Thursday, January 9, 2025

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 06

 JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  06

(Tien Kumalasari)

 

Guntur mendekat, dan menatapnya heran. Gadis cantik itu hanya tersenyum lucu. Ia berhasil membuat kaget laki-laki yang dikaguminya.

“Bukankah kamu akan mengantarkan ibu kamu ke dokter?”

“Iya, sebentar lagi. Ibu masih tidur.”

“Aku akan menunggu. Boleh aku masuk?” kata Wanda yang tanpa menunggu dipersilakan, langsung masuk dan duduk di teras rumah.

“Maksudnya … menunggu kami pulang dari dokter?”

“Tidak, aku akan mengantar ibu ke dokter.”

Guntur terbelalak.

“Kamu?”

“Iya. Kelihatan aneh? Tidak boleh?”

“Bukan begitu, mengapa repot-repot, Wanda? Rumahmu kan jauh.”

“Kamu tadi rela mengantarkan aku sampai ke rumah, sementara ibumu sedang sakit. Jadi apa salahnya kalau aku juga mengantarkan ibu kamu ke dokter,” kata Wanda enteng.

“Ya ampun Wanda. Aku bisa memboncengkannya ke dokter.”

“Jangan. Saat sore hari, udara dingin. Ibumu sedang sakit, nanti terkena angin, jadi tambah parah deh.”

Guntur bingung, mau menolak sungkan, menerima juga sungkan. Tapi kalau menolak, bagaimana, kan Wanda sudah ada di rumahnya sekarang.

Tiba-tiba terdengar suara bu Raji dari kamar. Terdengar pelan, tapi Guntur bisa mendengarnya.

“Sebentar, ibuku bangun,” kata Guntur yang segera berdiri dan bergegas masuk ke dalam.

Guntur terkejut, begitu masuk ke kamar, dilihatnya sang ibu sudah duduk di tepi ranjang, tampaknya ingin turun.

“Ibu mau ke mana?”

“Muntah, antar aku ke kamar mandi.”

Guntur memapah ibunya, yang berjalan pelan menuju kamar mandi, yang letaknya ada diluar kamar, agak ke belakang. Ia memijit-mijit tengkuk ibunya, sampai kemudian selesai menghabiskan isi perutnya.

Bu Raji tersengal-sengal ketika Guntur membawanya masuk kembali ke kamar.

“Kita ke dokter sekarang Bu, ada teman Guntur yang mau mengantarkan.”

Guntur menyiapkan baju ganti untuk ibunya, lalu melangkah ke depan menghampiri Wanda yang masih saja duduk menunggu.

“Aku mau ke dokter sekarang.”

“Baiklah, aku antarkan. Apa ibu sudah bersiap?”

“Baru ganti baju, aku juga bersiap dulu, masa pakai celana pendek begini,” kata Guntur sambil beranjak ke dalam.

Akhirnya karena khawatir sakit ibunya bertambah parah, Guntur segera mengajak sang ibu ke dokter, melupakan rasa sungkannya ketika Wanda bersedia mengantarkannya.

***

Kinanti sudah mengeluarkan mobil ibunya, bersiap pergi, ketika tiba-tiba Ardi muncul dengan sepeda motornya.

“Mau ke mana?”

“Bu Raji sakit, aku mau mengantarkannya ke dokter.”

“Bu Raji itu kan ibunya Guntur?”

“Iya, katanya mau dibawa ke dokter sore ini.”

“Kalau begitu aku ikut. Biar aku yang bawa mobilnya, nitip sepeda motorku di sini ya?”

“Ya sudah, langsung masukkan ke garasi saja,” kata Kinanti yang mau tak mau bersedia mengajak Ardi.

Setelah Ardi memasukkan motornya ke garasi, ia lalu menyalami bu Bono yang muncul di teras, dan merasa senang karena Kinanti bakal ada temannya.

“Syukurlah. Aku sebenarnya khawatir kalau Kinanti setir mobil sendiri,” kata bu Bono. 

"Apalagi nanti pulangnya pasti hari sudah gelap," lanjutnya.

“Kebetulan sekali, karena Guntur juga teman saya, jadi saya ikut ke sana sekalian,” kata Ardi setelah mencium tangan bu Bono.

“Baiklah Nak, hati-hati ya. Jangan lupa beli buah-buahan untuk bu Raji,” pesan bu Bono.

