Friday, January 24, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 19

  

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  19

(Tien Kumalasari)

 

Zaki menatap Kinanti, menunggu jawaban. Tapi Kinanti tampak tak mengacuhkannya. Ia masih berdiri di samping Guntur yang memejamkan mata.

“Apa yang kamu rasakan?” tanya Kinanti.

Tapi Guntur tak menjawab. Masa pagi-pagi sudah mengantuk lagi?

“Dia tidur, gimana sih kamu? Ayo, mending kita pergi dulu saja, nanti kita bawakan apa yang Guntur inginkan. Kamu tahu apa kesukaan Guntur? Bukankah dia … mm … kamu pernah mengatakan bahwa dia saudaramu, bukan?”

“Dia tidak tidur.”

“Dia memejamkan matanya dan tidak menjawab pertanyaanmu,” Zaki masih ngeyel.

“Guntur … apa benar kamu tidur? Apa kamu menahan sakit?” tanya Kinanti sambil menggoyang-goyangkan lengannya.

“Kinanti ….” Zaki tampak tak sabar.

“Maaf Zaki. Kamu pergi saja sendiri. Aku tak tega meninggalkannya,” kata Kinanti.

“Ya ampuun Kinanti, dia bukan anak kecil, mengapa kamu begitu perhatian?”

“Dia sedang sakit. Tolong mengertilah.”

“Nanti kamu mau pulang jam berapa, aku jemput ya?”

“Aku tidak tahu, tidak usah repot, barangkali aku mau bareng bapak. Tapi entahlah, melihat situasi juga. Mungkin Guntur bisa pulang hari ini, tapi bisa jadi belum. Jadi semuanya serba tidak jelas. Kamu pergilah sendiri.”

Zaki pergi dengan wajah masam. Agak heran dengan perhatian Kinanti yang begitu besar kepada Guntur.

“Memangnya siapa sih dia? Hanya saudara, dan bukan sekandung kan, kelihatannya? Menurut Fitria, dia anak tunggal. Jadi Guntur hanya saudara sepupu, atau … jangan-jangan pacarnya?  Ah, kenapa Guntur? Tidak cakep-cakep amat. Mana mungkin? Tapi dia juga tidak jelek-jelek amat. Entahlah, mengapa aku memikirkannya? Tapi aku sebenarnya suka pada Kinanti. Huhh, kelihatannya tidak mudah mendekatinya,” kata batin Zaki sambil berjalan ke arah keluar.

“Heeiii, bukankah kamu Zaki?” teriakan itu menghentikan langkah Zaki. Seorang gadis cantik menatapnya lalu melangkah mendekat.

“Kamu … kenal aku?”

“Ya ampuun, kenal dong, kamu kan yang kemarin main di sekolah aku?”

“Oh, kamu sekolah di sana?”

“Sudah lulus dong. Namaku Wanda,” kata Wanda sambil mengulurkan tangannya.

“O, Wanda. Bagus benar namanya. Kamu sakit? Mau periksa ke dokter?”

“Tidak, aku mau bezoek pacarku.”

“Pacar kamu sakit?”

“Kemarin kabarnya kejatuhan tiang penyangga tenda, aku baru dengar. Kemarin sudah keburu pulang.”

“Guntur?”

“Iya, kok kamu tahu?”

“Jadi kamu pacar Guntur?”

“Belum, baru calon pacar.”

Zaki terbahak. Ada ya, istilah calon pacar? Zaki baru sekali mendengarnya, itu sebabnya dia tertawa keras.

“Kok tertawa sih?”

“Istilah calon pacar itu baru sekali ini aku dengar. Baru pendekatan ya?”

“Kamu tidak tahu apa-apa, sudahlah,” kata Wanda.

“Sekarang kamu ikut aku dulu saja, Guntur sudah ada yang menunggui. Aku mau sarapan, nggak ada teman.”

“Siapa menunggui Guntur? Kinanti?”

“Tuh, kamu tahu.”

“Dasar, perempuan genit. Dia ingin merebut Guntur dari aku.”

