Monday, May 12, 2025

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 08

 CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  08

(Tien Kumalasari)

 

Sinah keluar masuk kamar dan mengitari keputren, tapi dia tak menemukan junjungannya maupun mbok Randu.

“Kok aneh? Ke mana mereka?”

Ketika keluar, utusan yang tadi datang heran melihat tingkah Sinah.

“Bagaimana, sudah siap belum?”

“Sudah siap bagaimana? Mereka tidak ada … di mana-mana tidak ada," pekik Sinah sambil masih berlarian ke sana kemari.

Utusan dan beberapa abdi ikut mencari. Bahkan di kolong-kolong meja, walau hal itu tak mungkin.

“Dua almari itu terbuka,” teriak salah seorang abdi lainnya.

Sinah mendekat ke arah almari yang memang tidak tertutup rapat. Tapi almari itu hampir kosong. Yang tertinggal hanya pakaian yang dipakai saat den ajeng mau menemui ayahandanya di istana kecil itu. Baju-baju harian dan yang bisa dipakai diluaran semuanya tak ada. Almari perhiasan kosong. Tak sebiji permatapun tertinggal di sana.

Sinah berlari ke dalam dengan gemetar. Ia menuju ke kamar mbok Randu, tapi kamar itu tertutup rapat. Mbok Manis yang melihatnya dari arah dapur mendekat.

“Mencari siapa?”

“Mana mbok Randu?”

“Dari kemarin mbok Randu tidak tidur di kamarnya. Bukankah dia tidur di keputren?”

“Apa? Berarti den ajeng pergi dengan mbok Randu,” tangis Sinah pecah.

“Apa maksudmu?”

“Den ajeng pergi dari keputren, membawa pakaian dan semua perhiasan.”

“Apa?”

***

Sinah masih gemetar ketika bersimpuh di hadapan den ayu Saraswati sambil menangis.

“Ada apa?”

Beberapa abdi keputren tampak menundukkan wajahnya dengan hati penuh takut.

“Mana den ajeng?” teriak den ayu agak keras.

“Den Ayu, mohon memaafkan kami. Den ajeng Dewi tidak ada di keputren,” kata Sinah dengan gemetar dan bercucuran air mata.

“Apa maksudmu tidak ada di keputren?”

“Den ajeng pergi, membawa pakaian dan semua perhiasan di dalam almari.”

“Apa? Mana mbok Randu?”

“Mbok Randu juga tidak ada, Den Ayu.”

“Dia juga pergi?”

Den ayu langsung berdiri mencari suaminya yang sedang memeriksa persiapan penyambutan calon besan di pendopo. Sinah mengikutinya dengan perasaan takut yang sangat mencekam.

“Kangmas … kangmas … “

Den mas Adisoma menoleh ke arah sang istri, yang kemudian ambruk di lantai sambil terguguk.

“Ada apa? Mau ada tamu kamu malah bertingkah aneh-aneh seperti ini?”

“Kangmas, Dewi pergi … bagaimana ini … kangmas?”

“Pergi bagaimana maksudmu?”

“Pergi bersama mbok Randu, dengan membawa pakaian dan semua perhiasannya.”

“Apa?” teriakan den mas Adisoma bagai meruntuhkan seluruh bangunan. Gamelan yang tadinya sudah mengalun untuk menyambut kedatangan para tamu, berhenti seketika.

Hati masing-masing yang ada di area pendopo menjadi ciut.

Den mas Adisoma bergegas keluar dari pendopo, menuju ke keputren, diikuti oleh beberapa abdi, termasuk Sinah, sedangkan abdi yang lain segera mengusung den ayu Saraswati yang tiba-tiba pingsan, dibawanya ke kamar.

Den mas Adisoma langsung memasuki kamar putrinya, melihat tempat tidur yang rapi, tapi melihat dua almari terbuka. Ia melihatnya dan hatinya mencelos. Sang buah hati benar-benar pergi. Tiba-tiba kemarahannya jatuh kepada Sinah yang dari tadi bersimpuh di lantai.

“Bukankah kamu yang bertugas menjaga anakku?” hardiknya.

“Bet … betul … Den Mas ….”

“Mengapa kamu sampai tidak tahu bahwa junjungan kamu pergi?”

“Ampuun, Den Mas … hamba ada di luar sejak semalam, karena den ajeng hanya mau ditungguin mbok Randu ….”

“Dan kamu ada diluar, sampai tidak tahu kalau junjunganmu pergi?” suara den mas Adisoma semakin menggelegar.

