KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 42
(Tien Kumalasari)
Bu Wirawan tertegun. Ia berdiri tak beranjak, membiarkan bu Nuke bicara, yang lama kelamaan disertai tangis.
“Iya aku tahu, tapi kenapa? Apa yang dilakukan Luki, sampai polisi menangkapnya? Bapak harusnya bertanya. Apa? … terlibat penculikan? Malah menjadi otak penculikan? Pasti salah tangkap, Bapak harus mengurusnya. Tuntut polisi yang salah tangkap. Sembarangan saja itu. Luki menculik siapa? Baiklah, ibu akan memesan tiket pagi-pagi sekali. Iya. Sudahlah, jangan banyak bertanya dulu. Baik.”
Bu Nuke menutup ponselnya lalu mengusap air matanya.
Bu Wirawan mendekat, menatapnya heran.
“Mengapa jeng? Luki ditangkap polisi?” tanyanya sambil duduk di sebelahnya.
“Ini, ayahnya baru saja menelpon.”
“Kenapa?”
“Masa Luki ditangkap gara-gara menjadi otak penculikan? Sembarangan saja. Bagaimana kerja perangkat hukum itu sehingga bisa sembarangan menangkap orang?”
“Otak penculikan apa?”
“Ini yang tidak jelas. Ayahnya aku minta untuk mengurusnya. Tuntut saja mereka yang asal tangkap.”
“Ini aneh. Penculikan atas apa? Benar Jeng, pasti mereka salah tangkap.”
“Mbakyu, besok pagi-pagi sekali aku akan pulang.”
“Ikut prihatin Jeng, semoga masalahnya tidak seburuk ini.”
“Iya, aku mau pesan tiket sekarang. Tapi Mbakyu, aku mohon, jangan sampai Mbakyu mengatakannya kepada siapapun tentang hal ini. Memang sudah bisa dipastikan kalau ini tidak benar. Tapi kalau ada orang mendengar, pasti akan banyak pertanyaan dan masalah akan menjadi panjang. Apalagi Bachtiar, jangan sampai dia mendengar masalah ini sampai semuanya menjadi terang ya Mbakyu.”
“Baiklah Jeng, Jeng harus tenang. Pasti ada kesalahan. Tak mungkin Luki melakukannya. Sekarang Jeng istirahat dulu, dan menenangkan diri.”
“Iya Mbakyu, setelah memesan tiket aku akan segera istirahat.”
***
Tapi bu Wirawan terkejut, begitu masuk kamar, sang suami menegur.
“Siapa ditangkap polisi?”
Bu Wirawan tak menjawab. Katanya harus merahasiakan masalah ‘salah tangkap’ itu, tapi suaminya sudah mendengar?
“Aku mendengarnya. Ibu mau menyembunyikan apa?”
“Itu, pasti terjadi salah tangkap.”
“Siapa ditangkap polisi?”
“Luki.”
“Memangnya dia melakukan apa? Bukankah dia gadis baik, yang dipuji-puji Ibu setinggi langit?” ejek pak Wirawan.
“Itu hanya salah tangkap.”
“Salah tangkap? Masalahnya apa?”
“Luki dituduh menculik. Eh, bukan. Dituduh menjadi otak penculikan.”
“Otak itu lebih berat.”
“Belum pasti, yang pasti adalah polisi salah tangkap.”
“Jelas salah tangkap?”
“Masa Luki menjadi otak penculikan? Menculik apa? Siapa? Nggak jelas. Keluarganya akan menuntut atas kesalahan itu.”
“Jangan-jangan benar.”
“Mana mungkin? Nggak ada kemungkinan itu. Jangan berpikir yang tidak-tidak.”
“Sekarang di mana sahabatmu itu?”
“Ibu suruh tidur. Besok pagi-pagi dia pulang.”
“Syukurlah.”
