JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 13
(Tien Kumalasari)
Guntur melangkah mengikuti Ardi dan Kinanti nyang sudah mendahului. Sedikit sakit yang dirasa, mendengar ayah Wanda merendahkannya. Sebenarnya siapa yang mau mendekati Wanda? Wanda sendiri kan, yang selalu mengejar-ngejarnya dan mencari perhatiannya? Bahkan kecelakaan itu terjadi setelah Wanda datang kerumahnya dan marah-marah tak jelas, lalu dia mengendarai sepeda motornya. Ngebut. Ngebut dari sejak keluar dari halaman rumah, yang pastinya karena hatinya masih dilanda kesal, lalu menabrak mobil, sehingga terjadilah seperti sekarang. Gegar otak, tangannya harus dioperasi karena patah.
Guntur mengeluh. Terkadang dia heran, mengapa orang rendah selalu mendapat hinaan? Kalau tidak suka dia, ya sudahlah, sudah benar kalau melarang anaknya menyukai dirinya. Tapi tidak usah mengatakan hal yang menyakitkan.
“Guntur, ngapain kamu!” teriak Ardi yang sudah sampai di parkiran sepeda motor, sementara Guntur masih berjalan pelan.
Guntur baru sadar bahwa dia tidak sendirian. Ia bergegas menghampiri.
“Antarkan Kinanti sekalian ya, ini sudah hampir senja,” kata Guntur.
“Oke siap. Kamu dengar, kamu dipercayakan kepada diriku,” kekeh Ardi.
“Sepeda motorku kan masih di sekolah?” bantah Kinanti.
“Biar aku urus, mana kuncinya?”
Kinanti menyerahkan kunci motornya.
“Nanti kamu ke rumah?” tanya Kinanti.
“Iya, atau kalau tidak ... pagi-pagi sebelum berangkat sekolah. Bagaimana?”
“Boleh, terserah kamu saja,” kata Kinanti senang, karena nanti masih akan bertemu lagi dengan ‘saudara angkat’ yang dikaguminya itu.
Mereka berpisah, dan dengan menahan rasa jengkel, Kinanti terpaksa kembali membonceng Ardi, yang setiap bicara selalu membuatnya kesal.
“Asyyiik, kita jalan-jalan dulu?” goda Ardi.
“Ogah, sudah hampir maghrib, tahu!!”
“Oh iya, lupa. Aku nanti shalat di rumah kamu, boleh kan?”
”Nggak boleh, kan banyak masjid atau mushala di jalan.”
“Ya ampuun, pelit amat, padahal kalau sama kamu aku nggak pelit-pelit amat lho,” sungut Ardi.
“Sudah, ayo jalan. Guntur sudah lebih dulu pulang tuh.”
“Biarkan saja, kan dia sudah menyerahkan kamu sama aku?”
“Apa maksudmu? Memangnya aku barang?”
Bahkan ketika motor Ardi sudah melaju, masih saja Ardi suka membuat Kinanti marah. Ada-ada saja candaannya, sehingga membuat Kinanti semakin gemas.
“Awas ya, jangan lagi main pukul, nanti kalau kita jatuh berbarengan bagaimana?”
“Ardi, bisakah kamu menutup mulut kamu sebentar saja? Ini di jalan, jangan cengengesan.”
“Siapa yang cengengesan, setiap kata yang aku ucapkan itu serius lhoh, termasuk ketika aku bilang cinta sama kamu.”
“Dasar gila.”
“Yah, memang aku gila. Salahnya kamu tak pernah perhatian sama aku. Padahal kalau dipikir-pikir ….”
“Jangan bilang kamu ganteng, lebih ganteng dari Guntur, lebih ganteng dari monyet di kebun binatang.”
“Apa? Aku nggak pernah bandingin diri aku ini sama monyet lhoh. Enak aja, masak sainganku monyet?”
Kinanti terkekeh. Senang bisa gantian mengejek Ardi.
Walau kesal, Ardi adalah teman yang baik. Kinanti tak pernah bisa membencinya, walau dia tak akan suka. Ardi adalah sahabat baiknya, setelah dia tak lagi terlibat urusan menyanyi di grup band bersama Fitria dan lainnya.
