Thursday, January 23, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 18

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  18

(Tien Kumalasari)

 

Kinanti bangkit dari tempat duduknya, berharap kalau sewaktu-waktu Guntur bangun, tak merasa bahwa dia mendengar igauannya. Tapi apakah orang mengigau itu sadar apa yang dikatakannya?

Pastinya tidak, tapi entah mengapa, Kinanti ketakutan sendiri, walau ada dendang suka cita di dalam hatinya. Ternyata Guntur suka padanya, tapi merasa rendah diri. Dasar bodoh. Runtuk Kinanti dalam hati.

Kinanti hampir duduk di sofa ketika ketukan pintu terdengar, lalu bu Raji muncul bersama ayah dan ibunya.

“Mana Guntur?” tak urung wajah bu Raji juga kelihatan cemas mengetahui anaknya sakit.

Kinanti menuntunnya ke arah tempat tidur, lalu bu Raji langsung memeluknya, membuat Guntur kemudian terbangun.

“Ibu? Mengapa Ibu datang kemari?”

“Apa kamu bilang Gun? Ibu mendengar kamu ada di rumah sakit, pastinya ibu harus melihatmu. Bagaimana keadaanmu?”

“Tidak apa-apa Bu, Guntur baik-baik saja.”

“Kepalamu berdarah? Diperban seperti itu?”

“Hanya luka kecil. Ibu tidak usah khawatir,” kata Guntur sambil menggenggam erat tangan ibunya.

“Bagaimana asal mulanya, mengapa bisa terjadi kecelakaan seperti ini?”

“Guntur kurang hati-hati. Membuat tiang penyangga tenda roboh, menjatuhi badan Guntur. Tapi tidak apa-apa. Ibu tenang saja.”

“Kamu kurang hati-hati.”

“Iya, benar, Bu. Guntur kurang hati-hati. Sebenarnya Guntur bisa langsung pulang setelah luka ini diobati, tapi pak Bono minta agar besok Guntur diperiksa lebih teliti, takut kalau ada luka di dalam. Tapi sepertinya tidak apa-apa. Guntur merasa baik-baik saja.”

“Kalau sakit jangan ditutup-tutupi. Biar penanganannya tuntas.”

“Iya. Seperti Ibu saja, kalau sakit bilang tidak apa-apa.”

“Kamu kok malah mengatai ibu,” cemberut bu Raji.

“Ibu memang begitu kan?”

“Sekarang bagaimana rasanya? Mana yang sakit?”

“Tidak ada Bu, tidak ada yang sakit.”

Kinanti yang berdiri di samping bu Raji hanya tersenyum.

“Kinanti masih menunggui aku sampai saat ini?”

“Tentu saja, Guntur. Bapak yang meminta agar aku tetap di sini dulu.”

“Nanti kamu pulang saja, aku tidak usah ditungguin. Kasihan, aku kan tidak apa-apa. Lagi pula kamu pasti juga capek, seharian sibuk di sekolah, menyanyi berkali-kali,” sambil mengucapkan itu mata Guntur menerawang jauh. Terbayang olehnya saat Zaki bernyanyi bersama Kinanti. Membuatnya sakit. Itu pula sebabnya, yang membuat dia selalu memikirkannya, sehingga kurang hati-hati, dan akhirnya terjadilah kecelakaan ini.

“Aku kan hanya menuruti permintaan teman-teman saja. Sebenarnya aku tidak ingin,” kata Kinanti yang tiba-tiba merasa, bahwa Guntur tidak suka melihatnya menyanyi bersama Zaki. Lalu Kinanti teringat, sikap Guntur yang kaku ketika menyuruhnya pulang lebih dulu, tampaknya itu sebuah kemarahan yang ditahan.

Kinanti tersenyum.

“Kali itu saja, selanjutnya tidak akan pernah lagi,” katanya seperti berjanji.

Guntur tersenyum tipis.

“Guntur, kami akan pulang dulu. Nanti kalau bu Raji mau pulang, kamu kabari aku, biar sopir menjemput kemari,” kata pak Bono dan bu Bono sambil mendekat.