“Bapak seperti tidak suka atas kedatangan dia di rumah ini. Tidak pernah ikut duduk bersama dan berbincang. Pasti jeng Nuke menganggap Bapak ini sombong.”
“Tidak ada gunanya kalau aku ikut berbincang. Permasalahannya tidak jelas. Dan aku tidak suka bergosip.”
“Terserah Bapak saja, aku juga mau tidur. Tapi Pak, tolong masalah berita itu jangan dulu Bapak katakan pada Bachtiar.”
“Memangnya kenapa?”
“Semuanya kan belum jelas? Nanti Bachtiar akan lebih tidak suka pada Luki.”
“Kalau Ibu tahu bahwa dia tidak suka, ya jangan dipaksa.”
“Hanya demi rasa kemanusiaan.”
“Omong kosong. Mana ada kemanusiaan yang merusak rumah tangga orang lain. Itu namanya tidak berperikemanusiaan.”
“Ya sudahlah Pak, nggak usah diperpanjang, aku jadi pusing.”
Bu Wirawan mengomel sambil masuk ke kamar mandi, lalu pak Wirawan juga tak lagi mengacuhkannya. Tapi dalam hati dia juga bertanya-tanya. Luki ditangkap polisi karena menjadi otak penculikan? Kemungkinan salah tangkap itu sangat kecil. Polisi pasti melakukannya dengan perhitungan dan pertimbangan dari segala bukti yang didapat. Tapi menculik siapa?
***
Hari itu Bachtiar dan Arumi sudah bertemu dengan pengajar yang akan menjadi guru Arumi. Barangkali akan ada beberapa guru, dan Arumi siap menjalani sekolahnya dua hari lagi.
Setelah berbincang, Bachtiar minta agar Arumi bersiap untuk diajaknya menemui pak Truno di desanya. Bachtiar belum bicara tentang sekolah Arumi, dan juga tentang rumah kecil yang sedang dibangun, yang sedianya akan dipakai untuk Arumi, ketika Arumi berniat sekolah SMA di desa terdekat. Alasannya agar kalau ke sekolah tidak terlalu jauh. Tapi dengan adanya pertimbangan homeschooling itu, rencananya jadi berubah. Arumi harus menetap di rumah Bachtiar yang ada di kota.
Sambil menunggu Arumi bersiap, tiba-tiba Bachtiar menerima telpon dari Suyono, yang mengatakan bahwa ayah mertuanya dua hari yang lalu sudah menyerahkan diri ke polisi, dan kasusnya sedang diproses.
Bachtiar terkejut. Dia tidak usah repot-repot melapor, dan pak Carik sudah sadar untuk menyerahkan diri kepada polisi.
“Bukan bapak yang sadar diri, Pak. Ibu mertua saya yang memaksa.”
“Bu Carik yang memaksa? Bagaimana mungkin?”
“Ibu mertua saya mendengar pembicaraan suaminya dengan Sutris, di dalam kamar. Lalu memaksa Sutris mengatakan semuanya. Lalu memaksa bapak untuk menyerahkan diri. Saya yang mengantarnya.”
“Bu Carik memang luar biasa. Rupanya perilakunya jauh berbeda dengan suaminya.”
“Ibu mertua saya itu sangat baik. Hatinya baik, perilakunya baik. Seringkali bertengkar dengan suaminya gara-gara berbeda pendapat. Tapi malam itu ayah mertua saya tak berkutik. Tampaknya dia sudah ketakutan, dan menurut saja ketika istrinya memaksanya menyerahkan diri.”
“Pasti dia ketakutan setelah bertelpon dengan ‘polisi’,”
Suyono tertawa pelan, ketika Bachtiar menceritakan kisahnya dengan pura-pura jadi polisi ketika pak Carik menelpon Luki, tapi ternyata Bachtiar yang menerimanya.
“Sangat luar biasa, bagaimana Allah dengan perlahan menunjukkan semuanya. Semoga persoalan ini akan segera terselesaikan.”
