JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 12
(Tien Kumalasari)
Kinanti dan Guntur terkejut, tapi juga heran, mengapa orang tua Wanda ingin ketemu Guntur.
“Aku hanya menyampaikan. Kalau mau jelas, datanglah ke sana menemui mereka. Bukan aku saja yang mendengar, teman lain juga ada yang menerima pesannya. Kelihatannya penting, tapi entahlah,” kata teman Wanda itu, lalu ia berlalu, meninggalkan Guntur dan Kinanti yang kemudian saling pandang dengan penuh tanda tanya.
“Ada apa ya?” tanya Guntur.
“Kamu datang saja ke sana. Apa kamu takut? Kamu kan tidak bersalah?”
“Bukan takut. Kalau aku bertanya-tanya, itu kan wajar. Ayo kita ke sana.”
“Bersama aku? Aku bukan yang ditunggu oleh mereka. Mungkin kamu akan dijadikan menantu,” kata Kinanti sambil tersenyum tipis. Tak seorangpun tahu apa yang dirasakannya.
“Ada-ada saja kamu itu. Mana ada anak muda seperti kita sudah harus bicara tentang perjodohan,” kata Guntur dengan wajah cemberut.
“Siapa tahu. Kalau tidak, mengapa mereka mencari kamu?”
“Apakah aku harus mengabaikannya ya?”
“Jangan, Guntur. Siapa tahu itu penting.”
“Kalau begitu kamu harus menemani aku.”
“Harus ditemani? Seperti anak kecil saja.”
“Nggak enak datang sendirian. Kemarin kan kita sudah sepakat?”
“Baiklah, tidak apa-apa, aku juga ingin melihat keadaan Wanda. Bagaimanapun dia juga temanku.”
“Nanti seusai pelajaran sekolah, kita ke sana.”
“Aku ikuttt,” teriak Ardi yang datang tiba-tiba.
“Ya ampuun, cuma mau ikut saja membuat kami terkejut,” omel Guntur.
“Cuma begitu saja terkejut. Nanti Kinanti aku boncengkan, betul kan Kinan?”
Kinanti cemberut. Tapi Guntur mengangguk dan tersenyum.
“Bagus. Kasihan kalau Kinan harus mengendarai sepeda motor sendiri.”
“Tuh, dengar kata dia,” kata Ardi sambil mengacungkan jempolnya.
Kinanti ingin membantah, tapi bel untuk masuk ke kelas sudah berbunyi.
***
Bu Wita menarik tangan suaminya agar menjauh dari Wanda yang masih terbaring lemah.
“Ada apa?”
“Mengapa Bapak menanyakan tentang orang yang bernama Guntur?”
“Setiap mengigau, anakmu selalu menyebut nama itu. Tapi dia tidak pernah mau berterus terang tentang siapa dia sebenarnya.”
“Bukankah aku sudah mengatakan, itu laki-laki teman sekolahnya yang sering dibawakan bekal makanan. Rupanya mereka memang pacaran. Sebaiknya Bapak tidak usah mencari masalah dengan bertemu bocah itu. Bukankah sebentar lagi kita sudah akan membawa Wanda pergi dari kota ini? Dengan begitu hubungan mereka akan selesai.”
“Aku ingin tahu, seperti apa anak itu. Apakah dia pantas menyukai anak gadisku. Aku dengar dari Wanda ketika itu, katanya teman yang disukainya itu anak orang miskin. Aku tidak tertarik. Tapi siapa tahu yang namanya Guntur itu berbeda. Bukan anak orang miskin itu.”
“Ya sudah, terserah Bapak saja. Tapi apa yang akan Bapak lakukan setelah bertemu dia?”
“Hanya ingin melihat. Kalau pantas, aku akan mempertimbangkannya. Agak tergugah hatiku, melihat keadaan Wanda saat ini, dan perhatiannya yang sangat besar kepada laki-laki bernama Guntur itu.”
“Terserah Bapak saja.”
