MAWAR HITAM 07
(Tien Kumalasari)
Mbok Manis menatap wanita cantik berpakaian bagus berwarna hitam, seperti kebanyakan beberapa pelayan yang lalu lalang melayani pembeli. Tak berkedip dia, dan terus menerus menatapnya.
“Sinah? Kamu Sinah kan?”
Tak terduga, Sinah tertawa geli.
“Bu, saya itu orang kota. Mana pantas nama saya Sinah? Ibu ada-ada saja. Nama saya Mawar bu, saya pemilik rumah makan ini.”
Karena mbok Manis tak beranjak dari tempatnya berdiri, Adisoma dan Saraswati menoleh kearahnya. Saat Sinah menyambutnya, mereka tak begitu perhatian pada penyambutan itu, karena dianggap hal biasa di sebuah rumah makan atau toko besar sering ada penyambutan seperti itu. Tapi melihat sikap mbok Manis, Adisoma dan Saraswati ikut memperhatikan wanita berbaju hitam yang tertawa-tawa di hadapan mbok Manis. Mereka baru sadar, wanita itu mirip sekali Sinah.
“Sinah?” Saraswati juga nyeletuk.
“Tuh kan, Den Ayu, ini Sinah kan?”
“Ibu-Ibu, Bapak … Ibu ini mengira nama saya Sinah, dan Ibu yang satu ini demikian pula. Salah semua ya, nama saya Mawar, sesuai dengan nama rumah makan ini. Bukan Sinah.”
Akhirnya semuanya mengangguk-angguk, termasuk mbok Manis dan mbok Randu.
“Silakan masuk dan memilih tempat duduk yang nyaman, lalu memilih hidangan, Ibu-Ibu … dan Bapak … “ Sinah berkata ramah, sambil selalu tersenyum.
Adisoma memilih tempat duduk berhadapan dengan Saraswati, Tangkil dan mbok Manis serta mbok Randu duduk di meja yang lain. Mereka enggan makan semeja dengan sang bendoro.
“Tangkil, kamu juga melihat kan, wanita yang menyambut tadi. Yu Randu, benar tidak kalau aku memanggil dia Sinah?”
“Memang Sinah sih sepertinya, tapi pastinya bukan. Masa Sinah ada di sini, berpakaian bagus dan bersikap seperti majikan?” kata mbok Randu.
“Majikan rumah makan ini wajahnya mirip Sinah, tapi pastinya bukan Sinah, yakin bukan Sinah.” sambung Tangkil.
“Iya benar, Kil … namanya orang kan terkadang ada yang wajahnya mirip,” kata mbok Randu.
“Iya sih, tapi suaranyapun sama lhoh.”
Pembicaraan terhenti, karena pelayan menyodorkan menu makanan yang harus dipilih.
“Tangkil, tawarkan ke yang lainnya, mau makan apa, minum apa, jangan sungkan,” kata Adisoma dari meja seberang.
“Baik, Den Mas.”
Tangkil membuka-buka menu, kemudian menawarkannya kepada kedua simbok.
“Aku terserah kamu saja Kil, mau milih yang mana. Minumnya aku wedang jeruk saja,” kata mbok Randu.
“Aku juga wedang jeruk, makannya terserah Tangkil,” sambung mbok Manis.
“Nasi gudeg saja ya, gudegnya Jogya kan beda dengan gudeg kita di Solo,” kata Tangkil.
“Ya, aku juga cocok,” kata mbok Randu, sementara mbok Manis hanya mengangguk.
Pikiran mbok Manis masih kepada pemilik rumah makan yang mirip Sinah. Namanya Mawar. Mana mungkin Sinah bisa memiliki rumah makan, akhirnya mbok Manis pasrah, karena berpikir tentang hal yang tidak mungkin.
Sementara itu bukan hanya rombongan mbok Manis yang berbincang tentang Sinah. Adisoma dan Saraswati pun membicarakannya.