“Mohon ampuun … Den Mas.”

“Kamu tidak berguna! Minggat dari sini sekarang juga!!”

”Den Mas, jangan memecat saya,  saya mohon. Barangkali … barangkali … saya bisa memberi informasi tentang perginya den ajeng Dewi.”

“Informasi apa? Jangan coba-coba menjawab seenak kamu. Ingat, kamu bicara dengan siapa?”

“Mohon ampun Den Mas, saya hanya ingin mengatakan sebuah kemungkinan tentang perginya den ajeng Dewi.”

“Kemungkinan apa?”

“Ada seseorang yang membuat den ajeng menolak dijodohkan dengan den Listyo.”

“Ada seseorang? Siapa?”

“Kemungkinan den ajeng pergi bersama dia.”

“Siapaaaa??” teriak den mas Adisoma sekeras guntur.

“Namanya Satria, anak seorang pegawai rendahan bernama pak Sawal.”

“Kurangajar.”

Den mas Adisoma bergegas keluar dan memerintahkan beberapa orang kepercayaannya untuk pergi ke rumah laki-laki bernama Satria itu.

“Sinah! Antar mereka!”

***

Betapa terkejutnya bu Karti ketika tiba-tiba Sinah masuk melalui pintu belakang, dengan wajah pucat.

“Nak Sinah, ada apa?”

“Gawat Bu, apakah tadi malam ada orang datang kemari?”

“Orang apa? Sejak sore kami sudah tidur, karena tidak biasa tidur larut malam. Ada apa sebenarnya?”

“Satria ada?”

“Pergi mengurus kuliahnya, belum selesai. Dia diterima di banyak universitas, belum tahu mana yang akan dijalani.”

“Jadi benar tidak ada yang datang kemari?”

“Tidak ada siapa-siapa. Ada apa sih ini?”

“Semalam den ajeng Dewi kabur dari keputren. Dia tidak kemari?”

“Den ajeng Dewi? O, teman Satria juga yang putri priyayi gede itu? Lha mengapa dia kabur, lalu nak Sinah mengira dia kemari?”

“Dia suka sama Satria.”

“Kalau suka lalu dia kabur dan pasti datang kemari? Keterlaluan nak Sinah ini. Kami tidak tahu apa-apa. Satria juga tidak merasa melakukan apa-apa. Itu banyak orang datang kemari untuk apa?”

“Untuk menanyakan tentang kepergian den ajeng Dewi. Hari ini adalah hari lamaran dari pihak calon suaminya.”

“Ya ampuun, jangan membawa-bawa keluarga kami ya, tidak ada yang datang kemari sejak kemarin. Yang namanya den ajeng Dewi itu juga tidak pernah datang kemari,” kata bu Karti setelah sampai di depan dan menemui para abdi yang bertugas mencari.

“Kalau begitu kemana mereka?”

“Mana saya tahu? Sudah … sudah … jangan mengira bahwa junjungan sampeyan itu datang kemari. Kami keluarga sederhana, tidak mau melakukan hal yang neko-neko.”

Bu Karti menghela napas lega ketika mereka semua pergi bersama Sinah juga.

“Mengapa juga putri priyayi pergi dari rumah lalu mengira bahwa dia datang kemari?” gumam bu Karti sambil menutup pintu. Tapi belum sampai pintu tertutup rapat, Satria tiba-tiba datang. Bu Karti kembali membuka pintunya dan membiarkan anaknya masuk.

“Sudah selesai Bu, Satria jadinya kuliah di Jogya saja. Satria sudah mengurus bea siswanya, jadi bapak tidak begitu berat membiayai kuliah Satria."

“Syukurlah Nak, ibu senang. Jogya kan tidak begitu jauh?”

Satria mengambil gelas dan menuangkan air putih dari dalam teko.

“Tadi hampir saja ada huru hara.”

“Huru hara apa?”

“Nak Sinah kemari bersama beberapa orang. Mereka mencari den ajeng Dewi.”

“Apa? Mencari den ajeng Dewi? Memangnya pamitnya pergi ke mari?”

“Gimana sih kamu itu nggak ngerti. Den ajeng Dewi itu kabur dari keputren, lha kok dicari ke rumah ini, bingung ta aku?”

“Kabur?”

“Katanya sejak semalam.”

“Mengapa kabur?”

“Entahlah Sat, mana ibu tahu. Padahal kabarnya hari ini hari lamaran. Kenapa ya?”

Satria tampak termenung. Ia meletakkan gelas lalu duduk di bangku dapur.

