JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 10
(Tien Kumalasari)
Guntur menoleh ke dalam rumah. Ia berharap ibunya tak keluar sehingga melihat kedatangan Wanda, karena Guntur merasa bahwa Wanda akan menegur tentang makanan yang telah diberikannya kepada pak Kino.
Guntur turun ke halaman, tak ingin Wanda masuk ke rumah, karena tak ingin percakapannya nanti akan mengusik perasaan sang ibu.
“Ada apa?”
“Kamu tidak merasa, kira-kira apa yang akan aku bicarakan sama kamu?” kata Wanda dengan wajah kesal.
“Kamu akan bicara tentang pak Kino?”
“Bagus kalau kamu sudah tahu.”
“Apa yang akan kamu bicarakan? Tentang aku memberi makan pak Kino?”
“Apa kamu tahu, betapa sakit hatiku ketika mengetahui bahwa makanan yang aku berikan untuk kamu, ternyata kamu memberikannya kepada pak Kino.”
“Ketika kamu mengatakan pada aku bahwa kamu membawakan bekal untuk aku, aku sudah menolaknya. Ketika kamu nekat masuk ke kelas, dan meletakkan kotak makanan di atas mejaku, aku juga menolaknya. Lalu ketika kamu kembali dengan membawa minuman, dan nekat meletakkan lagi di mejaku, aku sudah berteriak meminta kamu membawanya kembali karena aku tak mau. Jadi karena kamu nekat, sementara aku tidak mau menerimanya, maka lebih baik aku serahkan makanan itu kepada yang membutuhkan. Apa aku salah?”
“Kamu menyakiti hatiku.”
“Mengapa harus sakit? Aku tidak mau kamu memberi aku makanan lagi. Sudah cukup pada hari-hari sebelumnya. Untuk selanjutnya jangan melakukannya lagi.”
“Guntur ….”
“Satu lagi, aku tidak suka cara kamu menegur pak Kino. Kamu menghina pak Kino, berkata kasar dan merendahkan dia. Kamu bahkan membuang makanan yang sedang dimakannya, juga wadah minuman yang ada di dekatnya.”
“Apa tukang kebun bau itu mengadukan semua itu sama kamu?”
“Dia punya nama, Sukino. Bukan tukang kebun bau,” sergah Guntur dengan wajah marah.
“Kamu tidak kasihan padaku yang bersusah payah memperhatikan kamu.”
“Mulai sekarang jangan bersusah payah lagi untuk aku. Besok pagi aku akan mengembalikan uang kamu yang sudah kamu pergunakan untuk membayar dokter dan obat-obatnya.”
“Kamu tidak punya perasaan Guntur, ini sungguh keterlaluan. Tapi baiklah, biarkan aku menemui ibu kamu.”
“Tidak Wanda, jangan mengusik ibuku yang sedang beristirahat,” kata Guntur sambil menghadang langkah Wanda yang menuju ke arah rumah.
“Beneran kamu melarang aku menemui ibumu?”
“Aku melarangnya.”
“Kamu tidak bisa menghargai orang yang memperhatikan keluargamu.”
“Tolong jangan melakukan apapun untuk aku dan keluargaku,” kata Guntur tandas.
Wanda terisak.
“Kamu kejam, Guntur. Kamu tega.”
“Tolong pulanglah dulu, besok aku akan menemui kamu sebelum pelajaran dimulai.”
Wanda mengusap air matanya, lalu menaiki sepeda motornya. Ia menstarternya, lalu langsung membawa sepeda motornya melaju.
Guntur menghela napas lega. Ia berharap apa yang dikatakannya bisa membuka hati Wanda untuk bisa mengerti.
Ia kembali ke meja makan, dan melihat sang ibu masih menunggu.
“Ada tamu siapa? Mengapa tidak disuruh masuk ke rumah?”
“Wanda.”
“Dia lagi? Mengapa dia datang?”
“Hanya ingin menanyakan sesuatu. Ayo kita sekarang makan. Obatnya sudah diminum, bukan?”
“Yang sebelum makan sudah.”
“Jadi sekarang Ibu makan dulu, setelahnya lalu minum yang sesudah makan.”
“Baiklah, berkat obat itu, aku merasa lebih sehat.”
“Syukurlah, tapi jangan tergesa-gesa mengerjakan banyak hal ya Bu, biar Guntur yang melakukannya.”
