Tuesday, May 13, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 09

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  09

(Tien Kumalasari)

 

Gemetar tangan Satria yang memegang ponsel, ketika suara merdu itu terdengar. Untuk sesaat ia tak bisa berkata-kata.

“Apakah ini Satria?” suara dari seberang kembali mengusiknya.

“Dewi?” akhirnya meluncurlah sepatah kata dari mulutnya.

“Iya, aku Dewi. Senang sekali bisa mendengar suaramu.”

“Kamu ada di mana? Keluargamu bingung mencari, bahkan di hari kamu menghilang, mereka datang ke rumahku, mengira kamu ada disini.”

“Maaf Satria, apakah aku menyusahkanmu?”

“Tidak. Aku kan tidak merasa bersalah. Aku tahu beberapa orang selalu mengawasi rumah ini. Tapi apa yang aku takutkan? Aku tidak membawamu lari. Untunglah aku tidak memenuhi permintaanmu waktu itu, kalau hal itu benar-benar aku lakukan, maka entah apa yang terjadi pada keluargaku.”

“Satria, aku tidak begitu bodoh untuk hanya bersembunyi di kotamu. Aku tidak ingin kembali ke istana, aku ingin melepaskan diri dari segala ikatan yang menurutku sangat membosankan, yang pada akhirnya benar-benar membuat aku harus pergi.”

“Bukankah kamu dilamar di hari itu?”

“Itulah yang memicu aku segera pergi.”

“Apa yang kurang dari calon suami kamu, Dewi? Kabarnya dia tampan dan gagah. Dia juga sedang kuliah di luar negri dan hampir selesai.”

“Satria, apa kamu tidak tahu bahwa menggenggam sebuah cinta itu sangatlah berat. Aku tidak pernah mencintai Sulistyo. Aku tidak mungkin bisa melayaninya.”

“Lalu apa yang kamu inginkan Dewi? Sedang berada di mana kamu sekarang?”

“Aku hanya ingin hidup bersama orang yang aku cintai. Hanya kamu, Satria,” kata Dewi berterus terang, membuat Satria kemudian mendengar degup jantungnya sendiri yang semakin kencang.

“Aku tidak mau mengatakannya. Aku tidak mau menyembunyikan apa yang aku rasakan. Apakah dengan itu lalu kamu menganggapku hina?”

“Tidak. Jatuh cinta bukanlah hina. Menyatakan cinta juga bukan hina. Kamu gadis pemberani.”

“Dan aku tidak takut kalaupun kamu menolakku.”

“Dewi, apakah kamu menganggapku pengecut ketika aku tidak berani mengatakan apa yang ada di dalam hatiku? Ya, aku memang pengecut, aku takut karena merasa tidak sepadan denganmu. Kamu adalah bintang di angkasa biru sedangkan aku hanyalah pungguk yang tak mampu meraih bintang itu.”

“Apakah itu berarti bahwa kamu juga menyukai aku?”

“Dewi, sekarang kamu ada di mana?”

“Kamu tidak menjawab pertanyaanku.”

“Kamu sudah tahu jawabannya.”

“Dari mana aku bisa tahu?”

“Kamu gadis yang pintar dan cerdas.”

Satria tidak tahu, bahwa Dewi sedang tersenyum bahagia. Tapi dia senang bisa mengungkapkan apa yang dirasakannya.

“Dewi, kamu ada di mana?”

“Apa kamu ingin menemui aku?”

“Kalau mungkin, aku pasti menemui kamu.”

“Aku berada di sebuah pulau, jauh dari sini.”

***

Keberadaan Dewi belum juga diketahui. Keluarga den mas Adisoma terus mengawasi rumah keluarga pak Sawal. Informasi dari Sinah yang mengatakan bahwa putrinya menyukai anak pak Sawal, membuatnya mencurigai keluarga itu. Karenanya selalu ada orang yang mengawasi rumah keluarga Sawal walau tidak terang-terangan.

Tangkil yang mendapat tugas pengawasan di hari itu melapor kepada majikannya, bahwa tak ada tanda-tanda yang mencurigakan di rumah itu.

“Kamu tahu anak muda yang bernama Satria di rumah itu?”

“Anak muda itu beberapa hari yang lalu sudah tidak ada di rumahnya, dia kuliah di Jogya.”

“Nah, itu juga yang menyebabkan anakku tiba-tiba ingin sekolah. Bergaul dengan orang kebanyakan bisa mengotori cara berpikir orang-orang seperti keluargaku, yang seharusnya menjunjung tinggi kewanitaan dan keagungan adab di dalam istana turun temurun,” geram den mas Adisoma.

“Apakah saya harus melakukan sesuatu terhadap keluarga itu?”