“Keadaan Wanda membuatku prihatin. Siapa tahu dengan adanya laki-laki yang selalu disebutnya siang-malam itu, maka sakitnya akan segera sembuh.”
“Menurutku, Wanda masih terlalu muda. Kalau sekarang dia menyukai seseorang, itu bukankah yang disebut cinta monyet? Pada suatu hari dia akan berubah.”
“Kamu tidak setuju kalau aku tertarik untuk melihat bocah itu?”
“Terlalu pagi untuk bicara tentang suka, bagi Wanda yang masih sangat muda. Mungkin anak itu sangat tampan dan menarik. Tapi itu bukan ukuran untuk suka, ya kan?” kata Bu Wita yang lebih bijak dalam menghadapi situasi tersebut.
“Mungkin kamu benar, tapi aku sudah berpesan kepada teman-teman Wanda yang kemarin membezoek kemari. Jadi kalau dia datang, biarkan saja. Aku akan melihatnya terlebih dulu.”
Bu Wita hanya bisa diam. Bagaimanapun sang suami sudah terlanjur berpesan kepada teman-teman Wanda, bahwa dirinya ingin bertemu Guntur.
“Ibu ….”
Bu Wita bergegas mendekat ketika terdengar Wanda memanggil.
“Kamu sudah bangun?”
“Kepala Wanda pusing sekali. Tangan Wanda juga terasa sakit.”
“Kamu harus sabar ya. Dan jangan terlalu sering menggerak-gerakkan tangan kamu. Setelah dioperasi pasti ada rasa sakit. Tapi kan kamu sudah minum obat. Percayalah semuanya akan segera berlalu,” hibur sang ibu.
“Hari ini tidak ada temanku yang datang kemari?”
“Ini masih pelajaran sekolah, pastinya. Kemarin juga mereka datang setelah jam pelajaran selesai kan?”
Wanda mengangguk. Lalu ia memejamkan matanya.
“Apa kamu menginginkan sesuatu?”
Wanda menggeleng.
“Aku hanya ingin pulang. Dan masuk sekolah, dan ….”
“Kalau kamu sembuh, pasti akan diijinkan pulang. Kamu masih sakit, masih banyak mengeluh, itu tandanya kamu belum sembuh benar.”
“Bosan, sakit terus … aku bosan ….”
“Tidak seorangpun suka tinggal di rumah sakit. Tidak seorangpun suka merasakan sakit. Kamu sedang mendapat cobaan, kamu harus sabar untuk menerimanya."
“Aku benci ini semua. Aku mau pulang.”
“Wanda, tidak boleh begitu, kamu harus sabar,” kata sang ayah yang tiba-tiba mendekat.
“Badanku sakit semua, aku bosan begini terus, aku mau pulang, mau sekolah saja,” rintihnya.
“Mana bisa kamu sekolah dengan keadaan seperti ini? Apa kamu ingin bertemu dengan seseorang?”
“Tidak … tidak … “
“Nanti siang, pasti akan ada teman-temanmu yang akan datang menjengukmu.”
“Kemarin mereka sudah datang, hampir sekelas.”
“Siapa tahu nanti akan ada yang lain datang. Temanmu bukan hanya yang sekelas kan? Kalau mereka mendengar kamu sakit, mereka juga pasti akan datang menjengukmu kemari.”
“Ah, benar-benar membosankan,” Wanda terus saja mengeluh. Kata-kata hiburan yang dilontarkan sang ibu tidak mengurangi rasa kesalnya.
Pak Wita ingin mengatakan bahwa dirinya sudah memanggil Guntur, tapi diurungkannya. Belum tentu Guntur mau datang untuk memenuhi panggilannya.
Ia akan mencari jalan lain, seandainya Guntur tidak datang hari ini.
Bagaimanapun kerasnya hati pak Wita, tapi melihat putrinya sakit, ia benar-benar tak tega, dan ingin memenuhi apa yang menjadi keinginannya. Tapi, ada tetapinya, yaitu kalau dia pantas.