Beberapa hari yang lalu Dewi menelpon dan meminta agar dirinya membawanya pergi. Mana dia berani? Dengan apa dia membawa lari seorang gadis? Bekerja juga belum.

“Kata nak Sinah, si den ajeng itu suka sama kamu, makanya dia mengira kaburnya juga kemari,” kata ibunya lagi.

“Mana mungkin, seandainya dia lari, pasti larinya ketempat jauh, bukan di sini. Kalau di sini pasti akan gampang keluarganya menemukan. Ya kan?”

“Nggak tahu ibu, bagaimana bisa begini. Tapi apa benar, den ajeng itu suka sama kamu?”

“Ah, ibu. Dia kan tahu, saya itu siapa. Nggak sepadanlah,” kata Satria sambil ngeloyor pergi, tapi dalam hati dia juga merasa gelisah. Berkali-kali dia mencoba menelpon Dewi, tapi ponselnya mati. Barangkali Dewi sedang menghindari telpon dari keluarganya juga.

“Mengapa Dewi senekat itu? Kemana kamu pergi, Dewi?,” kata batin Satria.

Keluarga den mas Adisoma kebingungan. Berkali-kali diucapkan permintaan maaf kepada keluarga calon besannya. Dan acara lamaran yang seharusnya digelar itu batal total. Para tamu bubar dengan ucapan kasak-kusuk yang tak henti-hentinya.

Semetara itu den mas Adisoma sibuk menghibur sang istri yang terkulai lemas di tempat tidur.

“Diajeng, aku sudah suruhan orang-orang untuk mencari, tenangkan hati kamu.”

“Bagaimana aku bisa tenang? Dewi anak kita satu-satunya. Mengapa dia tega melakukannya? Membuat malu orang tua, dan meninggalkan orang-orang yang mengasihinya,” tangisnya.

Ketika Sinah dan para utusan kembali dengan tangan hampa, den mas Adosoma kembali murka. Ia menganggap Sinah tak bertanggung jawab pada tugasnya. Karena itulah hari itu juga Sinah dipecat.

Sinah yang meraung-raung meminta ampun tak sedikitpun membuat sang majikan berbelas kasihan.

“Pokoknya kamu dipecat. Tidak ada gunanya kamu tetap berada di sini, karena kamu tidak menjalankan tugas kamu dengan baik,” kata den mas Adisoma tandas.

***

Mbok Manis, orang tua Sinah tak bisa berbuat apa-apa. Dia juga seorang abdi, dan kesalahan yang ditimpakan pada Sinah sesungguhnya ada benarnya. Kalau dia tidur di luar, mengapa sampai tidak tahu ketika momongannya keluar dari keputren?

“Lalu aku harus ke mana Mbok? Aku tidak mau pulang kampung. Aku malu.”

“Mau bagaimana lagi Nah, ini perintah yang harus kamu jalani.”

“Tapi aku tidak mau pulang kampung, aku harus ke mana?”

“Kamu pulang kampung saja dulu. Kalau ada yang bertanya, kamu bilang saja kalau kamu kangen dengan keluarga kampung. Nanti aku carikan pekerjaan lagi. Ini satu-satunya jalan, jangan sampai di kota kamu jadi gelandangan.”

Sinah pergi dengan membawa bekal seadanya dan juga beberapa lembar baju saja. Pulang kampung? Ternyata tidak. Sinah pergi ke rumah bu Karti dan mohon belas kasihannya agar diijinkan membantu di rumah itu. Tentu saja bu Karti terkejut.

“Nak Sinah, bagaimana mungkin aku menerima nak Sinah bekerja di sini? Bapaknya Satria hanya pegawai rendahan, gajinya tidak banyak. Tidak cukup untuk membayar pembantu.”

“Bu, saya tidak ingin minta imbalan. Saya akan membantu apa saja di rumah ini, tanpa meminta bayaran.”

“Bukankah biasanya nak Sinah mendapat gaji besar karena momong den ajeng Dewi?”

“Mereka memecat saya Bu, menganggap saya tidak becus bekerja. Padahal kalau dipikir-pikir, namanya mau kabur kan pasti mencari waktu yang pas untuk bisa pergi tanpa ketahuan? Barangkali saya sedang tertidur, ketika mereka kabur. Masa iya saya harus berjaga sepanjang malam? Tapi hal seperti itu tidak bisa dipakai untuk memperingan kesalahan saya. Saya tetap dianggap bersalah dan harus dipecat. Saya harus ke mana Bu, saya tidak punya siapa-siapa,” tangis Sinah yang akhirnya meluluhkan hati bu Karti. Bagaimanapun dia menyukai Sinah dan ingin menjadikannya menantu. Keberatan yang semula diutarakan adalah tidak bisa memberi imbalan yang pantas. Tapi ketika Sinah mengatakan bahwa tak membutuhkan imbalan, bu Karti kemudian menerimanya.