“Kamu tidak menyesal, mengantarkan ayah mertua kamu untuk menyerahkan diri?”
“Tidak. Ibu mertua saya berkata benar. Dan lagi sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, pasti lama-lama akan tercium baunya juga. Saya yang selama ini hanya bertanya-tanya, akhirnya menemukan jawabannya.”
“Baiklah Yono, ini aku sedang bersiap untuk ke rumah mertua aku, menunggu Arumi yang sedang berkemas.”
“Semoga kita bisa ketemu nanti, Pak. Oh ya, rumah yang Bapak bangun sudah terlihat rapi. Barangkali tidak sampai sebulan sudah akan selesai.”
“Terima kasih Yono.”
“Aku sudah selesai Mas,” tiba-tiba Arumi sudah mendekat dengan menenteng sebuah tas yang lumayan besar. Bachtiar membelikan makanan banyak untuk mertuanya.
“Baiklah, ayo kita berangkat.”
“Tadi telpon dari siapa?”
“Dari Suyono.”
“Ada kabar apa?”
“Pak Carik menyerahkan diri pada polisi.”
“Apa? Kalau begitu semuanya akan ketahuan?”
“Tentu saja.”
“Aduh,” kata Arumi sambil masuk ke dalam mobil.
“Mengapa aduh?”
“Apa nanti pak Carik akan mengatakan bahwa dia bekerja sama dengan Luki?”
“Pastinya iya.”
Bachtiar menjalankan mobilnya pelan.
“Apa tidak kasihan Mas, bukankah Luki sedang sakit?”
Bachtiar heran. Arumi masih memikirkan Luki, padahal dirinya pernah disakiti. Bukan bersyukur karena kasus segera terbongkar, tapi malah mengasihaninya.
“Sebuah kasus akan berjalan sampai semuanya tuntas. Yang salah akan mendapat hukuman, itu pasti.”
“Mas tega sekali membiarkan orang sakit akan dihukum.”
“Bukan aku, aku kan tidak melakukan apa-apa? Semesta membuat dunia berputar, yang diatas akan menjadi dibawah, demikian pula sebaliknya.”
Arumi terdiam. Tetap saja wajahnya terlihat murung. Tak bisa dibayangkan, seseorang yang sedang menderita sakit, bahkan divonis akan meninggal tak lama lagi, harus meringkuk di penjara. Alangkah menyedihkan.
"Arumi, tersenyumlah. Nanti di depan orang tuamu, kalau kamu menampakkan wajah sedih begitu, bisa-bisa aku dikira menganiaya kamu lhoh.”
Arumi menatap suaminya, dan tersenyum tipis. Sesungguhnya ia memang tak bisa melupakan bayangan Luki yang sakit, sedang meringkuk dipenjara.
***
Pak Truno yang sedang bekerja di sawah, terkejut ketika melihat Arumi sedang berlari-lari kecil mendekatinya. Sepatunya yang berwarna putih, menjadi kotor oleh bercak lumpur yang diinjaknya di pematang.
Arumi sangat rindu menapaki jalan pematang yang lembek berlumpur. Kaki mungilnya berjingkat lincah, mulutnya yang tipis sedang berkemak-kemik mengalunkan lagu kesukaannya, setiap kali mengirim makanan untuk ayahnya, lalu pulang menggendong klenthing di pinggang kirinya.
“Bapak pocung, dudu watu … dudu gunung … sabamu ing sendang … pencokanmu lambung kering …”
“Arumiii!” teriak pak Truno yang sedang mencuci sabitnya di pematang. Wajahnya berseri gembira.
Arumi menghambur memeluk sang ayah, sehingga keduanya hampir terjatuh ke dalam parit.
“Kamu cantik sekali. Apa kamu bahagia?” tanya pak Truno yang kemudian takut tubuh kotornya mengotori baju Arumi yang berwarna putih berkembang biru.
