JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 11
(Tien Kumalasari)
Pak Wita dan istri terkejut. Ia belum pernah mendengar nama itu. Apa Wanda menyebutnya diluar kesadarannya?
“Wanda,” panggil bu Wita lembut.
“Ibu ….”
Keduanya merasa lega, karena ternyata Wanda masih mengenali ibunya.
“Aku siapa, Wanda?” sang ayah berganti menyapanya.
“Bapak, bukan?”
“Anakku,” bu Wita memeluk Wanda erat, membuat Wanda memekik pelan.
“Aaaugh, sakit ….”
“Oh, maaf. Mana yang sakit?”
“Ibu menyakiti. Tubuhku sakit semua.”
“Maaf, maaf … ibu ingin memeluk kamu. Ibu khawatir, kamu kenapa sampai begini?”
“Guntur ….”
“Siapa Guntur?”
Tapi kemudian Wanda hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sang ayah dan ibu heran. Guntur lagi?
“Pusing ….”
Bu Wita memanggil perawat, dan pak Wita segera menemui dokter yang menanganinya.
Sementara itu, Kinanti melangkah mundur dan menjauh dari sana. Guntur yang datang belakangan menatap Kinanti.
“Bagaimana keadaannya?”
Kinanti menggeleng lemah, kemudian duduk di sebuah bangku, agak jauh dari ruang UGD itu.
Guntur mengikutinya, duduk disamping Kinanti.
“Ada apa? Belum sadar juga?”
“Sudah.”
“Oh, syukurlah,” Guntur menghela napas lega.
“Kamu sangat mengkhawatirkannya ….”
“Kamu tidak?” tanya Guntur heran.
“Kamu tahu apa yang terucap dari Wanda ketika kedua orang tuanya mendekat? Dia menyebut namamu.”
“Mengada-ada.”
“Sungguh. Guntur mana … itu yang diucapkannya. Entah ayah ibunya mengerti atau tidak. Kalau mereka mengenalmu, pasti mereka akan segera mencari kamu.”
“Memangnya kenapa mencari aku?”
“Kamu diinginkan anaknya.”
“Tidak, kalau begitu ayo kita pulang saja.”
“Pulang? Kamu tidak ingin bertemu dia?”
“Sudah cukup membawa orang tuanya datang kemari, dan mendengar dia sudah sadar. Jadi lebih baik kita pulang.”
“Kamu tidak ingin melihatnya?” Kinanti mengulang pertanyaannya.
“Yang terpenting dia sudah sadar dan sudah ketemu orang tuanya. Aku juga harus segera pulang, keadaan ibu juga belum sehat benar.”
“Oh iya, bagaimana dengan bu Raji?”
“Sudah lumayan, tapi masih harus banyak istirahat.”
“Syukurlah. Jadi sekarang kita pulang?”
“Ya, aku mau mampir ke rumah kamu sebentar. Pengin bertemu pak Bono dan bu Bono. Tadi mengirim banyak makanan ke rumah, ketika ibu sendirian.”
Kinanti tersenyum. Bagaimanapun, bersama-sama dengan Guntur membuatnya bahagia. Bahagia? Apa Guntur punya perasaan yang sama dengan dirinya? Dia selalu baik, tapi perhatiannya terhadap Wanda membuat harapannya surut. Kalau benar mereka saling suka, Kinanti tak ingin bersaing. Lebih baik mengendapkan perasaannya, daripada rasa sakit menusuk jiwanya.
“Heii, kok melamun?” kata Guntur ketika melihat Kinanti bengong tak bergerak, hanya memegangi stang motornya.
“Eh … oh, maaf,” katanya gugup lalu menstarter sepeda motornya.
***
Guntur masih tersenyum-senyum melihat wajah Kinanti tadi, yang kelihatan lucu.
“Kamu tadi sedang memikirkan apa? Sampai melamun begitu?” katanya ketika bisa menjalankan sepeda motornya di samping Kinanti.
Kinanti tersenyum, walau tak terlihat karena senyum itu tersembunyi dibalik helmnya.
“Nggak memikirkan apa-apa.”
“Kirain lagi memikirkan yang sedang sakit karena kecelakaan.”