Kinanti dan Ardi mengangguk, dan tak lama kemudian mobil yang mereka kendarai sudah meluncur di jalan raya, menuju ke rumah Guntur.

“Sakit apa bu Raji?”

“Entahlah. Tadi Guntur hanya mengatakan bahwa setelah ayahnya meninggal, ibunya sakit-sakitan.”

“Semoga sakit biasa saja, tidak seperti almarhum pak Raji dulu, sakitnya sudah amat parah.”

“Kesedihan yang mendalam, bisa membuat orang jadi sakit,” gumam Kinanti.

“Benar. Karena itu jangan sampai kamu sedih.”

“Nggak, kenapa aku harus sedih?”

“Karena tadi Guntur pulang bersama si ganjen itu.”

“Ah, kamu tuh ya, sukanya ngarang. Sebel !”

“Kelihatan lhoh, kalau kamu sedang sedih.”

”Bohong.”

“Eh, tunggu. Bukankah itu rumah Guntur?”

“Benar, yang di depannya ada pohon trembesi.”

Tapi ketika mobil Kinanti sampai di depan pintu pagar, mereka melihat bu Raji sedang di papah Guntur masuk ke dalam sebuah mobil.

Ardi menghentikan mobilnya agak maju, di samping pagar. Kinanti urung turun dari mobil, ketika melihat Wanda sedang membantu memapah bu Raji agar duduk dengan nyaman di belakang.

“Wanda?”

“Terus saja Ar, terus, jangan sampai mereka melihat kita,” seru Kinanti.

Ardi menjalankan mobilnya pelan.

“Bagaimana? Nyamperin mereka?”

“Tidak, kita pergi saja. Cepat, jangan sampai mereka melihat kita.”

Ardi mempercepat laju mobilnya, lalu menuju ke arah jalan yang entah kemana, karena Kinanti tampak tak ingin bertemu mereka.

“Sebenarnya tadi nggak apa-apa kalau kita mendatangi mereka.”

“Tidak Ardi. Ayo kita jalan-jalan saja.”

“Jalan-jalan?” kata Ardi setengah bersorak. Betapa menyenangkan jalan-jalan bersama gadis yang disukainya.

“Bagus sekali. Kita belum pernah jalan bersama. Nanti aku traktir kamu makan.”

Kinanti tersenyum. Ia bukan tak tahu apa yang dipikirkan Ardi. Pasti Ardi sangat senang diajaknya jalan-jalan. Tapi bukan karena Kinanti suka jalan bersama Ardi. Ia hanya ingin menghilangkan rasa kesalnya, ketika melihat Wanda sudah lebih dulu mendatangi rumah Guntur, dan tampaknya siap mengantarkan ibunya ke dokter.

Matahari sudah condong ke barat dan hampir bersembunyi di balik gunung ketika Ardi menghentikan mobilnya di dekat sebuah taman.

Kinanti yang memintanya. Lalu keduanya duduk di sebuah kursi panjang yang ada di taman itu, yang terlindung dari sinar matahari yang tersisa.

 “Kita seperti lagi pacaran saja.”

“Jangan geer kamu,” cemberut Kinanti.

“Kan aku bilang ‘seperti’. Suka banget marah sih kalau sama aku,” kesal Ardi yang wajahnya kemudian juga menjadi muram.

Kinanti menatapnya sambil tersenyum. Tiba-tiba ia merasa selalu bersikap ketus terhadap Ardi. Tak ada ramah-ramahnya. Apa dosa Ardi, coba? Bukankah Ardi sangat baik?

“Kamu marah? Tahu nggak sih, kamu kalau cemberut begitu, wajahmu jadi sangat jelek?” goda Kinanti.

“Aku? Jelek?” tiba-tiba Ardi mengelus rambutnya, mengacaknya sedikit dan Kinanti harus mengakui, kalau Ardi sebenarnya sangat tampan. Guntur bukan apa-apanya kalau soal wajah. Tapi sayangnya hatinya sudah terpikat pada sosok Guntur yang entah bagaimana perasaannya terhadap dirinya.

“Ardi, kenapa kamu acak-acak rambutmu sih?”

“Bertambah jelek ya?”

“Bukan. Tampak seperti habis dijambak orang,” canda Kinanti.

“Kalau aku kelihatan seperti habis dijambak orang, paling-paling kamu yang mendapat nama jelek.”