***
Guntur mampir ke sekolah, karena sepeda motor Kinanti ada di sana. Ia bertemu pak Kino yang sedang menutup pintu-pintu kelas setelah membersihkannya.
“Mas Guntur kok kembali ke sini?”
“Sepeda motor Kinanti masih ada di sini kan?”
“Iya benar, mau saya masukkan gudang, tapi dikunci stang.”
“Biar aku bawa pulang saja.”
“Memangnya bisa, membawa dua motor sekaligus?”
"Bukan, hanya punya Kinanti yang saya bawa. Punyaku biar di sini dulu..”
“Memangnya non Kinan kemana?”
“Kami tadi bezoek ke rumah sakit. Takut kemalaman, Kinanti diantar Ardi, aku yang bertugas membawa sepeda motornya. Nanti malam atau besok pagi aku antar ke rumahnya.”
“Bagaimana keadaan non Wanda?”
“Ya masih sakit, tangannya baru habis dioperasi karena patah. Dia juga gegar otak. Jadi akan agak lama tinggal di rumah sakit.”
“Kasihan.”
“Aku ambil sepeda motornya dulu ya Pak.”
“Silakan Mas, setelahnya pintu gerbang juga mau saya kunci.”
“Ya, sudah saatnya dikunci semua.”
“Bagaimana dengan wadah makan dan minuman itu?”
“Biar di tempat pak Kino dulu, lagian belum bisa mengembalikannya kepada pemiliknya, kan dia masih ada di rumah sakit.”
“Ya sudah, saya simpan dulu saja, Mas.”
***
Guntur agak khawatir, meninggalkan sang ibu seharian di rumah sendiri. Tapi ia terkejut karena hari itu ada beberapa masakan enak terhidang di meja makan. Guntur sempat melongok sebelum masuk ke kamarnya. Aroma gurih ikan goreng menyentuh hidungnya.
“Kamu baru pulang?” tiba-tiba bu Raji muncul di belakangnya.
“Iya, Bu. Tadi pulang hampir jam lima, lalu ke rumah sakit.”
“Bezoek Wanda?”
“Iya, bersama Kinanti dan Ardi juga. Kok Ibu masak-masak sih? Kan Guntur sudah bilang, biar Guntur saja yang memasak, Ibu jangan banyak kegiatan di rumah dulu. Tunggu kalau sudah benar-benar sehat.”
“Tidak apa-apa. Yang bisa mengukur seberapa kekuatan ibu kan ibu sendiri. Jadi karena ibu merasa kuat dan bisa, maka ibu memasak. Sayang banyak bahan makanan di kulkas kalau tidak segera dimasak.”
“Ibu harus benar-benar menjaga kesehatan lhoh. Tapi diam-diam Guntur merasa lapar nih, habis … bau masakan Ibu menusuk hidung, lalu menggelitik perut Guntur.”
Bu Raji tertawa.
“Ibu siapkan piringnya, kamu mandi dan ganti pakaian dulu. Bau acem, tahu.”
Guntur mencium ketiaknya sendiri, lalu hidungnya mengernyit.
“Nggak begitu bau kok Bu, bau keringat Guntur ini ngangenin lhoh.”
“Oh ya? Mungkin kamu benar. Kalau kamu perginya lama, ibu pasti kangen."
Guntur tertawa, ia memeluk sang ibu, kemudian setengah berlari menuju kamar.
Bu Raji geleng-geleng kepala. Rasa sepi perlahan sirna, merasakan perhatian sang anak yang luar biasa.
***
“Kamu jadi mengembalikan uang Wanda?” kata sang ibu ketika sedang menemani anaknya makan.
“Belum Bu, nggak enak, karena ada ayah dan ibunya.”
“Uang ibu kamu bawa saja dulu, barangkali kurang.”
“Tidak, kan Guntur sudah bilang kalau uang Guntur masih ada. Yang Ibu bawa itu buat persediaan kalau Ibu harus kontrol ke dokter dan membeli obat. Jadi Ibu bawa saja dulu.”
“Nanti kan bisa mengambil uang pensiun ayahmu. Walau sedikit, kalau untuk makan berdua saja masih cukup sama untuk beli obat."