“Eeh, mau kemana kamu?”

“Tentu saja mau menghajar perempuan itu.”

“Jangan membuat keributan, ayo ikut aku saja, nanti aku antar kembali ke sini. Siapa tahu saingan kamu itu nanti sudah pergi,” kata Zaki sambil menarik tangan Wanda.

“Eeeh, ke mana?”

“Makan pagi, aku lapar banget nih, nanti kita ngobrol sambil makan.”

Wanda mengikutinya, karena Zaki menarik tangannya kuat sekali. Lagipula katanya ada Kinanti di sana. Ia ingin mendampratnya, tapi kalau dipikir-pikir, pasti Guntur akan menyalahkannya. Karenanya ia menurut apa yang dikatakan Zaki, ia akan kembali dengan harapan Kinanti sudah tak ada lagi di sana.

***

Kinanti masih duduk di sampung ranjang dimana Guntur masih terbaring. Ia memang harus terbaring karena ada selang infus tersambung di tangannya. Hal yang sebenarnya tak diinginkan Guntur, karena ia hanya luka di kepala.

Kinanti terus menatap Guntur yang matanya terpejam. Baru saja bisa ngomong, lalu tiba-tiba tidur?

“Kamu tidak benar-benar tidur kan?” kata Kinanti.

Guntur membuka matanya. Ia tak melihat Zaki di situ. Tadi dikiranya masih ada, karena perginya juga tanpa pamit, jadi dia tak tahu kalau Zaki sudah pergi.

“Kamu tidak pergi bersama dia?”

“Bukankah aku masih di sini?”

“Dia mengajakmu berulang kali. Mengapa memilih tetap di sini?”

“Aku tidak ingin pergi bersama dia.”

“Sungkan sama aku?”

“Tidak juga. Memang aku tak ingin.”

“Nanti menyesal, bagaimana? Kelihatannya dia suka sama kamu.”

“Dari mana kamu tahu?”

“Pagi-pagi sudah datang ke rumah kamu, hanya untuk mengajak sarapan. Kemarin saat menyanyi juga sikapnya begitu manis. Pegang-pegang tangan pula.”

“Dia hanya menghayati lagu yang dinyanyikannya.”

“Bagus sekali, dan lagunya tentang cinta pula.”

“Kamu itu sakit, atau apa? Ngomong nggak jelas.”

“Aku memang nggak sakit. Aku kan dipaksa tinggal oleh ayah kamu, sebenarnya aku nggak merasakan sakit.”

“Apa? Kamu sebentar-sebentar mengeluh pusing, pusing itu rasa sakit kan?”

“Mengapa kamu memilih menunggui aku di sini? Dia pasti kecewa.”

“Kamu mau aku pergi? Atau kamu memilih ditungguin Wanda?” Kinanti balas mengejek.

“Ya nggak mungkin.”

“Siapa bilang nggak mungkin? Walau dia sudah tidak lagi di kota ini, perhatiannya sama kamu masih sangat besar. Semalam, tengah malam pula, dia menelpon aku lagi. Aku tidak mengangkatnya, lalu dia mengirimkan pesan. Dia bertanya tentang kamu, tentang bagaimana keadaanmu, lalu bertanya pula apakah kamu dirawat.”

“Kamu jawab apa?”

“Menjawab dia? Ogah. Aku matikan ponselku, lalu aku tidur.”

“Bagus.”

“Dia tidak langsung menelpon kamu?”

“Sudah aku blokir nomornya.”

“Oh iya, dia juga bilang begitu. Yang aneh, kalau nomor sudah diblokir, harusnya dia tidak lagi peduli sama kamu. Tapi cinta dia teramat besar. Barangkali cinta itu akan dibawa mati.”

Guntur tertawa pelan.

“Apalah aku ini.”

Kinanti terkejut. Ketika Guntur mengigau, kata-kata itu juga terucap. ‘Apalah aku ini’. Mengapa Guntur selalu mengucapkan kata-kata itu? Karena merasa rendah diri, itu pasti.

“Guntur, mengapa kamu selalu mengucapkan itu?”

