JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 14
(Tien Kumalasari)
Kinanti mempercepat langkahnya, menjauh dari Wanda, tapi Wanda mengejarnya. Walau sebelah tangannya masih digendong, ia masih tak segan berjalan cepat di atas jalanan yang berkerikil. Sebelah tangannya menarik lengan Kinanti, sementara Guntur hanya mengawasi dari kejauhan.
“Berhenti dulu,” hardiknya.
Kinanti berhenti, menatap Wanda dengan pandangan kesal.
“Ada apa?”
“Jangan terlalu senang karena mendengar Guntur mengatakan bahwa dia menyukai kamu.”
“Aku tidak mendengar apa-apa? Sudahlah, jangan menggangguku,” kata Kinanti sambil berjalan ke arah kelasnya sendiri.
“Bohong! Pasti dalam hati kamu akan mengejekku bukan?”
“Mengapa kamu berpikiran yang aneh-aneh, sementara aku tak berpikir apa-apa?”
“Itu benar, bukan? Ngaku saja.”
“Sebenarnya apa maksudmu?”
“Aku menyukai Guntur dengan caraku. Bukan seperti kamu yang menyuruh orang tuamu menemui orang tua Guntur untuk memberi banyak makanan, dan mungkin juga uang. Itu kan caramu supaya Guntur menyukai kamu?”
“Kamu menjadi kacau karena cintamu tak berbalas. Sudahlah, aku tak mau bertengkar denganmu,” kata Kinanti sambil kembali melangkah.
“Tapi aku mau!” katanya keras sambil mengejar, tapi sebuah batu yang agak besar membuat kakinya tersandung, sehingga dia jatuh tertelungkup. Wajahnya mencium batu-batu yang berserakan, dan tangan yang bekas dioperasi tertindih tubuhnya sendiri. Jeritnya seperti lolongan yang membahana, membuat semua orang menatapnya.
“Tolooong, dia membuatku terjatuh!” kataya sambil berusaha bangkit.
Seseorang membantunya, karena kasihan, mendengar rintih kesakitan yang dibuat-buat.
Kinanti berhenti sejenak, lalu membiarkannya ketika salah seorang teman Wanda sudah menuntunnya ke tepi, lalu mendudukkannya disebuah bangku.
“Perempuan jahat itu! Lihatlah! Dia berlalu setelah membuat aku celaka!! Perempuan jahat! Dia bermaksud mencelakaiku.”
Beberapa orang menatap Kinanti. Bagi yang tidak tahu, mereka menyalahkan Kinanti yang tega membuat Wanda yang masih sakit sampai terjatuh mencium latar berkerikil yang melukai wajahnya.
Tapi tiba-tiba Ardi mendekat dan menuding hidung Wanda yang berdarah.
“Kamu yang jahat! Kamu jatuh sendiri karena mengejar Kinanti. Kamu bicara tidak pantas, sementara Kinanti tidak melakukan apa-apa!” katanya lantang.
“Apa maksudmu? Jelas-jelas aku terjatuh karena dia!!”
Seorang temannya berlari ke arah ruang guru, lalu keluar dengan membawa kotak obat. Ia mengambil kapas dan membersihkan darah di wajah Wanda.
“Apa yang akan kamu lakukan pada Kinanti? Kamu akan memukulnya? Kamu tidak tahu malu.” hardik Ardi yang sangat kesal karena Wanda menuduh Kinanti yang melakukannya. Padahal dia jatuh karena mengejar Kinanti, dan Kinanti sama sekali tidak menyentuhnya.
“Kamu membelanya?” hardik Wanda, yang walaupun kesakitan tapi masih bisa berteriak keras.
“Aku membela yang benar. Dasar tak tahu berterima kasih. Kalau bukan karena Kinanti maka orang tuamu tidak akan tahu bahwa kamu kecelakaan.”
“Sudah Ardi, biarkan saja, ayo kembali ke kelas. Istirahat sudah hampir usai,” kata Guntur yang kemudian mendekati Ardi dan menarik lengannya agar menjauh.
Wanda bertambah kesal karena Guntur tak memperhatikannya.
“Guntuuuur, kamu juga jahat!”
Teman-teman yang semula membelanya, kemudian menjauhinya karena tahu bahwa Wanda jatuh karena ulahnya sendiri.
