JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 05
(Tien Kumalasari)
Wanda belum pernah mendengar kalau Guntur terlahir dari keluarga miskin. Penampilannya selalu bersih dan rapi. Dia juga selalu bersikap baik kepada semua orang. Dia pintar, karenanya banyak teman-teman gadis, bahkan dari lain jurusan yang pura-pura menanyakan banyak hal, hanya karena ingin berbincang dengan dirinya.
Tapi keadaan Guntur yang katanya miskin tidak mengurangi rasa suka di hati Wanda.
“Ya sudah, kita harus kembali ke kelas. Ini pelajaran Kimia, aku tidak boleh terlambat,” kata Guntur sambil berdiri. Ia beranjak ke kasir tapi Wanda mendorongnya menjauh.
“Aku yang bayar,” katanya sambil tersenyum.
“Biar aku saja, ini ada,” kata Guntur.
Tapi Wanda nekat membayarnya. Kemudian mereka bergegas kembali ke kelas masing-masing.
“Sudah terlambat,” gumam Guntur yang segera berlari meninggalkan Wanda karena kelasnya berbeda.
Untunglah guru kimia belum datang. Tapi begitu masuk, teman-temannya sekelas bersorak meledeknya.
“Kelamaan pacaran,” seru salah seorang teman.
“Baru tahu kalau Guntur pacaran dengan anak IPS,” teriak Yuli, sahabat Kinanti, yang kebetulan duduk di samping Kinanti.
“Tidak, siapa yang pacaran?” sergah Guntur.
“Yaaah, tadi berduaan dibawah pohon, kayaknya romantis deh,” lalu kelas menjadi riuh. Untunglah pak guru segera datang, sehingga kegaduhan menjadi berhenti.
Ada rasa sakit di hati Kinanti, kalau benar Guntur memang pacaran. Tapi kemudian dia memarahi dirinya sendiri. Mengapa harus sakit? Guntur bukan apa-apanya. Ia bahkan sudah menjadi saudara angkat bukan? Tapi mengapa ada rasa yang berbeda?
“Kinanti! Kamu melamun?” bisik Yuli yang ada di sebelahnya.
Kinanti terkejut. Ia memang melamun. Keterlaluan. Harusnya dia tidak memikirkannya. Banyak teman cowok yang menaksirnya, tapi Kinanti hanya tertarik pada Guntur seorang.
Guru sedang menuliskan rumus-rumus kimia dan Kinanti baru menyadarinya.
Ardi yang duduk dibelakangnya mencolek dengan ujung penggaris.
“Awas saja kalau ketahuan melamun, bisa kena hukuman kamu,” bisiknya.
Kinanti menoleh dan cemberut, tapi Ardi malah cengengesan.
Dua pelajaran terakhir sudah selesai. Kinanti beranjak keluar, tapi seseorang memanggil namanya.
“Kinan, aku mau nitip,” katanya sambil membuka tas sekolahnya.
“Nitip apa?”
“Ini kwitansi pembayaran uang ujian. Sudah aku bayarkan kemarin. Sebenarnya aku mau ke rumah untuk ketemu bapak, tapi ibuku sakit.”
“Ibumu sakit?”
“Akhir-akhir ini sering sakit. Semenjak bapak meninggal," katanya sedih.
“Sudah ke dokter?”
“Belum.”
“Bawa ke dokter kalau memang sakit, supaya tidak terlanjur menjadi sakit yang lebih berat.”
“Iya, nanti sore aku ajak ke dokter saja.”
“Aku antar ya? Biar nanti diantar sopir pakai mobil.”
“Tidak usah. Nanti aku boncengin saja.”
“Kan lagi sakit. Nanti sore aku ke rumah kamu.”
“Guntur, kamu naik apa?” tiba-tiba Wanda sudah ada diantara keduanya, berdiri sangat dekat disamping Guntur, membuat Guntur kemudian agak menjauh.
“Biasa, naik sepeda motor butut,” sahut Guntur.
“Aku bareng ya, aku nggak dijemput siang ini.”