“Tapi kamu kan mau ujian Guntur, kalau kecapekan, nanti tidak bisa belajar.”
“Guntur bisa mengaturnya, Ibu tidak usah khawatir.”
Bu Raji tersenyum, sambil menyendok nasi ke dalam piringnya. Anak semata wayangnya adalah semangat untuk menghadapi hari-harinya yang sepi tanpa suami.
***
Ketika pak Suwita pulang, ia tak melihat Wanda ada di rumah. Di garasi, sepeda motornya juga tak terlihat.
“Ini sudah sore, apakah Wanda belum pulang?” tanyanya kepada sang istri.
“Tadi pulang awal, katanya gurunya rapat. Tapi kemudian pergi lagi, entah ke mana.”
“Apa tidak pamit sama Ibu?”
“Tidak, ibu hanya mendengar sepeda motor keluar dari halaman, dan itu Wanda. Entah ke mana saja anak itu, sampai sekarang belum pulang.”
“Susah memberi tahu anak itu. Kita terlalu memanjakannya, sehingga dia suka melakukan hal semaunya.”
“Tadi juga pulang sekolah marah-marah.”
“Kenapa?”
“Kesal sama teman yang dibawakan bekal tadi pagi. Susah-susah dibawakan, malah diberikan ke tukang kebun sekolah.”
“Untuk apa dia memberikan bekal untuk orang lain. Bukankah itu bekal untuk dia sendiri?”
“Nggak tahu Ibu. Tampaknya itu teman dekat dia.”
“Laki-laki?”
“Katanya iya.”
“Itu pacarnya bukan? Dia minta aku memberi pekerjaan pada anak itu, tapi harus diberi kedudukan. Enak saja.”
”Wanda juga bilang pada ibu, tadi.”
“Kita harus secepatnya pindah. Rumah sudah siap, begitu Wanda selesai ujian, langsung kita pergi dari kota ini. Rumah ini sudah bukan milik kita lagi. Kita diberi waktu dua bulan untuk bebenah. Tapi tidak usah menunggu dua bulan, begitu Wanda selesai ujian, kita langsung ajak dia pergi. Jangan sampai keterusan dia berhubungan dengan anak orang miskin itu lagi.”
“Semuanya sudah ibu siapkan. Kapanpun bisa mencicil mengirimkan barang-barang yang sudah bisa dibawa, supaya besok tidak terlalu banyak barang bawaan.”
“Bagus kalau begitu.”
“Bapak istirahat dulu, saya mau menelpon Wanda, ada di mana dia sekarang.”
“Ya, telpon dia dan suruh segera pulang.”
Tapi ketika sang ibu menelpon, terdengar dering dari arah kamar Wanda.
“Yaaah, dia tidak membawa ponsel, ternyata.”
***
Pak Bono pulang agak sore, karena ada kesibukan yang tidak bisa ditinggalkannya. Ketika sampai di rumah, Kinanti dan ibunya sudah menunggu di teras depan.
“Tumben pulang agak sore Pak?”
“Iya, ada rapat yang tidak bisa ditinggalkan. Oh ya, tadi ada korban kecelakaan yang dibawa ke rumah sakit. Gadis, seumuran Kinanti. Namanya Wanda. Entah mengapa, tiba-tiba aku ingat Kinanti. Dia seumuran denganmu," kata pak Bono sambil menatap Kinanti.
“Wanda?” Kinanti berteriak.
“Iya, kamu kenal? Belum jelas alamatnya, karena anaknya waktu itu baru bisa menjawab namanya, lalu pingsan. Luka di kepala, parah. Dia tidak membawa tanda pengenal, sepeda motornya rusak berat, karena dia menabrak mobil berhenti dan tampaknya ngebut. Dia juga tidak mengenakan helm.”
“Kinanti punya teman bernama Wanda. Bukan teman sekelas sih, dia IPS, sedangkan Kinanti IPA.”
“Nama bisa saja sama. Tapi coba saja kamu mengeceknya, apa benar dia atau bukan,” kata sang ayah.
Kinanti tidak punya nomor kontaknya. Tapi mungkin Guntur punya.
Kinanti segera menelpon Guntur.
“Untuk apa kamu minta nomor kontak Wanda?” tanya Guntur.
“Nanti aku ceritain, minta nomornya dulu.”
“Aku tidak punya.”