Mereka menganggap Wanda tak tahu malu karena membuat keributan di sekolah hanya gara-gara seorang laki-laki yang ternyata tidak mempedulikannya.
Di dalam kelas, Guntur mendekati Kinanti yang wajahnya gelap seperti mendung.
“Tidak usah kamu pikirkan, Kinan, dia memang begitu tak tahu malu.”
Kinanti tersenyum menatap Guntur, dan merasa senang karena Guntur memperhatikannya. Ia juga senang karena tadi Guntur mengatakan bahwa dia menyukai orang lain, yang ketika Wanda bertanya apakah itu Kinanti, maka Guntur mengangguk. Kinanti tak mendengar jawabannya, tapi melihatnya mengangguk, dan itu membuat hatinya berbunga-bunga.
“Apa kamu marah ketika tadi aku ….” Guntur tak menambahkan ucapannya. Ia menyesal mengucapkan tentang ada yang dia sukai, karena merasa tak sebanding dengan Kinanti yang anak dari orang kaya, bahkan yang telah membiayai sekolahnya. Tadi dia hanya ingin menghentikan Wanda, supaya jangan terus menerus mengejarnya.
“Ada apa?” Kinanti ingin mendengar Guntur mengucapkan apa yang ingin diucapkannya.
“Maafkan aku. Tadi … aku lancang … Tapi aku hanya … ingin menghentikan Wanda.”
Kinanti kehilangan senyumannya. Ternyata Guntur tidak benar-benar menyukainya. Ternyata tadi hanya ingin menghentikan Wanda, dan karena itu Wanda jadi membencinya.
“Lupakan saja,” kata Kinanti yang kemudian mengambil sebuah buku pelajaran dan pura-pura membacanya.
Guntur kemudian meninggalkannya dengan heran. Mengapa senyuman Kinanti tiba-tiba lenyap?
Tapi karena kejadian itu, dan karena ocehan Wanda, maka Kinanti dipanggil guru wali kelasnya, dan disidang di ruang guru.
Sungguh seharusnya sangat memalukan, karena hampir semua saksi membela Kinanti, dan mengatakan Wanda yang keterlaluan. Termasuk Guntur dan Ardi yang melihat terjadinya kejadian itu.
***
Walau akhirnya Wanda dan Kinanti diminta untuk berdamai lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman, tapi dalam hati mereka, rasa tidak suka masih terus digenggamnya. Sulit melepaskan rasa cinta? Entahlah, yang jelas ketika Wanda mengadu ke orang tuanya tentang luka diwajahnya, membuat sang ayah murka.
Murka kepada anak gadisnya karena tidak tahu malu dengan terus mengejar teman miskinnya yang sepertinya jelas-jelas menolaknya.
“Memang benar, lebih cepat kita pindah dari sini, lebih baik. Wanda sungguh tak tahu malu, masih mengejar si miskin itu.”
“Ya, sudahlah, Bapak sabar saja. Kita sudah selesai mempersiapkan semuanya. Beberapa barang sudah dikirim ke rumah baru kita. Kita hanya menunggu Wanda selesai ujian, bukan?”
“Tinggal dua minggu kan? Ya sudah, biarkan saja. Mulai sekarang aku sendiri yang akan mengantarkan Wanda kesekolah, dan menjemputnya. Akan aku awasi dia agar jangan main-main tentang cinta monyet itu.”
“Tapi Bapak jangan sampai membuat onar di sekolah, memalukan.”
“Mana mungkin aku berbuat yang memalukan? Anakmu itu yang tak tahu malu, bukan? Aku heran, apa kelebihan anak bernama Guntur itu. Wajah juga pas-pasan, miskin pula. Bagaimana anakmu itu Bu? Kalau anak yang satunya itu aku masih bisa mengerti. Wajahnya ganteng, dan dia kelihatan anak orang kaya. Kalau itu, aku mungkin masih bisa mempertimbangkannya. Tapi yang namanya Guntur itu, sama sekali tidak menarik. Bukan jelek sekali sih, tapi tidak ada menarik-menariknya. Anakmu itu yang aneh.”
“Sekarang sudah waktunya pulang, Bapak tidak menjemputnya? Atau mulai besok saja, dan sekarang biar dijemput sopir?”