“Mengucapkan apa?”

“’Apalah aku ini’ … mengapa berkata begitu?”

“Kapan aku mengucapkan itu? Kamu mengatakannya ‘selalu’. Baru sekali ini kan?”

“Apa?” Kinanti terkejut. Bukankah Guntur pernah mengucapkannya juga, tapi  ketika itu Guntur kan mengigau? Dan karena itu kemudian Kinanti tahu bagaimana perasaan Guntur padanya.

“Tapi kamu pasti selalu merasa begitu. Itu tidak baik Guntur. Kamu siapa … itu tidak penting. Yang penting kamu selalu ada di hatiku,” Kinanti terkejut mengucapkannya. Ingin ia berlari sejauh-jauhnya untuk menyembunyikan rasa malu. Bagaimana dia bisa mengucapkan kata-kata itu?

Guntur menatapnya lekat-lekat.

“Kamu bilang apa?”

“Oh, eh … aku … mengucapkan apa?”

“Benarkah aku selalu di hatimu? Kamu bercanda kan?”

Wajah Kinanti sudah bersemu merah. Sungguh dia malu. Padahal dia mengucapkan itu atas keyakinan bahwa Guntur menyukainya. Tapi dari igauannya kemarin. Tapi saat saling berhadapan, kan belum ada ungkapan saling suka? Kinanti sangat kesal pada mulutnya yang kebablasan.

Tiba-tiba pak Bono muncul, diiringi seorang perawat.

“Guntur akan dibawa ke lab. Ia harus ct Scan dan beberapa pemeriksaan lain.”

Kinanti berdiri dari tempat duduknya, lalu keluar dari ruangan. Ia bermaksud mencari cemilan di luar, tapi tiba-tiba ketemu bu Raji.

“Ibu sama siapa?”

“Sendiri Nak. Naik taksi. Bagaimana Guntur?”

"Guntur sedang diperiksa, jadi tidak ada di ruangannya. Mari duduk di lobi saja Bu, sambil menunggu."

“Tapi apa keadaannya berbahaya?”

“Tidak. Guntur baik-baik saja. Bapak hanya ingin meyakinkan bahwa Guntur benar-benar sehat. Jadi Ibu tak usah khawatir.”

“Ya sudah, kalau begitu ibu bisa merasa tenang. Semalam ibu tidur di sini, tapi juga tidak bisa tidur. Lalu pagi subuh ibu pulang.”

“Kenapa tidak bisa tidur Bu?”

“Ibu tidak bisa tidur kalau lampunya terang benderang. Biasanya lampu ibu matiin kalau mau tidur.”

“O, iya Bu, di rumah sakit biasanya lampunya terang.”

***

Di sebuah rumah makan, sambil menikmati sarapan, Wanda malah asyik bercanda dengan Zaki. Ia merasa, Zaki seorang yang lucu dan menyenangkan. Hal itu sangat menghibur, mengingat perlakuan Guntur yang tidak pernah ramah terhadapnya.

Bagi Zaki, pertemuannya dengan Wanda juga menjadikan sebuah hiburan, setelah kecewa tak berhasil mengajak Kinanti.

“Rumah kamu di mana?”

“Jauh, pagi-pagi sekali aku datang kemari dengan naik travel.”

“Lhoh, rumah kamu di mana? Luar kota?”

“Aku di Semarang. Baru saja orang tuaku mengajak pindah ke Semarang. Ada usaha di sana yang harus diawasi secara langsung.”

“Ya ampuun, demi calon pacar nih, kamu susah-susah datang kemari?”

“Sebetulnya dilarang sama bapakku, tapi tadi malam mereka pergi ke Jakarta bersama ibu, karena ada saudara menikah. Jadi aku ngabur aja kemari.”

“O, ngabur? Suka ngabur rupanya? Demi calon pacar?” Zaki tak henti-hentinya mengejek.

Wanda menghela napas kesal.

“Kalau saja tidak ada Kinanti, Guntur pasti sudah menjadi milikku.”

