Friday, December 20, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 43

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 43

(Tien Kumalasari)

 

Ketika menutup ponselnya, Bachtiar tampak tersenyum-senyum. Arumi menatapnya heran. Tanpa mengatakan apapun, Bachtiar tahu bahwa Arumi ingin bertanya, ada apa. Tapi Bachtiar tetap saja tersenyum, lalu mengacungkan jempolnya.

Setelah itu ia menutup kan jari telunjuknya di bibir, dan Arumi mengerti bahwa Bachtiar tak ingin mengatakannya saat itu. Barangkali karena ada kedua orang tuanya, dan Bachtiar tak ingin membicarakannya sekarang.

Baiklah, rupanya Arumi harus bersabar. Tapi dalam hati terus bertanya-tanya, apakah yang dikatakan dokter Adi? Tentang penyakit Luki kan? Bagaimana hasilnya, mengapa Bachtiar tampak senang?

Mereka sampai di rumah kecil yang dimaksud Bachtiar. Arumipun bahkan belum pernah melihatnya. Arumi turun, dan melihat Bachtiar sudah membukakan pintu mobil untuk kedua mertuanya. Arumi selalu mengagumi suaminya, yang walaupun orang pintar, berharta, tapi tetap rendah hati dan selalu menghargai orang lain. Bahkan orang tuanya yang miskin, Bachtiar tetap menghadapinya dengan santun dan penuh hormat.

“Inikah rumahnya?” tanya pak Truno.

“Baru di renovasi, mungkin tidak sampai sebulan sudah jadi. Ini sudah sore, para pekerja sudah pada pulang. Tapi saya punya kuncinya, mari kita melihat ke dalam,” ajak Bachtiar sambil mengeluarkan kunci rumah, lalu berjalan mendahului untuk membuka pintu.

“Renopasi itu apa?” tanya mbok Truno yang benar-benar tidak pernah mengenyam sekolah SD sampai tamat.

“Renovasi itu perbaikan rumah Mbok,” terang Arumi sambil menggandeng simboknya mengikuti Bachtiar.

“Ini Pak, Bu, memang hanya rumah kecil. Kamarnya hanya ada dua, ini .. dan itu. Memang tadinya sempit, sekarang sudah diperlebar. Ini dapur, ini kamar mandi, dan di belakang masih ada tanah kosong, nanti untuk menjemur cucian, atau mau ditanami bunga-bunga, sebagai taman kecil, begitu.”

“Ini bagus sekali. Kalau kita tinggal di sini, apa tidak ditertawakan orang ya Pak?” kata Mbok Truno.

“Mengapa ditertawakan, Bu?” tanya Bachtiar.

“Orang seperti ayah dan simboknya Arumi, yang tadinya berumah gubug, lalu tinggal di sini, mana pantas?”

“Siapa yang mengatakan bahwa itu tidak pantas? Ini milik anaknya Bapak dan ibu.”

“Nanti dikira kami ini memanfaatkan menantu yang kaya, terus tidak mau tinggal di rumah gubug,” mbok Truno masih ngedumel. Pak Truno mengangguk-angguk mengiyakan.

“Tidak begitu Bu. Orang hidup itu terkadang tidak harus mendengarkan suara-suara yang intinya hanya ingin bergunjing. Bukankah Bapak ini masih tetap bertani, ibu masih tetap berjualan di pasar? Kalau memang memanfaatkan, dan kalau memang Bapak mau, saya ingin melarang Bapak dan ibu mertuaku ini bekerja. Masa saya tidak bisa mencukupi kebutuhan mertuaku ini? Tapi saya yakin Bapak akan menolaknya.”

“Benar. Mana mungkin saya mau memanfaatkan kekayaan menantu, lalu hidup enak-enakan?”

“Benar, aku tetap akan berdagang di pasar,” sambung mbok Truno.

“Jadi, masalah rumah jangan dipersoalkan. Nanti kalau Bapak sama Ibu ini sudah pindah ke sini, pekarangan di rumah lama akan saya rubah menjadi kebun sayur. Bagaimana Bu?”

“Rumah di robohkan?”

“Iya, tapi kan untuk membuat sesuatu yang lebih bermanfaat? Dengan kebun yang lebih luas, hasil sayuran akan lebih banyak. Apa Ibu mau saya belikan sepeda motor, agar bisa membawa keranjang lebih besar ketika sedang panen sayuran?”