“Iya, aku sudah siap mau menjemput dia. Tapi aku mau langsung ke kantor lagi. Ada yang harus aku selesaikan sebelum aku tinggalkan. Sudah ada orang kepercayaan aku yang akan menjalankan semuanya.”
“Hati-hati Bapak memilih orang.”
“Aku tahu, Siswadi sudah aku percaya sejak limabelas tahun yang lalu, ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Aku akan mulai mengawasi langsung perusahaan cabang yang baru beberapa tahun aku kelola dari jauh.”
“Syukurlah, kalau begitu.”
“Sekarang aku berangkat dulu, takutnya terlambat.”
***
Ketika pelajaran selesai di hari itu, Guntur mendekati Kinanti, karena dilihatnya beberapa hari ini wajah Kinanti selalu gelap. Guntur merasa bahwa ucapannya kepada Wanda itulah penyebabnya.
“Kinan, kamu marah sama aku?” kata Guntur sambil mengiringi Kinanti keluar dari kelas.
“Tidak, mengapa harus marah?”
“Tapi kamu seperti kesal begitu, aku minta maaf ya.”
“Kok minta maaf terus sih? Kamu merasa melakukan kesalahan apa? Aku tidak apa-apa kok.”
”Aku tidak bersungguh-sungguh waktu itu. Hanya untuk menghentikan Wanda.”
“Oh, itu?”
“Aku harus tahu diri kan, aku ini siapa, masa aku begitu lancang mengucapkan kata-kata seperti itu. Untuk itu aku mohon maaf. Jangan marah lagi ya, aku kan sudah minta maaf. Aku tidak akan berani lagi mengucapkan itu. Aku tidak berani, Kinan, aku harus tahu diri. Jangan marah ya,” katanya pelan sambil berjalan di sisi Kinanti menuju ke tempat parkir.
Kinanti menatap Guntur yang tampak sangat menyesal. Kemarahan Kinanti terurai tiba-tiba. Guntur tidak berani menyukai dirinya karena merasa sebagai anak orang tak punya. Apakah sesungguhnya Guntur suka pada dirinya? Ia mengulaskan senyuman manis sambil menatap ‘saudara angkatnya’.
“Jangan begitu. Aku dan kamu tidak ada bedanya. Kaya atau miskin itu kan hanya sandangan. Aku tidak pernah membedakannya,” katanya tulus, membuat senyuman Guntur mengembang.
“Benar kamu tidak marah?”
“Kalau kamu hanya pura-pura suka, itulah yang membuat aku marah,” kata Kinanti tapi hanya dalam hati. Mana mungkin dia berani mengucapkannya? Kinanti dan Wanda sangat berbeda. Wanda begitu bebas bersikap dan berkata-kata, tanpa peduli memalukan atau tidak. Tapi Kinanti mengerti pada batasan-batasannya. Ada hal yang pantas dikatakan, ada yang harus disembunyikan, seperti kata hatinya sendiri, misalnya. Ia tak perlu mengumbarnya kepada dunia bahwa dia mengagumi Guntur. Nanti waktu yang akan mengatakannya.
“Terima kasih Kinanti, aku tahu bahwa kamu gadis yang baik.”
“Heiii, ini masih di halaman sekolah, dilarang ada bisik-bisik cinta!” teriakan menjengkelkan itu terdengar lagi. Kinanti menoleh dan memelototi Ardi yang sedang mengejar mereka.
“Kebiasaan ya, selalu ngomong nggak jelas,” omel Kinanti.
“Eh, jelas nih. Masa nggak jelas? Mau diulang lagi?”
Tapi Ardi tak bisa lagi berteriak karena Guntur menutup mulut Ardi dengan telapak tangan. Kinanti terkekeh, lalu berjalan ke arah sepeda motornya.
“Mmmmmhh….”
“Pulang sana, jangan banyak bicara lagi,” sergah Guntur.
“Aku mau pulang bareng Kinanti, tahu.”
“Nggak mauuuuu,” teriak Kinanti yang sudah menstarter motornya dan mendahului keluar dari halaman sekolah, sementara Ardi masih menunggu motor di belakangnya yang masih berjejer, sehingga dia harus ngantri untuk mengambilnya.
