah dulu, nanti cerita2 lagi, lalu keadaan nak Laras bagaimana kok kamu sudah kesini?"

Waduh, Dita kan belum tau apa2 tentang sakitnya Laras, dia harus cepat2 menelpon Laras sebelum kembali menemui ibunya setelah mandi.

"Ada bu, Dita mandi dulu ya?" Lalu Dita pun mengambil sehelai baju Ruti, dan menuju ke kamar mandi.

Bu Tarjo tersenyum senang. Ia merasa sangat sehat, dan ingin segera kembali pulang. Itu dikatakannya ketika suster datang dan mengukur tensinya.

"Bagaimana suster? Tekanan darah saya bagus kan?"

"Bagus sekali bu." jawab perawat itu.

"Saya ingin cepat pulang suster, nanti bilang sama dokter ya."

"Ibu, nanti kalau dokternya datang, ibu bilang saja sama dokternya. Coba sekarang ibu duduk, masih pusing nggak?"

Bu Tarjo bangkit, kemudian duduk, agak terasa berputar kepalanya. Tapi kan itu karena terlalu lama tiduran? Bu Tarjo memejamkan matanya.

"Bagaimana bu? Masih pusing bukan?"

"Oh, nggak.. nggak apa2, kan ibu terlalu lama tiduran, lama2 pasti nggak terasa pusing lagi.

"Baiklah, tapi kalau masih pusing sekali jangan dipaksa ya bu?"

"Baiklah suster," jawab bu Tarjo sambil masih tetap duduk. Dilihatnya luka bakar ditubuhnya yang sebagian mulai mengering. Bu Tarjo yakin akan bisa merawatnya sendiri dirumah.

***

"Ya ampun Dita, syukurlah kamu sudah kembali dengan selamat. tapi aku masih prihatin dengan keberadaan Sasa Dit, dimana dia sekarang?"kata Laras dari seberang ketika Dita menelponnya.

"Aku ikut mengejarnya kemarin, dan pagi ini mereka sedang menyusuri kesetiap rumah sakit karena menurut penyelidikan, dokter Santi membawa Sasa kerumah sakit. Tampaknya anak itu  sakit. Kasihan mbak, Sasa rewel memanggil manggil papanya terus. Aku sedih mendengar tangisnya."

"Aku juga sedih, Sasa kan terbiasa dengan papanya, bukan dengan mamanya,"

"Bagaimana sakitmu mbak? Kecelakaan itu karena mbak melindungi Sasa ya?"

"Ya, kebetulan sedang bersama aku, tapi aku sudah baikan, aku akan minta pulang, kalau boleh hari ini."

"Benarkah? Nanti aku akan kesini mbak, ini baru habis mandi, mbak Ruti kan bilang sama ibu bahwa aku nggak menengok ibu karena nungguin mbak Laras sakit. Nanti kalau ibu nanya2 keadaan sakitnya mbak Laras aku jadi bisa menjawab."

"Iya, aku tau, Maruti sudah bilang sama aku." 

"Ya sudah, temani ibu dulu, aku mau jalan2.."

"Haaa.. jalan2?

"Aku kan sudah bilang bahwa aku sudah pengin pulang. Tinggal luka lecet ini saja .. kan nggak apa2.."

"Ya udah, hati2 mbak, aku nanti kesitu. Telponnya nggak berani lama2, kan ini minjem telephone rumah sakit?"

"Ya, baiklah, salam buat ibu ya. Oh ya, bagaimana keadaan ibu" 

"Baik mbak, tadi sudah latihan duduk, dan tampak sehat."

"Syukurlah, aku ikut senang."

Dita menutup pembicaraan itu. Dia tadi meminjam telephone rumah sakit, karena ponselnya hilang entah kemana. Ia kembali menemui ibunya dikamar. Dilihatnya bu Tarjo masih duduk dipembaringan, menunggu Dita kembali.

"Ibu jangan lama2 duduknya, kan masih latihan?"

"Ibu sudah sehat Dit, nggak apa2.. kamu tadi dari mana?"

"Menelpon mbak Laras bu."

"Bagaimana keadaan nak Laras?"

"Dia sudah bisa jalan2, katanya hari ini mau minta pulang."