“Iya. Kamu tidakkah?”
“Pengin mendekat, tapi ada orang tuanya. Kapan-kapan saja kita ke sana lagi ya?”
“Mengapa mengajak aku?”
“Nggak enak dong, masa aku sendirian?”
“Ya nggak apa-apa, bisa omong-omong asyik berdua.”
“Kamu ngomong apa sih? Kamu tuh sama dengan teman-teman yang lain, mengira aku ada hubungan sama Wanda.”
“Memangnya tidak?”
“Ya tidak, aku nggak pernah memikirkannya.”
Kinanti merasa sedikit lega. Tapi apa itu benar?
Klakson mobil dari belakang membuat Guntur surut, dan menjalankan sepeda motornya agak ke pinggir.
***
Pak Bono dan bu Bono menunggu kepulangan Kinanti yang sampai sore belum sampai di rumah. Tapi ketika bu Bono ingin menelponnya, motor Kinanti sudah memasuki halaman, diikuti Guntur.
“Itu bersama Guntur kan?” kata bu Bono.
“Iya. Barangkali benar, yang kecelakaan itu teman mereka,” sambung pak Bono.
Mereka sudah turun dari sepeda motor, lalu Guntur bergegas mendekati kedua orang tua angkatnya, mencium tangannya satu persatu.
“Kalian bisa bersama-sama?” tanya bu Bono
“Benar dia teman kalian?” sambung pak Bono.
“Ternyata benar, teman kami. Tapi beda kelas.”
“Kelihatannya parah kan? Orang tuanya sudah diberi tahu? Soalnya tidak ada yang tahu identitas anak itu.”
“Kami tadi ke rumah orang tuanya, dan mereka sudah datang ke rumah sakit.”
“Gadis itu sudah sadar?”
“Kelihatannya sudah. Kami langsung pulang, soalnya Guntur mengkhawatirkan ibunya juga.”
“Oh iya, ibumu bagaimana?”
“Sudah lebih baik. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu, karena tadi mengirim makanan, dan juga uang. Kami selalu merepotkan keluarga ini,” kata Guntur dengan wajah sendu.
“Tidak, mengapa berkata begitu? Almarhum ayahmu menitipkan kamu padaku. Aku hanya menjalankan amanahnya. Jadi keluarga mas Raji adalah keluargaku juga.”
“Terima kasih banyak Pak.”
“Guntur jangan pulang dulu, aku buatkan minuman,” kata Kinanti.
“Tidak usah, sungguh. Aku akan segera pulang.”
“Kenapa buru-buru?” tanya pak Bono.
“Saya datang kemari hanya ingin bertemu Bapak, dan Ibu. Terima kasih atas semuanya.”
“Tidak usah begitu. Bukankah kamu sudah menjadi anakku?”
Guntur tersenyum, lalu bangkit untuk kembali meraih tangan pak Bono dan istri, untuk diciumnya.
“Bener nih, mau pulang?”
“Sampai ketemu besok di sekolah,” kata Guntur sambil melambaikan tangannya ke arah Kinanti.
“Jangan lupa, setelah ujian segera pikirkan kelanjutan sekolah kamu.”
Guntur berhenti melangkah, membalikkan badannya.
“Urus semuanya nanti, aku ingin kalian sekolah dokter.”
“Tapi ….” kata Guntur ragu.
“Jangan membantah. Ini perintah dari ayahmu.”
Guntur membungkukkan badannya tanpa menjawab sepatah katapun, lalu mengambil sepeda motornya dan berlalu.
“Anak itu kelihatan ragu,” kata bu Bono.
“Bisa dimengerti, pasti dia merasa sungkan. Aku kan tidak butuh balasan. Yang aku inginkan adalah agar dia menjadi orang, sehingga aku benar-benar bisa mempertanggung jawabkan amanah dari almarhum mas Raji. Seandainya dia bisa tahu, pasti dia akan bahagia.”
Bu Bono mengangguk setuju.
“Semoga berhasil.”