“Bisa apa kamu, kalau tidak ada bukti bahwa mereka terlibat pada kejadian minggatnya Dewi? Harus ada bukti, baru bisa bertindak. Biarpun aku berkuasa di sini, tapi secara hukum kita tidak bisa bertindak sewenang-wenang.”

“Lalu apa yang harus kami lakukan?”

“Awasi anak muda itu di tempat dia kuliah. Siapa tahu kita bisa menemukan bukti kalau Dewi ada bersama dia.”

“Benar den mas, ada kemungkinan den ajeng sudah bersembunyi di sana sebelumnya.”

“Bagus, awasi dia, lalu laporkan kalau kalian bisa menemukan bukti itu.”

“Sendiko.”

***

Pak Sawal pulang agak siang hari itu, dan di meja sudah terhidang makan siang yang masih hangat.

“Ibu masak apa, kok lauknya lengkap benar hari ini?” tanya pak Sawal.

“Biasanya ibu hanya makan seadanya, tapi setelah nak Sinah berada di sini, ada-ada saja lauk tambahan yang dibelinya.”

“Harusnya Ibu melarang dia membeli sesuatu untuk kita. Dia sudah tidak bekerja, pasti tidak akan mendapat uang lagi. Kalau uangnya habis, kita merasa bersalah.”

“Bapak tidak usah khawatir, uang saya masih banyak,” kata Sinah yang tiba-tiba mendekat.

“Walau begitu jangan merepotkan diri untuk keluarga kami. Kami sudah terbiasa hidup sederhana. Makanan tidak harus mewah. Hanya sekali-sekali kalau saya habis gajihan. Ini sejak nak Sinah ada sini, setiap hari makan enak.”

“Gaji saya selama bertahun-tahun masih utuh, Pak. Karena tidak membutuhkan apa-apa lagi selama mengabdi. Makan, pakaian dan segala kebutuhan sudah diberi oleh den ajeng Dewi. Sekarang uang saya masih banyak. Sayang sekali waktu Satria masih di sini jarang sekali makan di rumah, dan sering menolak kalau saya menawarinya makan.”

“Satria tidak suka makan ikan. Dia lebih suka makan sayur,” sambung bu Karti.

“Mulai sekarang jangan lagi membuat makanan yang menurut kami sangat mewah seperti ini. Biar sebanyak gunung uang kamu, lama-lama juga akan habis,” kata pak Sawal lagi.

“Iya Pak, saya akan lebih hati-hati. Walau sebenarnya bagi saya tidak keberatan kehilangan harta demi calon mertua,” kata Sinah enteng.

Bu Karti tersenyum, tapi tidak demikian dengan pak Sawal.

“Maaf ya Nak, masalah menantu dan mertua itu tidak bisa dibicarakan sambil lewat. Harus dibicarakan secara bersungguh-sungguh, dan sesuai dengan kesepakatan.”

“Tapi bukankah Ibu sudah mengatakannya bahwa_”

“Yang menjalani bukan dia, tapi anaknya. Jadi harus ada persetujuan diantara semuanya, yang menjalani dan yang menyepakati, yaitu dari pihak orang tua. Maaf Nak, dalam hal ini saya belum bisa menganggap siapa calon menantu yang bakal mendampingi hidup Satria. Semua tergantung dia,” tandas pak Sawal.

“Ya sudah, hal itu dibicarakan kapan-kapan saja, kalau Satria ada,” potong bu Karti karena khawatir jawaban suaminya akan menyinggung Sinah.

“Sekarang dia sedang menekuni kuliahnya, jangan diganggu dengan segala macam perjodohan. Dia harus menjadi orang, tidak seperti bapaknya yang hanya pegawai rendahan.”

“Iya Pak, saya mengerti kok. Dan saya juga bersedia menunggu sampai Satria menyelesaikan kuliahnya,” kata Sinah tak tahu malu.

“Tapi jangan dulu terlalu berharap. Kelakpun kita semua tidak tahu apa yang diinginkan Satria,” kata pak Sawal yang tak suka pada ucapan Sinah yang terkesan nekat.

“Ya sudah, sekarang ayo kita makan saja, Bapak pasti lapar kan?”

“Aku mau urap daun kenikir itu saja Bu, sama layur yang di dalam toples.”

“Ini ikan mas saya masak asam manis lho Pak,” kata Sinah.

“Terima kasih Nak, saya sedang ingin nasi urap. Baunya saja sudah tercium segar dan menggugah selera.”

“Baiklah, kalau begitu Ibu saja. Biasanya Ibu suka masakan saya,” kata Sinah sambil menyodorkan ikan asam manis yang dimasaknya.

“Terima kasih Nak Sinah. Nak Sinah ini sangat rajin, dan masakannya sangat sedap lhoh Pak.”