Guntur terkekeh. Ia lebih dulu menemukan sepeda motornya, lalu menjalankannya hampir menyerempet Ardi, membuat Ardi berteriak-teriak kesal, disambut tawa oleh Guntur.
Ketika Guntur sampai di pagar sekolah, ia melihat sebuah mobil, dan Wanda berlari-lari mendatangi mobil itu.
Rupanya Wanda dijemput sendiri oleh ayahnya. Ketika ia melintas, Wanda berteriak melalui jendela depan.
“Guntuuuurrr!”
Guntur hanya mengangguk, hanya untuk menghormati laki-laki gagah yang duduk di belakang kemudi, kemudian terus berlalu.
Pak Wita menatap Wanda dengan marah.
“Kamu masih saja memperhatikan anak itu,” tegurnya sambil menjalankan mobilnya.
“Pak, Wanda masih suka,” jawab Wanda seenaknya.
“Dasar bodohh!!” geram pak Wita. Ia tidak meneruskan mengomeli anaknya, karena sebentar lagi ia akan membawa Wanda pergi dari kota ini. Dengan begitu Wanda tak harus bertemu dengan si miskin lagi.
***
Ujian sudah dimulai dan hampir selesai. Tak ada yang memikirkan cinta yang oleh orang tua Wanda disebut cinta monyet. Tapi seumur anak SMA sesungguhnya bukan lagi disebut monyet. Mereka sudah lebih matang dan bisa bersikap selayaknya orang dewasa. Guntur juga tidak mendekati Kinanti beberapa hari ini karena fokus pada ujian sekolahnya.
Kinanti juga melupakan kisah cintanya yang rumit, karena walaupun cinta, tak ada kata terucap ataupun sikap yang menunjukkannya. Semua fokus pada ujian mereka.
Sementara itu hampir semua barang sudah dipindahkan ke rumah baru mereka di kota Semarang.
“Bu, mengapa barang-barangku banyak yang tidak ada?” teriak Wanda ketika mencari sesuatu di almarinya yang hampir kosong.
“Kamu kan sudah tahu, semua barang-barang sudah dibawa ke Semarang. Tinggal beberapa pakaian yang mungkin masih kita pakai saat masih di sini.”
Wanda cemberut. Walau Guntur menolaknya, dia masih akan berusaha meraih cintanya. Tapi dengan kepindahan ini, kemungkinan itu menjadi hampir tak ada lagi. Apalagi Guntur sudah berterus terang bahwa dia menyukai Kinanti. Kalau berjauhan, mana ada kekuatan untuk merebutnya?
***
Ujian sudah selesai, para siswa tinggal menunggu hasil ujian mereka. Luluskah, atau tidak. Tapi bagi Wanda, kelulusan itu menjadi tidak penting, karena entah kapan pengumuman kelulusan itu ditampilkan, dia sudah dibawa pergi oleh orang tuanya, dan itu membuatnya sedih.
Hari itu bu Raji sedang melipat pakaian yang baru saja dientas dari jemuran. Guntur sedang ke sekolah, karena walau sudah selesai ujian tapi banyak kegiatan yang harus dilakukannya, sambil menunggu pengumuman kelulusan. Bu Raji terkejut ketika melihat mobil berhenti di depan pagar. Ia mengawasinya, barangkali mobil tetangga, tapi ketika pengemudinya turun, ia mengenalinya sebagai Wanda.
Langkah-langkah kaki itu belum menginjak halaman, ketika Wanda sudah berteriak.
“Ibu, apa kabar?”
Bu Raji berdiri di depan teras.
Setengah berlari Wanda mendekat dan mencium tangannya.
“Nak Wanda tidak ke sekolah? Kan ada kegiatan di sana?”
“Tidak Bu, Wanda hari ini harus mengikuti orang tua Winda, yang akan pindah ke Semarang. Wanda datang kemari hanya untuk menitipkan ini,” kata Wanda sambil menyerahkan sebuah keresek berbunga-bunga.
“Ini untuk Guntur?”
“Iya Bu, untuk Guntur. Itu jacket. Ada sulaman di bagian depan, Wanda sendiri yang menyulamnya. Terima kasih Bu, Wanda pamit. Semoga suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi,” kata Wanda yang kembali mencium tangan bu Raji, lalu bergegas pergi.
