JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 07
(Tien Kumalasari)
Bu Raji terpana. Jadi gadis yang mengantarnya, membayar biaya dokter dan obat ini calon menantunya? Masa sih? Seorang gadis remaja, yang belum rampung SMA nya, sudah dengan berani mengaku dirinya adalah calon mertua?
Bu Raji merasa aneh. Guntur belum apa-apa untuk menjadi seseorang yang berani menjalani kehidupan. Bu Raji menganggapnya masih anak-anak. Sudah memiliki hubungan jauh dengan gadis yang duduk di depan tempat tidurnya dan yang wajahnya cantik, serta pembawaannya seperti orang kaya?
Tapi bu Raji agak kurang senang melihat matanya. Ia seperti gadis yang sudah matang. Matanya agak genit walau mungkin bagi laki-laki bisa mengatakan bahwa dia menawan. Tapi bukankah mereka masih kanak-kanak? Mereka belum pantas menapak di dunia kehidupan yang entah akan bagaimana nanti bentuknya. Sekarang ini saatnya berjuang, saatnya mencari bekal, bukan saatnya memilih teman hidup.
Wanda seperti merasa apa yang dipikirkan bu Raji.
“Apa ibu tidak suka pada saya?”
Bu Raji tersenyum tipis. Tubuhnya terasa lebih nyaman setelah dokter menyuntikkan entah obat apa. Tapi sebenarnya perasaannya tidak begitu nyaman. Ia merasa Wanda terlalu berani. Sebagai seorang wanita harusnya dia menjaga lisan dan sikapnya, agar kelihatan seperti wanita yang santun dan menakjubkan, bukan karena wajahnya tapi karena perilakunya.
“Bukan masalah suka atau tidak. Kalian masih kanak-kanak. Hidup masih begitu panjang bagi kalian.”
“Tapi memikirkan sesuatu untuk masa depan itu kan penting, Bu?”
“Memikirkan sesuatu untuk masa depan? Apakah kehidupan bisa diarungi hanya berdasar rasa suka?”
“Setidaknya memilih dulu, apa yang kita sukai. Guntur anak baik dan pintar, saya sangat mengaguminya.”
“Lalu kamu yakin kalau dia akan menjadi suami yang baik?”
“Apakah sifat baik bisa berubah?”
“Dunia berputar. Yang diatas bisa menjadi di bawah. Yang suka bisa menjadi tidak suka. Demikian juga hati seseorang. Jangan mengira yang sekarang kamu anggap baik, maka selamanya akan baik. Banyak hal yang harus dilakukan untuk menjadikan bekal demi kehidupan selanjutnya.”
Wanda tersenyum. Sesungguhnya dia tidak begitu mengerti apa yang dikatakan bu Raji.
“Guntur itu anak orang yang tidak punya. Apa yang bisa kamu harapkan dari seseorang yang belum jelas bagaimana masa depannya?”
”Bu, ayah saya seorang pengusaha. Dia bisa membuat Guntur menjadi orang yang punya kedudukan.”
Bu Raji tersenyum. Ia tahu cara berpikir anak semuda Wanda masih terlalu dangkal. Baginya, rasa senang sudah cukup untuk membuatnya puas.
“Bergantung kepada kekayaan orang tua?”
“Mengapa tidak, Bu.”
“Baiklah, aku tidak tahu apa yang dipikirkan Guntur. Tapi kalau Guntur berpendapat seperti yang kamu pikirkan, maka dia salah besar.”
“Dia tidak akan kekurangan.”
“Hidup tidak cukup dengan memiliki materi.”
“Ibu tidak tidur?” tiba-tiba Guntur sudah masuk ke dalam kamar.
“Belum bisa tidur. Suruh nak Wanda pulang. Ini sudah malam,” kata bu Raji.
“Saya minumkan obat untuk Ibu dulu,” kata Wanda ngeyel.
