JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 09
(Tien Kumalasari)
Rasa geram mengikuti setiap langkahnya, menuju ke arah pos satpam, di mana pak Kinmo duduk dengan nikmat sambil menggigit daging paha, mengunyahnya sampai dagingnya habis, lalu melemparkan tulangnya ke arah samping, dan celakanya tulang itu tepat mengenai tubuh Wanda di bagian atasan bajunya. Wanda berteriak semakin marah.
“Haaaaaiii! Apa kamu buta?”
Mendengar teriakan itu, pak Kino urung mengambil paha satunya, yang memang ada dua di dalam kotak makan itu.
“Eh, apa … ada apa? Mengenai non Wanda ya?” tanyanya tanpa dosa, lalu melanjutkan mengambil paha itu dan nyaris memasukkannya ke mulut, yang kemudian gagal karena Wanda menepisnya, sehingga paha itu terlempar ke arah depan.
“Ya ampun Non, Maaf kalau tadi mengenai Non, tapi kan saya tidak sengaja? Baju Non kotor ya? Tapi paha yang satu belum sempat saya makan, Non membuatnya terlempar ke sana,” kata pak Kino sambil menatap sepotong paha yang tergeletak manis di tanah.
“Dasar tak tahu malu. Mengapa kamu memakan makanan itu?”
Pak Kino meneguk minuman dari tumbler yang sudah dibukanya.
“Non, kenapa marah sama saya? Hari ini saya mendapat rejeki nomplok. Diberi nasi dengan lauk ca sayur dan dua potong paha, juga ada telur ceploknya. Saya juga diberi minuman dengan wadah cantik ini,” katanya lagi tanpa merasa berdosa.
“Dasar bodoh! Itu makanan punyaku, tempatnya dan tempat minuman itu punyaku,” katanya sambil menepiskan kotak makanan yang masih dipegang pak Kino. Masih ada nasi dan sayur yang belum dimakan, tumpah berantakan di tanah.
“Non, apa maksud Non?”
“Kamu tidak berhak atas makanan dan minuman itu,” Wanda juga meraih tumbler itu dan melemparkannya ke tanah.
Pak Kino murka.
“Kamu itu anak orang kaya, tapi sewenang-wenang pada orang kecil seperti aku. Apa maksudnya ini?” katanya sambil berdiri. Ia seorang yang hanya menjadi tukang kebun dan bersih-bersih halaman sekolah, tapi dia juga manusia yang punya hati dan rasa. Menerima perlakuan kasar seperti itu dia tak bisa menahan kemarahannya.
“Kamu berani mengata-ngatai aku? Kamu tidak tahu siapa aku?”
“Siapapun Non ini, nyatanya telah berbuat sewenang-wenang. Bagi orang miskin seperti saya, sesuap nasi amatlah berharga. Ada orang mangasihani saya, tentu saya sangat berterima kasih. Dia orang baik, dan selalu baik. Dia menghargai saya walau saya miskin. Berbeda dengan Non.”
“Dasar bodoh! Makanan yang kamu makan itu punyaku, dan minuman yang kamu minum itu juga punyaku.”
“Apa maksud Non? Mas Guntur memberikan semua ini kepada saya. Dia orang baik. Bukan seperti Non.”
“Jadi Guntur memberikannya sama kamu?”
Sakit hati Wanda semakin memuncak. Dia memberikannya kepada Guntur, lalu Guntur memberikannya kepada si tukang kebun yang lusuh dan kotor serta bau itu?
Wanda membalikkan tubuhnya, ingin menemui Guntur dan memarahinya, tapi diurungkannya. Bukankah dia sudah ijin pulang? Bagaimana kalau ada guru apalagi wali kelas yang melihatnya?
Dengan menahan kemarahan dihatinya, Wanda mengambil sepeda motornya, kemudian berlalu dengan cepat meninggalkan halaman sekolah.
Pak Kino menatapnya dengan geram. Ia juga menatap nasi yang berceceran serta sepotong paha yang belum sempat dinikmatinya.