Pak Sawal diam saja, asyik menggigit kriuknya ikan layur kering berselimut tepung yang gurih.

Walaupun agak kecewa atas sikap pak Sawal yang dingin, Sinah tidak kehilangan harapan untuk menjadi menantu keluarga itu, karena bu Karti sangat mendukungnya.

“Di luar seperti tidak ada orang-orang aneh yang lalu lalang ya Bu,” kata pak Sawal mengalihkan pembicaraan.

“Iya sih Pak, saya juga heran. Rupanya sudah capek mencurigai keluarga kita,” kata bu Karti.

“Saya sudah meyakinkan mereka, bahwa keluarga ini tak mungkin berbuat yang neko-neko,” kata Sinah sok merasa berjasa, padahal bukan dirinya yang membuat pemata-mata itu pergi. Bukankah majikan mereka mengalihkan pengawasan ke kota Jogya, dimana Satria sedang kuliah?

***

Memang sih, mereka tidak bertemu, tapi di saat senggang, seringkali ada komunikasi diantara keduanya. Bukan sekedar melepas rindu, tapi juga menceritakan apa yang mereka lakukan di hari-hari yang mereka lalui. Kalau Satria sibuk dengan kuliahnya, Dewi dengan dibantu mbok Randu sedang menikmati dunia baru yang ada di sekitarnya. Sebuah dusun terpencil, dimana pendidikan hampir tidak dihiraukan, anak-anak tidak sekolah, ibu-ibu yang kebanyakan buta hurup hanya sibuk mengurus rumah dan anak-anak, sementara suami-suami bekerja di ladang.

“Apa yang akan kamu lakukan di dusun sepi dan terpencil itu Dewi? Kamu terbiasa hidup mulia, dihormati, dilayani.”

“Satria, aku bukan lagi puteri bangsawan yang memiliki banyak abdi, dari makan sampai mandi harus dilayani. Aku adalah Dewi Pramusita, rakyat jelata yang peduli kepada alam sekitar.”

“Apa yang bisa kamu lakukan?”

“Aku punya rumah sederhana yang aku tinggali bersama mbok Randu. Aku ingin merubah dusun kecil ini menjadi dusun yang penuh warna. Pada suatu hari nanti akan aku ceritakan keseharianku bersama mereka.”

“Aku percaya kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan. Keinginan kamu ini sangat mulia. Semoga Allah meridhoi niat baik itu. Rinduku aku titipkan melalui birunya langit dan cemerlangnya rembulan di malam hari. Keluarlah, di langitku rembulan sedang purnama.”

Dewi tersenyum mendengar ungkapan itu. Ungkapan cinta yang sedikit tersamar, tapi nyata. Ia segera keluar dari rumahnya yang sederhana, menatap langit dan memandangi bulan yang sama. Bulan yang juga sedang dipandangi oleh laki-laki yang dicintainya.

***

Laporan yang kemudian diterima den mas Adisoma sangat jauh dari harapan. Tak ada bukti bahwa Dewi ada di sana. Tak ada bukti bahwa Satria mengadakan pertemuan dengan Dewi. Ia hanya kuliah, pulang ke tempat kost, kalaupun dia bepergian, bukannya hendak bertemu dengan Dewi yang dicarinya, tapi untuk mencari kebutuhan kuliahnya. Jelasnya tak ada bayangan Dewi di kota itu.

Keluarga den mas Adisoma merasa putus asa. Dewi benar-benar lenyap ditelan bumi. Tak ada harapan untuk menemukannya. Den ayu Saraswati kehilangan semangat hidup. Hari-harinya adalah termenung dan merenung. Apa yang salah dari semua jalan yang dilaluinya? Dewi adalah satu-satunya keluarga bangsawan yang berbuat nekat, berani menentang dan berani meninggalkan kehidupan terhormat dan mulia di istana kecilnya. Hal yang tak pernah dibayangkan oleh semua kerabatnya.

“Den Ayu, den mas menunggu di ruang makan,” kata mbok Manis yang sedang melayani sang bendoro.

“Aku tidak lapar. Bilang pada kangmas bahwa aku belum bisa melayani makan, kecuali nanti kalau aku sudah merasa sehat.”

Dan den mas Adisoma akhirnya mengalah, tak bisa memaksa sang istri untuk melayaninya makan. Tapi bukan hanya dalam hal makan saja sang istri enggan melayani, juga dalam hal lainnya. Kesedihan yang merenggut sebagian besar hidupnya membuatnya tak mampu melakukan apapun. Dia memang kemudian sakit-sakitan.