“Aku naik sepeda motor jelek. Apa kamu nggak malu?”
“Enggak lah, nggak apa-apa. Ya, ikut ya?”
“Guntur itu ibunya lagi sakit, penginnya segera sampai rumah. Kalau_”
“Guntur saja nggak menolak, kenapa kamu ribut?”
“Aku nggak ribut,” kata Kinanti kesal.
Wanda menatap Kinanti dengan marah.
“Baiklah, ayo. Aku mau pulang sekarang. Kinan, jangan lupa pesanku, sampaikan kepada pak Bono ya.”
“Iya,” kata Kinanti sambil berlalu. Kesal melihat sikap Wanda yang nekat, sementara Guntur sedang ada masalah tentang ibunya yang sakit.
Dhani dan Fitria mendekati Kinanti yang bergegas keluar dari halaman sekolah.
“Kenapa gadis genit itu tadi?” tanya Fitria.
“Nggak tahu tuh. Guntur ibunya sakit, dia pengin buru-buru pulang, tapi Wanda maksa minta bonceng,” gerutu Kinanti.
“Maksudnya di suruh nganter ke rumah dia dulu?” tanya Dhani.
“Pastinya.”
“Rumah Wanda itu jauh. Kalau Guntur ke rumah dia dulu, dia harus muter.”
“Biar saja, Guntur juga mau kok.”
“Pasti karena sungkan menolak, Guntur kan orangnya baik.”
Ketika itu Guntur melintas, keluar dari halaman sekolah, sedangkan Wanda membonceng dibelakangnya, berpegang erat pada pinggangnya.
“Ya ampuuun, gila tuh Wanda. Seperti orang yang sudah benar-benar menjadi pacar saja,” kata Dhani.
Kinanti juga melihatnya, tapi kemudian mengacuhkannya.
“Ya sudah. Biarkan saja. Ayuk ke rumahku, Kinan,” ajak Fitria.
“Iya, ayuk latihan. Nanti untuk perpisahan sekolah,” sambung Dhani.
“Aku nggak mau lagi. Sudah, cukup,” kata Kinan.
“Memangnya kenapa? Kelihatannya ayahmu tidak kelihatan marah sama kamu.”
“Bukan apa-apa, aku hanya nggak ingin lagi,” katanya sambil mengambil sepeda motornya.
“Yaaah, sayang banget. Kamu kelihatan tidak bersemangat gitu. Pasti sebenarnya ayahmu marah, ya kan?” kata Dhani.
“Tidak. Sungguh, aku yang nggak ingin lagi.”
“Padahal ada anak band yang suka sama kamu lhoh,” sambung Dhani yang sepeda motornya diparkir dekat sepeda motor Kinanti.
“Eeh, anak band yang mana?”
“Namanya Zaki, itu lhoh, yang dulu band nya main sama kita di sekolah.”
“Yang pegang drum. Bener lhoh, dia ganteng. Tinggalin tuh Guntur, terlalu banyak saingan. Nanti kamu malah sakit.”
“Ayolah Kinan, besok sekolah kita juga akan memanggil band dia lagi. Mereka itu alumni sekolah kita juga.”
“Aduuh, nggak ya, jangan maksa deh.”
“Kenapa … kenapa??” teriak Yuli yang datang belakangan.
“Itu, Kinanti nggak mau menyanyi lagi.”
“Benarkah?”
“Iya, kamu cari aja yang lain, aku pamit deh,” kata Kinanti sambil menstarter sepeda motornya.
Ketiga sahabatnya hanya geleng-geleng kepala.
“Pasti ayahnya melarang keras dan Kinanti tak lagi berani melakukannya,” kata Fitria.
“Betul. Ya sudah, jangan dipaksa. Kita cari yang lain saja.”
***
Memang benar, Guntur memboncengkan Wanda karena sungkan menolak, padahal dia benar-benar sedang tergesa-gesa, dan lagi rumah Wanda tidak sejalan dengan rumahnya, jadi harus muter.
“Tadi kamu memberi surat apa pada Kinanti?” tanya Wanda yang terus saja melekat di punggung Guntur.