“Aku? Kenapa?”

“Ya iya lah. Pasti mereka bilang begini: “Ya ampuun, pacarnya si ganteng itu galak banget ya, cantik-cantik galak. Masa pacar sendiri dijambakin rambutnya.”

Kinanti meraih tas tangannya, dipukulkannya ke arah lengan Ardi.

“Masa aku galak? Lagiaaan, siapa pacar siapa?”

Ardi malah cengengesan melihat Kinanti marah-marah.

“Nggak, aku bercanda. Mana mungkin kamu mau menjadi pacarku. Aku tahu hati kamu hanya pada Guntur,” kata Ardi seperti putus asa.

“Kamu itu sudah digalaki, masih saja mau dekat-dekat sama aku. Nggak bosan-bosannya diomelin.”

“Kan aku punya cinta tulus. Yang namanya cinta itu, biar kekasihnya marah, biar ngomel, tetap saja cinta.”

“Semakin kacau kamu nih. Ayo kita pulang,” ajak Kinanti sambil berdiri.

“Kita shalat di masjid, lalu aku traktir kamu.”

“O iya aku lupa, tadi kamu bilang kalau mau mentraktir aku, kan ya.”

“Ayuk kita pergi dari sini, saatnya hantu-hantu gentayangan,” kata Ardi sambil bergegas berjalan mendahului.

Tiba-tiba Kinanti teringat saat tidak dibukain pintu ketika malam-malam pulang sehabis menyanyi di Balai Kota. Di teras yang lampunya redup, lalu gelap gulita di halaman, dan pohon trembesi besar di depan rumahnya tampak hitam seperti hantu. Merinding bulu kuduknya.

“Kinanti, ayo!!” Teriak Ardi yang sudah berjalan mendahului, lalu menoleh dan melihat Kinanti masih tegak di tempatnya berdiri,

Kinanti baru sadar, lalu setengah berlari menghampiri Ardi.

***

“Kinan, aku sudah berusaha menghibur kamu, mengajak jalan-jalan, mentraktir makan, bersikap konyol seperti badut, tapi wajahmu masih tampak murung begitu,” kata Ardi ketika mereka sedang makan di sebuah warung sate ayam.

Kinanti mengangkat wajahnya. Masa dirinya tampak murung?

“Kamu benar-benar sedih, melihat kedekatan Wanda dan Guntur?”

“Tidak, jangan ngarang kamu. Dengar ya, aku tak mau bersaing.”

“Benar?”

“Benarlah, kalau memang itu mau mereka, terserah saja.”

“Kalau begitu, tersenyum dong.”

“Dari tadi aku sudah tersenyum lhoh.”

“Tapi kecut.”

“Bisa aja. Sudah, habiskan makanan kamu, lalu pulang.”

Kinanti benar-benar menyembunyikan kekesalannya. Kalau saja dia tahu bahwa Wanda akan mengantarkan ibu Guntur ke dokter, dia tidak akan bersusah payah meminjam mobil ibunya. Tapi sebenarnya dia merasa beruntung, karena ada Ardi menemaninya, dan dengan begitu rasa kecewa yang menindihnya menjadi sedikit berkurang.

***

Begitu sampai di rumah, Ardi langsung pamit pulang. Sambil tersenyum Kinanti mengantarkan Ardi sampai ke depan.

“Bagaimana keadaan bu Raji?” tanya ayahnya.

Kinanti bingung untuk menjawabnya. Kan dia belum ketemu bu Raji, mana mungkin tahu tentang keadaannya?

“Parahkah?” sambung ibunya.

“Sebenarnya tadi Kinanti tidak jadi mengantarkannya ke dokter,” jawab Kinanti yang tidak ingin lagi berbohong. Kebohongannya sudah dihabiskannya ketika ia sering berlatih band bersama teman-temannya, dan sekarang dia tak ingin melakukannya lagi.

“Tidak jadi? Mengapa? Maksudnya tidak jadi ke dokter karena sakitnya tidak begitu parah?”

“Ada yang sudah mengantarkannya ke dokter, jadi Kinanti pulang saja. Sebelum ketemu mereka.”

“Bagaimana kamu ini, mengapa tidak mendekat dan menanyakan keadaannya?”

“Nggak enak rasanya. Besok saja Kinanti bertanya sendiri pada Guntur.”