Pak satpam yang baru saja datang setelah pamit ke belakang sebentar, heran melihat makanan yang berceceran.
“Lhoh, kenapa itu pak Kino?”
“Dasar perempuan setan itu. Tidak punya belas kasihan. Makanan dan minuman yang belum habis saya makan, dibuatnya berserakan seperti itu,” keluhnya dengan wajah muram.
“Perempuan setan yang mana Pak? Siang bolong begini, mana ada setan?”
“Bukan setan beneran, Mas. Setan jadi-jadian.”
Lalu pak Kino menceritakan semuanya. Semua kelakuan Wanda dan apa yang dikatakannya, membuat pak Satpam menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kok bisa begitu? Masa tiba-tiba dia membuang makanan dan minuman itu seenaknya?”
“Sepertinya dia memberikan makanan itu kepada mas Guntur, tapi oleh mas Guntur diberikannya kepada saya.”
“O, begitu? Mungkin dia pacar mas Guntur?”
“Ya nggak tahu, Mas. Pacaran, lalu lagi berantem, barangkali. Tapi makanan saya menjadi korban,” kata pak Kino sambil menatap kembali makanan yang berserakan.
“Ya sudah Pak, nggak usah sedih. Ayo ke kantin, pak Kino saya traktir makan sepuasnya.”
“Ah, nggak usah Mas, saya sempat memakannya separuh tadi.”
“Jangan menolak, aku habis gajian lhoh Pak. Jadi nggak apa-apa kalau sekedar mentraktir makan saja. Ayo, mumpung masih sepi, soalnya anak-anak masih ada jam pelajaran. Tuh lihat.”
“Nanti yang jaga di sini siapa?”
“Nggak apa-apa, kan cuma sebentar.”
Pak Kino tak bisa menolak, karena pak satpam memaksanya.
***
Wanda menaruh sepeda motor di garasi, kemudian langsung masuk ke dalam rumah, melalui pintu belakang. Sang ibu yang sedang memasak di dapur bersama pembantu, heran melihatnya.
“Kok sudah pulang, Wanda?”
“Gurunya rapat,” jawab Wanda sekenanya, sambil langsung berjalan menuju kamarnya.
Sang ibu yang melihat wajah anak gadisnya segelap mendung, meletakkan pisau yang dipakainya untuk memotong sayur, kemudian bergegas mengikuti anaknya.
Wanda melemparkan tas sekolahnya ke atas ranjang, lalu duduk di sofa yang ada di kamar itu. Ia mencopot sepatunya, lalu melemparkannya sembarangan.
Sang ibu berteriak karena salah satu sepatunya mengenai tubuhnya.
“Eh, apa-apaan sih kamu?” pekik sang ibu.
Wanda hanya menatapnya sekilas, kemudian mencopot seragam sekolahnya, melempar-lemparkan baju seragam itu sehingga berserakan.
“Wanda? Kamu bukan sedang kerasukan kan?” seru sang ibu marah.
Wanda cemberut. Ia tak peduli sang ibu marah. Langsung berlari ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri.
Dalam kemarahannya, sang ibu masih mau mengambilkan baju ganti untuk anaknya, disiapkannya di atas ranjang, lalu meraih tas sekolah yang tergeletak di sana, menaruhnya di atas meja belajarnya.
Keluar dari kamar mandi, ia segera memakai baju gantinya, tanpa mengucapkan terima kasih kepada ibunya. Wajahnya masih gelap. Sang ibu duduk di sofa sambil memperhatikan gerak geriknya.
“Ada apa? Kamu sedang marah pada siapa? Jangan sampai ibumu terkena amarahmu juga,” kata sang ibu lembut.
“Aku sedang kesal Bu, sangat kesal!” keluhnya sambil duduk di depan ibunya, lalu menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.
“Ada apa sebenarnya?”
“Nggak bisa ngomongnya.”
“Ngomong saja kok nggak bisa. Daripada kamu marah-marah seperti ini? Kalau kamu cerita, pasti bebanmu akan lebih ringan. Ayo cerita pada ibu.”
“Kalaupun Wanda cerita, ibu juga tak akan bisa membantu.”