“Apa? Sepeda motor? Tidak … tidak … tidak. Dulu saya pernah naik sepeda kemana-mana. Tapi ya sepeda kayuh itu, dan sudah dijual sama almarhum bapak saya, karena butuh uang untuk menikahkan saya dulu,” kata mbok Truno tersipu.

“Berarti ibu bisa naik sepeda dong?”

“Dulu bisa, nggak tahu kalau sekarang.”

“Arumi, besok pilihkan sepeda buat ibu, supaya kalau ke pasar ibu tidak usah berjalan kaki,” kata Bachtiar sambil menatap istrinya yang hanya tersenyum-senyum. Dia sudah tau tabiat orang tuanya yang tidak mau dikasih-kasih.

“Nanti aku dulu saja yang pakai,” canda Arumi.

“Baiklah. Itu gampang. Semuanya bisa diatur.”

Susah payah Bachtiar membujuk kedua mertuanya yang sederhana itu, agar mau menuruti kemauannya. Tapi Bachtiar bersyukur karena mereka mau mendengarkan uraian kata-katanya.

***

Begitu sampai di rumah, Bachtiar segera menelpon Adi untuk mendengarkan kejelasan dari perkataannya ketika bertelpon.

Arumi yang belum mengerti sepenuhnya karena Bachtiar belum mengatakannya, walau sudah sampai di rumah, mendengarkannya dengan seksama, karena Bachtiar men speaker pembicaraan itu.

Arumi terperanjat. Jadi bu Nuke atau Luki membuat surat palsu? Keterlaluan sekali. Rasa belas kasihan tiba-tiba lenyap dari hatinya. Dua kali Luki berbuat jahat kepada dirinya. Yang pertama, menculiknya dan mencekokkan obat perangsang, yang kedua, membuat surat palsu untuk memaksa Bachtiar agar mau memperistrikannya. Hampir saja dia mengikhlaskan suaminya untuk Luki. Keterlaluan sekali. Untunglah Allah menyelamatkannya. Dua kali menyelamatkannya.

“Terima kasih, Ya Allah,” gumamnya pelan, ketika Bachtiar meletakkan ponselnya dengan wajah berseri-seri.

“Kamu sudah mendengarnya? Luki tidak sakit. Hampir saja kita, terutama kamu, terjebak oleh tipu dayanya.”

“Kok aku?”

“Kan kamu sangat percaya, bahkan berkali-kali mengatakan ‘kasihan’ … ‘kasihan’ … iya kan?”

Arumi tersipu, lalu Bachtiar kembali memeluknya.

“Aku tidak bisa membagi cintaku untuk perempuan lain. Hanya kamu,” bisiknya di telinga Arumi.

“Sudah, jangan lama-lama menyentuhnya,” kata Arumi sambil mendorong pelan.

Bachtiar tertawa pelan. Berapa lama ia harus menahan gejolak yang hampir mendidihkan darahnya ini?

***

Pagi hari itu Bachtiar mengajak Arumi pergi ke kantor sebentar, karena ada yang harus diselesaikan. Setelah itu ia mengantarkan Arumi belanja. Ada beberapa yang harus disiapkan ketika dia ingin memulai belajar. Bachtiar juga mengajak Arumi belanja keperluan dapur.

“Ketika sedang memilih ikan segar, tiba-tiba Arumi mendengar sebuah suara sumbang.”

“Hmh, sekarang bisa makan ikan ya? Kalau di desa makan apa kira-kira?”

Arumi segera menoleh. Ia tak melihat Bachtiar yang rupanya sedang mencari sesuatu, entah apa. Dilihatnya wanita cantik yang tak lain adalah ibu mertuanya, juga sedang belanja. Di keranjang trolly yang dibawa perempuan itu tampak sudah penuh dengan belanjaan. Ada buah-buah segar yang pasti harganya mahal, karena bukan buah yang biasa dimakannya. Bermacam sayur dan daging juga tampak di sana.

“Oh, Ibu juga belanja?” sapa Arumi ramah. Ia membungkuk untuk meraih tangan sang ibu mertua, tapi ditepiskannya.

Arumi tercengang. Tapi ia tetap mengulaskan senyum, walau sedikit sakit hatinya mendengar ejekan tajam itu.

“Mas Tiar sedang mencari sesuatu,” bingung akan berkata apa, Arumi malah membicarakan suaminya yang entah sedang mencari apa.

“Suami kamu pastinya malu berdekatan dengan kamu di tempat umum seperti ini, makanya dia memilih pergi menjauh.”

Arumi kesal, apa salahnya sehingga wanita itu selalu menyakiti hatinya. Tapi ia ingin membalasnya.