"Ibu juga mau minta pulang."

"Lho, ibu kan masih banyak luka2 yang harus dirawat dengan cermat?"

"Ibu bisa merawatnya sendiri , percayalah, ibu selalu perhatikan setiap perawat membersihkan lukanya, memberinya obat dan menggantikan perbannya. Nggak sulit kok."

"Tapi harus minta ijin dokter dulu, nanti Dita bilang kalau dokternya kesini. Tapi Dita pamit sebentar ya bu, mau nengokin mbak Laras."

"Lho, kamu sudah dari sana, kok masih mau nengokin lagi."

"Bukan begitu, tadi kami omong2, dan... mbak Laras harus... harus membeli obat, jadi... biar Dita belikan dulu.. nanti Dita kembali kemari," kata Dita berbohong. Kan sebenarnya dia belum pernah ketemu Laras sejak Laras mengalami kecelakaan?

Tapi bu Tarjo mengangguk angguk, baginya keberadaan Dita didekatnya sudah membuatnya lega, apalagi dalam keadaan sehat tak kurang suatu apa, meleset dari apa yang dikatakan dokter Santi waktu itu. Tapi bu Tarjo juga heran, bagaimana bisa seorang dokter bisa seceroboh itu? Bu Tarjo tidak mengerti, bukan dokternya yang melakukan itu, tapi manusianya. Manusia yang diselubungi oleh ambisi untuk memiliki sesuatu, menghancurkan sesuatu, demi kepuasan diri.

***

Laras benar2 turun dari pembaringan, dan berjalan jalan disekitar rumah sakit itu. Ia merasa sehat, ia ingin segera pulang. Rumah sakit yang besar, bersih, nyaman, tapi siapa yang suka menginap disitu? Laras berhenti disebuah taman, ada kursi besi dan bercat abu2, terlindung dibawah pohon rindang. Laras duduk disana, menikmati udara segar yang beberapa hari ini tak pernah dihirupnya. Bau alkohol dan obat2an masih tercium dari situ, tapi semilir angin membuatnya merasa lebih nyaman. 

Beberapa sa'at Laras duduk disana, dipandanginya langit biru diatas sana,  udara sedikit panas menjelang siang itu. Dilangit itu tampak sebuah bayangan. Laki2 ganteng dengan kumis tipis diatas bibirnya, tersenyum dan melambaikan tangannya. Laraspun tersenyum. seekor burung menggoyangkan dedaunan, dan kerosak daun2 itu menyadarkannya, menghempaskannya dari kerinduan yang menyesakkan dadanya. 

"Sa'at ini mas Agus sedang bersedih, aku bisa merasakan bagaimana sedihnya. Ya Tuhan, kembalikan Sasa padanya." bisiknya pilu.

Teringat olehnya ketika ia menyelamatkannya dari maut, gadis mungil yang lucu, yang menggemaskan, tapi mengapa sekarang harus pergi? Kata Dita ia memanggil manggil papanya terus, duhai.. pasti tersiksa ketika ia dipaksa mengikuti seseorang yang tidak dekat dengannya walau dia ibu kandungnya sendiri.

Laras menghela nafas panjang, ia kemudian berdiri dan meninggalkan taman itu. Melangkah menyusuri lorong2 rumah sakit dengan hati gundah.

"Tuhan, kembalikan Sasa pada ayahnya,"bisiknya dalam do'a.

Laras terus berjalan, tiba2 ia lupa dimana letak ruangannya sendiri. Laras membalikkan tubuhnya, melongok kesetiap jendela terbuka yang dilaluinya. Barangkali dari situ ia bisa mengenalinya. Tapi tidak, ini kan ruang anak2. Ketika seorang suster lewat, dia terpaksa bertanya.

"Suster, dimana ruang Melati?"

"Oh, disana mbak, jauh.. terus saja lurus, kekiri.. baru kekanan.."

"Terimakasih suster."

Laras terus melangkah mengikuti petunjuk sang suster. Disebuah jendela yang terbuka, tanpa sengaja  ia melihat sesuatu, yang membuatnya sangat terkejut.

"Bukankah itu Sasa?" bisiknya lirih.

***

besok lagi ya

No comments:

Post a Comment

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...