***
Hari itu dengan wajah cemberut, Kinanti terpaksa bersedia diboncengkan Ardi. Ingin sekali ia memboceng Guntur, tapi Guntur sudah mendahului, dan menunggu di gerbang sekolah. Sungkan kalau ia harus menolak, lalu mengatakan bahwa ingin membonceng Guntur. Hari itu ada tambahan pelajaran, sehingga mereka pulang setelah jam empat sore. Dan sangat kebetulan karena jam bezoek adalah jam lima sore, jadi tidak ada kendala seandainya mereka langsung ke rumah sakit sekarang, soalnya mereka keluar dari kelas sudah jam setengah lima.
Ardi senang sekali.
“Pegangan ya, aku mau ngebut,” kata Ardi sambil terkekeh ketika mereka sudah ada di jalan.
“Awas saja, kalau kamu ngebut, aku akan melompat turun,” ancam Kinanti.
“Eitt, jangan. Ya ampuun, kalau melompat, kamu akan terluka. Aku sedih dong,” canda Ardi sambil tak berhenti terkekeh. Kinanti memukul punggungnya dengan tas sekolah yang dipangkunya. Membuat sepeda motornya limbung. Kinanti berteriak ketakutan. Untunglah Ardi adalah pengendara yang handal. Dengan cepat dia segera bisa menyeimbangkan sepeda motornya yang limbung.
Guntur yang menoleh ke arah mereka hanya geleng-geleng kepala.
“Ardi, kamu keterlaluan!!” teriak Kinanti
“Salah siapa, main pukul?” Ardi justru kembali terbahak.
Kinanti ingin melompat dari boncengan, tapi sungguh ia tidak berani. Ia sangat kesal, apalagi ketika melihat Guntur menatap mereka seakan tak peduli.
“Sudahlah, di jalan jangan marah-marah. Nanti kalau terjadi seperti tadi, lalu aku gagal mengatur keseimbangan, kita jatuh berdua dong, apa itu yang kamu inginkan?” Ardi masih terus meledek.
“Ardi! Aku benci kamu!!” teriak Kinanti putus asa. Tapi Ardi justru terus tertawa.
“Kenapa benci? Padahal aku cinta kamu?”
“Benci!! Benciiii!!!” Kinanti terus berteriak, bahkan ketika mereka sudah sampai di halaman rumah sakit.
Mereka turun dari sepeda motor, lalu langsung menanyakan di mana kamar Wanda.
Ketika mereka menemukan sebuah kamar mewah, Guntur mengetuk pintu. Seorang laki-laki yang tidak lagi muda membukakan pintu untuk mereka.
“Selamat sore Pak,” sapa Guntur, disusul Ardi dan Kinanti yang kemudian mengangguk hormat.
Pak Suwita yang membukakan pintu tidak ingat lagi pada Kinanti dan Guntur yang beberapa hari yang lalu datang ke rumahnya untuk memberitahukan bahwa Wanda menemui kecelakaan. Mungkin karena waktu itu mereka sangat terkejut dan panik.
“Ini teman-temannya Wanda?”
“Haa, pasti ini yang namanya Guntur. Ya kan?” kata pak Wita yang kemudian tanpa ba bi bu langsung menarik Ardi dibawanya mendekat ke tempat tidur, dimana Wanda masih terbaring lemah.
Kinanti dan Guntur saling pandang, dan menahan senyum mereka.
“Wanda, lihat, siapa yang datang. Kamu senang kan?”
Ardi yang kebingungan tidak bisa berkata apa-apa. Ia nyengir ketika Wanda menatapnya.
“Wanda, bukankah ini Guntur?” kata sang ayah. Ia mengira Ardi adalah Guntur, karena Ardi tampak ganteng dan wajahnya bersih. Bukankah dia bersama istrinya tadi mengira bahwa Wanda menyukai salah satu temannya yang dimungkinkan karena dia ganteng?
“Ardi?” kata Wanda.
“Ini bukan yang namanya Guntur?” pak Wita baru sadar bahwa dia tergesa-gesa. Hanya dengan perhitungan wajah, dia mengira Ardi adalah Guntur.