“Oh ya? Tadi kami ke mana-mana, dan mas Tiar menggandeng tangan saya erat. Katanya takut kalau sampai digaet laki-laki lain,” katanya sambil tersenyum manis, membuat bu Wirawan kesal. Ia ingin membuat Arumi marah, tapi perempuan kampung itu malah menanggapinya sambil tersenyum-senyum.

“Oh ya?” lalu bu Wirawan tertawa mengejek.

“Apa benar, ada laki-laki yang menyukai gadis desa dan kumuh seperti dirimu?” lanjutnya.

“Saya tidak tahu, Bu. Buktinya mas Tiar takut tuh.”

Bu Wirawan merasa kesal. Ia ingin menampar mulut Arumi, tapi tiba-tiba seseorang menahan tangannya.

“Ibu mau ngapain?” tanya Bachtiar sambil merangkul pundak Arumi.

“Tidak apa-apa kok Mas, barangkali ibu ingin menghalau sesuatu di pipi aku ini. Dikira lalat ya Bu, padahal ini tahi lalat,” kata Arumi sambil menunjuk ke arah pipi kirinya yang memang ada tahi lalat di dekat telinganya.

“Dasar orang desa,” kata bu Wirawan sambil mendorong belanjaannya ke arah kasir.

“Ada apa?” tanya Bachtiar.

“Tidak apa-apa. Aku sedang memilih ikan, tiba-tiba disapa ibu. Mas tadi ke mana?”

Aku ke atas sebentar, membeli ini, buku resep masakan,” katanya sambil menunjukkan buku-buku yang dibeli.

“Kok banyak banget?”

“Hanya tiga buah. Ini masakan Jawa, ini masakan Eropa, ini masakan Cina.”

“Waaah, lengkap. Bisa semalam aku mempelajarinya.”

“Ya tidak harus sekaligus. Hari ini pengin masak apa, besok masak apa, begitu.”

Arumi tertawa pelan, lalu melanjutkan memilih ikan.

“Belanja apa lagi?”

“Mau beli sayuran dulu, di sana ya tempatnya?”

“Iya, ayuk ke sana,” kata Bachtiar sambil mendorong trolly yang baru berisi beberapa bumbu dapur.

Arumi senang sekali. Agak kikuk sebenarnya ketika memasuki supermarket yang menjual banyak belanjaan dan barang. Tapi Bachtiar mengajarinya.

***

Di dalam mobil ketika dalam perjalanan pulang, Bachtiar menanyakan lagi tentang ibunya. Tapi Arumi hanya menjawabnya sambil tertawa.

“Aku kan sudah bilang, ibu hanya menyapa aku dengan sangat manis,” kata Arumi.

Tapi Bachtiar bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Tak mungkin ibunya menyapa dengan manis, apalagi tadi jelas-jelas ia melihat sang ibu hampir menampar istrinya. Ia heran Arumi bisa begitu tenang menghadapinya, bahkan menutupi apa yang sebenarnya terjadi.

“Arumi, kalau sikap ibu begitu kasar, maafkan ya. Ibu memang begitu.”

“Iya, tentu saja. Menurut aku hal yang dilakukan ibu itu wajar. Beliau melihat putra tunggalnya yang gagah dan tampan, berduaan dengan gadis desa yang kumuh dan mungkin saja bau.”

“Bau wangi tuh,” kata Bachtiar sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Arumi.

“Eeeh, mas Tiar kok gitu. Ini jalanan rame, tahu,” omel Arumi.

Tapi yang diomelin hanya tertawa lucu.

“Pokoknya kamu harus sabar, dan memaafkan ibu. Siapa tahu, melihat menantunya yang begitu setia, baik dan cantik, lama-lama sikap ibu akan berubah.”

“Mas tidak mengatakan tentang surat dari rumah sakit yang Mas bawa dulu itu?”

“Belum. Nanti saja kalau ibu mengungkitnya, aku baru akan mengatakannya.”

Padahal sebenarnya bu Wirawan juga menyimpan sebuah rahasia yang belum atau tidak akan dikatakannya kepada Bachtiar, yaitu tentang Luki yang ditangkap polisi.

***

Sesampai di rumah, bu Wirawan masih uring-uringan. Ia tak menyangka akan bertemu Arumi, yang begitu dilindungi oleh Bachtiar. Ia meletakkan belanjaan di dapur, dan menyerahkan menu masakan hari itu kepada sang pembantu.