***
Esok harinya, Wanda sudah dipindahkan ke kamar inap. Ayah ibunya selalu menemani di dekatnya. Kata dokter ada tulang patah di lengan, dan gegar otak. Setelah ada pemeriksaan lebih lanjut, Wanda harus dioperasi patah tulang. Dan harus beristirahat agak lama untuk memulihkan kesehatannya.
Tapi yang membuat kedua orang tuanya bertanya-tanya adalah tentang sebuah nama yang diucapkan Wanda ketika sadar dan ketemu mereka. Dan Wanda tidak atau belum mau mengatakan siapa yang dimaksud.
“Mungkin itu temannya yang dia minta agar Bapak memberinya pekerjaan setelah lulus nanti,” kata bu Wita menebak-nebak, ketika mereka sudah di rumah untuk mengurus yang lainnya, termasuk pekerjaan pak Wita dan bu Wita harus menyiapkan semua kebutuhan Wanda ketika di rumah sakit.
“Bisa jadi. Tapi mana mungkin? Wanda minta dia harus punya kedudukan. Lulusan SMA bisa apa? Nanti aku bisa menjadi bahan tertawaan.”
“Kita harus memberi tahu dia pelan-pelan, kalau memang Bapak menolaknya. Tapi sebaiknya tidak sekarang. Kasihan, dia terus mengeluh pusing dan tubuhnya sakit semua.”
“Baiklah, aku akan ke kantor dulu sebentar, ada yang harus aku selesaikan. Ibu ke rumah sakit nanti diantar sopir.”
“Baiklah. Aku akan menyuruh bibik memasak kesukaan Wanda.”
***
Di sekolah, teman-teman sekelas Wanda sudah diberi tahu. Tapi di kelas Guntur, teman-temannya ribut menggoda Guntur. Karena menurut mereka, Wanda adalah pacar Guntur. Hanya Kinanti yang diam, karena dia sudah mendengar dari Guntur yang belum begitu dipercayainya, bahwa Wanda bukan pacarnya.
“Kinanti, kenapa kamu diam saja?” tiba-tiba Ardi sudah duduk di samping Kinanti.
“Apa maksudmu?”
“Itu, mereka ribut mengganggu Guntur. Dia pasti sedang sedih karena Wanda sakit.”
“Apa untungnya aku ikut mengganggu dia? Biarkan saja, aku nggak ikutan.”
“Apa benar dia pacaran sama Wanda?”
“Bukan urusanmu. Dan bukan urusanku. Mengapa kalian ribut? Masih banyak yang harus kita pikirkan, bukan mengurusi orang pacaran.”
“Kamu suka kan, sama Guntur?”
“Nggaaaaak, siapa bilang?” kesal Kinanti karena Ardi selalu mengganggunya.
“Bener ya? Enggak? Kalau begitu sama aku saja.”
“Apa?” teriak Kinanti dengan mata melotot.
“Aku ini ganteng lhoh, aku juga baik hati. Memang sih, aku tidak sepintar Guntur, tapi aku punya kelebihan. Aku lebih ganteng,” kata Ardi cengengesan.
“Ogah!”
“Duuh, gitu ya. Padahal kalau sama aku, kamu nggak usah punya saingan. Nggak banyak kok yang suka sama aku. Paling ibu kantin, karena aku suka jajan di sana.”
Kinanti terkekeh.
“Mau ya?”
“Ogah! Kamu suka slengekan.”
“Ya sudah, mulai sekarang aku akan selalu serius.”
“Ardi, bisa nggak sih, kamu ngomong selain masalah suka … suka … suka … Sana, jauh-jauh dari aku.”
“Ya ampuun, aku malah diusir sih.”
Tiba-tiba pak Sukino datang mendekat.
“Non, mas Guntur ada?”
“Ada tuh, di dalam,” jawab Kinanti.
“Mau apa mencari Guntur?” sambung Ardi.
“Ini, mau mengembalikan tempat makan dan minum, sudah saya cuci bersih. Kata mas Guntur pagi tadi mau diambil, tapi ini kok belum diambil juga.”
“O, ya sudah, ketemu sendiri saja, dia ada di dalam kelas tuh.”
Pak Kino mendekat ke pintu kelas, melongok ke dalam. Ia melihat Guntur sedang duduk sambil membuka-buka buku.