“Nanti gampang Pak, tidak usah merepotkan lagi. Saya juga bisa menemani Guntur di sini, semalaman,” kata bu Raji.

“Jangan Bu, Ibu pulang saja nanti,” sergah Guntur.

“Nanti gampang. Sekarang nak Kinan biar pulang dulu bersama ayah ibunya.”

“Iya Kinan, kamu pulang dulu saja.”

“Baiklah, besok aku akan kemari lagi. Kamu ingin dibawakan apa?”

“Tidak, semuanya sudah cukup. Di sini juga aku diberi makan. Tidak ada yang kurang, jadi kamu tidak usah repot-repot.”

Ketika tinggal Guntur dan ibunya yang ada di ruangan itu, Guntur masih merasakan kehangatan atas perhatian Kinanti. Lalu ia merasa terlalu berlebihan ketika mencemburui Zaki. Lagi-lagi karena rasa rendah diri.

“Kamu memikirkan apa?” tanya sang ibu tiba-tiba.

“Tidak apa-apa Bu.”

“Keluarga pak Bono sangat baik semuanya. Kamu ditempatkan di ruang yang sangat bagus. Pasti mahal. Ibu punya sedikit uang, ibu akan bertanya nanti, berapa semua biaya yang harus dibayar.”

“Ini memang mahal Bu, tapi coba saja Ibu bertanya ke kantor, apakah kita mampu membayarnya?”
”Besok aku akan mengambil uang pensiun ayahmu juga. Siapa tahu kalau digabung dengan uang ibu ini akan cukup.”

“Terserah Ibu saja.”

Bu Raji bergegas keluar. Menjadi beban terus menerus serasa sangat berat. Guntur membiarkannya, karena kalau cukup, ia ingin membayar biaya itu sendiri. Sudah banyak yang pak Bono lakukan untuk keluarganya.

Tapi ketika kembali, sang ibu justru menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Bagaimana Bu?”

“Semua sudah menjadi tanggungan pak Bono. Rumah sakit ini tidak akan menerima sepeserpun pembayaran dari kita.”

Guntur menghela napas panjang.

“Guntur sudah menduga.”

“Ya sudah, mau bagaimana lagi.”

“Ibu capek? Guntur panggilkan taksi saja, nggak enak kalau harus mengabari pak Bono lalu pak Bono menyuruh sopir datang kemari.”

“Ibu akan di sini, besok pagi-pagi saja ibu pulang.”

***

Malam hari itu Kinanti terus teringat akan igauan Guntur saat di rumah sakit. Sesuatu yang terucap di mulut saat sadar, bisa benar, bisa juga tidak. Tapi mengigau, tidak mungkin bohong. Yang keluar pasti yang ada di dalam hatinya. Kinanti merasa kehangatan merayapi jiwanya. Kalau Guntur suka, mengapa tidak? Mereka akan selalu bersama-sama, karena kalau  diterima, mereka akan kuliah juga bersama-sama.

Kinanti memejamkan matanya, berusaha tidur, tapi bayangan Guntur selalu mengganggunya.

Tengah malam saat itu, tapi ponsel Kinanti tiba-tiba berdering.

Kinanti meraih ponselnya dari atas meja.

Nomor tak dikenal. Kinanti membiarkannya. Tapi tak lama kemudian sebuah pesan singkat memaksa dia harus membacanya.

“Kinanti, mengapa tidak mengangkat telponku? Aku ingin menelpon Guntur, tapi nomorku sudah diblokir. Aku mendengar dari teman-teman, bahwa Guntur kecelakaan. Apa itu benar? Katanya dirawat di rumah sakit, apa itu juga benar?”

Kinanti tak menjawab pesan itu. Ia justru mematikan ponselnya.

Wanda memang tak tahu malu. Kalau nomornya sudah diblokir oleh Guntur, berarti Guntur tidak ingin berhubungan lagi dengan dirinya. Mengapa dia masih selalu ingin menghubunginya? Bertanya-tanya tentangnya?