Sudah dua hari sejak bu Nuke pulang, ia tak mendengar apapun tentang Luki. Apakah sudah berhasil keluarga Luki menuntut balik kepada polisi yang diduga salah tangkap itu.

Bu Wirawan mengambil ponselnya, dan memutar nomor telpon bu Nuke. Tapi berkali-kali menelpon, tak ada jawaban dari sana.

“Ada apa ini? Apa mungkin, karena sibuk mengurus semuanya, lalu tak sempat menjawab panggilanku?”

Bu Wirawan mencobanya lagi, tapi ponsel bu Nuke malah dimatikan.

“Aneh. Tidak mau menjawab telponku? Begitu sikapnya kepada calon besan?” gumamnya.

Tiba-tiba ia mendengar suara mobil suaminya. Bergegas bu Wirawan ke arah depan.

“Kok sudah pulang Pak, makan siang belum siap. Kan belum waktunya?”

“Bukan untuk makan siang, aku harus bersiap untuk pergi lagi ke luar kota,” katanya sambil bergegas masuk ke kamar, diikuti oleh istrinya.

“Pak, sejak tadi aku menelpon jeng Nuke, tapi tidak bisa sambung.”

“Ibu itu bagaimana,  suaminya mau keluar kota, tidak membantu berkemas, malah memikirkan orang lain. Cabang baru ternyata bermasalah,” pak Wirawan tampak mengambil berkas.

"Masalah apa?"

"Ini baru aku selidiki, nanti mampir ke kantor lagi, mengajak sekretaris. Ibu itu kenapa memikirkan bu Nuke. Bukan urusan ibu kan?"

“Ibu itu khawatir. Kan mereka mau menuntut balik karena salah tangkap anaknya itu. Maksudku mau bertanya, bagaimana perkembangannya,” katanya sambil memasukkan baju-baju yang akan dibawa suaminya.

“Ya sudah, kalau mereka sedang sibuk ya biarkan saja. Kalau nanti perlu mengabari ya pasti mengabari, kan ibu sahabat baiknya.”

“Memangnya Bapak mau pergi selama berapa hari?”

“Hanya dua hari saja, mengapa ibu memasukkan pakaian begitu banyak? Pakai kopor kecil saja.”

Bu Wirawan mengeluarkan lagi baju-baju yang menurut suaminya kebanyakan. Ia sedang gelisah memikirkan Luki, yang akan dijadikannya menantu. Bagaimana akhirnya, apa polisi sudah mengembalikan ke rumahnya? Tapi mengapa bu Nuke tidak bisa dihubungi? Rumitkah urusannya?

***

Sore hari itu Bachtiar mengajak Arumi ke rumah orang tuanya. Mereka ingin bersilaturahmi setelah menikah, terutama kepada pak Wirawan yang bersikap baik kepada Arumi.

Sebenarnya Arumi ragu-ragu dan enggan bertemu ibu mertuanya yang jelas-jelas selalu merendahkannya. Tapi ia tak ingin kelihatan takut. Apalagi dia juga ingin bertemu ayah mertuanya yang sikapnya sangat baik terhadapnya, maupun terhadap keluarganya.

Ketika mereka sampai di sana, lalu langsung masuk ke rumah, di lihatnya sang ibu sedang bertelpon dengan seseorang.

“Iya … aku sedang memikirkan jeng Nuke. Sejak pagi aku tidak berhasil menghubunginya. Tolong ya, cari tahu, bagaimana kelanjutan kasus salah tangkap itu.  Saya tunggu ya ... Baik, terima kasih ya Jeng.”

Bu Wirawan meletakkan ponselnya, dan terkejut melihat Bachtiar sudah berdiri di depan pintu bersama Arumi.

“Siapa yang salah tangkap, Bu.”

***

Besok lagi ya.

 

75 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
  2. 🍒🫛🍒🫛🍒🫛🍒🫛
    Alhamdulillah 🙏🤩
    KaBeTeeS_43 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai😍🦋
    🍒🫛🍒🫛🍒🫛🍒🫛

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah.... matur nuwun bunda Tien, srhat2 selalu njih

    ReplyDelete
  4. Sugeng duluuu.... mbak Tien 🙏😘
    Matur Nuwun sampun tayang...
    Semoga senantiasa sehat mbaak...
    Salam aduhai dr Surabaya 😘♥️😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiim
      Matur nuwun jeng Dewi
      Salam aduhai dari Solo

      Delete
  5. Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien.. salam sehat dan aduhai aduhai