“Saya Ardi Pak, Guntur yang satunya. Itu, Guntur,” kata Ardi sambil menunjuk ke arah Guntur yang sudah mengikutinya masuk.
“Apa? Itu, yang namanya Guntur?”
Guntur mengangguk dan tersenyum. Lalu bersama Kinanti mereka mendekat ke arah ranjang.
“Bagaimana keadaanmu?" tanya Kinanti sambil memegangi tangan Wanda.
“Jadi kamu yang namanya Guntur?” tanya pak Wita lagi sambil menatap Guntur. Ia mengerutkan keningnya. Melihat penampilannya, pasti dia inilah yang anak orang miskin.
“Guntur, kamu juga datang?” bukan menjawab pertanyaan Kinanti, Wanda malah menyapa Guntur.
Pak Wita kecewa. Benar-benar diluar perkiraannya. Guntur pastilah laki-laki yang pernah diusulkan Wanda untuk dijadikan karyawan di perusahaannya. Sama sekali tidak menarik. Kelihatan ya, penampilan orang kaya dan orang miskin? Guntur merasa tatapan pak Wita seperti sangat merendahkan. Tapi ia teringat pesan yang dibawa teman Wanda pagi tadi. Karenanya dia mendekati pak Wita dan menanyakannya.
“Apakah Bapak ingin bertemu saya?”
Mendengar pertanyaan itu, pak Wita bingung untuk menjawabnya. Ia tidak tertarik untuk mengikat Guntur sebagai karyawannya, apalagi menantu? Jangan mimpi. Wanda harus mendapat jodoh orang yang setingkat derajatnya dengan keluarganya.
“Oh, tidak … tidak … hanya … menanyakan kenapa tidak ikut membezoek kemarin,” jawab pak Wito sekenanya. Ia lupa, bagaimana ia bisa mengenal nama itu, yang pastinya akan menjadikan pertanyaan bagi Guntur. Untunglah Guntur yang tak bereaksi ternyata tak menanyakan asal usul dirinya mengenal nama itu.
“Anak-anak, ini minum untuk kalian, dan sedikit cemilan ya,” tiba-tiba bu Wita sudah menyiapkan minuman botol dan cemilan di meja.
“Terima kasih Bu,” jawab Guntur yang berdiri agak jauh dari ranjang pasien.
“Guntur, dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Wanda yang sedari tadi ngobrol sama Ardi dan sedikit sekali memberi perhatian pada Kinanti. Agak kesal karena Guntur datang bersama Kinanti. Wanda juga tidak tahu, bahwa Guntur dan Kinantilah yang memberi tahu orang tuanya perihal keadaannya setelah kecelakaan.
“Bagaimana kamu ini? Yang paling dulu tahu bahwa kamu kecelakaan, ya Guntur sama Kinanti ini,” kata Ardi.
“Oh ya? Kok bisa?”
“Ayahnya Kinanti kan direktur rumah sakit ini?” kembali Ardi yang menjawab.
“Oh ya?”
“Jadi dia yang mengatakan pada Kinan, bahwa ada korban kecelakaan bernama Wanda, lalu Kinanti dan Guntur datang ke rumah sakit, tapi kamu belum sadar waktu itu,” Ardi malah bercerita panjang lebar, seperti dialah yang tahu segalanya. Guntur dan Kinanti hanya tersenyum tipis.
“Jadi kamu yang memberitahu orang tuaku, Guntur?”
Bu Wita menatap Guntur dan Kinanti.
“Oh iya, rupanya mereka berdua ini yang datang kerumah lalu mengabari kami. Terima kasih ya Nak? Maaf, soalnya ketika itu hanya sekilas. Tapi sekarang saya ingat. Memang kalian,” kata bu Wita ramah, sementara pak Wita pergi entah ke mana.
“Sama-sama Bu,” jawab Kinanti dan Guntur bersama-sama.