“Keperluan kita bukan hanya makan. Ibu harus selalu sehat, ya kan? Dan karena itu Ibu harus sering kontrol dan minum obat.”
“Ibu itu sudah tua. Kalaupun sakit-sakitan, itu lumrah. Yang penting bisa melihat kamu menjadi orang. Jadi kalau tidak merasa sakit sekali, lebih baik tidak usah ke dokter.”
“Ibu jangan begitu. Yang bisa melihat Ibu sakit atau tidak itu kan dokter. Dan Guntur ingin, Ibu selalu sehat. Kalau ibu sehat, Guntur bisa merasa tenang.”
“Ibu sehat kok. Kamu jangan terlalu memikirkan ibu. Orang sakit itu kan kelihatan. Lihat, ibu sudah bisa mengerjakan banyak hal. Bersih-bersih rumah, memasak. Mana ada orang sakit bisa melakukannya?”
“Ibu sering mengatakan bahwa Guntur itu bandel, tapi ternyata Ibu lebih bandel dari Guntur,” sungut Guntur.
Bu Raji tertawa.
“Sudah, jangan mengomeli ibu terus, habiskan makanannya.”
“Mengapa Ibu tidak makan?”
“Ibu sudah makan tadi siang, jadi ini belum saatnya makan. Nanti malam saja, sekalian minum obatnya.”
“Baiklah. Makan yang banyak ya Bu.”
“Perut orang itu kalau sudah tua kan menciut, jadi tidak bisa makan banyak. Pokoknya kenyang, dan itu cukup kan?”
“Baiklah. Yang penting Ibu sehat.”
Tapi sebenarnya bu Raji sedang menyembunyikan rasa sakit yang sebenarnya. Ia merasa, periksa ke dokter terlalu sering, akan menghamburkan banyak uang. Kalau tidak dibantu keluarga Bono, mana bisa mereka bisa menjalani semuanya? Mencukupi kebutuhan hidup, periksa ke dokter dan membeli obat, lalu biaya sekolah Guntur. Untunglah keluarga Bono amat baik, dan bersedia membiayai semua kebutuhan sekolah Guntur, bahkan juga sering membantu kebutuhan-kebutuhan lain.
Tapi bagi bu Raji, periksa ke dokter hanya membuang-buang uang yang tidak berguna. Bukankah orang tua pasti punya banyak keluhan rasa sakit?
“Guntur nambah ya Bu,” kata Guntur membuyarkan lamunan bu Raji.
“Oh iya, tentu saja. Habiskan semuanya. Nanti ibu masak nasinya lagi.”
“Jangan, biar Guntur saja masak nasinya. Ibu istirahat sana.”
“Ya sudah, terserah kamu saja.”
“Nanti juga yang membereskan meja makan juga biar Guntur, setelahnya akan mencuci piring-piring kotor sekalian.”
“Ya sudah, ibu istirahat ya. Tapi kalau kamu kecapekan, tidak bisa belajar, bagaimana?”
“Bisa Bu, Guntur bisa mengatur semuanya.”
“Lhoh, itu sepeda motor siapa Gun?”
“Oh, itu punya Kinanti, nanti akan Guntur antarkan. Tadi ditinggal di sekolah, karena dia membonceng Ardi sampai pulang. Jadi sepeda motor Kinan nanti Guntur yang mengantarkannya.”
“Oh, tadi ketika ke rumah sakit, Kinanti dibonceng Ardi dan sepeda motornya ditinggal di sekolah?”
“Iya Bu.”
***
Tapi ternyata Guntur baru mengantarkan sepeda motor itu pada pagi harinya, karena Guntur belajar sampai larut.
Walau begitu Kinanti senang, karena pagi hari itu ia bisa ke sekolah dengan membonceng Guntur.
“Guntur, uang saku kamu masih ada?” tanya pak Bono yang tiba-tiba muncul, mengejutkan Guntur yang sedang menunggu Kinanti bersiap.
“Masih ada Pak.”
“Masa dari kemarin-kemarin masih ada?”