“Bukankah kamu tadi ibu suruh beli buah-buahan untuk bu Raji?”

“Sudah beli. Besok pagi saja Kinanti antarkan ke rumahnya.”

“Lalu kenapa kamu perginya lama sekali?” tanya sang ibu.

“Tadi diajak Ardi makan. Hanya sebentar kok.”

“Malah jalan-jalan sendiri. Ya sudah, tapi jangan lupa besok ditanyakan keadaannya. Sepertinya bu Raji itu setelah kehilangan suaminya lalu sakit-sakitan. Ketika aku memberikan uang pada Guntur, dia mengatakannya begitu.”

“Oh iya, tadi Guntur memberikan kwitansi pembayaran sekolah dan uang ujian. Saya serahkan ibu.”

“Sudah ibu letakkan di meja kerja Bapak,” sahut sang ibu.

“Ya sudah. Sebetulnya kan tidak perlu, tapi Guntur ingin menunjukkan bahwa uang itu benar-benar dipergunakan untuk keperluan sekolahnya. Anak baik. Kapan kalian ujian?”

“Bulan depan.”

“Harus rajin, dan lulus. Bapak ingin kalian menjadi dokter.”

Kalian? Berarti sang ayah akan menyuruh dirinya dan Guntur melanjutkan ke fakultas kedokteran? Kinanti menatap ayahnya.

“Itu benar. Itu keinginan bapak. Ingat, tahun depan bapak sudah pensiun. Bapak ingin kalian menjadi orang.”

“Iya Pak, semoga Kinanti bisa mewujudkan keinginan Bapak itu.”

***

Wanda memapah bu Raji keluar dari ruangan dokter. Dia tampak sangat perhatian. Dia juga yang tadi membayar uang periksa ke dokter ahli penyakit dalam. Dokter menyuruhnya periksa laboratorium, dan karenanya bu Raji diharapkan mau opname. Tapi bu Raji menolak. Pasti akan sangat memberatkan biaya opname, belum pemeriksaan ini dan itu.

“Kita langsung ke rumah sakit ya Bu, kan sudah diberi pengantar oleh dokter?” bujuk Guntur.

“Tidak. Ibu mau pulang saja.”

“Di rumah sakit akan diperiksa dan diberi pengobatan yang pas supaya ibu cepat sembuh,” sambung Wanda.

“Tidak usah. Ibu mau pulang saja. Tolong, jangan memaksa,” kata bu Raji memelas.

Karenanya mereka langsung mengantarkan bu Raji pulang. Tapi Wanda mampir ke apotik karena dokter memberikan resepnya.

Guntur merasa sungkan, karena semua-semuanya Wanda yang bayar.

“Wanda, mengapa kamu melakukan semua ini?”

“Sudah, jangan pikirkan. Ayo kita pulang. Nanti sesampai di rumah, kamu kembali ke apotik untuk mengambil obatnya,” kata Wanda enteng, sambil kembali menjalankan mobilnya.

Ketika Guntur kembali dengan sepeda motor untuk mengambil obatnya, Wanda menemani bu Raji yang sudah berbaring di kamarnya.

“Nak Wanda, mengapa melakukan semua ini? Kita belum pernah saling kenal, tapi nak Wanda sangat perhatian pada saya.”

“Tidak apa-apa Bu, meskipun kita belum saling kenal, tapi saya adalah teman dekat Guntur.”

“Tapi ini sangat membuat kami sungkan.”

“Jangan memikirkan apapun. Besok Wanda akan minta ijin pulang cepat untuk mengantarkan ibu periksa ke laborat.”

“Jangan, tidak mau. Ibu tidak mau periksa. Ibu kan tidak sakit apa-apa.”

“Bu, ibu harus mau. Demi kesehatan ibu. Kalau ibu sudah periksa, akan ketahuan penyakit ibu, jadi obat yang diberikan juga lebih tepat.”

“Tapi bayarnya mahal Nak, kami orang tidak mampu.”

“Janganlah ibu memikirkan biaya, bukankah ibu akan menjadi mertua saya?” kata Wanda tiba-tiba, membuat bu Raji terkejut.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

61 comments:

  1. 🌸🍀🌸🍀🌸🍀🌸🍀
    Alhamdulillah 🙏💞
    JeBeBeeL_06 sdh tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai🦋😍
    🌸🍀🌸🍀🌸🍀🌸🍀

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Layu telah tayang

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien
    Salam sehat dari Purwodadi Grobogan.