“Ya ampuun, bilang dari tadi,” kesal Kinanti.
“Tadi dia kemari, hanya sebentar.”
“Tadi ke rumah kamu?”
“Iya, marah-marah gara-gara makanan yang dia berikan padaku, aku berikan pada pak Kino.”
“Oh, ya ampuun. Gitu saja marah?”
“Lalu kenapa kamu mencari nomor Wanda?”
“Kata bapak, ada seorang gadis mengalami kecelakaan. Dia belum sadar, tapi sempat memberitahukan bahwa namanya Wanda. Wanda kemari pasti naik mobil kan? Gadis itu bersepeda motor.”
“Tidak, dia naik sepeda motor tadi. Pulang dengan masih marah-marah.”
“Ya Tuhan, jangan-jangan dia.”
“Semoga bukan,” kata Guntur.
“Ternyata Guntur tidak punya nomor kontaknya,” kata Kinanti setelah menutup pembicaraan.
“Wah, sayang sekali,” kata sang ibu.
“Kinanti jadi penasaran. Bolehkah saya melihatnya di rumah sakit?”
“Terserah saja. Tapi dia masih di UGD tadi, dan masih ditangani.”
“Kinanti penasaran, ingin melihatnya. Semoga bukan dia,” kata Kinanti sambil bersiap pergi.
“Hati-hati, jangan ngebut.”
“Baiklah.”
***
Kinanti sudah sampai di rumah sakit, dan terkejut ketika kedatangannya bisa bersamaan dengan Guntur.
“Rupanya perhatian Guntur pada Wanda juga sangat besar,” kata batin Kinanti. Ada perasaan tak nyaman ketika menyadari hal itu.
“Kinanti? Rupanya kamu juga datang kemari,” sapa Guntur.
“Penasaran saja, soalnya namanya Wanda, dan ketika itu dia tidak membawa identitas apapun. Rumah sakit belum bisa menghubungi keluarganya."
“Aku agak khawatir, karena tadi dia pergi dari rumahku dengan sangat ngebut. Mungkin masih terbawa oleh rasa marahnya.”
“Oh, begitu? Tadi katanya sepeda motor yang dikendarainya menabrak mobil yang sedang berhenti. Tabrakan sangat keras, karena sepeda motor itu berjalan ngebut,” kata Kinanti yang kemudian berjalan bareng memasuki rumah sakit.
“Kamu sudah tahu kamarnya?” tanya Guntur.
“Kata bapak masih di UGD.”
Lalu keduanya menuju ke arah UGD. Guntur bertanya pada perawat tentang gadis yang menjalani pemeriksaan karena kecelakaan.
“Dia masih belum sadar. Gegar otak berat. Tangannya juga cedera.”
“Bolehkah kami melihatnya?” tanya Kinanti.
“Iya Sus, barangkali dia teman sekolah kami."
Keduanya masuk setelah mendapat ijin, dan keduanya juga terkejut karena dugaan mereka benar.
“Wanda?” sapa mereka hampir bersamaan.
Tapi Wanda terlihat tak bergerak. Kepalanya dibalut perban dan bercak merah darah menghiasi perban itu.
“Dia teman Anda?” tanya perawat.
“Ya. Dia teman kami,” kata Kinanti.
“Bisakah Anda menghubungi keluarganya?”
“Tentu saja bisa. Aku tahu rumahnya,” kata Guntur yang kemudian mengajak Kinanti keluar dari ruangan itu.
“Karena tidak memiliki kontak keluarganya, kita harus ke rumahnya,” kata Guntur.
“Ya, baiklah.”
“Kamu ikut?”
“Pakai sepeda motorku saja, aku mbonceng kamu,” kata Kinanti.
Guntur mengangguk. Lalu keduanya menuju ke arah parkiran untuk mengambil motor Kinanti.
Betapapun kesalnya hati Guntur karena perlakuan Wanda yang dianggapnya keterlaluan, dan betapapun cemburunya Kinanti karena mengira Guntur punya perhatian, tapi mereka tidak tega membiarkan Wanda tergeletak tak sadar tanpa diketahui orang tuanya.
***
“Inikah rumahnya?” tanya Kinanti sambil turun dari sepeda motor.
"Iya, ini rumahnya."
“Kamu hafal benar. Pasti sudah sering datang kemari.”
“Tidak, baru sekali ketika dia bilang pulang tak ada yang menjemput, sementara dia tidak membawa sepeda motornya.”