“Tidak apa-apa, Arumi kangen pada Bapak.”
“Kamu senang? Bahagia bersama suami kamu?”
Arumi mengangguk mantap, sambil kembali memeluk ayahnya.
”Maafkan Arumi, tidak bisa mengirim makan untuk Bapak lagi,” kata Arumi sendu.
“Mengapa kamu pikirkan? Sudah selayaknya anak perempuan pergi mengikuti suaminya.”
“Simbok tiap hari mengirimnya?”
“Tidak. Setiap berangkat simbokmu sudah membawakan bapak bekal. Tidak perlu dikirim, semuanya sudah cukup. Makan, minum, cemilan. Jangan mengkhawatirkan bapak. Simbokmu adalah istri yang penuh pengertian. Lagi pula simbokmu meneruskan pekerjaan kamu, menjual keripik ke pasar, kadang-kadang juga membawa sayur ketika sudah siap dipanen.”
“Pekerjaan simbok pasti berat.”
“Tidak. Yang namanya manusia hidup itu, capek atau lelah tidak dipikirkan, demi mendapatkan sesuap nasi. Kamu pernah mengalaminya, dan kamu tidak pernah mengeluh capek kan?”
“Iya, benar. Ayo kita pulang.”
“Mana suamimu?”
“Di rumah, tadi menjemput simbok yang rupanya masih ada di pasar. Arumi memilih menjemput Bapak di sawah.”
Pak Truno sangat gembira, berjalan beriringan dengan Arumi yang melangkah lincah seperti kijang, dan bibirnya tak pernah berhenti bersenandung.
“Bapak pocung, dudu watu … dudu gunung ….”
“Arumi, sepatu kamu kotor!” teriak pak Truno.
“Biar saja. Sepatu Arumi harus tahu, bahwa Arumi dibesarkan bersama tanah lumpur di sawah.”
Pak Truno tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Ketika sampai di rumah, mbok Truno sudah menata segala macam makanan dan minuman di meja bambu, dan berbincang dengan Bachtiar dengan riang.
“Ya ampuun, sepatu kamu kotor,” pekik simboknya.
“Tidak apa-apa, bisa dicuci.”
“Sini, biar simbok yang mencuci. Sekarang kan kita tidak kekurangan air.”
“Tidak usah Mbok, nanti Arumi cuci sendiri.”
Pak Truno sudah membersihkan diri di belakang, dan berganti pakaian bersih. Hari masih siang, dan pak Truno sudah pulang karena Arumi menjemputnya.
Setelah makan sambil berbincang gembira, Bachtiar segera menceritakan perihal Arumi yang akan tetap dibawanya tinggal di kota, karena Arumi akan bersekolah dari rumah, membuat pak Truno dan mbok Truno heran.
“Jadi kalau di kota itu bisa bersekolah dari rumah? Gurunya yang datang?”
“Bisa Pak, dengan begitu Arumi tidak perlu pergi ke mana-mana.”
“Wah, hebat ya, orang kota.”
Lalu Bachtiar mengatakan tentang rumah yang sudah dibeli dan dibangun, yang semula akan ditinggali Arumi ketika mau sekolah.
“Daripada rumah itu kosong, bagaimana kalau Bapak sama Ibu saja yang tinggal di sana?”
“Apa? Bagaimana mungkin saya bisa meninggalkan rumah saya ini? Yang sudah saya tinggali selama puluhan tahun, bahkan sejak saya masih kecil? Ini peninggalan orang tua saya,” kata pak Truno yang diamini oleh istrinya.
“Bukan saya merendahkan rumah ini atau menganggap tak pantas, saya punya pemikiran lain. Bagaimana kalau tanah di rumah ini dijadikan kebun seutuhnya, sehingga bisa dipanen lebih banyak, Dengan demikian tidak mengurangi rasa menghargai untuk rumah peninggalan leluhur ini, karena dimanfaatkan untuk sesuatu yang berguna.”