“Oh ya? Apa permasalahannya sangat sulit?”
“Rumit.”
“Ibu boleh tahu?”
“Wanda kan selalu minta pada ibu, kalau pagi membawakan bekal, Wanda minta yang lebih banyak, soalnya Wanda berbagi sama seorang teman. Tadi itu, Wanda minta lauk agak banyak kan? Nah, karena Wanda ini baik hati, Wanda berikan bekal itu kepadanya. Semuanya, termasuk minuman dalam tumbler.”
“Ah, itu bagus. Ibu senang anak ibu sangat baik hati,” puji sang ibu.
“Tapi apa yang terjadi? Makanan dan minuman yang Wanda berikan, diberikannya kepada tukang kebun. Siapa yang nggak kesal, coba?”
“Jadi makanan yang kamu berikan, diberikannya kepada tukang kebun?”
“Iya. Coba ibu bayangin, susah-susah diberi makanan, diberikan orang lain.”
“Tapi sebenarnya kamu tidak perlu marah-marah begitu, Wanda. Kalau sudah diberikan, berarti sudah menjadi hak dia. Mau diberikan ke orang lain, atau bahkan dibuang sekalipun.”
“Iih, Ibu. Bagaimana mungkin Wanda tidak marah Bu. Dengan perlakuan itu, berarti dia tidak menghargai Wanda. Ya kan?”
“Memberi itu akan mendapat pahala. Kalau dia memberikannya kepada orang lain, berarti kamu juga akan mendapat pahalanya.”
“Enak saja. Wanda marah dong Bu, Wanda merasa tidak dihargai. Besok Wanda akan memarahi dia habis-habisan.”
“Mengapa tidak tadi sekalian kamu menegurnya?”
“Dia teman beda kelas, jadi belum ketemu.”
“O, beda kelas? Kamu begitu baik pada dia dengan memberinya makanan setiap hari, berarti dia sahabatan sama kamu?”
“Wanda … suka sama dia,” kata Wanda pelan.
“Dia laki-laki?” tanya bu Suwita, sang ibu dengan mata terbelalak.
“Iya ….” jawab Wanda pelan.
“Kamu itu masih sangat muda, belum saatnya pacaran,” sergah sang ibu dengan wajah kurang senang.
“Dia baik Bu, dia juga pintar. Wanda sudah minta pada bapak supaya setelah lulus, bapak memberi pekerjaan untuk dia.”
“Bapakmu mau?”
“Tampaknya … tidak.”
“Bapakmu itu keras, tidak mudah dipengaruhi. Enak saja mencarikan pekerjaan untuk anak lulusan SMA? Mau dijadikan apa? Perusahaan bapakmu itu karyawannya pintar-pintar. Semuanya sarjana S1 bahkan S2. Yang pendidikannya rendah hanya OB atau tukang bersih-bersih.”
“Tapi kan itu teman Wanda?”
“Apa bapakmu mau mengerti?”
“Tampaknya … tidak.”
“Ya sudah, jangan memaksakan kehendak. Apalagi kita nanti selepas kamu lulus, sudah akan pindah dari kota ini. Kita tidak bisa terus menerus tinggal di sini, karena ini rumah warisan. Saudara-saudara bapakmu ingin agar rumah ini dijual dan dibagi. Karena itu bapakmu ingin kita tinggal di Semarang saja, pusat usaha ayahmu kan di sana?”
Wanda tak menjawab. Ia tidak ingin memikirkan yang lainnya. Ia ingin agar hari segera berganti pagi, lalu di sekolah dia harus menegur Guntur yang dirasa sangat menyakiti hatinya. Tapi tampaknya dia tak sabar menanti pagi.
***
Ketika selesai pelajaran sekolah, Guntur terkejut mendapat laporan pak Kino bahwa Wanda marah-marah gara-gara makanan pemberian Guntur diberikan padanya, bahkan makanan dan minumannya disebar di pelataran. Pak Kino menemuinya, mengatakan semuanya sambil mengembalikan wadah makanan dan minuman yang sudah dicucinya bersih.