Mobil itu berlalu, dan tak sabar bu Raji membuka keresek plastik berbunga-bunga yang tadi diterimanya. Tak berbungkus apapun kecuali keresek itu. Bu Raji mengambil dan membukanya. Ada sulaman di bagian dada jacket itu.
‘GUNTUR, AKU AKAN TETAP MENCINTAIMU’.
Bu Raji tertegun.
***
Besok lagi ya.
ππΉπ»πππ»πΉπ
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Syukron..π
JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 14, sudah tayang.
Semoga Bu Tien selalu sehat dan berkarya. Aamiin π€² π€² π€²
ππΉπ»πππ»πΉπ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteJeng Ning
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteSuwun Bu Yien ….π€
ReplyDeleteSehat sll Ibu
Matur nuwun
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiiik
Deleteππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
JeBeBeeL_14 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhaiπ¦π
ππππππππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Matur sembah nuwun Mbak Tien
ReplyDeleteJeBeBeeL _14.sudah tayang .
Sehat2 selalu nggih mbak
Salam ADUHAI ..dari Bandung..ππ₯°ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Ning
ADUHAI dari Solo
Hamdallah sampun tayang
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 14 sampun tayang, semoga bu Tien sll sehat, bahagia dan melimpah rizkinya aamiin yra π€²π€²
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun π©·π©·
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun π·πΉ πππSemoga Bunda selalu sehat wal afiat π€²
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),14 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 14* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah...... terima kasih Bu Tien.
ReplyDeleteSami2 ibu Yati
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Salam aduhai hai hai
Sami2 ibu Endah
DeleteAduhai hai hai
Ya ampuunn Wanda...bener" cinta setengah mati .... Makasih bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteTerima kasiih bundaqu JBBL nya .salam sehat dan tetap aduhai unk kel bunda yππ₯°πΉπ
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteAduhai deh
Alhamdulillaah "Jangan Biarkan Bungaku Layu-14" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiinπ€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Wah nekad bener tu Wanda. Bagaimana kalau jaket itu dikembalikan ya...
ReplyDeleteTapi Kinanti masih ragu, kata Guntur 'hanya untuk menghentikan Wanda'….
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 14 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Selamat berakhir pekan Bunda.
Wanda benar2 cinta banget sama Guntur, padahal Guntur tdk suka. Tapi tetap aja Winda suka.
Cinta buta...cinta buta...tanpa mata dan telinga...kata sebuah lagu...ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Matur nuwun Bu Tien, selamat berakhir pekan dengan keluarga. Semoga semuanya sehat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien π·π·π·π·π·
Samo2 ibu Susi
DeleteAlhamdulilah JBBL 14 sdh tayang. Trm ksh bu Tien. Smg ibu sehat sll dan tetap semangat.. π
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Handayani
Walaah...Wanda malu2in ah...cewek seperti ga punya harga diri, ngejar2 cowok, iih...kayak ga dididik ortunya.
ReplyDeleteBtw, terima kasih ibu Tien sudah menulis yg bikin gemes pembaca
Sehat2 ya, buu...ππ»πππ
Untung satpam Ardi
ReplyDeletemenjelaskan apa yang terjadi, meyakinkan itu murni Wanda kejongor nyungsep gegriul watu; saking luapan emosi kepingin melukai rivalnya.
YΓ₯ jan janΓ© ngisin isini, tapi wong ingin.
Akhirnya kecemberutan Kinan mereda, setelah saling berkata dan hati mereka mulai saling memahami, awal yang penuh harap itu terjadi begitu saja.
Ada omon omon mereka berdua, konsentrasi pada menuntut dan menumpuk pengetahuan buat bekal menjalani masa depan entah jadian atau kelongsoran rasa saling sayang diantara mereka kedepannya siapa tahu.
Masih aja Bu Raji di tinggalin tas kresek berisi penggambaran rasa perpesanan kalau Wanda tidak akan kelaen hati.
Indahnya masa remaja. Bunga Mawar merah yang merekah.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke empat belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Dulu rasanya waktu SMA tak ada cewek yang mengejar saya, padahal kemiskinan Guntur dan saya tak jauh berbeda. Bedanya Guntur punya motor, saya jalan kaki saja...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...