“Mas Guntur,” panggil pak Kino.
Guntur segera bangkit dan mendekat.
“Ada apa Pak?”
“Ini, katanya mau diambil pagi tadi. Jangan-jangan mas Guntur lupa.”
“O, nggak apa-apa pak, biar disimpan pak Kino saja, yang punya barang ini lagi sakit, jadi nggak bisa memberikannya sekarang.”
“Oh, Non Wanda sakit?”
“Kemarin kecelakaan, sekarang ada di rumah sakit.”
“Waduh, kasihan. Biar dia jahat sama saya, tapi mendengar dia sakit tetap ikut prihatin saya Mas.”
“Iya Pak.”
“Ya sudah, saya bawa dulu saja, sewaktu-waktu bisa mas Guntur ambil. Takutnya mas Guntur lupa.”
“Tidak Pak, bawa dulu saja.”
Pak Kino kembali dengan membawa keresek berisi tempat makan dan minum milik Wanda.
“Ingin aku syukurin, nanti aku dosa dong. Tapi bukankah itu kualat sama aku, karena sudah menghina aku? Eh bukan, ya ampuun, dosa aku kalau punya pikiran seperti itu. Ampun, ya Tuhan, maafkan dia, dan sembuhkan dia dari sakitnya,” omel pak Kino di sepanjang langkahnya, membuat yang mendengarnya jadi tertawa lucu.
***
Bu Raji juga menanyakan keadaan Wanda, ketika mendengar bahwa Wanda kecelakaan. Bagaimanapun Wanda pernah berbuat baik, entah karena punya maksud ataupun tidak, tapi bu Raji akan tetap mengingatnya.
“Dia gegar otak, dan kemungkinan tangannya akan dioperasi karena patah. Tapi belum tahu kapan. Guntur juga belum ke sana untuk melihatnya. Menunggu Kinanti, kapan dia bisa. Nggak enak kalau Guntur pergi sendiri.”
“Kalau kamu mau mengembalikan uang nak Wanda, pakai saja uang ibu itu. Kemarin bu Bono kan juga memberi uang, entah berapa, ibu belum menghitungnya.”
“Nanti gampang Bu, Guntur juga masih punya uang, barangkali cukup. Uang Ibu itu dipakai kalau nanti kontrol dan beli obat lagi.”
“Kalau uangmu kurang, bilang saja.”
“Baiklah. Besok Guntur akan menanyakannya kepada Kinanti, kapan bisa membezoeknya di rumah sakit.”
***
Kinanti mendengar dari sang ayah, bahwa hari ini Wanda dioperasi tangannya. Sudah dua hari Wanda di rumah sakit, dan Kinanti belum sempat menjenguknya. Itu karena ada tambahan jam pelajaran sekolah, sehubungan dengan semakin dekatnya waktu ujian.
“Tidak apa-apa, dia baik-baik saja kok. Kalau ada waktu luang kamu bisa membezoeknya. Tadi juga banyak teman-teman sekolahnya datang ke sana,” kata pak Bono.
“Besok kalau waktunya senggang, barangkali Kinanti ke sana. Guntur akan mengajak Kinanti, nanti.”
“Apa kamu pacaran sama Guntur?” tanya pak Bono.
“Apa? Tidak, Kinanti tidak … tidak pacaran kok.”
“Bagus, sekarang ini lebih baik fokus pada pelajaran kalian. Jangan memikirkan pacar dan lain-lain.”
Kinanti mengangguk.
Keesokan harinya, ketika dia sedang berbincang dengan Guntur tentang keinginannya membezoek Wanda, tiba-tiba teman sekelas Wanda mendekat.
“Kamu sudah membezoek Wanda?” kata si teman tadi sambil menatap Guntur.
“Ini baru mau mengajak Kinanti.”
“Kemarin kami teman-teman sekelas datang membezoek, dia habis dioperasi tangannya. Kami bertemu orang tuanya, dan orang tuanya mencari kamu.”
“Mencari aku?” tanya Guntur terkejut.