“Tapi tidak ada kamar kosong di rumah ini, Nak, bagaimana? Apa nak Sinah mau tidur di tempat seadanya? Di ruang tamu misalnya, nanti bisa tidur di kursi panjang.”

“Tidak apa-apa Bu, saya bersedia tidur di mana saja. Di dapur kan ada bangku, saya tidur di bangku itu saja.”

“Baiklah Nak, untuk sementara saja. Beberapa hari yang akan datang, Satria mau berangkat ke Jogya, karena dia akan kuliah di sana. Nanti nak Sinah bisa memakai kamarnya.”

“Terima kasih banyak Bu, telah membuat saya tidak menjadi gelandangan di sini.”

Bu Karti telah memutuskan, protes dari pak Sawal, apalagi Satria tak bisa menghentikan keinginannya. Apalagi alasannya adalah kasihan. Akhirnya mereka membiarkannya. Hanya saja selama ada Sinah, Satria sering pergi ke luar rumah, dan menghindari berbincang terlalu lama.

Seminggu telah berlalu, berita hilangnya Dewi belum juga mendapat jawaban. Malam itu Satria sedang bebenah, karena besok pagi akan berangkat ke Jogya. Ketika ia selesai dan ingin membaringkan tubuhnya, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal, tapi Satria mengangkatnya.

Sebuah suara lembut yang dikenalnya terdengar.

***

Besok lagi ya.

39 comments:

  1. Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 08..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Sehat wal Afiat juga kagem Pakdhe Tom.
    Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  2. Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Anik

      Delete
  3. 🍓🍒🍓🍒🍓🍒🍓🍒
    Alhamdulillah 🙏💝
    Cerbung CJDPS_08
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, tetap
    smangats berkarya &
    dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
    🍓🍒🍓🍒🍓🍒🍓🍒

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari

      Delete
  4. Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  5. Matur suwun Bu Tien eps 08 sdh tayang.

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 08 "
    🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin 🤲🤲🤲🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  8. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 08 " sampun tayang, Semoga bu Tien dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai 2x

      Delete
  10. Alhamdulillah jam 19:06 sdh tayang CJDPS_08. Geger padepokan Adisoma, atas minggatnya Dewi & mbok Ranu..... Tambah rame nich ceritanya....
    Rasanya pengin cepat baca eps_09.

    Matur nuwun Bu Tien salam SEROJA dan tetap ADUHAI. 🥰😊

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien semoga bunda dan bpk Tom Widayat sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah
      Aduhai hai hai...

      Delete
  12. Mks bun CJDPS 08 sdh tayang....selamat mlm, smg bunda sekelrg sll sehat, sll dlm perlindungan Allah SWT, 🙏🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Supriyati

      Delete
  13. Matur nuwun Bu Tien, ceritanya semakin aduhai....

    ReplyDelete
  14. Mudah mudahan Satria kuat mendapat cobaan dua cewek cantik. Belajar sampai selesai untuk membahagiakan orang yang dicintai.
    Apa sang Dewi menghubungi Satria ya, untuk mengabarkan keadaan dirinya..
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  15. Alhamdulillaah " Cintaku Jauh Di Pulau Seberang- 08" sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Ting
      Lama nggak komen?

      Delete
  16. Dewi mau mengabari kalau dia sudah tiba di seberang lautan ya?😉🤭

    Terima kasih, ibu Tien. Sehat selalu...🙏🏻😀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Nana

      Delete
  17. Satria hrs hati2 dengan Sinah yang ngenger di rmh nya. Dia adalah *musuh dlm selimut* di usir aja ya Satria...dia..😁😁

    ReplyDelete
  18. Terima ksih cerbungnya bunda..slmt pgi dlmt beraktivitas..salam sehat sll unk bunda pak Tom..smg sht kembali seperti semula🙏🥰🥰❤️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Farida

      Delete
  19. Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya, pak Tom Widayat semakin sehat wal'afiat juga🙏🤗🥰💖

    Sinah jan nekat bener & kendel


    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Ika

      Delete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 29

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  29 (Tien Kumalasari)   Arum menyelesaikan administrasi dengan segera. Peringatan bahwa dia harus beristira...