Kinanti mengacuhkannya. Ia meletakkan ponselnya kembali di meja, lalu tidur miring sambil memeluk guling.

***

Saat sarapan, Kinanti minta kepada sang ayah agar diijinkan ikut ke rumah sakit.

“Boleh saja, tapi kamu nanti pulang sendiri, bapak tidak bisa mengantar kamu pulang.”

“Iya, nanti gampang. Tapi mampir dulu beli makanan untuk Guntur ya.”

“Ini jam berapa? Kalau kelamaan bapak bisa terlambat. Bapak tidak mau ribet ketika mau pergi ke kantor.”

“Hanya sebentar.”

“Pesan saja makanan apa yang ingin kamu bawa, nanti biar dikirim langsung ke rumah sakit,” kata bu Bono.

“Nah, itu praktis. Bapak tidak suka terlambat dalam pekerjaan. Kelak kalau kamu sudah bekerja juga harus begitu. Jangan mengesampingkan pekerjaan, walau kamu menjadi orang nomor satu di tempat kamu bekerja.”

Pak Bono memang direktur di rumah sakit, dimana Guntur dirawat. Tapi pak Bono seorang pimpinan yang keras dan disiplin. Kalau menyangkut pekerjaan, semua harus disisihkan. Bawahannya tahu, dan mereka semua menghormatinya.

“Baiklah, Kinanti pesan saja sekarang, supaya dikirim ke rumah sakit, langsung ke kamar Guntur.”

“Menurut Bapak, apakah luka Guntur berbahaya?” tanya bu Bono.

“Tampaknya tidak. Guntur anak yang kuat. Tapi untuk meyakinkan, besok biar diadakan pemeriksaan secara menyeluruh, terutama di kepalanya. Kalau tidak ada masalah, besok langsung bisa pulang.”

“Iya, kasihan bu Raji kelihatan panik begitu.”

“Bisa dimaklumi, bu Raji hanya memiliki Guntur seorang.”

“Kinanti, apa kamu sudah siap? Bapak mau segera berangkat.”

“Sudah Pak. Kinanti juga sudah pesan kue-kue untuk Guntur, semoga dia suka.”

Tapi begitu Kinanti sudah sampai di halaman, sebuah mobil berhenti di luar pagar.

“Mobil siapa itu? Mengapa berhenti di sana?” tanya pak Bono.

Seorang anak muda turun. Laki-laki gondrong yang menyanyi bersama Kinanti. Pak Bono tentu saja mengenalnya.

Dia memang Zaki, dengan langkah tegap berjalan memasuki halaman.

“Mau apa dia, pagi-pagi datang kemari?” gumam Kinanti.

“Selamat pagi,” sapa Zaki sambil membungkukkan badannya lalu mencium tangan pak Bono, dan bu Bono yang berdiri di teras.

“Kinanti mau pergi ke mana?”

“Mau ke rumah sakit.”

“Oh, apakah itu yang kecelakaan kemarin siang di sekolah kamu?”

“Iya. Itu Guntur.”

“Kalau begitu aku ikut. Kemarin tidak sempat ikut menolongnya, padahal aku membawa mobil, soalnya tiba-tiba aku ada urusan dan harus pulang cepat."

“Tidak apa-apa. Dia baik-baik saja.”

“Kinanti, kamu jadi bareng bapak tidak?” tanya pak Bono.

“Jadi dong Pak. Maaf Zaki, aku harus_”

“Naik mobil aku saja, aku juga mau bezoek.”

“Kalau bezoek sendiri susah, ini belum jamnya. Aku ikut Bapak, supaya bisa masuk gampang.”

“Iya, aku juga akan mengikuti dibelakang ayah kamu. Melihat pakaiannya, ayah kamu dokter kan?”

“Ya sudah Kinan, kamu bareng teman kamu itu saja. Kita sama-sama ke rumah sakit.”

Zaki ingin bersorak kegirangan, sementara wajah Kinanti datar tanpa ekspresi. Tapi ia mengikuti Zaki, masuk ke mobilnya. Kalau tidak, sang ayah bisa marah karena kelamaan tawar menawar antara mau atau tidak.