    ReplyDelete
  4. 🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
    Salam ADUHAI....
    Alhamdulillah..🙏🙏🙏

    *JANGAN BIARKAN*
    *BUNGAKU LAYU 06.*

    sudah ditayangkan.
    Terima kasih bu Tien, semoga Bu Tien tetap sehat dan selalu istiqomah menyalurkan hoby menulisnya untuk kita semua. Aamiin yaa Robbal'alamiin🤲🤲
    🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Nuwun mas Kakek
      ADUHAI

      Delete
  5. Matur nuwun Bunda Tien,mugi tansah pinaringan kasarasan

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),06 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  7. Selamat malam bunda..terima ksih cerbungnya🙏salam sehat selalu dan slnt istrhat🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  8. Alhamdulilah jbbl 06 sdh tayang, maturnuwin bu Tien... smg bu Tien sll sehat , salam hangat dan aduhai aduhai bun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Nuwun ibu Sri
      Aduhai 2x

      Delete

  9. Alhamdullilah
    Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 06* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  10. Tur Suwun JBBL nya Bu Tien

    Sehat” selalu Bu Tien n klg bsr nya ….🤝🙏

    ReplyDelete
  11. Maturnuwun Bu Tien .... semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah.Maturnuwun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun jeng Tien tetep semangat dalam.karya

    ReplyDelete
  14. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda selalu sehat

    ReplyDelete
  15. Blm apa" sdh mengatakan akan menjadi mertua, ih cewek ko kegenitan bgt si kamu Wanda

    Mks bun JBBL 06 nya....selamat mlm selamat istirahat bun, smg sll sehat, bahagia bersama kelrg...aamiin yra 🤲🤲

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien .🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  17. Wanda terlalu ngarepdotcom... jadi menantu bu Raji. Tapi baik juga kalau mau membantu orang tidak mampu.
    Ayah Kinan rupanya juga sangat perhatian. Yang repot tentunya Guntur, merasa hutang budi , bagaimana cara membalasnya kelak.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia selalu dari Yk...

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya

    Waduh berani sekali Wanda, mau jd mantunya,,,
    Kinanti cemburu ya ...

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillaah "Jangan Biarkan Bungaku Layu-06" sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin

    ReplyDelete
  21. Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 06 Layu...sampun tayang.
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin

    Ardi berusaha untuk mencuri perhatian nya Kinanti, begitu juga Wanda berusaha mencuri perhatian nya Guntur, tapi Wanda kok kelihatan overacting ta, terlalu berlebihan dia.
    Berhasilkah mereka ya, dalam rangka merebut perhatian tsb..😁😁💐

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Gimana si wanda membuat bu raji yg sakit terkejut nanti tambah pusing lagi

    ReplyDelete
  23. Wanda
    Hadeeh pede amat kau ini
    Cewek gak tau malu bnr yah
    Mksh bunda Tien

    Moga sehat selalu doaku bunda
    Ttp semangat dan ADUHAI

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya
    Semoga bu tien sehat² n tetap semangat

    ReplyDelete
  25. Tuh kan kesruduk sampai kagèt, nggak pakai basa basi tembak langsung.
    Sama; belum tentu ortu Wanda setuju, tapi jelas ada udang dibalik nya batu.
    Anak muda kalau lagi ada rasa udah.
    Kejelasan, itu lho..
    Waduh yang lagi dapat béa siswa harus nunggu selesai, maen petak umpet gitu..
    Emang enaknya kalau disayang dari pada harus mencintai; walau apapun alasannya, baper, apa itu, menbingungkan.
    Rupanya hukuman yang bikin trauma, menimpa Kinan terlalu dalam mengendap, tanpa ada penyelesaian psikologi kejiwaan; tidak berani mengambil sikap, kemandirian, luntur.
    Hé hé hé kåyå kampanye waé; 'pejah gesang dèrèk ngarså dalem.'
    Tergantung apa menggantung.

    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke enam sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Crigis

      Delete
  26. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien

    ReplyDelete
  27. Hatur nuhun. Bundaqu..slm sht sll unk bunda🙏🥰❤️🌹

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 18

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  18 (Tien Kumalasari)   Kinanti bangkit dari tempat duduknya, berharap kalau sewaktu-waktu Guntur bangun, tak ...