“Guntur itu hemat Pak, tidak pernah mempergunakan uangnya untuk membeli apapun. Makan juga tidak,” kata Kinanti yang sudah siap dengan tas sekolahnya.
“Bukan begitu Pak, soalnya selalu sudah makan di rumah, jadi masih kenyang,” kata Guntur.
“Ini aku tambah lagi. Kamu kan butuh untuk ibumu juga.”
“Tidak usah Pak, ini masih ada.”
“Jangan begitu, terima saja. Aku tahu kamu sungkan, tapi tidak baik menolak rejeki,” kata pak Bono sambil memasukkan uang ke saku seragam sekolah Guntur.
Dengan tersipu akhirnya Guntur menerima pemberian itu.
“Kinanti juga Pak.”
“Lhoh, kamu kan sudah diberi ibu tadi?”
“Dari Bapak kan belum.”
“Dasar. Jangan boros-boros kamu.”
“Enggak kok Pak, paling untuk makan siang di kantin.”
“Ya sudah, ini untuk kamu. Sudah siang, segera berangkat.”
Guntur mencium tangan pak Bono, setelah menghampiri bu Bono yang sedang menyiapkan makan pagi untuk suaminya.
“Hati-hati, jangan ngebut,” pesan pak Bono.
***
Berhari-hari kemudian, akhirnya Wanda sudah diijinkan pulang ke rumah. Hanya saja tangan kirinya masih harus digendong, karena tulang yang patah belum menyatu. Akibatnya ketika masuk ke sekolah ia harus diantar dan dijemput sopir.
Tapi sebelum mulai masuk sekolah kembali, sang ayah wanti-wanti agar Wanda melupakan temannya yang bernama Guntur.
“Dia tidak sepadan denganmu,” ujarnya berkali-kali, dan berkali kali pula Wanda selalu menjawab bahwa dia suka padanya.
“Jangan bandel. Aku tidak mau anakku hidup sengsara.”
“Tapi aku suka dia.”
“Jangan membuat bapakmu marah,” tandas kata pak Wita.
Kalau sudah begitu, Wanda memilih diam. Tapi sesungguhnya dia tak bisa melupakan Guntur.
Hari pertama dia masuk, yang dicari saat istirahat adalah Guntur. Ia membawakan sebungkus roti bakar dengan selai nanas dan coklat, yang lagi-lagi ditolak Guntur. Wanda sangat marah. Dia juga marah ketika Guntur mengembalikan wadah makan dan minum yang dulu diberikan pak Kino. Begitu wadah itu diterima, langsung dilemparkannya ke keranjang sampah.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Kamu aku bawakan bekal, ini bukan nasi, tapi roti bakar buatan ibuku, tapi kamu malah mengembalikan tempat makan itu kepadaku.”
“Aku sudah bilang, jangan lagi kamu membawakan apa-apa untukku. Lagi pula ... ini, aku sudah menyiapkan ini untuk kamu,” Guntur menyerahkan sebuah amplop berisi uang.
“Ini apa?” Wanda berteriak.
“Dulu aku bilang akan menukar uang yang sudah kamu keluarkan untuk ibuku, sekarang aku akan mengembalikannya. Tolong terimalah,” katanya sambil menyerahkan amplop itu ke tangan Wanda, lalu ia pergi meninggalkannya. Tapi Wanda mengejarnya.
“Guntur, kamu benar-benar menyia-nyiakan perhatianku. Apa kamu tahu bahwa aku suka padamu?” katanya sambil berjalan disamping Guntur, tanpa merasa malu walau beberapa murid yang lain memperhatikannya,
“Maaf Wanda, aku menyukai orang lain," kata Guntur dengan kesal.
“Maksudmu Kinanti?”
Guntur mengangguk, dan ketika itu Kinanti sedang melintas di samping mereka, yang dadanya berdegup kencang mendengar pengakuan Guntur.
Mata Wanda berkilat penuh amarah.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteππΉπ»πππ»πΉπ
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Syukron..π
JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 13, sudah tayang.
Semoga Bu Tien selalu sehat dan berkarya. Aamiin π€² π€² π€²
ππΉπ»πππ»πΉπ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Yeessss....