“Tidak Nak, ibu bisa bangun dan meminumnya sendiri. Pulanglah, orang tua kamu pasti sedang menunggu.”
“Ibu berkata benar, Wanda. Besok kamu juga harus masuk sekolah. Sekarang pulanglah. Terima kasih untuk semuanya. Pada suatu hari nanti aku pasti akan membayarnya.”
“Mengapa harus dibayar? Aku tidak menghutangkannya,” kata Wanda yang kemudian mencium tangan bu Raji, lalu bersiap untuk pulang.
“Besok aku antarkan untuk periksa ke laborat, aku bisa pulang lebih pagi,” katanya sambil melangkah menuju pintu.
“Tidak Nak, aku tidak mau periksa apapun. Sudah dapat obatnya, pasti ibu akan segera sembuh,” kata bu Raji.
Wanda menatap Guntur yang tampak mengangguk, lalu Wanda berlalu begitu saja.
Guntur mengantarkan sampai ke depan, kemudian kembali ke kamar sang ibu.
Ia segera menyiapkan obat yang harus diminum.
“Besok tidak usah periksa laborat. Aku tidak apa-apa.”
“Sekarang Ibu merasa sehat, karena tadi diberi suntikan oleh dokter. Tapi itu kan hanya sementara.”
“Yang merasakan itu aku, jangan lagi membuang-buang uang. Ini juga sudah minum obat kan,” kata sang ibu, tandas.
Guntur tak berani membantah.
“Aku ingin bertanya sesuatu.”
Guntur meletakkan gelas di meja. Menatap sang ibu.
“Apa sebenarnya hubungan kamu dengan gadis bernama Wanda itu?”
“Ibu kan sudah Guntur beri tahu, dia teman SMA, hanya beda kelas.”
“Dia begitu perhatian pada ibu. Susah-susah datang kemari untuk mengantar ibu, bahkan mengeluarkan uang banyak untuk dokter dan obat.”
“Guntur sudah menolaknya. Guntur juga punya uang, tapi dia memaksa. Nanti Guntur akan menggantikan semuanya, Ibu jangan khawatir.”
“Kamu pacaran sama dia?”
“Tidak Bu, Guntur tidak punya pacar. Guntur belum memikirkannya.”
“Tadi dia menganggap ibu sebagai calon mertua.”
“Dia hanya bercanda.”
“Masa bercanda? Bicara dengan orang tua, bercanda?”
“Ibu tidak usah memikirkannya. Guntur tidak berpacaran dengan siapapun, hanya ingin menyelesaikan sekolah. Setelah lulus akan mencari pekerjaan saja. Tidak enak dibiayai pak Bono.”
“Baiklah. Senang ibu mendengarnya.”
“Sekarang Ibu istirahat saja, ini sudah malam.”
Tapi Guntur kemudian merasa kesal karena Wanda dianggapnya lancang menganggap ibunya sebagai calon mertua, sehingga membuat sang ibu jadi kepikiran.
***
Dan sesampai di rumah, Wanda justru mendapat marah karena pergi dengan mobil dan pulang malam.
“Dari mana saja kamu ini?” hardik sang ayah.
“Dari menjenguk orang tua teman yang sakit.”
“Harus sampai malam begini? Bukankah kamu pergi sejak sore?”
“Iya Pak, karena kemudian menunggu teman-teman yang lain, lalu berbincang lama.”
“Kalau hanya menjenguk orang sakit kan tidak perlu berbincang segala?”
Wanda tak menjawab. Ia tak mungkin mengatakan bahwa harus mengantarnya ke dokter dan membelikan obat segala.
“Bukankah kamu sudah hampir ujian? Jangan main-main kamu. Kalau kamu tidak lulus, kamu harus keluar dari sekolah dan bapak nikahkan dengan anak teman bapak.”
“Nikah?”
“Kalau tidak becus sekolah, untuk apa kalau tidak lebih baik jadi ibu rumah tangga saja.”
“Bapak kok gitu. Wanda pasti lulus kok.”