“Jadi kamu bersaing sama Kinanti? Bukankah Guntur itu saudara Kinanti?”

“Kata siapa?”

“Kinanti sendiri yang bilang.”

“Bohong.”

“Bohong?”

“Kinanti itu merebut Guntur dariku. Itu sebabnya aku gagal mendekatinya,” kata Wanda berapi-api.

“Benarkah? Apa sebetulnya kelebihan Guntur sehingga membuat dua orang wanita cantik bersaing untuk mendapatkannya? Aku melihat seperti tak ada istimewanya,” kata Zaki sinis.

“Wajah … memang iya. Tapi dia pintar. Dia baik, dia simpatik. Pokoknya banyak hal menarik dari dia.”

Zaki tersenyum, masih sinis. Dia merasa lebih gagah, lebih ganteng, lebih mentereng dari Guntur, tapi gagal membuat Kinanti tertarik padanya. Setidaknya untuk diajak makan bareng saja susah sekali.

“Ganteng mana aku sama Guntur, menurut kamu?”

“Kamu … ganteng, manis, gagah,” Wanda tertawa.

“Mengapa kamu mengejar Guntur?”

“Ini masalah rasa. Aku tidak tahu mengapa. Oh ya, habis ini antar aku ke rumah sakit ya, siapa tahu Kinanti sudah pergi.”

“Aku kira dia masih di sana. Jalan-jalan dulu saja sama aku.”

“Ke mana?”

“Pokoknya jalan. Dua hati yang kecewa, siapa tahu bisa bersatu,” kata Zaki bercanda.

“Tapi nanti kamu antar aku ke rumah sakit ya?”

“Iya, nanti, kita bersenang-senang dulu. Okey?”

Wanda mengangguk. Mengapa tidak? Zaki menyenangkan. Dia juga ganteng. Walau Wanda tak cinta, tapi dia bisa menjadi penghibur, agar sedikit mengurangi rasa kesalnya pada Kinanti. Baginya, melupakan Guntur itu tidak mudah.

***

Nyatanya mereka berputar-putar kota, bahkan menyusuri jalanan sampai keluar kota, singgah makan siang di sebuah rumah makan sampai tak terasa hari mulai sore.

Wanda lupa kalau dia harus pulang sore itu, padahal belum bertemu Guntur. Guntur harus tahu kalau dia selalu menaruh perhatian pada dirinya. Tak akan luntur, selamanya. Siapa tahu lama-lama Guntur akan luluh.

“Ayo ke rumah sakit dulu, ini sudah sore,” kata Wanda.

“Baiklah, supaya kamu tidak kecewa, aku antar sekarang saja.”

Wanda senang, Zaki menuruti kemauannya.

Zaki menunggu di parkiran, sementara Wanda masuk sendirian.

“Aku menunggu di sini, nanti aku antarkan kamu ke agen travel yang akan membawa kamu pulang.”

Wanda mengangguk. Ia berterima kasih karena Zaki bersedia menunggu untuk mengantarkannya.

Zaki membuka kaca mobilnya dan menyalakan rokok. Ia sudah menahannya seharian karena berjalan-jalan bersama Wanda. Menurutnya, Wanda cukup menyenangkan karena penurut.

Tapi belum habis separo, ia melihat Wanda sudah kembali. Zaki membuang rokoknya sembarangan.

“Kok cepet? Masih ada Kinanti?”

“Guntur sudah pulang.”

“Haa, sudah pulang? Kalau begitu aku antarkan kamu pulang, atau ke rumah Guntur?”

“Takutnya bapak pulang malam ini. Jadi jangan sampai aku kemalaman.”

“Baiklah,” kata Zaki sambil menstarter mobilnya, membawanya keluar dari halaman rumah sakit.

Di tengah perjalanan itu tiba-tiba ayah Wanda menelpon.

“Ya Pak, benar, Wanda di rumah kok. Oh, Bapak pulang besok? Besok sore? Baiklah, tidak apa-apa. Selamat bertemu keluarga besar Pak.”

Wanda menutup ponselnya dan tersenyum.