Den mas Adisoma masih belum terlalu tua. Ia masih membutuhkan istri dalam menghabiskan malam-malamnya. Alhasil keluar malam mencari penghiburan adalah pelarian rasa kesepian yang tak mampu ditahannya.

Betapapun sedihnya kehilangan anak semata wayang, seorang laki-laki tak bisa menghilangkan keinginannya tentang perempuan. Istri yang sakit-sakitan dan tak bersemangat, membuatnya tak lagi ingin mendekati. Berhari-hari tak pulang, sudah menjadi kebiasaan yang tak seorangpun mampu mencegahnya.

Para abdi bukannya tidak mengetahui perihal kelakuan sang majikan, tapi mereka tak peduli. Yang penting bekerja dan mendapatkan imbalan, itu sudah cukup.

Tapi mbok Manis adalah abdi setia yang karena lamanya mengabdi menjadikannya memiliki ikatan batin dengan sang bendoro.

“Den Ayu, sering kali keng raka pulang malam, atau bahkan tidak pulang selama berhari-hari. Saya khawatir, ada sesuatu yang disembunyikannya dari Den Ayu,” katanya ketika sedang melayani sendirian.

“Apakah maksudnya kangmas Adi punya perempuan lain?”

“Itu yang saya khawatirkan.”

“Aku sudah tidak peduli Mbok, aku tidak peduli, bahkan pada perasaanku sendiri. Aku kehilangan buah hati, separuh hidupku sudah hilang. Aku tak peduli apapun yang dilakukannya.”

“Jangan begitu Den Ayu, ini sebuah rumah tangga, jangan sampai runtuh karena sebuah godaan.”

“Den Ayu, ada perempuan ingin bertemu Den Ayu,” suara seorang abdi menghentikan pembicaraan mbok Manis dan den ayu Saraswati.

***

Besok lagi ya,

38 comments:

  1. Matur nuwun , Bu Tien. Salam sehat dan bahagia

    ReplyDelete
  2. Matur sembah nuwun Mbak Tien
    Salam sehat..
    ADUHAI...🙏💕♥️

    ReplyDelete
  3. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 09 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai 2x 😍

      Delete
  4. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 09 "
    🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  5. Ohatur nuhun bunda 🙏cerbungnya..slmt mlm dan slm sehat sll unk bunda sekeluarga 🙏🥰❤️🌹

    ReplyDelete
  6. Mks bun CJDPS 09 sdh tayang....selamat malam ....smg bunda Tien & kelrg sll sehat sehingga bisa terus beraktifitas menghibur penggemar" cerbung nya ....aamiin yra

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Supriyati

      Delete
  7. Matur suwun bu Tien salam sehat selalu

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang

    ReplyDelete
  9. 🌷🌹🌷🌹🌷🌹🌷🌹
    Alhamdulillah 🙏 💞
    Cerbung CJDPS_09
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien & kelg
    sehat terus, banyak berkah
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam seroja🦋🌸
    🌷🌹🌷🌹🌷🌹🌷🌹

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari
      Aduhai

      Delete
  10. Alhamdulillah "Cintaku Jauh di Pulau Seberang 09" sdh hadir.
    Matur nuwun Bu Tien🙏
    Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Sis

      Delete
  11. Alhamdulillah CJDPS sudah tayang
    Terima kasih bunda semoga sehat walafiat pak Tom Widayat juga semakin sehat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Enďah
      Aduhai hai hai

      Delete
  12. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillaah CJDPS - 09 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat selalu.
    Aamiin yaa Robbal' Aalaamiin🤲
    Salam Aduhai Bunda🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Ting

      Delete
  14. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun pak Djodhi

    ReplyDelete
  15. Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 09..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Sehat wal Afiat juga kagem Pakdhe Tom.
    Aamiin

    Amboi...Dewi sama Satria..sdh tdk kehilangan kontak, hati mereka bertumbuh bunga bunga yang indah...😁

    Kebalikannya di dlm tembok Kadipaten jadi suram. Ibunda nya Dewi sakit2 an, Ayahnda nya, sering keluar malam, mencari kesenangan.

    Ada seorang perempuan menghadap Ibundanya Dewi, ingin curhat apa ya, kok nyalawadi timen ta iki..😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Allahumma Aamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  16. Saya sedang mengikuti susana Royal Family (kehidupan keraton). Belum bisa komen...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  17. Kayaknya yang datang tuh perempuan hamil minta pertanggungjawaban denmas Adisoma....

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien , sehat wal'afiat ya 🤗🥰💖

    Semangat den Ayu ,..kl tuannya sedang mencari yg baru ,. Jangan2 itu perempuan sdg mencari tuan Adisoma

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 29

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  29 (Tien Kumalasari)   Arum menyelesaikan administrasi dengan segera. Peringatan bahwa dia harus beristira...