“Kok bisa ya Kangmas, mirip sampai kebangetan. Suaranyapun sama.”
“Apa jangan-jangan Sinah punya saudara kembar. Coba tanya sama mbok Manis.”
“Ya tidak Kangmas, kalau mbok Manis punya anak kembar, pasti dia sudah berpikir bahwa gadis itu saudara kembarnya Sinah. Nyatanya tidak. Dia juga selalu bilang kalau anaknya hanya seorang.”
“Silakan, Bapak … Ibu …” kata pelayan mempersilakan ketika hidangan sudah ditatanya di meja tamunya.
“Terima kasih. Rumah makan ini sudah lama berdirinya?”
“Belum, Tuan, baru beberapa Minggu. Tapi sudah ramai pelanggan, soalnya bu Mawar sangat ramah kepada semua tamu. Setiap kali ada yang datang, beliau sendiri yang menyambutnya,” terang pelayan itu.
“O, gitu ya. Baik, terima kasih ya.”
Pelayan itu berlalu, lalu keluarga Adisoma segera menikmatinya, melupakan pemilik rumah makan yang wajahnya mirip Sinah.
***
Di ruang kantornya, Sinah tersenyum-senyum senang. Ia tak ingin dikenal dengan nama Sinah. Itu nama udik, dan ia menyembunyikan dirinya dari siapapun yang pernah dikenalnya, termasuk ibu yang melahirkannya, dengan mengganti namanya menjadi Mawar. Sinah bangga dengan apa yang sudah dicapainya. Sinah yang dulu gedibal, sekarang punya banyak gedibal yang siap melayani dan menuruti apa yang menjadi perintahnya. Sinah memang tak pernah bermimpi akan menjadi seorang nyonya juragan, tapi Sinah tiba-tiba menemukannya, yang dianggapnya sebagai karunia atas segala kekecewaannya selama ini.
Andra, yang sudah resmi menjadi suaminya jarang sekali datang. Kecuali dia sibuk dengan bisnisnya, dia juga memiliki istri yang tak bisa ditinggalkannya. Tapi Sinah tak mempersoalkannya. Bahwa dia sudah menjadi nyonya majikan, cukup disyukurinya. Ia sama sekali tak pernah mencintai suaminya, yang setiap kali datang hanya sama-sama menemukan pemuas nafsu dan kesenangan. Cintanya masih dibawa Satria, dan Sinah sendiri heran mengapa tak bisa melupakannya. Keinginan mendapatkan Satria masih menjadi mimpinya. Ia bukan lagi gadis kampung. Ia adalah pengusaha, yang kalau dihitung-hitung, ia memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Satria. Harusnya dia bisa menaklukkannya. Tapi bagaimana caranya? Ada Dewi yang dicintainya sejak mereka masih SMA, dan menghilangkan cinta pertama itu sangat susah, seperti dirinya juga. Bukankah sejak awal dia sudah jatuh hati pada seorang Satria, yang secara tidak langsung berebut dengan bendoronya. Pastilah Sinah kalah, Sinah hanya seorang abdi sedangkan Dewi seorang putri keluarga ningrat kaya raya. Sinah sama sekali tidak sadar bahwa cinta tidak memilih derajat dan kedudukan. Yang memilih adalah manusianya.
***
Di rumah Listyo, mereka juga membicarakan tentang rumah makan baru dengan nama Mawar Hitam. Sedangkan Saraswati asyik berbincang dengan Aryo, sang anak angkat yang sudah semakin besar, dan tak lagi memanggil dengan lidah kecilnya dengan panggilan … Bbwwuuuu …
Ia sudah bisa memanggil dengan jelas, ibu. Walau jarang bertemu, tapi Aryo tetap merasa bahwa Saraswati adalah ibu kesayangannya. Ia selalu nyeletuk kalau dirinya punya dua ibu yang cantik. Entah mengapa, rasa sayang yang tertuang sejak kecil itu masih selalu dibawanya, dan Aryo selalu merasa bahwa ibu Saras adalah wanita yang sangat menyayanginya, seperti ada ikatan batin yang mengikatnya.