“Surat apa?”
“Tadi, kamu seperti memberikan amplop.”
“Bukan surat untuk Kinanti. Isinya kwitansi pembayaran SPP dan uang ujian.”
“Mengapa kamu berikan pada Kinanti?”
“Yang memberi uang kan ayah Kinanti, jadi aku harus menunjukkan bukti bahwa aku sudah membayar.”
“O, gitu ya? Baik sekali ayah Kinanti. Pasti kamu akan dijadikannya menantu.”
“Ah, tidak. Kan aku sudah bilang, orang tuaku miskin, tidak kuat menyekolahkan aku.”
“Dia melakukannya, pasti karena punya maksud tertentu,” tuduh Wanda.
“Ah, apa yang diharapkan dari seorang laki-laki seperti aku? Mereka orang berada, kalaupun cari menantu pastilah mencari yang sederajat.”
“Kalau kamu mau, aku bisa kok ikut membantu membayar sekolah kamu.”
“Ah, tidak. Mengapa kamu? Pak Bono itu sahabat almarhum ayahku, dia melakukannya karena mereka sahabatan.”
“O, begitu. Mampir beli rujak dulu yuk,” tiba-tiba kata Wanda.
“Maaf Wanda, aku harus buru-buru. Ibuku sakit,” kata Guntur tanpa memperlambat sepeda motornya.
“Oh, maaf, aku nggak tahu. Apa sudah dibawa ke dokter?”
“Nanti sore, mau aku antarkan ke dokter.”
“Ya sudah, maaf aku nggak tahu,” kata Wanda. Padahal tadi Kinanti sudah mengatakannya.
“Kejauhan ya? Aku sudah tahu di mana rumahmu, apa kamu pulang langsung saja, aku berhenti di sini," lanjutnya.
“Gimana sih, ini sudah hampir sampai kan?” kata Guntur, sedikit kesal.
“Aku bisa naik ojol atau minta dijemput.”
“Nggak apa-apa, nanggung.”
“Maaf ya Gun, aku jadi merepotkan.”
“Tidak apa-apa.”
Walau kesal, Guntur mengantarkan Wanda sampai ke rumah, kemudian langsung pulang karena mengkhawatirkan keadaan ibunya.
***
TAK INGIN BERSAING
Ketika sampai di rumah, Kinanti menyerahkan amplop berisi kwitansi kepada sang ibu, karena ayahnya belum pulang.
“Ini apa?” tanya bu Bono.
“Sepertinya kwitansi pembayaran sekolah. Sedianya Guntur mau ke rumah untuk menyerahkannya sendiri, tapi dia harus buru-buru pulang, karena ibunya sakit.”
“Ibunya sakit? Sakit apa?”
Kata Guntur, semenjak ayahnya meninggal, ibunya sakit-sakitan.
“Kasihan, sudah ke dokter?”
“Belum, tapi katanya sore ini mau ke dokter.”
“Iya, sebaiknya begitu.”
“Nanti pinjam mobil ya Bu, saya ingin ikut mengantarkan bu Raji ke dokter.”
“Suruh sopir mengantarkan.”
“Sudah sore, biar Kinanti saja.”
“Ya sudah terserah kamu, tapi harus hati-hati.”
Kinanti merasa senang. Ia harus bisa merebut hati Guntur. Kalau Wanda hanya bisa mendekati Guntur saat sekolah, Kinanti akan langsung mendatanginya di rumah. Perhatian kepada bu Raji pasti akan membuat Guntur lebih mengerti, bahwa dirinya tidak hanya memikirkan Guntur, tapi juga keluarganya.
Tapi bayangan ketika Wanda membonceng Guntur sambil berpegang pada pinggangnya, membuat wajahnya muram. Kelihatan sekali kalau Wanda mengejar-ngejar Guntur.
***
Ketika memasuki rumah, Guntur tak melihat ibunya duduk di ruang tengah seperti biasanya. Ia masuk ke kamar ibunya, dan sang ibu tampak terbaring sambil memejamkan mata.
“Ibu,” kata Guntur sambil mendekat.
“Kamu baru pulang?” tanya sang ibu lemah.
“Iya, tadi mengantarkan teman terlebih dulu. Bagaimana keadaan ibu?” tanya Guntur sambil memegang lengan sang ibu.
“Tadi demam, lalu sempat muntah-muntah. Tapi tidak apa-apa. Ibu hanya masuk angin saja. Kamu jangan khawatir. Kamu ganti baju dan makanlah, ibu sudah siapkan di meja.”
“Kalau sakit, ibu tidak usah repot-repot masak untuk Guntur. Nanti Guntur beli lauk matang saja. Hanya kita berdua,” kata Guntur sambil menyelimuti tubuh ibunya.
“Tidak apa-apa, hanya sayur bening sama tahu bacem. Ganti baju sana. Cuci kaki tangan juga.”
“Iya. Nanti sore kita ke dokter ya Bu.”
“Tidak usah, buang-buang uang saja.”
“Tidak apa-apa. Kesehatan ibu lebih penting. Guntur masih punya uang. Pak Bono memberi uang saku untuk Guntur, tidak pernah Guntur belanjakan.”
“Pakai saja untuk kebutuhan kamu sendiri.”
“Ibu jangan bandel ya, pokoknya nanti ke dokter. Sekarang Guntur mau ganti baju dulu. Ibu makan, Guntur bawa ke kamar ya.”
“Tidak usah, ibu sudah makan.”
“Kalau ibu tidak mau, Guntur juga tidak mau makan.”
“Ya sudah, ibu tidak mau makan di kamar, ibu temani kamu di ruang makan.”
“Baiklah.”
Nyatanya setelah duduk di ruang makan, bu Raji hanya bisa makan sedikit.
“Mengapa hanya sedikit Bu, makan yang banyak, biar cepat sehat.”
“Ibu kan sudah bilang, tadi sudah makan. Kalau kebanyakan, rasanya mual, nanti muntah-muntah lagi.”
“Ya sudah nanti makan lagi ya.”
“Gampang, kamu itu tidak usah mengurusi ibumu ini. Kamu kan sudah capek sekolah, lagi pula sudah mau ujian, nanti kamu tidak lulus, bagaimana?”
Guntur tertawa pelan.
“Ibu tidak usah khawatir. Guntur belajar dengan baik, dan tidak akan mengecewakan ibu.”
“Kalau kamu tidak lulus, bukan hanya ibu yang kecewa, tapi juga keluarga pak Bono yang sudah berbaik hati membiayai kamu.”
“Iya, Guntur tahu kok Bu. Sebenarnya setelah lulus, Guntur ingin mencari pekerjaan saja. Tapi tampaknya pak Bono tidak mengijinkan. Guntur harus melanjutkan kuliah. Tapi sungkan ya Bu, kuliah itu biayanya kan tidak sedikit.”
“Iya juga sih Gun, tapi ya sudah terserah kamu saja. Mana yang terbaik, itulah yang harus kamu jalani. Sekarang ibu mau istirahat dulu ya,” kata bu Raji yang badannya terasa tidak enak, tapi tidak mau berterus terang kepada anaknya.
“Iya, ibu istirahat dulu. Nanti sore kita ke dokter,” kata Guntur sambil melanjutkan makan.
Setelah dia membereskan sisa makanan dan mencuci semua piring kotor, Guntur kembali ke kamar ibunya. Dilihatnya sang ibu terbaring sambil memejamkan matanya. Guntur mendekat, dan ketika dia merasa bahwa ibunya tidur, perlahan Guntur keluar dari kamar.
Guntur sedikit gelisah memikirkan keadaan ibunya. Wajahnya yang pucat, menunjukkan bahwa dia benar-benar sakit. Tapi sang ibu selalu mengatakan bahwa dia baik-baik saja.
Ia duduk di ruang tengah, yang letaknya diluar kamar ibunya. Tapi tiba-tiba ia mendengar suara mobil berhenti di halaman.