Pak Truno tampak terdiam.
“Setelah ini, saya akan mengajak Bapak sama Ibu untuk melihat rumah itu. Kelihatannya lebih dekat dengan pasar, sehingga kalau Ibu ke pasar tidak akan terlalu jauh. Kalau saatnya panen saja, Ibu baru datang kemari,” kata Bachtiar yang tidak ingin menghilangkan keseharian pak Truno dan mbok Truno untuk hidup. Ia hanya ingin memperingan saja, karena kelihatannya pak Truno tidak ingin merubah kehidupannya walaupun punya menantu kaya.
“Ayo kita melihat rumahnya dulu Pak, Mbok. Usulan mas Tiar ini bagus. Bapak sama Simbok tidak perlu mengubah apapun, hanya mengubah rumah ini agar menjadi kebun yang lebih luas,” Arumi ikut berusaha membujuk orang tuanya.
Akhirnya pak Truno mengikuti kemauan Bachtiar, dan bersedia melihat rumah yang sedianya dipergunakan untuk Arumi ketika ingin sekolah di sana.
Tapi dalam perjalanan itu, tiba-tiba ponsel Bachtiar berdering. Arumi diminta untuk melihatnya.
“Dari dokter Adi,” kata Arumi sambil mengulurkan ponselnya kepada sang suami.
“Ya, bagaimana? Ini aku sedang bersama mertua.”
“Ini berita tentang Luki. Aku sudah mempelajarinya, dan ternyata, surat keterangan itu tidak dibuat dari rumah sakit yang tertera.”
“Maksudnya?”
“Surat itu, yang mengatakan bahwa Luki sakit parah adalah palsu.”
***
Besok lagi ya.
ππΈππΈππΈππΈ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ€©
KaBeTeeS_42 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam serojaππ¦
ππΈππΈππΈππΈ
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteMatur nuwun mbak Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Kharisma
DeleteAlhamdulillah KBTS~42 telah hadir, maturnuwun Bu Tien.π
ReplyDeleteSami2 pak Djodhi
DeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteMatur Nuwun bu Tien.
Mugi² panjenengan tansah pinaringan seger kwarasan tinebihna nir sambekala.
Aamiin.....
Horeee pak Truno lan mBok Truno, gelem niliki omah cedak sekolah SMA, lan nurut apa sing dadi usule Bachtiar lan Arumi
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMatur nuwun , Sugeng Dalu , salam sehat penuh berkat tetap semangat.
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiiik
DeleteSalam sehat juga
Suwun Bu Tien, KBTS nya
ReplyDelete*Sehat sll Bu Tien*
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun Mbah Wi
Hatur nuwun mbakyu Tienkumalasari dear episode terbaru sudah tayang, Alhamdulilah sugeng dalu, salam sehat dari Tanggamus, Lampung
ReplyDeleteSami2 jeng Sis
DeleteSalam sehat dari Solo
Terima ksih bunda Tien kbts nya slmt mpm dan slm seroja dan aduhai dri sukabumi π€ͺπ₯°πΉ
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam aduhai dari Solo
Hmm...Arumi ikut homeschooling atau bimbel/les saja di rumah ya? Kayanya kalau HS hanya ada 1 tutor yg memantau dan tdk sering datang ke rumah. Siswa HS belajar sendiri atau dibimbing orang tua (kalau masih kecil). π€
ReplyDeleteBtw, terima kasih ibu Tien...salam sehat selalu.ππ»π
Ya.. benar
DeleteSami2 ibu Nana
Salam sehat dari Solo
Bukan setiap materi ada pengajar yang berbeda
DeleteSaya hanya tahu sekilas sih
Hore.... semua kejahatan sudah terbongkar. Tinggal menunggu, apa Arumi memaafkan Luki dan pak Carik.