“Ibu Saras nanti tidur di sini bukan?” tanya Aryo.
“Tanya sama kanjeng rama,” jawab Saraswati yang tetap terus menanamkan bahwa Adisoma adalah ayah yang meneteskan benih di rahim ibunya, walau dengan cara yang berbeda. Biarlah Aryo dan Sekar menganggapnya sebagai ayah angkat, tapi Aryo harus menyayanginya juga seperti kepada dirinya.
“Kanjeng Rama, nanti menginap di sini bukan?” tanya Aryo.
“Tidak, Aryo, nanti kanjeng rama dan ibu Saras akan menginap di rumah mbak Dewi. Jadi Aryo saja nanti yang ikut tidur di sana, bagaimana?” kata Adisoma yang merasa sungkan menginap di rumah Listyo, karena bagaimanapun pernah ada ‘sesuatu’ diantara dirinya dan Arum.
“Aku mau … aku mau … “ teriak Aryo kegirangan.
“Bapak, Ibu, boleh kan Aryo tidur di rumah mbak Dewi?” tanya Aryo yang oleh Listyo diajari untuk memanggil bapak dan ibu kepada dirinya, bukan kanjeng rama atau kanjeng ibu seperti dirinya kepada kedua orang tuanya. Listyo ingin menyamarkan jejak keturunannya, mengingat Arum adalah wanita dari keturunan orang biasa.
“Boleh, tapi tidak boleh nakal ya?”
“Sekar juga mauuuu,” teriak Sekar tak mau kalah.
“Tentu saja boleh, ya kan Arum?” tanya Saraswati kepada Arum.
“Tapi Sekar kadang-kadang masih ngompol,” kata Arum.
“Tidak apa-apa. Sudah biasa anak seusia Sekar masih suka ngompol.
“Horee … aku ikut.. aku ikut.”
Kedua anak itu berjingkrak-jingkrak kegirangan.
“Paman, besok Satria diwisuda, apakah Paman dan Bibi ingin menghadirinya?”
“Aku senang, tapi tidak usah saja, tidak enak, kan belum jadi apa-apa,” kata Adisoma.
“Benar, kami juga belum kenal orang tuanya. Sampaikan saja ucapan selamat dari kami,” sambung Saraswati.
“Pastinya Dewi yang akan datang."
”Tidak apa-apa. Biarkan saja kalau Dewi ingin ikut mnghadiri.”
***
Dewi senang sekali ketika ayah dan ibundanya datang, bahkan dengan membawa Aryo serta Sekar.
“Jadi Kanjeng Rama ke rumah mas Listyo dulu, ini tadi?”
“Iya, siangnya mengajak mbok Manis dan mbok Randu jalan-jalan dulu, biar dia senang,” kata Saraswati.
“Iya, Dewi juga kangen sama mbok Manis dan mbok Randu. Nanti menginap di sini lama kan?”
“Ya tidak bisa lama, paling sehari dua hari saja, kanjeng ramamu kan punya tugas di keraton.”
“Besok Dewi akan menghadiri wisudanya Satria ya, boleh kan?”
“Boleh saja. Lalu bagaimana dengan kuliah kamu?”
“Lancar, doakan Dewi juga supaya cepat selesai ya, Kanjeng Rama?”
“Iya, kanjeng rama dan kanjeng ibumu pasti selalu mendoakan kamu agar bisa meraih cita-cita kamu dengan baik dan lancar.”
“Aamiin. Dewi main sama Aryo dan Sekar dulu ya,” kata Dewi sambil bergegas mendekati kedua ‘adiknya’ yang sedang bermain di taman bersama Tangkil.
***
Hari itu pak Sawal dan istrinya sudah ada di Jogya pula, menginap di kamar kost Satria yang sempit.
“Jadi kamu selama bertahun-tahun tinggal di kamar sempit ini Sat?” tanya bu Karti.