Kinanti memarahi dirinya sendiri, yang masih saja merasa cemburu, sementara Guntur selalu punya alasan tepat untuk menjawabnya.
Keduanya melangkah mendekati rumah orang tua Wanda yang mewah.
Pak Wita sedang marah-marah tak henti-hentinya, ketika sampai sore hari Wanda belum juga pulang.
"Ini pasti gara-gara teman laki-lakinya itu. Aku sudah melarangnya pacaran, masih saja dia nekat?” omel pak Wita.
Tapi omelannya itu berhenti ketika mendengar suara sepeda motor memasuki halaman.
Ia keluar dan mengira anaknya yang datang, tapi dua orang anak muda sedang berdiri di tangga teras, yang kemudian mengangguk begitu melihat ayah Wanda keluar.
“Kalian siapa? Kalau teman Wanda dan ingin menemuinya, dia sedang pergi, dan belum pulang sejak siang,” kata pak Wita tanpa keramahan sedikitpun, karena terbawa oleh rasa kesalnya ketika menunggu Wanda tak segera pulang.
“Maaf Pak, kami bukan mencari Wanda, tapi_”
"Kalau tidak mencari Wanda lalu kalian siapa? Aku kira teman-teman Wanda.”
“Ya, kami adalah temannya. Kedatangan kami hanya untuk memberitahukan, bahwa Wanda ada di rumah sakit.”
“Di rumah sakit? Kenapa anakku?”
Bu Wita menghambur keluar begitu mendengar bahwa Wanda ada di rumah sakit.
“Wanda kenapa?”
“Belum begitu jelas, tapi kata dokter dia kecelakaan.”
“Kecelakaan?” teriak pak Wita dan istrinya.
“Iya Pak, kecelakaan. Ketika kami ke sana, dia belum sadar.”
“Apa kalian sedang bersama dia ketika itu?”
“Tidak, kami hanya mendengar dari ayah Kinanti, bahwa ada pasien bernama Wanda yang mengalami kecelakaan. Lalu kami menjenguknya, dan memang benar dia. Rumah sakit tidak bisa menghubungi karena tidak ada identitas yang ditemukan.”
“Pak, jangan banyak bertanya, ayo segera ke rumah sakit, tanyakan di rumah sakit mana. Bicara banyak nanti saja,” kata bu Wita yang tak sabar mendengar tanya jawab itu. Yang jelas Wanda mengalami kecelakaan, dan orang tuanya harus segera datang. Itu yang diinginkan bu Wito tanpa banyak pertanyaan dulu.
“Baiklah, terima kasih banyak, katakan rumah sakitnya dan di ruang mana dia dirawat,” akhirnya kata pak Wita.
“Wanda masih di ruang UGD, Pak,” jawab Guntur.
Setelah mengatakan alamat rumah sakitnya, Guntur dan Kinanti segera mohon diri. Pastinya kembali ke rumah sakit. Kecuali ingin melihat keadaan Wanda, sepeda motor Guntur juga masih ada di sana.
***
Sesampainya di rumah sakit, kedua orang tua Wanda segera memburu ke ruang UGD.
“Bagaimana anak saya? Wanda anak saya,” kata bu Suwita yang begitu ketakutan.
“Ibu orang tuanya?”
“Saya ibunya, ini ayahnya. Mana dia?”
“Dia baru saja tersadar, tapi lukanya lumayan parah. Silakan kalau mau menemuinya.”
Pak Suwita mendahului masuk, diikuti oleh istrinya. Rasa cemas meliputinya, melihat keadaan Wanda yang tergeletak tak berdaya, dengan selang infus di lengannya.
“Anakku, kenapa kamu?” tangis bu Wito sambil menubruk anaknya.
Tapi bukannya merespon kedatangan orang tuanya, ia malah membisikkan nama yang dirasa asing oleh mereka.
“Guntur … mana Guntur …”
Kinanti yang berdiri ditengah pintu, dan bermaksud melihat keadaannya, terkejut mendengar celoteh Wanda.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
Delete🎋🪴🎋🪴🎋🪴🎋🪴
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💞
JeBeBeeL_10 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai🦋😍
🎋🪴🎋🪴🎋🪴🎋🪴
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Sari
🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Syukron..🙏🙏🙏
*JANGAN BIARKAN*
*BUNGAKU LAYU 10.*
sudah ditayangkan.