“Kamu pintar berbohong juga ya. Kamu bilang sedang ada di rumah?”

Zaki terbahak.

“Kalau tahu aku pergi, pasti bapakku marah.”

“Kalau begitu mampir ke rumah aku dulu ya.”

“Di mana rumahmu?”

“Dekat dari sini kok. Perutku tiba-tiba sakit.”

Mobil Zaki melaju dan berhenti di sebuah rumah kecil, tapi kelihatan mewah. Zaki memang anak orang kaya.

“Ayo turunlah dulu, aku sendirian di rumah.”

Wanda menurut. Entah mengapa dia tak ingin menolaknya. Dikekang di rumah orang tuanya amatlah menyedihkan. Dan saat dia bisa pergi, menemukan teman yang menyenangkan adalah sesuatu yang membuatnya gembira. Biarlah pulang agak malam sedikit, toh orang tuanya baru pulang besok sore.

***

Besok lagi ya.

50 comments:

  1. 🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂
    Alhamdulillah 🙏🤩
    JeBeBeeL_19 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat & bahagia.
    Aamiin.Salam seroja😍🦋
    🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂

    ReplyDelete
  2. 🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃

    Alhamdulillah.. Syukron..🙏

    JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 19, sudah tayang.

    Semoga Bu Tien selalu sehat dan berkarya. Aamiin 🤲 🤲 🤲

    🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 19 sampun tayang, semoga bu Tien sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲

    Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai 2x

      Delete
  5. Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),19 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU~19 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien

    ReplyDelete
  8. Sembah nuwun Bu Tien, JBBL 19 nya …🤝

    Sehat” sll Ibu

    ReplyDelete

  9. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 19* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun Bu Tien, selamat berakhir pekan dengan keluarga tercinta. Semoga semuanya sehat wal'afiat...

    ReplyDelete
  12. .Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 19 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala.
    Aamiin.

    Wanda...Wanda...kamu msh polos, sedangkan Zaki sdh berpengalaman, takut nya dia adalah Play Boy. Kamu di bawa pulang ke rumah dia...waduh..Wanda..sdh terkena jebakan Batman...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  13. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲

    ReplyDelete
  14. Matur nuwun sampun tayang episode teranyar hehehe...mbakyu Tienkumalasari sayang salam sehat dan tetep semangat inggih, salam daku dari Tanggamus,Lampung Almoung

    ReplyDelete
  15. Terima kasih, ibu Tien...salam sehat.🙏🏻

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien jangan biarkan bungaku layu 19 sdh tayang
    Semoga bu tien sehat², bahagia n tetap semangat .... aamiin yra.

    ReplyDelete
  17. Kinanti memang sedang berprihatin , menunggu Guntur yang sedang sakit. Lain dengan Wanda yang bersenang senang dengan Zaki. Semoga sukses ya Wanda -Zaki...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  18. Duh Wanda sok pede mau menemui pacar di rumah sakit, malah ketemu dan menyapa seorang yang dia dikenalnya karena sang pengisi acara di perpisahan sekolah.
    Zaki nguping yang rupanya wanda berbohong sama bapaknya; waduh ini kesempatan, tuh kan mulai berpikiran yang ingin menguasai.
    Ya sudah Wanda disamber grandong, yang merasa sudah paling top, nyenining, nyambêr seenaknya; memperdayai dengan kemampuan ngomyang nya.
    Nggak sadar kalau ada sesuatu dibalik itu semua
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke sembilan belas sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien "JBBL~19"nya
    Salam hangat, semoga sehat selalu....makin ADUHAI

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Umi
      ADUHAI deh

      Delete
  20. Alhamdulillaah,matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Wanda Cah nekat tenan ,, malah ketempat Zaki, waduh g bahaya ta 😁🤭

    ReplyDelete
  21. Wanda ketemu playboy...
    Terimaksih Mbak Tien...

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 19

    JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  19 (Tien Kumalasari)   Zaki menatap Kinanti, menunggu jawaban. Tapi Kinanti tampak tak mengacuhkannya. Ia m...