“Iya, memangnya kenapa Bu? Satria hanya seorang diri. Kalau Bapak sama Ibu merasa kesempitan, nanti Satria carikan penginapan di dekat-dekat sini,” kata Satria.
“Tidak usah, berdesakan di sini tidak apa-apa. Ada tikar kan?"
“Ada. Benar nggak apa-apa?”
“Ya benar. Nanti biar ayahmu tidur di atas, kamu sama ibu di tikar saja.”
“Begitu ya Pak?” tanya Satria kepada ayahnya.
“Iya, lebih baik begitu. Tidak usah cari penginapan segala, buang-buang uang,” kata sang ayah.
“Tapi sebenarnya ayahmu punya uang lho Sat,” sambung sang ibu.
“Uang itu untuk kamu kalau menikah nanti. Bapak bersyukur, gara-gara kamu jarang minta uang, bapak bisa menabung. Itu nanti juga untuk kamu. Menikah kan butuh biaya?”
Satria tertawa sambil memeluk sang ayah.
“Bapak ada-ada saja, kalau Satria menikah, berarti Satria juga punya uang untuk menikah, untuk menghidupi istri, untuk menyenang-nyenangkan Bapak dan Ibu, ya kan?”
“Satria, namanya orang tua kan juga ingin menyenangkan anak, kamu harus menghargainya,” kata sang ibu.
“Iya, baiklah. Tapi doakan Satria mendapat pekerjaan dulu, Satria belum ingin menikah tanpa bekal untuk hidup berkeluarga.”
“O iya, kamu pernah mengatakan bahwa kamu dekat dengan putri keluarga ningrat. Ya kan?” kata pak Sawal.
“Iya, benar, putri den mas Adisoma. Tapi aku kok takut sih Sat. Kamu itu hanya anaknya bapak sama ibu ini, apa tidak terlalu tinggi kalau kamu ingin menikahi anak keluarga ningrat?”
“Kata Dewi, ayah dan ibunya tidak melarang.”
“Masa sih?” tanya sang ayah dan ibu hampir bersamaan.
“Mereka itu sangat terkenal di Baluwarti, apa kamu sudah memikirkan masak-masak? Jangan sampai nanti kamu direndahkan karena memang anak orang rendahan,” kata pak Sawal.
“Semoga saja tidak. Lagi pula jangan memikirkan masalah itu sekarang. Kelihatannya sih tidak ada penolakan dari keluarga Dewi, besok Bapak sama Ibu pasti ketemu dia.”
“Dia mau datang di acara wisuda kamu?”
“Katanya sih begitu. Nanti Bapak dan Ibu bisa mengenal dia lebih dekat. Dia kuliah di kampus yang sama dengan Satria, hanya saja Satria lulus lebih dulu, karena Dewi masuk belakangan.”
“Wah, senang kalau besok ketemu calon mantu kita yang bukan orang sembarangan,” kata bu Karti.
“Bukankah kamu ingin punya menantu gadis itu, yang tinggal di rumah kita bertahun-tahun?” kata pak Sawal mengejek istrinya.
“Bapak kok begitu. Yang lewat tidak usah di bicarakan lagi, ah,” kesal bu Karti.
Satria hanya tersenyum mendengar pembicaraan mereka. Ia sangat bahagia, karena berhasil menyelesaikan kuliahnya dan membuat bangga kedua orang tuanya.
***
Acara wisuda sudah usai. Pak Sawal dan istri memang benar-benar bahagia. Mereka memeluk anak semata wayang mereka dengan penuh haru. Mereka berhenti memeluknya ketika seorang gadis dengan penampilan sederhana, mendekat.
“Pak, Bu, ini yang namanya Dewi,” kata Satria.
“Saya Dewi Pak, Bu,” kata Dewi sambil menyalami kedua orang tua Satria lalu mencium tangan mereka.
“Cantik sekali, den ajeng ini ya Pak,” kata bu Karti.