ReplyDeleteHallooowwww diajeng Iyeng
DeleteMatur suwun
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL sampun tayang, semoga bu Tien sll sehat, bahagia dan melimpah rizki aamiin yra π€²π€²
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun π©·π©·
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Salam aduhai 2x
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteNuwun pak Latief
DeleteYes
ReplyDeleteYesssss
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Endang
DeleteAlhamdulillah..matur sembah nuwun Mbak Tien..JeBeBeeL _.13. sudah tayang
ReplyDeleteSehat2 selalu
Salam ADUHAI dari Bandung..ππ₯°ππΉ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Ning
ADUHAI dari Solo
Alhamdulillah JaBiBuLa 13 sdh hadir. Matur nuwun Bu Tienπ
ReplyDeleteSugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat & tetep semangat π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Sis
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Hamdallah...sampun tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun π·πΉ πππSemoga Bunda selalu sehat wal afiat π€²
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 13* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tiem ..selalu sehat nggih πΉπΉπΉπΉπΉ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Susi
πΊπ₯πΊπ₯πΊπ₯πΊπ₯
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ€©
JeBeBeeL_13 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam serojaππ¦
πΊπ₯πΊπ₯πΊπ₯πΊπ₯
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Susi
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu selalu sehat njih...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),13 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Pengakuan Guntur yang mengatakan lebih menyukai Kinanti membuat Wanda marah. Yang mengkhawatirkan kalau Wanda tega mencelakai Kinanti.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah..... terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Matur nuwun bunda Tien...ππ
ReplyDeleteSami2 ibu Padmasari
DeleteTerima ksih bundaqu jbbl nya .slmt mlm dan slmt istrht..slm sht sll unk bunda sekeluargaππ₯°πΉ
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah, matur nuwun ibu Tien ππ»
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteTerimakasih bunda tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillaah JBBL- 13 Sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat selalu
Aamiin Allaahumma Aamiin
Salam Aduhai Bunda
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 13 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin.
Krn pengakuan Guntur yng menyukai orang lain, maka Wanda..Hati nya Lebur jadi Debu...kata Jamal Mirdad..π
Sebalik nya Kinanti yang mendengar pengakuan Guntur...bergetar hati nya...dada nya...Deg Deg Plass..Deg Deg Plass...kata Koes Plus..ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Ini saingan sama pak crigis ya.
Hehehee
Ternyata
ReplyDeleteAkhirnya Kinan tahu saudara angkatnya tidak bertepuk sebelah tangan; lho kok tahu; biasa hasil nguping.
Waduh ini warior nggak bakal mau takluk sama pesaing nich sepertinya, keluar sungut kebencian, menatap tajam ke rivalnya.
Menatap karo kejedot bΓ©danΓ© Γ₯pΓ₯, ash embuh senenganΓ© crigis, ditakoni malah siΓ₯ siΓ₯, lha kuwi cara melayu karo cara jawa, yΓ¨n cara mlayu kuwi njranthal, jawane mentheleng.
Malah rakaru karuan olèhé ngomyang.
Masih ada satu andalan lagi, yang bisa buat alasan, juga hasil nguping; kalau pak Wita melarang anaknya pacaran sama Guntur, tuh kan.
Repot juga ya, Kinan menjadi pelengkap penderita nich, mudah mudahan nggak sampai berantem, namanya juga ada rasa, acuh sedikit juga nggak apa-apa, bilang aja; 'silahkan sono kalau mau, emang gue pikirin.'
Wow kok kaya bau tumisan, Γ₯pΓ₯ kuwi; sΓͺngak tau.
Ya biarin.
Pasword nya udah dapet ini
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke tiga belas sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak crigis ..
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien selalu sehat² n dlm lindungan Allah SWT
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya
ReplyDeleteJangan GR dulu Kinanti, πππ€
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteAlhamdulillah , matursuwun "JBBL" nya
ReplyDeleteWah, asyik...Guntur sudah berani mengakui kalau suka sama Kinanti. Wanda patah hati beneran deh...apakah dia akan tetap 'tebal muka'? Hmm...π€
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...sehat2 selalu ya...ππ»ππ»ππ»πππ
Sami2 ibu Nana
DeleteAamiin doanya