***

Bu Raji bersiap-siap pulang. Ia tak bisa mandi di rumah sakit karena tidak bersiap membawa ganti, walaupun dia membawakan ganti untuk Guntur.

Tapi ketika bu Raji sampai di pintu, seorang perawat membawa paket sekotak roti.

“Ibu, ada kiriman untuk mas Guntur.”

“Ini? Untuk Guntur? Dari siapa?”

“Ini ada tulisannya. Sepertinya namanya Kinanti.”

“Oh, baiklah, terima kasih banyak.”

Perawat itu pergi, dan bu Raji membawa sekotak roti itu mendekati ranjang Guntur.

“Itu apa Bu?”

“Ini ada kiriman roti untuk kamu, dari nak Kinanti.”

“Ah, Kinanti ada-ada saja, aku sudah mengatakan tidak usah membawa apa-apa, malah dikirim. Bener-bener, anak itu,” omel Guntur.

“Ya sudah, terima saja. Ini isinya macam-macam lhoh. Ada arem-arem, roti keju, roti pisang. Kamu mau makan yang mana dulu?”

“Ibu bawa saja.”

“Ya jangan. Masa harus ibu bawa. Lagi pula siapa yang mau makan di rumah? Nih, kamu makan dulu saja, ibu bawa roti pisangnya saja. Sudah.”

“Baiklah, Guntur sudah memesan taksi, pasti sudah menunggu di depan.”

“Iya. Mudah-mudahan kamu bisa benar-benar pulang hari ini.”

“Aamiin.”

***

Guntur masih mengunyah arem-arem kiriman Kinanti, ketika tiba-tiba Kinanti muncul. Guntur tersipu, lalu diletakkannya arem-arem yang tinggal separuh.

“Eh, mengapa ditaruh? Habiskan saja. Syukurlah sudah sampai. Kamu suka?” katanya sambil meraih sisa arem-arem, membuka daunnya dan menyuapkannya ke mulut Guntur.

“Hei, apaan kamu ini. Biar aku makan sendiri,” kata Guntur sambil meraih arem-arem yang dipegang Kinanti.

“Enak?”

“Enak sekali, terima kasih.”

Tapi karena asyik menikmati kiriman Kinanti, Guntur tidak melihat ada seseorang yang mengawasi dari dekat pintu. Guntur menoleh ketika mendengar seseorang itu berdehem. Ia hampir tersedak ketika melihat siapa yang datang.

Kinanti mengambilkan minum, dan Guntur mengangkat kepalanya untuk meminum tehnya dengan sedotan.

“Itu Zaki. Ia ingin bezoek kamu,” kata Kinanti.

Zaki mendekat.

“Hai, kawan. Aku sudah mengenal kamu. Kamu Guntur kan?” kata Zaki ramah sambil menyalami Guntur yang tiba-tiba merasa kikuk.

“Terima … kasih.”

“Kemarin aku mendengar kamu terjatuh, tapi aku tergesa pulang karena ada urusan. Kamu baik-baik saja? Apa ada yang cedera?”

“Tidak, aku baik-baik saja.”

“Tadi waktu aku mau berangkat bareng bapak, tiba-tiba Zaki datang, lalu ikut kemari,” terang Kinanti tanpa ditanya.

Guntur hanya mengangguk. Kedatangan Zaki membuatnya tak nyaman. Padahal Zaki bersikap sangat ramah. Barangkali rasa cemburu itu masih ada, dan barangkali juga semakin bertambah karena pagi-pagi Zaki sudah datang ke rumah Kinanti.

“Tadinya mau nyamperin Kinanti, akan aku ajak makan pagi. Tapi karena dia mau kemari, aku antar dulu saja,” kata Zaki tanpa merasa bersalah.

Tuh kan, semakin menambah panas di hati bukan? Guntur tak menjawab.

“Kamu masih pusing?” tanya Kinanti.

“Masih.” jawab Guntur singkat.