“Ya ampun, maaf ya pak Kino, sebenarnya memang itu diberikan kepada saya, tapi karena saya tidak makan, daripada dibuang lalu saya berikan kepada pak Kino. Sungguh saya minta maaf ya Pak, besok akan saya tegur dia,” kata Guntur sambil menepuk-nepuk bahu pak Kino. Pak Kino mengangguk dan tersenyum. Ia tahu Guntur anak yang baik, dan bukan sekali itu dia memberi makanan untuk pak Kino.
“Tidak apa-apa mas Guntur, saya bisa maklum, siapa sih saya? Sudah selayaknya saya mendapat penghinaan karena saya memang orang yang hina.”
“Tidak Pak, jangan begitu. Orang hina bukan karena ia memiliki kedudukan yang rendah. Orang hina adalah perilakunya yang memang hina. Jangan dipikirkan dan jangan sakit hati ya Pak. Bagi saya, pak Kino bukan orang yang hina. Pak Kino bekerja demi keluarganya, dan melakukan apapun, itu adalah pekerjaan mulia.”
Guntur menepuk-nepuk punggung pak Kino, yang kemudian berlinang air mata menerima perlakuan Guntur yang sangat bersahabat.
“Tolong wadahnya dibawa pak Kino dulu, besok begitu saya datang, akan saya ambil, lalu saya kembalikan kepada pemiliknya.
“Baiklah Mas. Terima kasih banyak.”
“Sekali lagi saya minta maaf,” kata Guntur sambil tersenyum.
***
Guntur terkejut ketika melihat banyak makanan di meja, dan banyak sayuran di kulkas. Ia membersihkan diri, berganti pakaian lalu menuju ke kamar ibunya. Sang ibu terbaring di pembaringan, tapi tidak sedang tertidur.
Ia bangkit ketika melihat sang anak sudah pulang.
“Tadi ibu ketiduran, tidak mendengar kamu datang.”
“Syukurlah kalau Ibu bisa tidur, berarti Ibu merasa sehat. Obatnya sudah diminum?”
“Pagi tadi sudah, kan kamu yang menyiapkannya? Kalau siang, ibu lupa, karena ketiduran. Sekarang ibu mau minum yang harus diminum sebelum makan,” kata bu Raji sambil bangkit.
“Lhoo, ibu kok bisa lupa?”
“Iya, karena ketiduran. Tadi bu Bono datang kemari, agak lama. Karena lelah, ibu sampai ketiduran.”
“Jadi banyak makanan di meja itu dari bu Bono?”
“Iya, tadi kemari. Kamu bilang kalau ibu sakit ya?”
“Kemarin Bu, saya hanya bilang pada Kinanti. Barangkali Kinanti yang bilang pada ibunya.”
“Banyak makanan, juga sayur mentah dan telur serta daging. Masih di kulkas, belum bisa masak. Lagi pula banyak lauk dibawa juga oleh bu Bono. Ayo kita makan,” kata bu Raji sambil menggandeng anaknya ke ruang makan.
“Ibu jangan tergesa-gesa masak segala macam, untuk sementara, ibu istirahat dulu. Nanti Guntur yang akan memasaknya.”
“Iya, gampang. Sekarang makanlah, ibu mau minum obatnya dulu. Mana yang harus diminum sebelum makan?”
“Ini Bu," kata Guntur sambil meraih bungkusan obat di dalam kotak yang memang disiapkan Guntur di meja makan, agar sang ibu tidak lupa meminumnya.
Tapi tiba-tiba terdengar suara sepeda motor memasuki halaman.
"Siapa tuh, sepertinya ada tamu lagi?” kata sang ibu sambil meminum obatnya.
Guntur bangkit, bergegas ke arah depan, dan melihat Wanda turun dari sepeda motornya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteππΉπ»πππ»πΉπ
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Syukron..πππ
*JANGAN BIARKAN*
*BUNGAKU LAYU 09.*
sudah ditayangkan.
Matur nuwun Bu Tien, mugi² tansah pinaringan seger kwarasan.