“Nilai pelajaran kamu semua buruk.”
“Nanti Wanda akan belajar lebih giat.”
“Awas saja kalau tidak.”
“Mengapa Bapak marah? Bukankah kekayaan tidak didapat dengan harus sekolah tinggi?” sanggah Wanda dengan wajah cemberut.
“Apa maksudmu? Bapak malu kalau kamu tidak bisa sekolah tinggi. Bapak akan berikan berapa banyak biaya yang harus bapak keluarkan, pokoknya kamu harus bisa menjadi sarjana.”
“Untuk apa Wanda menjadi anak orang kaya? Untuk apa Bapak punya harta yang sedemikian banyak?”
“Jangan sembarangan kamu. Bapak serius. Biar bodoh sekalipun, kamu harus bisa kuliah dan menyelesaikannya.”
“Baiklah. Tapi Bapak jangan marah dong,” kata Wanda sambil menggelendot di bahu sang ayah.
Kalau sudah begini, hati pak Suwita, sang ayah, segera menjadi luluh. Wanda adalah anak semata wayang yang selalu dimanja. Apa yang diminta selalu diberikannya.
“Pak, ada teman Wanda yang sangat pintar di sekolah. Tapi orang tuanya miskin. Hanya seorang janda. Bisakah Bapak memberi pekerjaan untuknya?”
Pak Wita mengerutkan alisnya.
“Kamu mencarikan pekerjaan untuk temanmu? Dia lulusan apa?”
“Kan Wanda bilang, kalau itu teman Wanda.”
“Maksudmu dia lulusan SMA?”
“Sekarang belum lulus, nanti kan lulusnya bareng Wanda. Bisakah dia bekerja di kantor Bapak?”
“Bapak butuh OB.”
“Apa? Masa dia akan dijadikan OB oleh Bapak?” Wanda menatap ayahnya kesal.
“Hanya lulusan SMA, dia bisa apa?”
“Dia pintar lho Pak. Beri dia kedudukan dong.”
“Kamu ini ngomong apa? Kamu tidak tahu apa-apa tentang perusahaan. Enak saja memberi kedudukan pada seseorang dengan pendidikan rendah.”
“Karena dia teman dekat Wanda.”
“Apa maksudmu? Dia pacar kamu? Kamu pacaran? Kecil-kecil pacaran?”
“Hanya dekat. Wanda kasihan pada dia.”
“Kamu pacaran sama laki-laki miskin, dan karenanya ingin agar bapak memberinya pekerjaan? Bahkan dengan kedudukan tinggi? Tidak … tidak.”
“Kalau dia punya kedudukan, Bapak tidak akan malu memiliki menantu dia.”
“Tidak. Kamu tidak tahu apa-apa tentang perusahaan. Bukan karena dia teman atau saudara maka kita harus memberinya kedudukan. Dia harus punya sesuatu yang bisa dilakukan demi majunya sebuah usaha. Kamu kira gampang merekrut karyawan? Hanya karena dia teman atau pacar kamu? Tanpa pendidikan yang memadai? Hentikan Wanda. Bapak tidak mau.”
“Pak ….” Wanda merengek.
“Sampai kamu menangispun, kalau masalah pekerjaan, bapak tidak akan mengijinkan. Perusahaan bukan untuk main-main. Lagipula beberapa bulan yang akan datang bapak akan pindah kekota lain. Kamu akan meneruskan kuliah di sana. Tidak di kota ini.”
“Bapaaak, aku tidak mau.”
“Mau atau tidak, kamu harus mau. Bapak tidak akan membiarkan kamu berada di sini, sementara bapak tidak ada. Sekolah yang benar dan jangan memikirkan pacar miskinmu itu,” tandas sang ayah sambil meninggalkan Wanda yang merasa kesal karena kali ini keinginannya tidak kesampaian.
***
Pagi hari itu, Kinanti bersiap akan masuk sekolah. Ia sedang memasukkan buah-buahan dari kulkas ke dalam tas keresek yang sudah disiapkannya.