Terima kasih Bu Tien, semoga sehat penih berkah.
Aamiin yaa Robbal'alamiin🤲🤲
Waduh..... Wanda gegar otak......
🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mas Kakek
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah dah tayang,makasih Bunda Tien.
ReplyDeleteSami2 ibu Isti
DeleteMatur sembah nuwun Mbak Tien
ReplyDeleteJeBeBeeL _ 10 sdh tayang
Sehat selalu ya Mbak
Salam ADUHAI dari Antapani
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Ning
Hamdallah....sampun tayang
ReplyDeleteAlhamdulilah sampun fayang, maturnuwun bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu... salam hormat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur nuwun salam sehat tetap semangat
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiik
DeleteAlhamdulillah.... salam SeRoJa bunda Tien
ReplyDeleteSalam seroja juga ibu Wiwik
DeleteTerima kasih bundaqu..slmt mlm dan slmt istrht..salam sehat selalu unk keluarga bundaqu 🙏🥰🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSehat selalu juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ..sehat sehat nggih 🌹🌹🌹🌹🌹
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Susi
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bundaTien semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endah
Alhamdulillah.Maturnuwun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Herry
Alhamdulillah ... maturnuwun Bu Tien ... Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endang
Cinta buta, tanpa mata dan telinga..
ReplyDeleteBegitulah Wanda.
Pasti ortu Wanda menyalahkan atau memarahi Guntur. Sabar ya Gun...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Latief
Alhamdulillah, mtr nwn bu Tien, semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Bam's
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap sehat njih....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Reni
Alhamdulillaah sudah d baca,
ReplyDeleteWanda-wanda cintan bertepuk sebelah tangan, jangan mau guntur ortunya saja gak setuju bilang orang miskin menghinaa
Nuwun ibu Engkas
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 10* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Wedeye
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),10 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteTernyata terkunci dipikiran, nggak terima kalau paket nasi bungkusnya diberikan pak Kino(bukan orang jepang kan).
ReplyDeleteIa tahu, juga bukan nama kapalkan, kalau itu kinomaru.
Terkunci memang kenapa; pokoknya kalau mauku begini, ya harus ngikut.
Ikut?! Wuah egois nich, ya nggak. Tuh kalau anak semata wayang repot ya, minta diperhatikan, nggak juga; biasanya anak raja tuh malah kaya dibuang, identitas bapaknya nggak dikasih jelas ke anaknya, biasanya ibunya mendampingi jadi kaya anak janda gitu, tapi keheranan si anak mereka dihormati sama tetangga, kan biar tahu unggah ungguh, jadi sianak juga mengimbangi penghormatan itu tentu, babé gué kan lagi ngodé; cari rejeki dikota, kira kira begitu.
Punggawa yang diperintah mengamati; juga harus laporan hasil observasi, mengamat amati perkembangan anak maksudté.
Nah tuh sudah ngromèt; Guntur mana Guntur, menghawatirkan.
Kenapa?, dulu ada yang nanyain temennya; yang diboncengi padahal sudah pergi duluan, ini sempat pingsan beberapa hari; awal kesadaran manggil temennya, merasa sudah bertemu langsung diem, setelah buang nafas panjang, peluit terakhir
Menakutkan, mudah mudahan masih diberi kesempatan, syukur berubah kebiasaan buruknya.
Terus, ya mengheningkan cipta tå
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke sepuluh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak crigis
Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 10 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin.
Kasihan Winda...baru di omelin sama orang yang dia cintai, sakit hati nya tdk ketulungan, jiwa nya jadi goncang, naik motor nya...dadi ora duwe duga duga..😁😁...akhir nya terjadi Laka Lantas.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Munthoni
Terima kasih, ibu Tien...sehat2 selalu ya...🙏🏻🙏🏻🙏🏻
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Nana
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat² selalu
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien "JBBL~10"nya,
ReplyDeleteSalam hangat..., senantiasa sehat dan bahagia bersama "amancu" 💖
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteNuwun pak Arif
Matur nuwun ibu Tien 🙏🏻
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteHarusnya tak menyebut Guntur, tapi menyebut petir saja...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak tien...
Sami2 MasMERa
DeleteGundala Putra Petir...he..he..
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteKok Guntur yg ditanya, mau di lanjut marahnya,. 😁😁😁🤭