“Iya. Begitu kami datang, dia bertanya, mana yang namanya Guntur? Lalu kami jawab kalau kami bukan sekelas dengan Guntur. Dia malah berpesan, kalau ketemu Guntur, tolong beri tahu dia, aku mau ketemu, begitu.”
Guntur dan Kinanti terkejut.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
Deleteππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ€©
JeBeBeeL_11 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam serojaππ¦
ππππππππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMaturnuwun jeng Sari
ππΉπ»πππ»πΉπ
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Syukron..π
JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 11, sudah tayang.
Semoga Bu Tien selalu sehat dan berkarya. Aamiin π€² π€² π€²
ππΉπ»πππ»πΉπ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMaturnuwun mas Kakek
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun bu tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatur sembah nuwun Mbak Tien
ReplyDeleteJeBeBeeL _.11.sudah tayang
Sehat2 selalu
Salam ADUHAI dari Bandung..ππ₯°πΉ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMaturnuwun jeng Ning
ADUHAI dari Solo
Alhamdululah jbbl 11 sdh tayang... maturnuwin bu Tien. Sehat sehat nggih bu, salah hormat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMaturnuwun ibu Sti
Salam hangat aduhai 2x
Alhamdulullah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMaturnuwun ibu Endah
Hamdallah....sampun. tayang
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 11* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMaturnuwun pak Wedeye
Matur nuwun jeng Tien jaga kesehatan yaaaaa
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniik
DeleteOke deh
Alhamdulillah.Maturnuwun π·πΉ πππSemoga Bunda selalu sehat wal afiat π€²
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMaturnuwun pak Herry
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien "JBBL~11"nya
ReplyDeleteSalam hangat, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),11 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMaturnuwun ibu Uchu
Alhamdulillah ... Trimakasih bu Tien semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Terima kasih bu Tien ... JBBL ke 11 sdh tayang ... Smg bu Tien n kelrg happy dan sehat selalu dan tetap semangat .
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Enny
Alhamdullilah bunda..terima ksih cerbungnya..salmt istrht dan salam serojaππ₯°πΉ
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam hangat.
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia selalu...
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tienπ·π·π·π·π·
Sami2 ibu Susi
DeleteTerima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 11 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin.
Sejenak Kinanti dan Guntur berduaan, ada rasa sumringah di hati Kinanti ππππ
Winda luka nya cukup parah, penyembuhan bisa lama, mau ujian lagi. Bisa ikut unjian kah nanti?
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMaturnuwun pak Munthoni
Alhamdulillah "Jangan Biarkan Bungaku Layu - 11" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiinπ€²
Salam Aduhai Bundaπ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMaturnuwun ibu Ting
Aduhai juga ibu
Matur nuwun ibu Tien ππ»
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAsyik
ReplyDeleteAnak angkat mendengar langsung 'pernyataan janji pada sahabatnya untuk menyekolahkan sampai jadi orang' biar mandiri, semoga penerima manfaat maklum.
Dicari Guntur yang terduga bermasalah; jadi tertuduh.
Lha hanya itu yang bisa menjadi anaknya tenang, menjadikan harapan cepat sembuh; mendesak demi si buah hati.
Nggak kebayang; jangan² saking bingungnya mengelak, Kinanti yang datang bersama Guntur menjenguk, buat alasan kalau sudah punya pacar, waktu itu datang menjenguk Wanda, kebetulan berdua? waduh Kinan jadi kambing hitam, jangan mau; jangan mau jadi kambing.
Maunya bapak angkat kuliah kedokteran, hmm.
Beruntung sekali ini anak, dapat sponsor. nggak bisa jadi karyawan Wita donk.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke sebelas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMaturnuwun pak crigis
Alhamdulillah
ReplyDeleteCerbungnya sdh tayang
Terima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat² selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMaturnuwun pak Arif
Alhamdulillah ..... terima kasih Bu Tien.
ReplyDeleteSami2 ibu Yati
DeleteAduh, Guntur jadi cemas...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien....
Sami2 MasMERa
DeleteTerima kasih, ibu Tien...salam sehat.ππ»
ReplyDeleteSami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun Mbak Tien sayang.. salam sehat dan sukses selalu.
ReplyDeleteSami2 jeng Ira
DeleteSalam sehat juga