“Kinan, buah-buah itu tidak usah kamu bawa.”
“Maksudnya akan Kinanti kirimkan ke rumah bu Raji, karena kemarin belum sempat memberikan.”
“Biar ibu saja yang membawanya. Ibu ingin menjenguk ke sana. Lagian sudah lama ibu tidak ketemu bu Raji.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Ini sudah Kinanti masukkan ke dalam keresek besar, Kinan siapkan di sini ya.”
“Iya, nanti kalau bapak berangkat, sopir akan mengantarkan ibu ke sana.”
“Oh, ibu akan berangkat bersama Bapak?”
“Iya, sekalian jalan, tidak usah mengendarai mobil sendiri.”
“Kalau begitu Kinanti berangkat sekarang ya Bu.”
“Hati-hati naik motornya, jangan ngebut.”
“Iya Bu,” kata Kinan sambil mencium tangan ibunya.
“Bapak ada di kamar mandi,” kata sang ibu.
“Nanti ibu bilang kalau Kinan sudah berangkat ya.”
“Iya, baiklah.”
Bu Bono bersiap-siap karena pak Bono selalu datang ke rumah sakit pagi-pagi.
“Kinan sudah berangkat?”
“Sudah, Bapak di kamar mandinya lama sekali.”
“Perut agak mulas.”
“Sudah minum obat?”
“Tidak apa-apa, sudah baikan. Ibu jadi ikut?”
“Iya, tidak enak kalau tidak menjenguknya setelah mendengar bu Raji sakit.”
“Baiklah. Ibu membawa uang untuk dia berobat?”
“Sudah. Sudah ibu masukkan ke dalam amplop.”
“Bilang pada Guntur, kalau memerlukan sesuatu harus mengabari ke sini.”
“Iya, nanti ibu sampaikan. Sekarang Bapak sudah siap? Ibu ambil dulu buah yang kemarin dibeli Kinan.”
***
Baru saja Guntur memarkir motor bututnya, Wanda sudah berlarian mendekat.
“Guntur, bagaimana keadaan ibu?”
“Sudah lebih baik.”
“Nanti jadi diantar ke laborat? Aku sudah minta ijin untuk pulang saat istirahat pertama nanti.”
“Tidak usah. Ibu tidak mau.”
“Tapi dokter menyarankan untuk periksa kan?”
“Kita tidak bisa memaksanya. Aku akan membujuknya pelan-pelan. Tapi tadi keadaannya sudah lebih baik,” kata Guntur sambil melangkah pergi menuju kelasnya.
“Guntur, nanti dulu. Ini aku bawakan untuk kamu.”
“Ini apa?”
“Untuk makan siang kamu. Aku minta ibu untuk memberi lauk lebih banyak. Kalau sisa bisa kamu bawa pulang.”
“Apa-apaan sih kamu? Jangan selalu membawakan sesuatu untuk aku. Nanti bagaimana kata teman-teman kita,” kata Guntur kesal.
“Memangnya kenapa kalau kita dekat?”
“Wanda, aku tidak mau kamu bersikap begitu. Kita hanya teman. Tidak lebih.”
“Tapi bagiku kamu lebih dari seorang teman.”
Guntur terus melangkah, tapi Wanda mengikutinya. Bahkan ketika Guntur masuk, Wanda ikut masuk, dan meletakkan kotak makanan di atas meja Guntur.
“Wanda!”
Wanda melambaikan tangan dan melangkah pergi, diiringi sorak teman-teman Guntur yang sudah ada di dalam kelas. Wanda seperti tak merasa malu, dia melenggang dan keluar dari kelas sambil mengumbar senyuman.
“Enak sekali ya, dikirim makanan dari kekasih.”
“Guntur, coba buka, isinya apa?” teriak yang lain.