“Nama saya Dewi Bu, bukan den ajeng. Jadi nggak enak.”
“Putri ningrat yang rendah hati.”
“Sat, kita omong-omongnya nanti. Ayo kita rayakan keberhasilan kamu ini di sebuah rumah makan. Ada rumah makan baru yang enak, aku ingin mengajak bapak dan ibu ini juga.”
“Kita naik andong saja?”
“Tidak, tadi aku diantarkan sopir ayahandaku, yang kebetulan sedang ada di sini. Katanya dia tahu rumah makan baru yang enak, karena kemarin sudah mampir ke sana.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteAlhamdulillah wa Syukurillah....
ReplyDeleteMawar Hitam eps 07 sudah hadir.
Matur nuwun bu Tien.... Sugeng dalu. π€π€π
Sami2 mas Kakek
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam episod 07" sampun tayang, Semoga bu Tien selalu sehat dan mendoakan Pak Tom bertambah sehat dan semangat, semoga kel bu Tien selalu dlm lindungan Allah SWT aamiin yra π€²π€²
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun π©·π©·
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai...
Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 07 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah matur nuwun bunda Tien, smg sehat2 selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Alhamdulillah sampun tayang Mawar hitam 07, matur nuwun, smoga mbakyu Tienkumalasari dan mas Tom Widayat sehat² inggih, salam SeRoJa dari Cibubur, JakTim
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin π€²
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sis
Alhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 07 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai haii
Mks bun MH 07sdh tayang ......selamat mlm smg pak Tom dan bunda sll sehat terus
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah MAWAR HITAM~07 sudah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin YRA π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Terima ksih bunda Mawar Merahnya..slm seroja dan tetap aduhaai unk bunda sekeluarga ππ₯°ππΉ
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteAduhai
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Umi
Deleteππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung eMHa_07
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai ππ¦
ππππππππ
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung * MAWAR 07
* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Wah bahaya kalau Satria singgah di RM. Mawar Hitam...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteTerima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 07...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Dengan memakai topeng Mawar, Sinah berhasil menyembunyikan diri oleh orang yang dia kenal. Tapi tunggu dulu, bsk klu Satria dan Dewi datang di RM nya, bisa bertahan kah pake topeng Mawar tsb. Wajah dan ramah tamah nya, bisa2 berubah jadi muram, seram dan menakutkan...ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Rupanya Sinah tetap mengincar Satria. Saya kira yang akan hancur keluarga Andra-Andira.
ReplyDeleteBagaimana pertahanan Satria-Dewi , akan goyahkah ditusuk duri si mawar yang haus kepuasan.
Salam sukses mbak Tien yang aduhai semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°ππΏπΈ
ReplyDeleteSinaaaah, bukan sy Mawar πΉ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Waw.... Sinah bakal ketemu Satria. Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Wah wah, ngelunjak tuh Sinah...ntar kuwalat lhoh...masak dengan ibu kandungnya pun dia ga mengakui asal usulnya? Tunggu waktu kejatuhannya dan terbongkar semua rahasianya, yang pasti sangat memalukan.
ReplyDeleteHehe...terima kasih, ibu Tien yang baik hati...semoga sehat dan bahagia selalu.ππ»ππ»ππ»ππ»π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKoreksi:.
ReplyDelete1. menolah = menoleh;
2. yang yaman = yang nyaman;
3. menyembut tadi = menyambut tadi;
4. Akhirnya mbok Manus = mbok Manis;
5. mmeiliki istri = memiliki istri;
6. Aryo dam Sekar = Aryo dan Sekar;
Nuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulillah, MH dah tayang,.......Sinah akn terbuka topengnya bila ketemu Andira, klau dg yg lain masih bisa mukir, selanjutnya lebih seru......matur nwun Bu Tien, tetap sehat,dan masih berkarya,untuk hiburan pembaca setiaππ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung * MAWAR HITAM 08
* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...