“Jangan ngobrol saja, ini diminum dan dimakan dulu. Banyak makanan di sini, karena yang datang pasti membawa makanan. Kalian juga.”
“Kami harus segera pulang, sudah sore. Kami tadi dari sekolah langsung datang kemari,” kata Guntur.
“Baiklah, tapi minum dan makanlah dulu, baru kalian pulang.”
Ketika mereka hampir pulang itu, tiba-tiba pak Wita datang, entah dari mana. Mereka menyalaminya, dan mohon diri.
Tapi Guntur yang keluar belakangan, sempat mendengar pak Wita yang langsung mendekati Wanda, berkata dengan nada menyakitkan.
“Itu yang namanya Guntur? Yang kamu minta agar bapak memberi pekerjaan setelah lulus? Bapak tidak suka kamu menyukai dia. Kamu tidak sepadan.”
Guntur menutupkan pintu ruang dan menekan rasa nyeri di dadanya.
***
Besok lagi ya.
🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Syukron..🙏
JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 12, sudah tayang.
Semoga Bu Tien selalu sehat dan berkarya. Aamiin 🤲 🤲 🤲
🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien..
ReplyDeleteSehat sehat nggih bu. Salam.hangat dan aduhai aduhai bun.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur sembah nuwun Mbak Tien
ReplyDeleteJeBeBeeL _.12 sudah tayang
Sehat selalu
Salam ADUHAI..🙏🥰💕
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Ning
ADUHAI dari Solo
Matur Suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Delete🍓🫐🍓🫐🍓🫐🍓🫐
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💞
JeBeBeeL_12 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai🦋😍
🍓🫐🍓🫐🍓🫐🍓🫐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 12* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Ayah Wanda tidak suka kepada si miskin Guntur. Bagaimana ya sikap Wanda.. mungkin tambah stres.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah trm ksh bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Wiwik
DeleteKasian guntur... Emang banyak orang kaya memandang remeh terhadap si miskin, makasih bunda tayangannya
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteMks bun JBBL 12 sdh tayang......selamat malam ....sehat" selalu ya bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Terima kasih bu Tien ... JBBL ke 12 sdh tayang ... Smg bu Tien dan kelrg sehat dan bahagia selalu ... Salam Aduhai .
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Enny
Aduhai deh
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnya 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun bunda Tien
Semoga sehat selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah "Jangan Biarkan Bungaku Layu-11 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat selalu
Aamiin Allaahumma Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Kisah klasik yg selalu terulang...antara si kaya dan si miskin. Semoga berakhir bahagia.🙏🏻😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Selamat malam, selamat beristirahat, sehat selalu.🙏🏻🙏🏻🙏🏻
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Matur nuwun Bu Tien atas cerita yang semakin menarik. Semoga Ibu sehat selalu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien cerbungnya sdh tayang
Semoga bu tien selalu sehat² n tetap semangat
Selamat malam .... selamat beristirahat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 12 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin.
Klu pak Wita tidak tertarik sama Guntur, s Ardi kan bisa di dekatkan sama Winda, Ardi kan ganteng mirip Ali Topan anak jalanan...yang naik motor suka ngebut ngebut...😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Cibiran yang terdengar, mustinya bisa buat semangat menghadapi masa depan mu Gun.
ReplyDeleteBapak angkat mu sudah menjanjikan bea siswa untuk mu.
Kedokteran lagi, tapi kenangan masa sma; akankah mampu dilupakan begitu saja oleh Wanda.
Apa lagi secara terburu-buru pak Wita menyatakan penolakannya apa yang diangankan anaknya.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke dua belas sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak crigis
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),12 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien "JBBL▪~12" nya.
ReplyDeleteSehat selalu nggih Bu..Salam aduhai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Aduhai deh
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai selalu
ReplyDeleteWanda memang Binti Pak Wita, 11 12...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien....
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰💖
ReplyDeleteGuntur apakah bersemangat atau terpukul hatinya 😁
Dingin
ReplyDeleteHatur nuhun bunda..maaf telat 🙏🥰
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete