JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 08
(Tien Kumalasari)
Sorak beberapa teman yang ada dikelas membuat riuh suasana, sementara Wanda tersenyum-senyum tanpa malu sambil melambaikan tangan.
Guntur menatapnya kesal. Ia berteriak memanggil.
“Wanda, bawa kembali semua ini!”
Wanda hanya menoleh sambil masih tersenyum penuh arti.
“Guntur, tidak perlu malu atas celoteh teman-temanmu itu. Tak ada yang tahu apa yang terjadi diantara kita,” katanya sambil terus menuju pintu keluar.
“Wandaaa! Bawa kembali! Aku tidak membutuhkannya!!”
Tapi Wanda sudah lenyap di balik pintu, dan teman-temannya masih saja riuh mengejeknya.
Wajah Guntur gelap seperti mendung. Ia ingin membuang barang-barang itu ke tempat sampah. Tapi diurungkannya. Bukan karena ingin memakan dan meminumnya, karena itu adalah makanan. Dia akan memberikannya kepada tukang kebun sekolah nanti. Pasti akan bermanfaat.
“Kenapa Gun? Kamu malu?” ejek salah satu temannya.
“Tidak bagus menolak rejeki lhoh,” seru yang lain.
Sementara itu Ardi yang semula berada di luar kelas, masuk ke dalam dan melihat wajah Guntur yang kusut seperti kertas diremas-remas.
“Kamu tidak suka?” tanya Ardi pelan.
“Perempuan itu tak tahu malu.”
“Kenapa tidak dikembalikan saja?”
“Dia nekat meletakkannya di sini, aku sudah menolaknya.”
“Kamu tidak suka dia?” tanya Ardi terus terang.
Guntur tidak menjawab, tapi melotot marah menatap Ardi yang masih saja berdiri di depannya.
“Kalau kamu tidak suka, syukurlah. Kasihan ada yang patah hati di sana,” katanya sambil menunjuk ke arah Kinanti yang duduk di bangkunya.
Guntur menoleh ke arah yang ditunjuk Ardi, tapi dia tak menanggapi. Ardi tukang cengengesan, dia pasti bercanda. Guntur ingin berdiri dan keluar dari ruangan untuk mencari si tukang kebun, tapi bel tanda pelajaran akan dimulai sudah berbunyi.
“Kamu harus percaya padaku,” kata Ardi lagi, lalu segera kembali ke bangkunya, yang terletak di belakang Kinanti.
Ia duduk dan menowel bahu Kinanti pelan.
“Tidak usah patah hati, dia tidak suka pada gadis genit itu.”
Kinanti menoleh, melihat senyum lucu di wajah Ardi. Tapi Kinanti hanya memelototkan wajahnya. Ia tak begitu mengerti apa maksud teman kocaknya itu, jadi dia membiarkannya. Menunggu guru pelajaran datang, suasana gaduh perlahan mereda.
***
Setelah mengantarkan pak Bono ke kantor, bu Bono meminta agar sopir mengantarkannya belanja. Ada bahan mentah berupa sayur, telur dan daging, ada masakan matang dan makanan kering yang bisa disimpan untuk beberapa hari. Karena banyaknya, maka sang sopir membantu membawakan belanjaan tersebut lalu dimasukkan ke dalam bagasi.
“Kita pulang, Nyonya?”
“Tidak. Kerumah bu Raji. Kamu sudah tahu kan?”
“Ya Nyonya, dulu sudah sering mengantarkan tuan ke sana.”
“Benar. Dulu ayah Kinanti sering ke sana, karena mereka bersahabat. Tapi setelah pak Raji meninggal, lalu tidak pernah lagi.”
Mobil perlahan dijalankan ke arah rumah bu Raji, dengan membawa belanjaan, yang kemudian diturunkan ketika sudah sampai di rumah yang dituju.
Ketika sampai, rumah kecil sederhana itu kelihatan tertutup rapat. Bu Bono mengetuk beberapa kali, barulah pintu terbuka. Bu Raji sendiri yang membukakan pintu, yang kemudian sangat terkejut ketika melihat siapa yang datang.
“Bu Bono?”
“Iya bu Raji, lama tidak bertemu.”
Kemudian mereka berpelukan.
“Saya kira Guntur pulang,” kata bu Raji sambil mempersilakan tamunya duduk.
“Ini belum terlampau siang, masih agak pagi.”
“Iya benar, belum saatnya dia pulang. Tapi dia sebenarnya memaksa saya untuk periksa ke laborat, jadi saya kira dia ijin pulang lebih awal.”
“Jadi bu Raji mau periksa ke laborat? Saya antar sekarang?”
“Tidak, tidak … saya merasa jauh lebih baik. Tadi malam sudah dari dokter dan diberikan obat.”
“Tapi kalau dokter mengharapkan pemeriksaan lebih lanjut, ada baiknya menuruti apa kata dokter.”
“Tidak Bu, sungguh saya tidak apa-apa. Sebentar, saya buatkan minuman.”
“Jangan Bu, biar begini saja, berbincang ke sana kemari karena kita lama tidak bertemu. Saya prihatin ketika Kinanti mengatakan bahwa Ibu sedang sakit.”
“Barangkali hanya masuk angin, sekarang saya baik-baik saja.”
“Benarkah? Ibu masih kelihatan pucat. Tiduran saja, kita bicara sambil Ibu tiduran di kamar.”
“Tidak, mengapa begitu? Saya sungguh tidak apa-apa. Ini bu Bono membawa apa saja? Banyak sekali," kata bu Raji ketika sopir tamunya memasukkan barang-barang, sebagian lagi diletakkan di atas meja.
“Ini hanya sekedar untuk oleh-oleh. Sekalian saya belanja tadi. Apa saya bantu memasukkan ke kulkas untuk sayur dan buah ini? Ada juga ikan segar, daging dan_”
“Tidak usah. Ya ampun, itu banyak sekali. Biar nanti saya menatanya sendiri.”
“Ada masakan yang tinggal makan Bu, barangkali Ibu tidak usah memasak untuk dua hari ke depan.”
“Terima kasih banyak, Bu. Sangat merepotkan bukan?”
“Tidak, sama sekali tidak repot. Saya sekalian belanja untuk keperluan saya sendiri.”
“Keluarga pak Bono sudah sangat membantu keluarga saya, entah apakah kami bisa membalasnya atau tidak.”
“Mengapa bicara begitu? Keluarga ini adalah sahabat keluarga saya. Sudah seperti saudara. Apa salahnya saling bantu?”
"Guntur juga bisa melanjutkan sekolah karena pak Bono dan keluarga.”
“Tidak apa-apa. Suami saya justru masih akan menyekolahkan Guntur ke jenjang yang lebih tinggi setelah lulus SMA.”
“Tapi Guntur bilang, akan mencari pekerjaan saja setelah lulus.”
“Jangan Bu, sayang sekali kalau harus berhenti. Guntur pintar sekali. Kata ayah Kinanti, Guntur harus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Keinginan suami saya itu, agar Guntur dan juga Kinanti bisa menjadi dokter.”
“Ya Allah, sekolah dokter bukankah biayanya mahal?”
“Saya tidak tahu, tapi itu kemauan ayah Kinanti. Nanti biar kami memikirkan semuanya. Ibu tidak usah berpikir macam-macam. Sekarang ini, yang memikirkan Guntur biarlah kami saja. Bu Raji tidak usah memikirkannya. Bersemangatlah ya Bu, Guntur hanya memiliki Ibu. Jangan sampai Ibu sakit, apa lagi sampai parah. Biar Guntur bisa belajar dengan tenang sampai nanti menjadi orang.”
Bu Raji tampak meneteskan air mata.
“Kami sudah banyak menyusahkan keluarga pak Bono. Bagaimana harus membalasnya?”
“Sebuah niat baik tidak memerlukan imbalan. Kebaikan itu bukan jual beli. Biarlah dia berjalan sampai si pemilik kebaikan merasa senang karena kebaikannya tidak sia-sia. Itu sudah cukup.”
“Semoga Gusti Allah membalasnya dengan karunia berlimpah.”
“Aamiin,” kata bu Bono sambil mengelus punggung bu Raji lembut.
“Sekarang sudah siang, saya pamit ya Bu, benar ini, barang-barangnya tidak perlu saya bantu menyimpannya?”
“Tidak usah Bu, biar saya saja. Saya berterima kasih sekali karena bu Bono sudah bersusah payah datang dan memberikan banyak barang yang pasti sangat bermanfaat bagi saya dan juga Guntur.”
“Yang penting bu Raji sehat. Dan ini, ada titipan dari bapaknya Kinanti.”
“Ini apa lagi Bu?”
“Titipan dari pak Bono, barangkali bisa untuk membeli obat.”
“MasyaaAllah, bu Bono … ini … apa lagi? Mas Raji almarhum masih punya sedikit pensiun, jangan terlalu repot untuk kami Bu.”
“Tidak apa-apa. Bukan kami merendahkan keluarga pak Raji atau mengatakan kalau pensiunnya sedikit, kami hanya ingin membantu. Jangan lupa, pak Raji dan suami saya adalah sahabat sejak mereka masih sangat muda. Ini bukan apa-apa, tolong terimalah,” kata bu Bono sambil memaksa memasukkan amplop ke dalam saku bu Raji.
Sementara bu Raji berkali-kali mengucapkan terima kasih setelah bu Bono membujuknya, sampai mereka tak mendengar suara mobil berhenti, dan langkah-langkah kaki mendekat.
“Bu, mari saya antar ke laborat,” dan Wanda tiba-tiba sudah muncul di depan pintu.
“Oh, ada tamu? Saya kira mobil itu punya tetangga sebelah,” kata Wanda.
“Nak Wanda, saya tidak akan ke laborat. Kan saya sudah bilang?”
“Tapi kata dokter ….”
“Saya tidak apa-apa, jangan lagi repot-repot untuk saya.”
“Bu Raji, karena ada tamu yang lain, saya mohon diri,” kata bu Bono sambil tersenyum.
“Bukan tamu, dia temannya Guntur.”
“Iya, saya teman Guntur Bu, teman dekat. Beliau ini sudah seperti orang tua saya sendiri, nama saya Wanda.”
“O iya, teman sekolah?” tanya bu Bono lagi ketika melihat Wanda masih mengenakan seragam sekolah.
“Iya, teman sekolah yang sangat dekat,” kata Wanda yang berkali-kali mengatakan bahwa dia teman dekatnya Guntur.
“Kalau begitu kamu tidak masuk sekolah? Tuh masih pakai seragam."
“Saya ijin dari sekolah, karena akan mengantarkan ibu saya ini.”
“Kalau kamu teman sekolah Guntur, berarti teman sekolah Kinanti juga dong.”
“Kinanti? Ah … ya, benar. Ibu kenal Kinanti?”
“Saya ibunya Kinanti.”
“Oh ya? Senang bertemu Ibu,” kata Wanda sambil mengulurkan tangan menyalami bu Bono.”
“Bu Raji, saya permisi dulu, dari tadi saya pamitan tapi nggak pergi-pergi,” kata bu Bono sambil tertawa.
“Sekali lagi terima kasih Bu,” kata bu Raji.
“Bu, kenapa tidak mau, saya sudah membawa taksi untuk mengantarkan Ibu," bujuk Wanda lagi ketika bu Bono sudah pergi.
“Dari kemarin saya kan sudah bilang bahwa tidak akan periksa karena saya sudah merasa baik?”
“Jadi benar-benar ibu nggak mau?”
“Tolong mengertilah. Jangan memaksa saya. Sekarang saya mau istirahat dulu.”
“Wah, barang-barang ini apa saja Bu? Banyak sekali,” kata Wanda yang melihat banyak sayuran di dalam keranjang besar, dan beberapa bungkusan yang sepertinya masakan matang, terletak di atas meja.
“Bu Bono memberikan semua ini untuk saya. Maaf ya Nak, saya mau istirahat dulu, sudah lama duduk menemani tamu, sekarang mau masuk ke kamar. Nak Wanda kembali ke sekolah lagi saja, tidak baik meninggalkan pelajaran yang pastinya sangat penting."
“Saya sudah ijin untuk menemani ibu.”
“Tidak usah ditemani Nak, saya tidak apa-apa. Mengapa mengorbankan pelajaran sekolah untuk sesuatu yang tidak penting.”
“Bu, Ibu itu sangat penting, saya anggap Ibu adalah ibu saya sendiri.”
“Tolong Nak, maaf kalau diartikan saya mengusir. Tapi sungguh saya membutuhkan ketenangan, jadi tidak usah ditemani.”
Wanda pergi dengan wajah yang kurang senang. Ia sampai memesan taksi demi untuk menemani bu Raji ke laborat, tapi ditolak mentah-mentah. Ia mengomel sepanjang langkahnya sampai kemudian masuk ke dalam taksi.
“Pasti gara-gara ibunya Kinanti itu. Huhh, ngapain juga meminta ibunya untuk datang kemari dengan mengirimkan barang-barang. Pasti untuk menarik hati Guntur kan? Mana yang lebih mahal, barang-barang itu, atau biaya ke dokter dan pembelian obat tadi malam? Huh, kalau aku mau, bisa saja aku membelikan barang-barang yang lebih mahal dari itu semua,” omelnya tak berhenti, sementara taksi sudah mulai berjalan kembali.
“Kemana lagi ini Non?” tanyanya karena sejak tadi Wanda hanya ngomel tak berhenti.
“Oh, balik ke sekolah tadi Pak, sepeda motor saya ada di sana.”
***
Ketika istirahat tiba, Guntur tampak hanya termenung di bangku di luar kelas. Ardi yang mau menuju kantin mendekat dan menawarinya makan bersama-sama. Tapi Guntur menolaknya.
“Terima kasih Ar, aku tidak lapar.”
“Oh ya, aku lupa, kamu kan sudah diberi Wanda bekal yang pastinya lauknya enak.”
“Tidak, sudah aku berikan untuk pak Kino.”
“Pak Kino tukang kebun?”
“Iya. Sayang kalau dibuang.”
“Ya ampun, mengapa air susu dibalas air tuba?”
“Kamu membuat peribahasa tidak tepat. Asal,” omel Guntur.
“Asal gimana sih? Kamu diberi makanan lalu kamu berikan orang lain. Tepat kan peribahasanya?”
“Tidak tepat sama sekali. Aku menerima kebaikan, tapi kebaikan itu aku berikan kepada orang lain. Kalau aku membalas dia dengan perbuatan jahat, baru peribahasa kamu itu tepat. Dengan memberikannya kepada orang lain, Wanda juga akan mendapat pahalanya. InsyaaAllah. Kalau aku membuangnya, justru berarti aku jahat. Ya kan?”
“O, gitu ya? Terserah kamu saja deh.”
“Kalian nggak makan?” tiba-tiba Kinanti mendekat.
“Ayo,” jawab Ardi.
“Guntur sudah punya makanan kok ya, jadi pasti nggak lapar," lanjut Kinanti.
“Eh, lapar kok. Ayuk aku yang traktir,” kata Guntur yang sebenarnya ingin membalas kebaikan Kinanti.
Ardi cemberut.
“Tadi aku yang ngajak, kamu menolak, sekarang karena ada Kinanti, baru kamu mau.”
Walau begitu mereka bertiga kemudian bersama-sama pergi ke kantin.
***
Wanda sudah turun dari mobil, bergegas menuju parkiran untuk mengambil sepeda motornya. Ia tak berminat mengikuti pelajaran lagi. Toh tadi sudah minta ijin. Diluar sepi, karena waktu istirahat sudah usai, dan mereka sudah kembali mengikuti pelajaran.
Wanda langsung menuju ke arah deretan sepeda motor. Tapi ketika ia melihat ke gardu jaga satpam, ia melihat pak Kino sedang makan. Wanda berhenti melangkah, matanya terbelalak marah ketika melihat bahwa tempat makan yang dipegang pak Kino adalah tempat makanan yang tadi diberikannya kepada Guntur. Tumbler yang dia berikan juga ada disamping pak Kino, yang duduk santai sambil menggigit daging paha ayam dengan nikmat. Wanda mendekat dengan geram.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteππͺΌππͺΌππͺΌππͺΌ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
JeBeBeeL_08 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhaiπ¦π
ππͺΌππͺΌππͺΌππͺΌ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai juga
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteHamdallah...sampun. tayang
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteMatur nuwun Bunda Tien,mugi tansah pinaringan kadarasan lan karahayon
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Isti
Alhamdulillah suwun Bu
ReplyDeleteSami2 pak Subagyo
DeleteAlhamdulillaah, Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°π
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Salamah
DeleteAlhamdulilah jbbl 08 sdh tayang.. maturnuwun bu Tien , sehat selalu njiih bun.. salam hangat aduhai aduhai bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Salam aduhai 2x
Semoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah.Maturnuwun π·πΉ πππSemoga Bunda selalu sehat wal afiat π€²
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdullilah terima kaih bundaqu..met malming bersm keluarga..slm sht sll unk bunda sekeluarga ππ₯°πΉ
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat kembali
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 08* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah yg ditunggu sdh hadir...
ReplyDeleteMatur Nuwun mbak Tien.... Sehat selalu njiih...
Salam aduhai dr Surabaya π❤️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Dewi
Aduhai dari Solo
Terima kasihi Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 08 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Selamat berakhir pekan Bunda.
Wanda bikin kesal Guntur dan Ibu nya.
Sifat asli nya dia mulai kelihatan.
Biasa klu anak manja, anak nya Mami, semua keinginan nya harus keturutan. Apakah semua anak manja.. begitu kah.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),08 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Alhamdulillah, matursuwu Bu Tien "jbbl~8" sdh tayang
ReplyDeleteSalam hangat dan smg sehat selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Kacian deh lu Wanda.... Makanannya gak di terima guntur milik penjaga sekolah
ReplyDeleteTerima kasih ibu Engkas
DeleteMatur nuwun bunda Tien...ππ
ReplyDeleteSami2 ibu Padmasari
DeleteRasakno dhewe ...π
ReplyDeleteAlhamdulillah
Syukron nggih Mbak Tien π·π·π·π·π·
Sami2 ibu Susi
DeletePak Kino untung banyak, alhamdulilah.
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien, sugeng istirahat.
Sami2 ibu Ratna
DeleteTerima kasih, ibu Tien. Semoga sehat & bahagia selalu.ππ»
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKalau Wanda tahu makanan yang diberikan kepada Guntur dimakan pak Kino, apa ya yang dilakukan? Mungkin direbut dan dibuang, apa marah dan memaki maki... dasar anak tidak tahu adat.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Mks bun JBBL 08 sdh tayang....ikut greget deh, lihat cewek begitu amat sih, gak punya tata krama sekali
ReplyDeleteSelamat malam bun...jaga kesehatan
Sami2 ibu Supriyati.
DeleteSiaap
Matur nuwun Bu Tien, semoga sehat dan selamat berakhir pekan bersama keluarga tercinta....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah .... terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Ika
Sugeng dalu Dhe.....
ReplyDeleteJawaban komen di mulai dari bawah, ya
Semoga Budhe Tien sehat selalu dan selalu sehat. Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Bawah ... beberapa . Lalu atas ke bawah.. heheee
Mas Nanang Setu Kliwon kpk gak muncul lagi ta, apa hapene rusak lagi??
ReplyDeleteWingi komen.
DeleteBiasane bengi. Balesku sesuke
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah Jangan Biarkan Bungaku Layu - 08 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Sepp
ReplyDeleteSemangat Wanda mau nyeruduk lagi nich, mau bikin perhitungan.
ReplyDeleteMau ribut sama pak Kirno, wuah grogi donk, nggak bisa ngambil motor nanti.
Biarlah buat catatan; nombok banyak nggak kesampaian.
Perhitungan juga si mata jalang ini.
Kasihan Kinan bakal diteror, gara² dianggap jadi penyebab Guntur menolak semua pemberian Wanda sang pengagum, lho kan Kinan aman ada si crigiz(satpam) Ardi yang berusaha nΓ¨mpΓ¨l Kinan(maunya).
Yah lumayan buat ngadem Kinan, kan musim dingin, eh kan hatinya yang panas dingin; dingin dingin empuk.
Perjuangan masa remaja merebut hati sang dambaan.
Tetep aja saudara angkat lebih elegan hi hi
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke
delapan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku Bu Tien
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Terima kasih Bu Tien, saya terus seneng ikuti cerbung dari Ibu, semoga Ibu sehat2
ReplyDelete