“Kinanti rupanya nekat mau mengantarkan ke dokter,” gumam Guntur sambil berdiri. Tapi ketika seseorang keluar dari dalam mobil, bukan Kinanti yang terlihat, tapi Wanda.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteYesss juga jeng In
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteNuwun mas Kakek
DeleteHamdallah....sampun tayang
ReplyDeleteInggih pak Munthoni
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Delete🍒🫐🍒🫐🍒🫐🍒🫐
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
JeBeBeeL_05 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam seroja😍🦋
🍒🫐🍒🫐🍒🫐🍒🫐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Sari
Alhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endah
Alhamdulilah sudah tayang. Sehat sejat ya bu Tien.. salam hangat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur nuwun salam sehat kagem jeng Tien
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiiik
DeleteSalam sehat juga
Mks bun JBBL 5 sdh tayang,.....selamat mlm bun sehat"selalu ya
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Suproyati
Kemana aja nih
Selamat mlm bundaku..terima ksih cerbungnya🙏salam sehat dan aduhai dri skbmi🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farids
DeleteSalam aduhai dari Solo
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 05* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Wedeye
Matur nuwun tayangannya bunda Tien, sehat2 selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Wiwik
Terima kasih, ibu Tien...salam sehat selalu.🙏🏻
ReplyDeleteSami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 05 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Mantab...Wanda sdh mencuri start dengan datang ke rumah Guntur lebih awal, tapi sebentar lagi Kinanti juga datang.
Dua cewek bersaing ketat ingin merebut perhatiannya Guntur.
Tapi Guntur pilih yang mana ya 😁😁
Inilah masa masa sekolah yang paling berkesan. Dadi kelingan jaman Inyonge sekolah SMA mbiyen 😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Munthoni
Alhamdulillah.Maturnuwun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Herry
Alhamdulillaah JBBL -05 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, Sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Ting
Alhamdulillah, sehat selalu mbakyu❤
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Kun
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Salamah
Bersaing memperebutkan cowok?? Tidak usahlah ya.. biar saja Wanda mendekati Guntur,
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Latief
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteJANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 05 sdh tayang
Terima kasih bu tien, semoga bu tien sehat² selalu n tetap semangat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Arif
Biasa jalu biasané sok gengsi åpå manèh ånå sing ngandhakaké, bakal di pèk mantu.
ReplyDeleteMalah jaga jarak; alasané kaé sahabaté bapaku, cèn pêrlu digenahaké.
Yèn mung baper baperan repot, masalahé ana harapan kira kira mbésuké.
Isiné mung etang etung bathi rugi yå blenger, yèn ikhlas yå tenanan olèhé ikhlas.
Rasah umyeg/serik ngrereget pikiran nggawé awak remuk déwé, lha yèn nganti saben saben kepikiran, åpå manèh kedadèn kapan bisa waras, kadang perlu ke bilik merenung.
åpå kuwi? As embuh, karepku ora nggembol serik.
Lha yèn kedaden mbésuké dadi sisihané, terus kèlingan masa lalu yang indah, glewar piyé.
Mbok yå wis bèn pancèn pilihané ngono, rangrasaké mung ndelok; yå kêndêl alok.
Yå olèhé njiret aja njlimet², yèn kênå, dielikaké, yèn karepé ngono mbok wis, loos.
Pikiran rasah ngunder sing èntuké mung kåyå ngopi, wé ora nganggo gulå
Sok mênditå
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke lima sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Crigis
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),05 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Uchu
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Reni
Kalo gak mau nyanyi bersama group, ya nyanyi aja di kamar mandi.....
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien, salam sehat selalu
ReplyDeleteSami2 ibu Umi
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteBersaing ya , Wanda dan Kinanti.
Ingat zaman SD , ketua kelasku dah cakep ,juara sekolah , tajir , jd idola , cewek2 bnyk suka
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Ika
Alhamdulillah...
ReplyDeleteAwas sj Wanda ..kasihan Kinanti
Syukron nggih Mbak Tien ..tetep sehat sehat sehat Aamiin🌷🌷🌷🌷🌷
Aamiin Yas Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Susi
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMantul
ReplyDelete