Tinebihna ing rubeda nir sambikala.
Aamiin yaa Robbal'alamiinπ€²π€²
ππΉπ»πππ»πΉπ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 mas Kakek
ππ»ππ»ππ»ππ»
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ€©
JeBeBeeL_09 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam serojaππ¦
ππ»ππ»ππ»ππ»
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 jeng Sari
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur sembah nuwun Mbak Tien
ReplyDeleteJeBeBeeL _.9. Sudah tayang ..sehat selalu Mbak
Salam ADUHAI..dari Antapani ..πππͺπ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 jeng Ning
ADUHAI dari Babar Layar
Alhamdulilah sampun tayang, maturnuwun bu Tien, sehat sehat nggih bun ..salam aduhai aduhai bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Sri
Salam aduhai 2x
Matur nuwun bunda Tien..
ReplyDeleteSehat selalu kagem bunda..
π€²π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Padma Sari
Alhamdulillah...terimakasih Bunda..semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Tutus
Suwun Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 pak Bagyo
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAsyik sudah tayang ditunggu sejak tadi , Matur nuwun.
ReplyDeleteAlhamdulillah ... maturnuwun
ReplyDeleteSami2 ibu Endang
DeleteAlhamdulillah........ terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Yati
Hamdallah....sampun tayang
ReplyDeleteNuwun pakMunthoni
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun π·πΉ πππSemoga Bunda selalu sehat wal afiat π€²
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 pak Herry
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 09* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 pak Wedeye
Alhamdulillaah " Jangan Biarkan Bungaku Layu-09" sdh hadit
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiinπ€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Ting
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Endah
DeleteMks bun JBBL 9 sdh tayang....sellamat mlm bun....smg sehat selalu.......semangat dan bahagia....aamiin yra
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Supriyati
Whuaduuu... Wanda ngamuk
ReplyDeleteOjok2 nggarahi Bu Raji kolaps...
Ah mbak Tien rΓ¨k.... bikin gemes π€π€
Salam aduhai dr Surabaya mbaak..
Sehat bahagia selalu...ππ₯°♥️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 jeng Dewi
ADUHAI ...
Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 09 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin.
Wanda memang keterlaluan, sifat asli nya sdh ketahuan.
Skrng jadi Bonek..nglabrak ke rumah Guntur. Bisa2 ada perang Dunia ke tiga ini...ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 pak Munthoni
Maturnuwun bu Tien,
ReplyDeleteMakin seru ceritanya..
Sami2 BEBEK WARUNG KANA
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tienπ·π·π·π·π·
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat² selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 pak Arif
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),09 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Uchu
Alhamdulillaah sdh tayang. Trmksh bu Tien, smg sehat sll. Aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Handayaningsih
Apa kabar. Lama nggak komen?
Waduh sibiangkerok Wanda datang, keras kepala n tdk punya aturan,,,
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya, Allaah Subhaanahu wata'ala selalu melindungi ya , Aamiinπ€π₯°
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Ika
Terima kasih, ibu Tien...sehat2 selalu ya...ππ»ππ»ππ»
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Nana
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteSami2 pak Djodhi
Duh anak muda kalau lagi emosi, diberi tahu ya nggak mau tahu.
ReplyDeleteSusah masuk di benaknya.
Tahu tahu nuruti maunya sendiri ya kedundang.
Hèh apa itu, itu halte ka pertigaan yang mau ke yia, huh apal apale.
Tuh kan nyrodok, nang nggonΓ© bu Raji.
Tambah panas ditawani makan di meja jauh lebih lengkap.
KΓ₯yΓ₯ foto profil mu 'muka tembok' hi hi
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke sembilan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 pak Nanang crigis
Terima kasih bu Tien ... JBBL ke 9 sdh tayang ... Smg happy dan sehat sll ... Salam Aduhai .
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteSami2 ibu Enny
Aduhai juga
Wanda ini saudara kandung Luki, apapun yang dia mau harus dapat...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Top
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien "JBBL~9" nya ... Salam hangat dan sehat sll ... Salam Aduhai
ReplyDelete