“Kata bapak, sebentar lagi kamu akan diperiksa secara menyeluruh,” terang Kinanti.

“Kinanti, bagaimana kalau kita pergi makan pagi dulu sebentar, nanti kita bawakan oleh-oleh untuk Guntur. Tanyakan dia ingin makan apa,” kata Zaki, lagi-lagi tanpa merasa bersalah.

Guntur memejamkan matanya.

***

Besok lagi ya.

 

55 comments:

  1. 🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃

    Alhamdulillah.. Syukron..🙏

    JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 18, sudah tayang.

    Semoga Bu Tien selalu sehat dan berkarya. Aamiin 🤲 🤲 🤲

    🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃

    ReplyDelete
  2. 💕🌸💕🌸💕🌸💕🌸
    Alhamdulillah 🙏💝
    JeBeBeeL_18 sdh tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai🦋😍
    💕🌸💕🌸💕🌸💕🌸

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Sari
      Aduhai juga

      Delete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU~18 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  5. Alhamdulillah JaBiBuLa 18 sdh hadir. Matur nuwun Bu Tien🙏
    Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat & bahagya 🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Sis
      Sugeng dalu

      Delete
  6. Alhamdulillah Maturnuwun Bunda.semoga tetap sehat wal afiat.Aamiin

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien Sehat sehat sehat
    Bismillah Biidznillah🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),18 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  9. Alhamdullilah mksih jbbl nya sdh tayang..slm sht dan tetap aduhai dri skbmi unk bunda sekeluarga🙏🥰🌹💞

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah
      Aduhai hai hai

      Delete
  11. Tambah mumêt yå, Gun.
    Lagi mindhik² mecaki ati, piyé penak'é aluré malah si grandong eeh si gondrong melu melu nambahi mumêt, yå wis, rumangsa olèhé mak mèk, jowal jawil durung tutug, wong action manggung, mruput mlinjo.
    Lakok, åpå kuwi, nggolèk gogrogan mlinjo; sapa ngerti entuk.
    Malah nambahi umyeg pikiran yå Gun.
    Titenånå; jaré mung kuwi suk ra nyanyi manèh.
    Piyé Gun; arep blaka nyatané mumêt, malah dadi suwé olèhé nginêp mêngko, kelingan ibuné mesthi kuwatir; hayo arep ngapusi doktêr mêsthi.
    Kelingan simbok yå.
    Mênåwå nambahi pikiran keng ibu
    Terus
    Mbuh piyé lah mengkoné, arep mèlu nunggoni Guntur, nggantèni Bu Raji, isih ngganyik kepingin glenak glenik karo Kinan waé.
    Zaki , iyå tå
    Isih nggolèk gogrogan mlinjo, lha kan kurang marem

    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke delapan belas sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak crigis.

      Delete

  12. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 18* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  13. Kalau Wanda mengganggu Kinanti karena mengejar Guntur, Zaki tampaknya ingin mendapatkan Kinanti.
    Guntur maupun Kinanti pasti tidak nyaman untuk mengatakan hal yang sebenarnya.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  14. Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  15. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Yah Guntur , cemburu nih ya

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah.... Sehat selalu mbakyu 🥰

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun. Sami2 jeng sehat selalu juga

      Delete
  17. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu selalu sehat walafiat....

    ReplyDelete
  18. .Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 18 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala.
    Aamiin.

    Zaki ngajak Kinanti sarapan pagi keluar. Guntur yang mendengar kepala nya jadi pusing 😁

    Kalau Kinanti lebih menyukai Guntur, harus nya ajakan Zaki tsb, dapat dia tolak secara halus.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  19. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya
    Semoga bu tien sehat² selalu

    ReplyDelete
  20. Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhaiii

    ReplyDelete
  21. Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat selalu.🙏🏻

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Salam hangat...sehat selalu

    ReplyDelete
  23. Yang lincah sebenarnya bukan Zaki, tapi Mbak Tien...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 18

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  18 (Tien Kumalasari)   Kinanti bangkit dari tempat duduknya, berharap kalau sewaktu-waktu Guntur bangun, tak ...