ReplyDeleteKalau sudah selesai artinya tamat.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Hmpir tak bernapas saat baca nya... mnegangkn sekli....
ReplyDeleteTerima kasih Mbu Tien, seht sllu bersama keluarga trcnta
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Zimi
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga sll sehat dan bahagia, salam hangat dan aduhai aduhau bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Semakin jelas kebohongannya Luki
ReplyDeleteSebentar lagi masuk penjara makasih Bunda
Sami2 ibu Engkas
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMulai terang terus ...
Syukron nggih Mbak TienπΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 jeng Susi
DeleteAlhamdulillah KBTS 42 sdh hadir. Matur nuwun Bu Tienπ
ReplyDeleteSugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat π€²
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Sis
Begitulah kalau orang mau menang sendiri. Jodoh sdh ditentukan oleh yg Mahakuasa, jangan memaksakan kehendak sendiri. Salam sejahtera ibu Tien dan juga para pembaca.
ReplyDeleteTerima kasih ibu Rosie
DeleteSalam hangat
Alhamdulillah terima kasih bu Tien,salam sehat selaluπ
ReplyDeleteSalam sehat juga ibu Ika
DeleteHore... Akhirnya keungkap semua...
ReplyDeleteHoreee..
DeleteApa kabar jeng dokter
Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
Alhamdulillah sdh hadir, matur suwun bunda Tien, semoga selalu sehat..aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Indi
Maturnuwun Ibu Tien, moga ibu sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tri
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Endah
DeleteSeruuuu cerita nya, dah ketahuan surat keterangan dokter palsu , mantab & aduhaiii Bu Tien..π bikin penasaran pembaca yang terus mengira-ngira akan seperti apa....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya , Allaah Subhaanahu wata'ala selalu melindungi ya , Aamiin π€π₯°π
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun Cerbung *KETIKA BULAN TINGGAL SEPARU b H 42* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Matur.nuwun sanget Bunda Tien Kumalasari, mugi tansah pinaringan sehat wilujeng, mulyo sesarengan keluargo, Aamìin ya Robbal Alamin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Mundjiyati
Mksh bunda Tien
ReplyDeleteTrnyt pak Carik dah mau menyerahkan diri ke polisi
Dan sblmnya Luki udah di tangkap polisi
Hasil surat sekarat udah ketahuan kl palsu
Tp dasar Arumi meskipun gadis dusun tp hatinya mulia
Pasti deh smw akan di tolongnya utk di bebaskan smw
Tuh akhirnya org yg di benci akan jd penolongnya
Itu cuma harapanku
Mohon maaf bun
Yg pntg ttp semangat dan selalu
ADUHAI ADUHAI dan ADUHAI
Nuwun jeng In
DeleteADUHAI 3X
Alhamdulillah.Maturnuwun cerbung hebat πΉ semoga Bunda selalu sehat wal afiat π€²πππ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan ketika bulan tinggal separuh 42 sdh hadir
Semoga bu tien sehat² terus n tetap semangat
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillah.... sdh tayang.... Luki dan ibunya ajan di penjara, sama2 melakukan kejahatan. Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAlhamdulillaah KBTS-42 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat selalu.
Aamiin
Salam Aduhai
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 42 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Sangat berkesan episode ini. Arumi, dia telah kembali ke alam nya...bersenandung tembang bapak pocong...menghampiri ayah nya dengan riang gembira ππππ
Tabir sdh terkuak, sing becik ketitik lan sing ala ketara.
Trus pak Truno lan mbok Truno mau menempati rumah yang baru.
Aamiin Yaa Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Terima kasih bunda Tien..
ReplyDeleteSemoga sehat selalu, salam aduhai
Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sriyati
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien, sudah sampai ke 42. Bu Tien pintar mengolah perasaan pembacanya.
ReplyDeleteSedang seru2nya, tetiba ...
Besok lagi ya π
Ternyata
ReplyDelete