Guntur mengacuhkannya, sampai kemudian Kinanti mendekatinya. Ia bukannya tak tahu Wanda masuk ke kelasnya dan meninggalkan kotak makanan di atas meja Guntur. Tapi Kinanti mengacuhkannya. Ia hanya menanyakan kesehatan ibunya.
“Ibu sudah lebih baik.”
“Kemarin aku ke rumah kamu, tapi kamu sudah berangkat mengantar ibu.”
“Kamu ke rumah?”
“Dan melihat sudah ada yang mengantar ibu ke dokter.”
“Ah, itu Wanda, dia memaksa, sebenarnya aku tidak minta. Sebelumnya ibu muntah-muntah terus, jadi mau tak mau terpaksa menerima bantuan Wanda untuk mengantar.”
“Sekarang sudah baik? Ibu mau ke sana pagi ini.”
“Oh ya, ibu sudah baik. Merepotkan bu Bono saja.”
“Tidak, sudah lama ibu tidak ketemu bu Raji.”
“Guntur, minumnya ketinggalan,” tiba-tiba Wanda kembali masuk ke kelas sambil mengacungkan sebuah tumbler. Wajah Guntur muram seketika, dan Kinanti segera menjauh darinya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jengNing
DeleteYesssss
ReplyDeleteYesssss
Delete🪻🪷🪻🪷🪻🪷🪻🪷
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
JeBeBeeL_07 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam seroja😍🦋
🪻🪷🪻🪷🪻🪷🪻🪷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Matur sembah nuwun Mbak Tien
ReplyDeleteJeBeBeeL._07_sudah tayang
Sehat selalu
Salam ADUHAI dari Antapani..🙏😍
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Ning
ADUHAI dari Solo
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Hamdallah....sampun tayang
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteMatur nuwun jeng Tien salam sehat selalu
ReplyDeleteSami2mbak Yanik
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah udah tayang
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌷🌷🌷🌷🌷
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah... sehat2 sllu utk bunda Tien
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),07 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Alhamdulillah.Maturnuwun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Wanda GR....paling suk mbèn sing dadi karo Guntur ya Kinanti...sok2an..
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTerima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 07 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Gigih lho perjuangan Wanda mendekati Guntur, sampai tdk punya malu, rai gedhek😁😁 Malahan Guntur yang malu..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 07* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sehat...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Wah berani benar si Wanda itu. 'Mengumumkan' bahwa dia pacar Guntur. Tapi tidak ada yang mendukung.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat² n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulilah. Jbbl 7 sfh tayang ... terima kasih bu Tien, salam sehat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteSami2 ibu Sri
DeleteSalam aduhai 2x
Alhamdulilah. Matursuwun Bu Tien "Jbbl~7" sdh tayang ... , salam sehat dan bahagia selalu 💖
ReplyDeleteSami2 ibu Umi
DeleteSalam sehat juga
Baiklah
ReplyDeleteSaudara angkat, janganlah mengabaikan uluran tangan untuk melanjutkan sekolah karena itu janji dedi pada sahabat nya.
Repot ya Gun jaman Saiki sekolah dasare tingkatane sangang kelas, etung etungan cepet durung karuan nyandak, kuwi yèn dadi bakul kangèlan, ubyang ubyung yå durung patiyå kuat nggo kelompok komunitas, anggêr kena reruwet isiné mung udur uduran ra rampung²
Pating cruwed malah katon ora têgên.
Biasané malah nyenengake juragan; mêrgå nggoleki sisik mêlik kekeliruan.
Manuta bèn ngrasakaké kuliah.
akukan jadi bisa pdkt
bisa belajar bersama.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke tujuh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak crigis
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteWanda, bandel ya kamu dah dilarang ayahmu masih ngeyel 😁🤭
Kenapa Kinanti cemburu ya ,
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Kok ada cewek seperti Wanda ya?
ReplyDeleteTerikasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
Matur suwun bundaqu..sht2 selalu dan tetap aduhai🍰🥰❤️🌹
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Farida
Aduhai deh