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah.Maturnuwun cerbung hebat 🌹 semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah Bu Tien sehat, terbukti tayang lebih awal.
    Terima kasih Bu Tien, semoga selalu sehat dan sehat selalu. Aamiin....
    Salam ADUHAI dari mBandung.🙏🙏🌹

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiim
      Matur nuwun mas Kakek
      ADUHAI dari Solo

      Delete
  9. Alhamdulillah ...terimakasih Bunda

    ReplyDelete
  10. Hatur nuhun bundaqu..slm sehat sll dan tetap aduhai unk kel bunda🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah KBTS 43 sdh hadir. Matur nuwun Bu Tien🙏
    Sugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲

    ReplyDelete
  12. Syukurlah pak Truno mau pindah ke rumah baru. Pekerjaan lama jalan terus, termasuk pekerjaan istrinya.
    Kalau bu Wirawan tau kelakuan Luki, bagaimana ya sikapnya terhadap Arumi.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah Ketika Bulan Tinggal Separuh 43 sdh tayang.
    Matur nuwun bu Tien
    Moga sehat sll

    ReplyDelete
  14. Matur nuwun Mbak Tien sayang. Salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah Arumi sudah hadir, t ksh bunda Tien, semoga bunda selalu sehat

    ReplyDelete
  16. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Bingung ya Bu Wirawan, bgm kl Bachtiar cerita sebenarnya , bisa pingsan ya 😁

    ReplyDelete
  18. Maturnuwun bu Tien 🙏

    Besok lagi ya..😅

    ReplyDelete
  19. Seru....!
    Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien "KBTS~43" nya
    Salam sehat selalu..

    ReplyDelete
  20. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 43 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin

    Bu Wirawan konyol menghadapi Arumi yang cerdas lan trengginas. Ujung2 nya dia kesal...mau mara tangan...😁

    Siapa yang salah tangkap Bu, tanya Tiar...ibu nya glagepan mau jawab apa dia...😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiim
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  21. Alhamdulillah
    Terima kasih bu tien tayangan ketika bulan tinggal separuh 43
    Semoga bu tien sehat² n selalu dlm lindungan n bimbingan Allah SWT

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillaah KBTS-43 sdh hadir
    Terima lasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia arlalu.
    Aamiin Allaahumma Aamiin
    Salqm Aduhai🙏

    ReplyDelete
  23. Maknya Tiar kåyå mbèbèki, jeng Nuke sahabatnya belum menjawab; wuah namanya juga sahabat.
    Syukur dadi sedulur yå
    Terbayang bèbèk gorèng Kartosuro ya, walah udan riwis² isiné mung kepingin ngemil waé, karo wédang seré wuah maknyus.
    Dipotret disik sak durungé dhahar, hé hé hé.
    Jaréné sebelum makan berdo'a dulu, saiki malah selfi dulu.
    Wis mbuh wong saiki lagi trend ngono kuwi, mesthi sesuké nimbang awak.
    Umyeg salah tangkap salah tangkap, genah wis ping pindho Tiar tangkap tangan maknya lho; kok salah tangkap waé.
    Wis jian mêrgå jaga gengsi, nganti nyengit nylekit atiné liyan yå meså ora ngrasaké, ngaruh ngaruhi yå sêngak karo mantuné lho, mbok kåyå bakul kecap kaé; paméran unggul unggulan mantu, kok ngerti, yå ngêrti wong krungu nang radio

    Terimakasih Bu Tien
    Ketika Bulan Tinggal Separuh yang ke empat puluh tiga sudah tayang
    Séhat séhat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiim
      Matur nuwun doanya
      Salam crigis pak Nanang

      Delete
  24. Horee...rahasia bu Wirawan akhirnya akan terbongkar juga. Aduh, jadi ikut ketar ketir, sudah episode 43, bau-baunya sudah menuju ujung cerita nih...tapi bu Wirawan belum berubah baik...hmm.☺️

    Terima kasih, ibu Tien...semoga sehat dan bahagia selalu.🙏🏻🙏🏻🙏🏻

    ReplyDelete
  25. Salam Aduhai Sang Kejora Pagi,,,

    Terima Kasih
    KeBuTis-43

    Halo Bu Wirawan apa kabarnya,,,
    Bagaimana nanti setelah tahu kelakuan calon mantu kesayangan nya,,,he he he

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
    Selalu sehat dan bahagia bersama keluarga.

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 18

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  18 (Tien Kumalasari)   Kinanti bangkit dari tempat duduknya, berharap kalau sewaktu-waktu Guntur bangun, tak ...